Sastra Lampung Post

Selasa, 25 Agustus 2009

Sajak Oky Sanjaya

Minggu, 14 Juni 2009

Lampung Post


Sanjal Jazz

tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya turbulensi

di sekitar dada, pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik

untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja,

tak perlu menunggu di balik pintu. Kecuali memang dari tadi

aku tertipu.

Perut Jendela

aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya

menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang.

aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca

bahwa air sumur tua merekahkan perut kita.

Memandikan Sandal


kita mungkin telah memilih jalan yang salah

menduduki pekarangan belakang rumah orang

yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai

beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita

mungkin tergesa-gesa untuk pulang karena magrib

seperti datang tiba-tiba, masih ada yang belum

disiangi, masih ada yang belum bersih dicuci.

tapi, "tolong!", jangan kau maki sandalku yang putus ini.

dia masih layak ditusuk peniti.

Sandal Kertas

siapa yang terbilang laku

jadi secarik peristiwa Kota Bandar

ketika sinar bulan menampakan yang tercemar

dari sudut-sudut gang? Semuanya

seperti cahaya yang berpendar jauh

dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang

mencatat kapal-kapal merapat

meski kita telah kehilangan tempat

dua baris lagi dari satu halaman kertas adat.

Merapat ke Dinding


kali ini aku ingin kau merapat

ke dinding. Tubuh badanku bau masam,

bau jalan-jalan. Kali ini saja, berhentilah

merapat ke pintu, macet, sayangku.

Belajar Menerima Kekurangan

setelah kau putuskan untuk terputus aku berharap

tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti lampau,

beku dan tersudutkan. Apalagi kini, tubuhku

tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai

dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini

terlukiskan, sebaiknya engkau menggantikan aku

dengan tali yang lebih panjang.

Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung (Unila). Bergiat Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman