Sastra Lampung Post

Sabtu, 06 Maret 2010

Menelusuri Lampung lewat ‘Cerbun’

Lampungpost,Minggu, 7 Maret 2010
APRESIASI
Menelusuri Lampung lewat ‘Cerbun’

Imelda

Siang menjelang sore hari pertama bulan Februari, saya mendapatkan sebuah pesan pendek dari seorang teman bahwa buku Cerita-Cerita Jak Bandar Negeri Semuong (selanjutnya disebut CBNS) mendapatkan penghargaan Rancage Rancage 2010.

UNTUK berita itu saya sungguh bersuka cita sekaligus sepakat bahwa penghargaan itu pantas didapatkan oleh Asarpin Aslami, karena 17 cerbun(cerita buntak = cerita pendek) yang ditulisnya memang bagus dan hidup karena ketika membaca saya bisa merasakan emosi yang beragam. Terkadang sedih ketika tragedi yang diceritakan, terkadang marah ketika ketidakadilan diceritakan dan terkadang gembira sembari senyum-senyum ketika yang ia berkisah dengan lelucon khas Lampungnya yang segar. Pendek kata, cerbun ini memang "Nano-Nano".

Menjadi cerita pendek pertama berbahasa Lampung tidak membuat cerita ini hambar dibaca, tetapi emosi sedih, marah, dan gembira berhasil diciptakan Aslami. Di dalam cerbun-nya ia mengangkat tema-yang beragam, antara lain (1) sejarah, (2) perempuan Lampung, (3) tradisi dan (4) kenangan manis masa lalu. Dari empat tema tersebut, yang paling menarik dan menjadi pokok tema penting ialah sejarah dan perempuan. Untuk itu pula, dalam ulasan buku ini, saya hanya akan memfokuskan pada dua tema yang menurut saya memiliki nilai menarik dan substansi penting.

Sejarah dan Mitos Lampung

Cerbun CBNS memulai kisahnya dengan rekonstruksi perdagangan rempah masa lalu di Way Semaka (Bandar Negeri Semuong). Ia tidak hanya bercerita mengenai tempat, tetapi juga aktor-aktor, aktivitas, dan berbagai macam mitos yang mengiringi tempat itu di masa lalu. Kisah kesejarahan yang diilustrasikan, kemudian diperkuat juga dengan mitos mengenai buaya putih pada cerbun yang berjudul Teluk Semaka dan Bura Semaka. Di dalam dua cerita itu dikisahkan mitologi buaya putih yang menjadi penghuni perairan Way Semaka, yang hanya bisa ditaklukan oleh orang-orang sakti atau dukun Lampung.

Barangkali ada sebagian orang yang menganggap mitos yang diceritakan hanya sebagai isapan jempol, akan tetapi bagi orang Lampung yang masih mempercayai mitologi penguasa laut matu dan sungai (buaya putih), mitologi ini bukan omong kosong. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa mitologi itu menjadi pengikat kisah eksistensi nenek moyang dengan masa kini. Sebuah bentuk kesejarahan masa lalu atau local knowledge mengenai tempat-tempat penting yang tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain, sejarah perdagangan masa lalu di Pesisir Selatan Lampung dan mitos ini bukan hanya memberikan informasi mengenai tempat, tetapi juga hubungan orang Lampung dengan masa lalunya.

Kisah lain yang masih berdimensi kesejarahan ialah kisah Batu Penyambung dan Gunung Putri. Cerita pertama memberikan paparan mengenai sebuah batu yang dipercayai terjadi karena ada orang yang berdosa dan disumpahi sehingga menjadi batu. Tempat di dalam kisah tersebut, saat ini, dikisahkan sebagai tempat keramat. Sementara itu, cerita kedua berkisah mengenai hubungan Kepaksian Lampung dan Kesultanan Banten yang digambarkan dengan hubungan perkawinan Pun Puri dari Lampung dan Maulana Yusuf dari Banten.

Mitos Batu Penyambung merupakan mitologi yang memberikan kisah mengenai moralitas, sekaligus tempat. Di dalamnya ada pesan bahwa berjudi itu perbuatan yang tidak baik, sehingga siapa pun yang berbuat itu, di masa lalu, dikutuk menjadi batu. Sementara itu, kisah Gunung Putri menjadi kisah yang memberikan gambaran betapa erat hubungan Lampung dan Banten karena hubungan tersebut diikat dengan perkawinan yang artinya mengikat batin.

Perempuan Lampung

Tema yang saya anggap penting, selain kesejarahan ialah mengenai Perempuan Lampung. Ada dua periode penting yang disoroti oleh Asarpin mengenai keperempuanan: gadis dan istri. Pada periode gadis, perempuan Lampung digambarkan sebagai perempuan yang malang Hiwang, perempuan yang sikop (Mala Suri) juga perempuan pemberani melawan pakem (Metudau).

Kemalangan perempuan digambarkan ketika ia tidak memiliki sanak famili. Setiawati yang menjadi tokoh utama dalam cerita Hiwang digambarkan sebagai seseorang yatim piatu yang ditipu-tipu. Semakin tragis ketika kisah ini berakhir dengan kematian sang tokoh saat perjalanan pulang ke kampung halaman. Cerita lain, perempuan yang cantik, digambarkan oleh mimpi seorang bujang mengenai perempuan Lampung yang bernama Mala Suri, berkulit putih yang diintip ketika mandi. Cerita ini sungguh berani bukan hanya menggambarkan impian liar sang jejaka, melainkan juga karena di akhir mimpinya, bujang itu terjaga karena Mala Suri ngusung lading dan menantangnya. Kisah yang unik dan menarik.

Terakhir, cerita mengenai perlawanan seorang perempuan terhadap adat yang tidak berpihak. Nurjanah mempertaruhkan dirinya disebut sebagai Nurjahanam setelah berani bersikap meninggalkan rumah dan menikahi lelaki yang dicintainya. Ini adalah sebuah tragedi ironik karena, diakhir cerita, sang perempuan pemberani masih memendam keinginan untuk melawan diskriminasi yang ia rasakan dengan cita-cita untuk memiliki anak perempuan yang pupus karena ia hanya dikaruniai anak lelaki. Kisah yang sejenis, tragedi cinta terlarang, juga bisa dibaca pada cerita Solbi wan Solha.

Perlakuan diskrimatif juga dirasakan ketika seorang perempuan menjadi istri. Dalam cerita Bebai Kejeruwan, perempuan Lampung yang menjadi istri digambarkan sebagai perempuan yang menanggung beban penderitaan. Dikisahkan tujuh orang perempuan yang setiap hari mencari kayu di hutan. Aktivitas itu dilakukan karena mereka memiliki tanggungan dapur yang harus terus mengepul dan anak yang menanti kiriman uang di kota.

Dengan gaya menulis yang berkelakar, Asarpin mengkritik perilaku lelaki/suami Lampung yang hanya sibuk merokok dan mengopi sambil berseloroh tidak sopan terhadap perempuan-perempuan pemberani yang dianggap telah menghabiskan harta warisan keluarga lelaki. Di lain cerita, Kembang Melor, rasa malas lelaki disindir manis dengan kisah ini. Perempuan (baca: keluarga) digambarkan dengan wujud kembang melor yang butuh banyak air kehidupan. Sebuah gambaran pertarungan gender yang manis.

Sejarah dan perempuan lampung yang diceritakan oleh Asarpin, saya kira, telah berhasil merebut hati dan tidak heran bila akhirnya cerbun ini meraih penghargaan. Buat saya, penghargaan yang diberikan sangat pantas karena penceritaannya yang mengalir. Selain itu di bagian akhir, Asarpin menyelipkan kritik terhadap penerbit yang mengganti bunyi /kh/ dan /gh/ dengan bunyi /r/. Ini membuktikan bahwa ia masih belum puas dengan penerbit. Sebuah bukti bahwa memang buku ini harus melengkapi diri dengan standar ortografi. Penulisan bunyi yang lainnya ialah bunyi /'/ yang selalu diletakkan setelah huruf /k/. Bagi saya itu sangat boros karena tanda /'/ (baca: hamzah) itu sudah mewakili bunyi /k/.

Kumpulan Cerbun Cerita-Cerita Jak Bandar Negeri Semuong yang ditulis Asarpin telah memberikan semangat baru bagi penulisan teks berbahasa Lampung di tengah sepinya usaha pemerintah daerah yang hanya sibuk berwacana menggunakan bahasa Lampung. Asarpin selangkah lebih maju karena ia tidak hanya sekadar berwacana, tetapi do action.

Imelda

Peneliti Ernolinguistik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI

# Hasan Aspahani

SEPERTI, UNTUK, KARENA

Seperti riang daun mempertemukan hara
yang diserap akar itu dan cahaya yang
dikirim matahari nun jauh di sana.

Seperti tulus tanah menerima guguran
daun-daun tanpa mengusut mana yang dulu
berasal darinya mana yang dari langit sana.

*

Untuk parah luka yang tekun mencari tubuh
Dia tulis larik yang menyembunyikan aduh.

Untuk deras darah yang cermat melacak letak luka
Dia tulis larik yang melirihkan rintih.

*

Karena matahari yang santun ikhlas melupakan cahaya
Aku menghendakimu tanpa bertanya sefana apa hidup kita

Karena bumi yang sederhana sabar memberi dan menerima
Aku menginginkanmu tanpa bertanya semustahil apa cinta kita

PELAKON KEHABISAN PERAN


Panggung ini: dunia sandiwara

Aku: pelakon kehabisan peran
Berpura-pura menjadi penonton

Kau: penonton enggan pulang,
menari pada ulur serangkai rantai
berpegang pada cahaya telanjang

*

Panggung ini: punggung bimbang

Sepi: bertepuk di bangku kosong
Langit-langit membikin semacam hujan
menaburkan warna rawan, kelam kalam

Remang: ragu mengatur bayang-bayang

*

Panggung ini: bangku tak panjang,
bimbang, ikut menahan hati gemetar

Seperti dalam makam, liang longgar,
tapi aku tak bisa beranjak keluar.

Ada yang berziarah menaburkan mawar:
harum itu, satu-satunya kabar.

PENYEMBAH MALAM

Ia meliuk agar malam tak jadi malam
ia rayu senja agar menangkap matahari,
lalu menyekap di lanskap, kemurungan
yang nyaris lengkap: kepingan awan,
langit yang ragu pada warna, camar
yang rabun, dan membisu dari pekikan.

Ia sudah sangat malam. Ia telah lama
jadi penyembah malam. Ia berambut
malam. Ia bergaun malam. Ia bersepatu
malam. Ia memasang lampu di tubuhnya
yang malam. Ia sudah terlalu malam.
Ia letih, ia ingin tak lagi ada malam menginap
di matanya yang ingin sekali memejam.

"Engkaukah yang datang menjemputku
di balon udara itu?" ia bertanya, dan
mengacungkan cahaya, seperti mercu
menyuar pelayar yang ragu pada tuju.
Hasan Aspahani bermukim di Batam, Kepulauan Riau. Buku puisinya adalah Orgasmaya (2007) dan Telimpuh (2009).

Puisi-puisi A Muttaqin

Kompas, Minggu, 7 Maret 2010 | 04:19 WIB

Pagi

Aku ingin mengejarmu. Kau yang berjalan sedap dan mantap. Mencuri ilmu dan imanmu. Agar aku selalu muda. Semata mula. Sepertimu. Tak termangsa aus dan usia lalu.

Lngkahmu lembut. Teramat lembut bagi kakiku yang luput terpaut. Kau bangunkan aku dari dingin. Dan tubuhku jadi hijau. Hijau bersemu ungu oleh nafasmu. Kau panggil lamat matahari. Dan ia pun hangat terurai. Mencucup bening cintamu yang mengembung hening di dadaku. Lalu kau dan matahari bercakap. Sebagaimana kawan akrab. Angin pun datang. Dan burung-burung terdengar girang. Tapi kau berangsur menjauh. Dengan kaki yang sungguh gaib. Dengan arah yang teramut tertib. Hingga kami, aku, angin dan burung-burung sekali lagi kehilangan jejakmu. Ada yang terjatuh dariku. Sebidang tanah merasa basah. Dan debu diam dalam debarnya. Seperti kelopak langit, kuncup-kuncup wingit mulai terbuka. Menebar serbuk sari doa yang membuat bunga-bunga jadi buah. Yang membuat tangkainya ikhlas melepas merah. Dan kau, pagi, yang membangunkan itu semua, telah entah di mana. Kau seperti sebentuk rindu. Berjarak dariku. Tinggal seberkas panas. Yang mengaku sebagai sodaramu tua. Bercerita tentang senyum

dan kerling dalammu. Ungu. Bagai birahi seorang ibu. Membangunkan malam dan membuat aku hijau. Menunggu. Di pokok pohonku. Tempat telur dan waktu. Menantimu.
2010


Pada Penyadap

Kubiarkan batangku lencir meninggi. Agar angin leluasa menyuir daun- daunku. Agar aku bisa mencuri air surga untukmu.

Minumlah. Airku segar, lagi baik, lagi mampu menawar racun dan rabunmu. Potong tangkai tanganku. Belah juga batok kepalaku.

Sebagai buah pohon teguh, akan kutunjukkan betapa senja tak mampu meredam serabut cintaku. Hikmati daging deganku yang putih

dan lendir cengkirku yang bersih. Makanlah olehmu bila sudah. Dan biar kuteruskan kisah ini, sendiri

seperti kisah kintir yang melahirkan aku di kali-kali, sembari menyusun kenikmatan tanpa tepi, yang akan kauledakkan di rahim mimpi.
2010


Petani

Kami saling berbagi, aku dan sungai. Bunga dan rumput segar menjalar ke tidur kami. Kami saling mengerti dan tak ada maksud mengkhianati.

Seperti sulur nadi, sungai sering mengulur umur permai. Sungailah yang menjaga jagung, kacang dan padi bila hujan tertahan ke bumi.

Di lubuknya yang damai, kucuci daki dan benci. Agar bersih badan dan hati ini. Kugiring juga ternak untuk minum atau mandi.

Dan sungai slalu menyambut dengan riak gelak, yang memekarkan bunga semak. Di saat begini, kami sering tertawa walau tak sampai terbahak.

Tak pernah kami berbohong. Apalagi saling memotong. Tanpa banyak omong kami saling menolong. Kusingkirkan batu-batu di pelupuknya.

Ia beri ikan-ikan untuk mengisi sepi sawah. Kami tak ingin terpisah. Dan kami bahagia. Kami berjanji akan bertemu dalam tawa bidadari sorga.
2010

Semoga roda ini mencukupi putaran. Semoga kerbau ini tak gampang pikun dan lupa jalan. Semoga petani itu selalu dalam lindungan tuhan. Semoga singkong dan padi selamat sampai tujuan.

Sebagai harta petani, aku sungguh mencintai hasil bumi. Aku suka memboyong singkong. Apalagi jika cuaca cerah dan bau singkong begitu sedapnya. Aku bahagia membawa padi. Sebab pada padi kehidupan merangkum diri. Aku senang mengangkut pisang: buah kesabaran yang disayang tuhan. Aku juga tak keberatan memuat hewan buruan: celeng, cuwut, marmut, dan manuk bubut – yang kadang kali menyedapi tiga batu dapurmu. Sebagai harta petani, aku mencintai semua itu, seperti seorang ibu. Tapi sore ini

aku harus mengangkut mayatmu, petani yang selalu membimbing kerbau dengan kesabaran. Roda ini akan pecah sebelum kuburan. Dan tanpa kau, kerbau itu pasti mendadak pikun dan tak tahu jalan.
2010


Pulang

Aku telah berjanji akan mengembalikan bajumu. Aku juga berjanji akan meninggalkan kenangan tentang baju itu, seperti ingatan tentang kupu dan bulu-bulu. Sudah kubilang, semua hanya soal waktu. Dan akan kutanggalkan bajumu, seperti kelopak yang harus jatuh. Sebab, begitulah kembang berpulang dan biji tandang kepayang. Kini, saatnya aku jadi buah. Tak penting buah apa. Dan tak perlu kauberi nama. Seperti kupu dan angin yang melahirkannya
2009

A Muttaqin lahir di Gresik, tinggal di Surabaya.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman