Koran Tempo, 27 Juni 2010
HAL-HAL YANG AKAN IA YAKINKAN
tak ada badan, jelmaan yang merubuhkan tulang, di
sebuah lubang, sewaktu ia tak peduli dengan pulang. tak
ada rumah, dinding yang dibatasi perpisahan, saat dua lambai
lemah mengukuhkan ingatan. tak ada kenangan, di bantal
air mata yang menyembunyikan pertengkaran, ketika kalimatnya
memimpikan getar. tak ada kebisuan yang menggerakkan
isyarat, di sentuhan tuhan, sewaktu tahun-tahun saling jauh-
berjauhan. tak ada ruang, tak ada waktu yang mengambang,
di sisa angkasa, saat cahaya meluncur ke dalam umur. tak
ada masa meski ia telah tua, di antara banyak angka,
ketika ia menghitung jumlah badannya
Padang, 2010
RAHANG
hanya kunyah
dan kenyang mencoba
menarikmu dari kejang.
luar dan dalam pedas
melepas decas. sedangkan
decak nikmatku seperti kawat
yang lamat-lamat melumat
karat. sebatang terkerat
sebilah lagi jadi sekarat. tapi
aku bersikeras menahan serat
cicipan yang disisipkan ke
lubang gigitan. serat yang berkilau
barangkali. hanya kunyah,
setiap hari yang payah,
setiap pagi yang renyah,
berupaya menerkammu dari
perburuan. sehingga aku
takut mengejarmu sampai
ke sarang. hanya kunyah
yang tak hentinya bertanya
perihal suapan: suapan
puasa. hanya kunyah
yang kau percaya karena
aku puas menganga
untuk dagingmu
yang merah
Padang, 2010
RUMAH-RUMAH WAKTU
lampu merah
mungkin makin tinggi kaki ini setelah kautebas.
simpang jalan melintas-lintas. di sana, para pekerja
terlambat lewat ketika melompat dari jam pintas. adakah
dari mereka yang menjinjing sekantong penat dari
swalayan terdekat?
perhatikan. mata tanda tampak seredup kabut. aku
berhenti untukmu: tak mengerjapkan isyarat yang sekerat.
aku hanya sebatang kata yang ditanam di jalanmu untuk
mengeja, saat lidah menjulurkan pergi. entah menuju
simpang pemberhentian yang mana lagi
halte
kau dan aku selalu menjadi orang baru atau orang asing
yang bangkit dari usia masa yang lain. kau keluarkan bayang-
bayang matahari: condong ke kiri. bayang itu mampu juga
menghitamkan tubuhku
kau hendak menumpang, wahai penampung kepulangan?
sudahlah, aku tak mau mengenalmu dengan keteduhan sebab
seorang asing hanya menunggu hujan meredakanmu dari deru
bus kota yang tersesat
bus kota
baik-baik engkau naik. bila kaudaki berkali-kali, tertinggal
endap malam penuh dendam bergidik, dalam lelap
sopir terakhir
Padang, 2010
Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Giat di Komunitas Ruangsempit dan Teater Noktah di Padang.
Sastra Lampung Post
Sabtu, 26 Juni 2010
Gunawan Maryanto: Pergi ke Toko Wayang
Korantempo, Minggu, 27 Juni 2010
AKHIRNYA aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Gunawan Maryanto tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
AKHIRNYA aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Gunawan Maryanto tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
Puisi Inggit Putria Marga
Tiga Sajak Berawal dari Burung
Kompas, Minggu, 27 Juni 2010 | 04:21 WIB
Ketika Matahari Mati
: ahmad mudzil
gelombang burung terbang
warna-warni layang-layang
udara bau cendana
ribuan lilin menyala
pantulan bayang-bayang seroja
genderang dibunyikan
sitar disuarakan
para pelayan menari
ratusan lembu berjalan tenang
dikendarai ratusan bidadari
menyambut kau lahir
mengantar matahari berakhir
malam tak lagi gelap
karena matamu rumah bagi cahaya untuk menetap
di langit, indah bulan tersingkir
sebab senyummu mantra ampuh para penyihir
syair yang lahir dari tangan penyair
yang luka dan cinta dalam dan pada kehidupan
maka tertawa dan menangislah
menari dan terjatuhlah
ketika kau tertawa dan menangis
para bidadari penunggang lembu
akan menabuh genderang
ribuan pelayan akan memainkan sitar
lalu tawa dan tangismu jadi kidung
bergema, memantul ke gunung-gunung
meresapi samadi pendeta-pendeta agung
saat kau menari dan terjatuh
gelombang burung terbang
akan mengangkatmu
jadikan kau satu di antara
ribuan warna-warni layang-layang
tenang melayang lalu kembali jatuh
rebah di tanah
terkubur bagai sejarah
bagai udara bau cendana yang cepat hampa
nyala lilin yang pantulkan bayang-bayang seroja
lalu padam, segera atau seketika.
umpama burung pengepak sayap
ia berkidung setiap hinggap
di rumput-rumput lembab
rumah-rumah tak beratap
mulut-mulut gagap
pikiran-pikiran gelap
bulu-bulu merak
melingkari kepalanya
kekuatan dan keanggunan
menyatu dalam ia
sepasang mutiara
tergantung di telinganya
kedalaman dan misteri samudra
mewujud sebagai hatinya
cahaya purnama adalah tangannya
kelopak-kelopak padma adalah jemarinya
yang menggenggam suling
lalu ia tiup sambil menunggang sapi
ke semua ruas semesta ia berkeliling
membuat segala yang keruh jadi bening
yang bising jadi hening
yang berpusing jadi bergeming
dilebur diri sejati
yang kerap terasing
pecah berkeping
di antara debu-debu musim kering
jika ia pijakkan kaki di rawa
mekarlah kuncup-kuncup seroja
bila tangan ia kibaskan ke udara
puluhan kupu-kupu bertukar warna
di cantiknya yang baka
gadis-gadis cemburu dan menangis
di wibawanya yang tak fana
para lelaki sujud dan terpana
kepadanya, hanya untuk ia
ribuan mantra dirapalkan
ribuan kidung dinyanyikan
agar sampai akhir usia semesta
suara sulingnya tetap bergema
menjadi denyut nadi
setiap makhluk pendengarnya
dari lembar-lembar buku tua
kubaca kisah tentang ia
: sang peniup suling
penghening segala yang bising
di kelopak-kelopak lotus
di udara pagi
di bentuk awan-awan yang tak pasti
di arus sungai yang tak mampu berhenti
ia kucari
sampai ketika aku berkaca
di jernih telaga:
bayang-bayang awan ungu
berpendaran di belakang bayang-bayang wajah:
kepalanya dilingkari bulu-bulu merak
sepasang telinganya digantungi
mutiara
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
sejauh apa pun ia pergi
sedalam apa pun ia sembunyi
ke panorama itu selalu ia kembali
pernah, ia pergi mencari panorama lain:
kapal berlayar lalu karam lebur di karang hitam
tari ribuan rumput yang ia cabut
saat bibirnya tak menemu tempat berpagut
barisan semut yang di tubuhnya kerap menyelimut
tapi, ia pengecut yang selalu mencari alasan untuk takut
pada karam yang kalut
pada maut yang pasti memagut
pada tali karma yang makin kusut
lalu, ia kembali pergi
mencipta panorama sendiri:
ia ciptakan sesuatu yang ia sebut puisi
membacakannya di depan tubuh-tubuh tak berpenghuni
berharap mereka percaya:
ia mampu merayakan luka di kelahiran yang entah keberapa.
di perut bumi,
ia bangun ruang terdalam untuk sembunyi
ia ingin dekat dengan ibu bumi dan merasa suci
terlepas dari lilitan temali karma yang menghantui
ribuan topeng bergantian digunakan
ribuan kata bersusulan diucapkan
ribuan hari habis untuk berlari
ribuan kelahiran hanya menggiringnya kembali
ke panorama yang ia lihat pertama kali:
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
kepada mereka, ia tanyakan:
apa arti pergi dan kembali, bagiku
jika setiap kepergianku adalah
awal kepulangan padamu?
tetapi, adakah kepulangan, bagiku
jika di tiap panorama yang terlihat dalam kepergianku
yang tampak hanya dirimu?
engkau, tanah kelahiran
yang membuatku dihantui kematian
dirimu, tanah kematian
yang tak pernah menolakku
untuk kembali dilahirkan
ia lepaskan lapis-lapis topeng di wajahnya
diam, membakar segala jenis puisi dan kata
pelan-pelan ia memburung
hilang tampak di antara awan-awan nila
melayang bersama angin
menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua
sebuah kota.
2010
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Kompas, Minggu, 27 Juni 2010 | 04:21 WIB
Ketika Matahari Mati
: ahmad mudzil
gelombang burung terbang
warna-warni layang-layang
udara bau cendana
ribuan lilin menyala
pantulan bayang-bayang seroja
genderang dibunyikan
sitar disuarakan
para pelayan menari
ratusan lembu berjalan tenang
dikendarai ratusan bidadari
menyambut kau lahir
mengantar matahari berakhir
malam tak lagi gelap
karena matamu rumah bagi cahaya untuk menetap
di langit, indah bulan tersingkir
sebab senyummu mantra ampuh para penyihir
syair yang lahir dari tangan penyair
yang luka dan cinta dalam dan pada kehidupan
maka tertawa dan menangislah
menari dan terjatuhlah
ketika kau tertawa dan menangis
para bidadari penunggang lembu
akan menabuh genderang
ribuan pelayan akan memainkan sitar
lalu tawa dan tangismu jadi kidung
bergema, memantul ke gunung-gunung
meresapi samadi pendeta-pendeta agung
saat kau menari dan terjatuh
gelombang burung terbang
akan mengangkatmu
jadikan kau satu di antara
ribuan warna-warni layang-layang
tenang melayang lalu kembali jatuh
rebah di tanah
terkubur bagai sejarah
bagai udara bau cendana yang cepat hampa
nyala lilin yang pantulkan bayang-bayang seroja
lalu padam, segera atau seketika.
umpama burung pengepak sayap
ia berkidung setiap hinggap
di rumput-rumput lembab
rumah-rumah tak beratap
mulut-mulut gagap
pikiran-pikiran gelap
bulu-bulu merak
melingkari kepalanya
kekuatan dan keanggunan
menyatu dalam ia
sepasang mutiara
tergantung di telinganya
kedalaman dan misteri samudra
mewujud sebagai hatinya
cahaya purnama adalah tangannya
kelopak-kelopak padma adalah jemarinya
yang menggenggam suling
lalu ia tiup sambil menunggang sapi
ke semua ruas semesta ia berkeliling
membuat segala yang keruh jadi bening
yang bising jadi hening
yang berpusing jadi bergeming
dilebur diri sejati
yang kerap terasing
pecah berkeping
di antara debu-debu musim kering
jika ia pijakkan kaki di rawa
mekarlah kuncup-kuncup seroja
bila tangan ia kibaskan ke udara
puluhan kupu-kupu bertukar warna
di cantiknya yang baka
gadis-gadis cemburu dan menangis
di wibawanya yang tak fana
para lelaki sujud dan terpana
kepadanya, hanya untuk ia
ribuan mantra dirapalkan
ribuan kidung dinyanyikan
agar sampai akhir usia semesta
suara sulingnya tetap bergema
menjadi denyut nadi
setiap makhluk pendengarnya
dari lembar-lembar buku tua
kubaca kisah tentang ia
: sang peniup suling
penghening segala yang bising
di kelopak-kelopak lotus
di udara pagi
di bentuk awan-awan yang tak pasti
di arus sungai yang tak mampu berhenti
ia kucari
sampai ketika aku berkaca
di jernih telaga:
bayang-bayang awan ungu
berpendaran di belakang bayang-bayang wajah:
kepalanya dilingkari bulu-bulu merak
sepasang telinganya digantungi
mutiara
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
sejauh apa pun ia pergi
sedalam apa pun ia sembunyi
ke panorama itu selalu ia kembali
pernah, ia pergi mencari panorama lain:
kapal berlayar lalu karam lebur di karang hitam
tari ribuan rumput yang ia cabut
saat bibirnya tak menemu tempat berpagut
barisan semut yang di tubuhnya kerap menyelimut
tapi, ia pengecut yang selalu mencari alasan untuk takut
pada karam yang kalut
pada maut yang pasti memagut
pada tali karma yang makin kusut
lalu, ia kembali pergi
mencipta panorama sendiri:
ia ciptakan sesuatu yang ia sebut puisi
membacakannya di depan tubuh-tubuh tak berpenghuni
berharap mereka percaya:
ia mampu merayakan luka di kelahiran yang entah keberapa.
di perut bumi,
ia bangun ruang terdalam untuk sembunyi
ia ingin dekat dengan ibu bumi dan merasa suci
terlepas dari lilitan temali karma yang menghantui
ribuan topeng bergantian digunakan
ribuan kata bersusulan diucapkan
ribuan hari habis untuk berlari
ribuan kelahiran hanya menggiringnya kembali
ke panorama yang ia lihat pertama kali:
taburan burung gereja
awan-awan nila
angin menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua sebuah kota
kepada mereka, ia tanyakan:
apa arti pergi dan kembali, bagiku
jika setiap kepergianku adalah
awal kepulangan padamu?
tetapi, adakah kepulangan, bagiku
jika di tiap panorama yang terlihat dalam kepergianku
yang tampak hanya dirimu?
engkau, tanah kelahiran
yang membuatku dihantui kematian
dirimu, tanah kematian
yang tak pernah menolakku
untuk kembali dilahirkan
ia lepaskan lapis-lapis topeng di wajahnya
diam, membakar segala jenis puisi dan kata
pelan-pelan ia memburung
hilang tampak di antara awan-awan nila
melayang bersama angin
menggoyang tumbuhan liar
di dinding bangunan tua
sebuah kota.
2010
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Langganan:
Postingan (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010