Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 Juli 2010

Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.

Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010

Jalan Menuju Hatimu

Jalan ke arah rumahmu

Begitu mendaki dan berliku

Jalan menuju hatimu

Begitu mencari dan semoga ketemu

Jalan aspal jalanan berlobang

Jalan penderitaan tak berkesudahan

Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas

Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas

Di belakang jalan tak kutengok sejarah

Di hari kemarin berporsi percintaan berserah

Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang

Diasingkan dari pintu-pintu surga

Jalan hidup kau aku

Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar

Tapi kau aku tak pernah terasa sakit

Sekalipun percintaan begitu terjepit

Jalanan hari berganti ruang

Jalanan ruang berubah jarak

Sampailah dipisahkan tembok-tembok

Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok

Jalanan cinta

Jalanan penuh kasih sayang

Kau aku menolak sekian kehancuran

Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan

Jalanan angan jalanan kenyataan

Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan

Tetapi jalan menuju hatimu

Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan

Yogyakarta, Januari 2009

---

Di Ujung Nun

Di ujung nun

Jalan bercabang dua

Bila yang satu naik, bila yang satu turun

Lalu langkah kaki bertemu di mana?

Di ujung nun

Jalan mengapa menjelma dua?

Di atasnya ada satu titik takdir

Matahari: di mana cinta tak harus berakhir

Yogyakarta, Januari 2009

---

Hari Ini Adalah Puisi Indah

Tiap bangun tidur, masih di atas dipan

Kuhadapkan wajahku ke cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlalu aku menuju kran air

Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu

Kusahadatkan hatiku agar kembali segar

Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlaku aku dalam sujud

Kuhunjamkan keningku ke bumi

Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur

Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah

Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus

Sampainya doa akibat tiga perkara

Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta

Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan

Tetapi subuh masih jauh

Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit

Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti

Dalam kerjanya yang tak habis-habis

Hatiku jendela yang membuka

Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah

Yogyakarta, 6 Agustus 2009

Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman