Sastra Lampung Post

Sabtu, 01 Mei 2010

Sajak, Puisi

ESAI
Sajak, Puisi

kompas,Minggu, 2 Mei 2010 | 03:27 WIB

Bahasa Indonesia memiliki hanya sedikit perbendaharaan untuk menyebut kata-kata yang terangkai menjadi larik-larik dan bait berirama yang penuh citraan atau kiasan: ”sajak” dan ”puisi”—ada kalanya ”syair” juga dipakai, dan dulu (atau kini sesekali) kata ”sanjak” pun beredar. Tetapi itu rupanya tak hanya terjadi dalam bahasa kita. Bahasa Inggris, misalnya, dengan latar tradisi sastra yang begitu panjang dan luas, pun hanya punya nomina poem, poetry, dan verse, untuk menyebut hal yang lebih-kurang sama.

(Adapun sajak atau sanjak atau syair atau puisi itu tentulah sangat banyak ragam atau bentuknya: gurindam, haiku, pantun, sajak bebas, sestina, soneta, talibun, villanelle, dan seterusnya. Jika dikumpulkan dari pelbagai khazanah sastra di segenap penjuru dunia, mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan bentuk puisi yang pernah hidup sejak manusia mulai berbahasa dan bernyanyi dengan kata-kata hingga hari ini.)

Namun, kembali kepada empat patah nama di kalimat pembuka di atas, kosakata yang sedikit itu barangkali sudah sewajarnya: nama umum/generik untuk menyebut sesuatu memang tak perlu bervariasi. Yang penting adalah bahwa cukup tersedia nama diri untuk menyebut atau menandai masing-masing jenis atau ragam yang lebih khusus, sebagaimana dicontohkan pada alinea kedua.

Dalam penggunaan sehari-hari, kata ”sajak” dan ”puisi” kerap dipertukarkan sebagai sinonim, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menunjuk dua ihwal yang sedikit berlainan. Kata ”sajak” tak jarang merujuk pada wujud formal yang tampak pada sebuah komposisi verbal yang berirama—termasuk di dalamnya rima, panjang-pendek larik, dan pembagian bait. Karena itu, frase ”pola persajakan” mengacu pada penyusunan unsur-unsur tersebut dalam sebuah karya. Sedangkan ”puisi” bisa mengarah pada watak sugestif bahasa yang digunakan atau kekuatan dan kepadatan imajinasi yang terkandung dalam suatu karya tulis, entah karya itu mengandung ”pola persajakan” ataupun tidak. Bahkan, kawasan ”puisi” kini seakan lebih luas dari sastra: sekali waktu kita mendengar sebuah film atau lukisan disebut ”puitis” atau dikatakan sebagai sebuah ”puisi”—bukan karena ada kata-kata bersajak di dalamnya, melainkan karena kekuatan visualnya.

Jalan berliku

Kata ”syair”, setidaknya sebagaimana terpetik dari khazanah sastra Melayu, semula merujuk pada suatu bentuk puisi terikat, tetapi dalam pemakaian umum kini barangkali lebih banyak berlaku sebagai padanan ”lirik lagu”. Padahal kata dasar ini telah membentuk kata ”penyair” dan ”kepenyairan”—nah, di sini pun kita mungkin akan mendengar pertanyaan: kenapa bukan ”pesyair” dan ”kepesyairan”? Sementara dalam bahasa Arab, khazanah asal istilah itu, kata sya’ir sebetulnya justru merujuk kepada orang yang menulis sajak, sedangkan sajak adalah syi’ir. Apa mau dikata: demikianlah jalan berliku yang bisa dan biasa ditempuh sebuah kata, apalagi dari zaman ke zaman, melintas dari satu ke lain bahasa.

Sedangkan kata ”sanjak”, yang bersinonim dengan ”sajak”, kini terasa kuno, arkais. Rasanya sudah jarang orang menggunakannya dalam tulisan atau ujaran sehari-hari. Namun, di tahun 1954, pernah terbit buku Sandjak-sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin susunan Armijn Pane. Pun, beberapa tahun kemudian, terbit Priangan Si Djelita: Kumpulan Sandjak karya Ramadhan KH. Setelah itu agaknya kata ini pelan-pelan menepi dan menghilang.

Jadi, manakah yang mesti dipakai: ”sajak”, ”sanjak”, ”syair”, atau ”puisi”? Silakan pilih sendiri—salah satu, salah dua, atau semuanya, atau menggilir masing-masing sesuai keperluan dan selera. Tak ada anjuran apalagi larangan. Jika kami akhirnya memilih menggunakan ”puisi” sebagai nama rubrik, itu semata demi alasan akomodasi: semua sajak adalah puisi, sedangkan tidak semua puisi bersajak.

HASIF AMINI esais

Minggu, 25 April 2010

Ruang Kata di dalam Sajak Remeh

Ruang Kata di dalam Sajak Remeh

kompas, Minggu, 25 April 2010 | 04:47 WIB

ALEX R NAINGGOLAN

Ketika seorang penyair mengubah yang remeh menjadi berarti, barangkali sajak yang ditulisnya justru berkisah banyak. Kata-kata yang terjalin bukan hanya sekadar meminjam bahasa, melainkan menjelma jadi sebuah sintaksis kalimat yang ajaib.

Hasan Aspahani adalah penyair yang mahir dengan hal tersebut. Meminjam bahasa Iswadi Pratama—ia merebut segala yang remeh dan tak berarti. Maka, puisinya menelusup ke dalam kesukaan pribadi-pribadi, lalu melepas ke cakrawala pembaca yang luas. Seseorang yang tidak suka komik pun bisa terpesona ketika ia menggambarkan ihwal komik dalam sajak-sajaknya. Ia seperti memberi suguhan lain dari citra komik tersebut.

Dalam pelbagai imajinya, Aspahani seperti memburu orang untuk menemukan jalan pulangnya sendiri. Seperti dalam ”Catatan Seorang pembuat Komik”: ”Sia-sia bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah terkemas, bersama kuas, pensil 3 B, dan tinta cina... Aku ternyata telah lama kehilangan rumah, karena terlalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan, juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari arsip, rancangan sampul” (hal 11).

Demikian pula dalam pelbagai sajak lainnya. Ia seperti ingin mengajak pembaca termenung, pada sebuah ide ajaib yang dimilikinya. Meskipun hal tersebut terpampang dalam keseharian. Melalui kata-kata sajaknya, Aspahani seperti memberi artian baru. Dalam sajak-sajak ”Kamus”-nya, ia membuat definisi-definisi lain dari kata—yang tidak berbeda dari makna kata itu sendiri. Keteraturannya dalam mengolah bahasa, katakanlah untuk menemukan barisan diksi membuat jejak kalimat puisinya tidak ambigu. Bahkan membuka makna yang lebih dalam.

Dalam kamus ”Sepi” misalnya: ”oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini. Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli, Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta. Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku yang sudah kauhapus” (hal 39).

Kisah kata-kata

Maka tak mengherankan pula jika menulis sajak bagi Aspahani merupakan ”upaya” untuk mencari serangkaian ”tetapi”, ”bahkan”, ”atau” dan ”kemudian”. Dengan ajaibnya, ia membentuk formula kata yang baru. Meramunya seperti eksperimen yang tak kunjung kelar. Maka kata-kata seperti berkisah dengan sendirinya. Bukan sekadar hitam putih semata. Bagaimana kata-kata melumat segalanya dalam puisi ”Rumah Kata & Tuan Rumah Kata”: Aku kehabisan ruang di rumah kata. Ruang luar dan ruang dalam kata sudah ditempati tamu dari jauh. Tamu itu kawan-kawanku sendiri. Mereka tidur, makan, dan ngobrol. Aku ketuk-ketuk pintu ruang kata itu. Mereka tak mendengarku. Rumah kata tak lagi dikawal penjaga. Siapa saja bisa masuk. Tapi apa artinya berada di dalam ruang kata? (hal 69).

Dihadapkan sebuah puisi, barangkali seperti memasuki medan perang filsafat. Setiap penyair seakan-akan menyuguhkan semua jurus yang dimilikinya untuk menghidupkan semua diksi yang disusun, direkatkan, kemudian direkam dalam pusat memori. Unsur depan sadar yang sering dibicarakan Sutardji Calzoum Bachri, lebih merupa pada langkah meditasi, yang bermula dari kata Le Duc de Luynes, Descartes melanjutkan, ”Puisi sebagaimana juga filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus.”

Pun pada Aspahani, puisi-puisinya selalu berpola filsafat. Ia seperti mendapati bagaimana cara yang lain untuk menafsirkan hidup ini. Akhirnya pada sajak-sajaknya, kita dihadapkan pelbagai pertanyaan tentang hidup itu sendiri. Barangkali dengan begitu ia akan membuat sebuah ”pernyataan” tentang hidup itu sendiri.

Kalimat magis

Aspahani adalah penyair yang ”berani” untuk membongkar liku kehidupan. Ia benar-benar lihai dalam meracik kata sehingga pembaca pun disuguhi pelbagai sketsa, yang mulanya remeh—menjadi besar.

Memang ada tema empat besar yang terangkum, sebagaimana yang terpilah dalam subbagian: Kitab Komik, Kamus Empat Kata, Malaikat Penjaga Gawang, dan Tetapi, Aku Penyair! Sajak-sajak dalam kumpulan ini lebih menarik garis merah kurang lebih sama pada subbagian tersebut. Di sana kita dihadapkan pada rangkaian kalimat magis, yang dipenuhi perenungan. Meskipun, dalam kesempatan uraian tentang dirinya, Aspahani mengatakan cenderung untuk menulis puisi yang lekas (di zaman yang lekas!), toh, bagi saya, sajak-sajaknya justru tak lekas. Terlihat upaya dirinya untuk menggali ”makna” kata yang lebih dalam lagi. Ia seperti menghidupkan setiap rangkaian jeda, sintaksis kalimat yang ada dalam puisi. Sehingga yang timbul ialah bukan puisi-puisi verbal.

Dengan lugas ia masuk dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Satu keheningan ke keheningan lain. Ia seperti membujuk kata untuk terbakar dengan sendirinya. Mungkin dengan propaganda yang tersisa dalam benaknya. Dan siap meledak! Ketika sajak itu jadi, toh saya mendapati tafsiran yang ”luas tak terperi”.

Ciri khas yang saya tangkap dari sajak-sajak Aspahani ialah ia kerap memulai sajaknya dengan huruf besar (caps lock, di keyboard komputer) pada kata pertama. Itu saya jumpai di semua sajaknya.

Dalam beberapa sajak yang ditulisnya bagi penyair semacam Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Acep Zam-Zam Noor, TS Pinang, Sitok Srengenge, dan sebagainya, terasa benar jika ia masih tetap mengikuti perkembangan puisi-puisi penyair itu. Beberapa sajak yang sudah dikenal khalayak ramai pun turut diculik. Semacam dalam sajak yang ditujukan bagi Acep: ”Bagaimana Kau Bisa Menjadi Penyair Lagi?” (bandingkan dengan sajak Acep ”Menjadi Penyair Lagi”).

ALEX R NAINGGOLANPenyair

Sang Kolonel Menembak Seto dan Membuat Pikun Istrinya Sendiri

A.S. Laksana

SESUNGGUHNYA ia berpangkat mayor, tetapi saya akan menyebutnya sebagai kolonel demi kenikmatan pembacaan. Itulah alasan resmi kenapa saya tidak menyebut pangkat orang itu apa adanya. Alasan yang lebih jujur adalah karena kosakata "kolonel" sudah memukau saya sejak lama; seperti ada gema panjang di benak saya ketika saya membaca dalam hati kata itu atau mendengar orang lain menyebutkannya. Saya kira itu terjadi karena ada sejumlah kolonel di muka bumi yang membuat saya takjub: Kolonel Khaddafi, pemimpin yang makin tua makin panjang bicara sampai-sampai penerjemahnya jatuh pingsan, Kolonel Jose Aureliano Buendia, pemimpin revolusi di Macondo yang mengurung diri di masa tua dan menjadi pengrajin ikan-ikan kecil dari emas, dan Kolonel Sanders, penjual ayam goreng yang sama sekali bukan tentara.

Maka, dengan alasan yang sepenuhnya pribadi itulah Mayor Basuki dalam cerita ini akan saya sebut sebagai Kolonel Basuki atau sang kolonel saja (tanpa Basuki). Dan, karena saya sudah menyampaikan alasan saya menggunakan sebutan kolonel, anda mestinya bisa selalu ingat bahwa jika saya menyebut sang kolonel maka orang itu sesungguhnya berpangkat mayor. Sampai di sini saya yakin kita bisa bersepakat.

Sekarang, silakan anda buka peta kota Semarang dan temukan Tugu Muda sebagai titik keberangkatan. Kita akan bergerak dari sana ke selatan, mengikuti jalanan menanjak menuju Candi Baru (di daerah ini sang kolonel tinggal), dan kita akan memulai cerita dengan percakapan yang berlangsung pada suatu hari di tahun 1986 di rumah sang kolonel. Hari itu sang kolonel, yang sebenarnya mayor, mengatakan kepada istrinya bahwa apa yang terjadi pada Tari, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan mereka, bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan karma. "Semua karena ulah Pramono," kata sang kolonel. "Kalau dia tidak membawa bajingan kribo itu ke rumah kita, Tari tidak akan mengalami nasib seburuk ini."

Sang kolonel tidak suka pada kosakata karma yang sering diulang-ulang oleh istrinya; ia merasa perempuan itu sedang menghujat atau, paling tidak, menyindir kedekatannya dengan perempuan Kaligarang yang beberapa tahun lalu menjadikan hubungan mereka berkobar sengit. Sementara itu istrinya tidak suka pada sebutan bajingan yang keluar dari mulut sang kolonel. Bagaimanapun, kata istrinya, si kribo itu ayah dari cucu mereka dan sampai sekarang Tari terus menunggu kedatangannya. "Kau sendirilah yang memintanya tinggal di rumah ini," kata perempuan itu. "Dan, kausebut apa pun dia, kalau bukan karena karma tak mungkin dia datang ke rumah kita."

Mereka membicarakan Seto, anda tahu, pemuda kribo yang pernah menyelamatkan Pramono, anak kedua mereka, dari keroyokan para kroco dan kemudian mengantarnya pulang. Di depan sang kolonel Seto menceritakan kejadian sesuai yang diwanti-wantikan Pramono sepanjang perjalanan. Karena itu sang kolonel tidak pernah tahu bahwa anaknya dikeroyok para kroco hingga lebam karena berniat kabur dari losmen tanpa membayar pelacur yang ditidurinya. Selebihnya, Seto menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya secara jujur sesuai versinya sendiri, di antaranya adalah fakta bahwa ia diusir dari rumah oleh ayahnya dan sekarang tidak punya tempat tinggal.

"Tinggallah di sini kalau begitu," kata sang kolonel. Seto berterima kasih dan sejak itu ia tinggal di rumah sang kolonel, menempati kamar belakang yang diapit oleh gudang dan kamar pembantu. Pagi-pagi ia mencuci mobil sang kolonel, malam hari ia menemani Pramono kelayapan, beberapa bulan kemudian ia meninggalkan rumah tersebut: meninggalkan benih di rahim Tari dan secarik kertas berisi puisi.

Tari berubah sejak itu. Ia enggan berangkat sekolah dan malas keluar kamar. Ketika kandungannya memasuki bulan keempat dan ujian kenaikan kelas tinggal enam minggu lagi, siswi kelas satu SMA itu mulai menunjukkan tabiat seperti anggota fanatik sebuah sekte: ia benar-benar mengurung diri di dalam kamar dan membaca berulang-ulang puisi yang dibuat oleh Seto untuknya. Ibunya, yang khawatir si bungsu menjadi gila, membuat keputusan yang ia pikir bisa menyelamatkan anak itu dari kegilaan. Ia menyuruh pembantu, yang mengantarkan makanan ke kamar Tari, untuk mencuri kertas yang dibaca anaknya kapan saja ada kesempatan. Dan si pembantu berhasil. Pada Kamis sore ia menyerahkan kertas kumal yang dicurinya dari kamar Tari kepada istri sang kolonel.

Namun upaya pencurian itu tak membawa hasil sebagaimana yang dibayangkan. Tanpa kertas puisinya, Tari kian fanatik memendam diri. Ia mengunci pintu kamarnya pada hari Jumat dan membaca puisi seperti orang mengaji seharian kendati tak ada kertas di tangannya. Sang kolonel mendobrak pintu kamar anaknya pada malam Sabtu setelah istrinya melaporkan, dengan mata sembab dan kalimat tersendat-sendat, bahwa Tari mengunci diri dan tak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya. Tari, yang sedang mengaji puisi, tidak terkejut sedikit pun ketika pintu kamarnya berderak jebol. Pada hari Minggu pagi sang kolonel mendatangkan tukang kayu untuk memperbaiki pintu; pemilik kamar terus berpuisi selama tukang itu bekerja.

Sampai anaknya lahir dan seterusnya, Tari tetap begitu dan ia baru membuat sedikit perubahan ketika anaknya memasuki usia lima tahun. Pada suatu hari di bulan Agustus, ia keluar kamar setelah selesai azan magrib dan bertahan di teras kamar hingga tengah malam, duduk di kursi goyang miliknya dan merajut kain flanel di tangannya. Anda tak akan bisa tahu apa yang ada dalam pikiran anak itu ketika ia duduk berjam-jam di kursi goyangnya; ia tak pernah membicarakan isi pikirannya kepada siapa pun. Paling banter kita hanya bisa menduga, demi kepentingan dramatik, bahwa mungkin Tari sedang membayangkan dirinya naik kuda yang mencongklang ke langit, meyakini bahwa jaraknya semakin dekat dengan juru selamat yang ia tunggu-tunggu.

Dan, jika kemungkinan itu benar, alangkah kasihan anak itu sebab sesungguhnya Seto kian jauh. Pada bulan yang sama ketika Tari mulai keluar kamar, si kribo menikahi perempuan kurus yang dijuluki cacing. Anda tahu, itu hanya pernikahan demi menyelamatkan muka. Si cacing, adik kepala gali yang menguasai bagian utara Semarang, sudah hamil enam bulan dan tidak pernah mau mengaku siapa yang telah mencangkul dan menghamilinya. "Perintahkan salah satu anak buahmu untuk menikahinya. Tidak apa-apa kalaupun hanya bertahan seminggu, yang penting ia resmi menikah," kata ayah si cacing kepada anaknya yang menjadi gali.

Kakak si cacing meminta Seto. Dan itu permintaan yang susah ditolak. Kepala gali daerah utara itulah yang menjadi pelindungnya di awal-awal Seto menguasai Kandang Wong, markas para gali Semarang Barat, setelah Marsudi ditemukan mati di selokan. Maka, Seto menikahi si cacing meski ia tidak lagi memiliki batang lingga. Perangkat itu, yang membuat Tari hamil, telah dipotong tiga tahun sebelumnya, pada dinihari di dekat kuburan, oleh dua algojo suruhan sang kolonel yang selama berbulan-bulan melacak jejak Seto.

MENGENAI pernikahan Seto itu, tak seorang pun di rumah sang kolonel tahu atau mendengar kejadiannya. Saya kira itu sebabnya kenapa istri sang kolonel sesekali masih mendesak suaminya agar menemui Seto (bahkan sampai bertahun-tahun setelah si kribo tertembak mati) dan membawanya pulang demi keberesan Tari, namun sang kolonel memiliki gagasan yang berbeda tentang cara menyembuhkan anak bungsunya. Pada Selasa pagi, sebelum ia dan istrinya sepenuhnya terjaga, sang kolonel menyampaikan bahwa sebaiknya Tari diperiksakan. Gagasan itu membuat mata sang istri berpijar seperti matahari pukul sembilan kendati saat itu baru pukul setengah lima.

"Jadi kau menganggap anakmu gila?" istrinya melengking. "Aku tidak akan membawanya ke dokter mana pun selama aku masih sanggup mengurusnya sendiri. Ia hanya menderita karena karma darimu."

"Aku hanya usul," kata sang kolonel. "Kenapa kau selalu menyalahkan aku?"

"Kau main serong dengan perempuan itu dan sekarang anakmu menanggung akibatnya," kata istrinya.

Sang kolonel bersumpah bahwa hubungannya dengan perempuan Kaligarang sudah berakhir. "Kau tahu, aku meninggalkannya sehari setelah kita ribut," katanya. Itu pernyataan bohong, anda tahu, sebab sang kolonel sebulan sekali masih menjumpai pacarnya, perempuan Kaligarang yang sekarang tinggal di Ungaran.

"Maafkan aku," kata istrinya.

Perempuan itu mengatakan bahwa ia sangat tertekan sejak Tari mendapatkan nasib buruknya. Sang kolonel, di saat istrinya melunak, memberi saran-saran klise kepada istrinya untuk tabah dan selalu berpikir positif. Dan ketika ia melihat istrinya sudah agak tenteram, tumbuh lagi keinginannya untuk membuka pembicaraan tentang kemungkinan membawa Tari ke dokter--kali ini dengan cara yang agak melingkar. Ia mula-mula menyampaikan rasa kasihannya kepada Tari. Menurutnya, tidak mungkin anak bungsunya itu dibiarkan menunggangi kursi goyang seharian, menusuk-nusuk kain flanel untuk membuat kruistik dengan gambar perahu atau gunung dan membongkarnya lagi setelah gambar itu jadi. "Kurasa tidak baik jika ia terus begitu," kata sang kolonel. "Jadi, menurutku, ia tetap perlu diperiksakan."

Menanggapi perkataan suaminya, sang istri tetap mengatakan, di tengah isak yang belum reda seluruhnya, bahwa itu juga kesalahan sang kolonel. "Kau juga yang memberikan hadiah kursi goyang itu di hari ulang tahunnya," katanya.

"Karena aku kasihan ia duduk seharian di kursi biasa," kata sang kolonel.

"Jika kita membawanya ke dokter, semua orang akan menganggap anak kita gila," kata istrinya. "Lebih baik kautemui Seto dan bawa ia kemari."

"Bajingan itu tak pernah bisa kutemui sejak ia meninggalkan rumah ini," kata sang kolonel.

Itu pernyataan yang sama bohongnya dengan sumpah sang kolonel tentang perempuan Kaligarang. Dua tahun sebelum pagi itu, kira-kira enam bulan sebelum dilangsungkannya pembantaian terhadap para gali pada tahun 1984, sang kolonel sudah pernah menemui Seto di Kandang Wong. Ia mencabut pistol dari pinggangnya dan mengarahkan moncong senjata tersebut dekat sekali ke kepala Seto. "Sampaikan salam saya untuk Tari seandainya hari ini saya mati," kata Seto. "Sampaikan maaf saya kepada ibu dan seluruh keluarga. Sampaikan rasa cinta saya kepada anak yang dilahirkan oleh Tari. Sampaikan...."

Sang kolonel seperti mendengar seseorang yang mengigau sebelum mati dan menitipkan banyak sekali pesan dalam racauannya. Amarahnya membludak tak tertahankan; tubuhnya gemetar hebat dan sebentar kemudian ia pingsan. Sang kolonel tidak pernah menceritakan peristiwa tersebut kepada istrinya. Ia hanya menyesali kenapa tidak menembak mati bajingan itu. Ia tak tahu kenapa tangannya gagal menarik pelatuk. Dan, lebih dari itu, ia bahkan meluluskan permintaan istrinya ketika perempuan itu memohonkan hidup bagi Seto. "Bantailah semuanya, tetapi jangan Seto," kata istrinya. "Ia ayah cucumu."

Maka Seto selamat ketika sebagian besar anak buahnya mati dalam operasi pembantaian. Ia menghilang dan baru muncul lagi di Semarang satu setengah tahun kemudian di sebuah toko lemari besi. Di situ ia berlagak hendak membeli lemari besi yang paling kuat dan peti kecil untuk menyimpan uang. Pemilik toko menunjukkan barang yang ia tanyakan dan mengatakan bahwa itu lemari dan peti besi paling kokoh dan paling aman dibandingkan yang lain-lainnya. Kepadanya Seto meminta ditunjukkan cara kerja kunci lemari dan peti itu sehingga ia bisa yakin bahwa kedua barang yang hendak dibelinya itu benar-benar kokoh.

Setelah permintaannya dipenuhi, Seto meminta ditunjukkan model pengamanan pada lemari-lemari besi yang lain. Dan ia kemudian membuat kesimpulan: "Memang yang paling mahal itulah yang terbagus pengamanannya. Aku akan meyakinkan bosku untuk membeli lemari dan peti yang paling mahal itu. Besok aku kemari lagi."

Ia keluar dari toko itu dan tidak pernah kembali pada hari berikutnya atau kapan pun. Ia justru muncul lagi di pabrik kunci dan gembok dan diterima bekerja di sana. Di antara teman-teman sepabriknya, ada satu orang yang terdengar sangat takabur dan mengakui bahwa ia sanggup membongkar kunci apa saja. Katanya, ia telah menolong banyak orang di kampungnya dan orang-orang di kampung sebelah yang kehilangan kunci lemari atau kunci rumah. Kepada orang itu Seto mengatakan bahwa kelihatannya mereka bisa bekerja sama.

Istri Seto tampak lebih tenteram sejak suaminya bekerja seperti orang-orang lain--berangkat pagi, pulang sore, dan menerima gaji yang tidak besar di akhir bulan. Di luar jam kerjanya di pabrik, Seto menghabiskan waktu di kamar untuk menekuni segala jenis kunci dan gembok. Lihatlah, ia menghadapi kunci dan gembok seperti anak sekolah menghadapi kertas ulangan. Si cacing merasa kehidupan sedang berjalan menuju normal. Di mata perempuan itu, suaminya tampak mulai menyukai rutin dan keajekan, dan itu sungguh perubahan yang besar.

Dan si cacing keliru.

SETO memang sedang berubah, namun bukan untuk menjadi buruh pabrik. Dari buku Bagaimana Para Detektif Bekerja, yang ia beli suatu sore sepulang dari pabrik, Seto menjadi tahu bagaimana tidak membuat kesalahan yang biasa dilakukan oleh para penjahat ulung. Kini ia menjadi orang yang sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Ia memperhitungkan segala hal, termasuk bagaimana melatih sikap tenang jika kelak ia menjalankan apa yang ia rencanakan.

Sebuah buku lain, Tata Rias dalam Perfilman, yang ia pungut dari rak toko buku beberapa saat sebelum toko itu tutup, memberinya gagasan tentang pemalihan rupa. Untuk mudahnya, kita sebut saja bahwa ia mencuri buku tersebut karena ingin menjadi Dasamuka. Menurutnya, jika orang memiliki sepuluh wajah, ia niscaya bisa melakukan apa saja lebih leluasa dan tak akan ada orang lain yang bisa mengenali wajah aslinya sebab esok hari ia sudah berwajah lain. Atau mungkin tiap hari ia bisa menampilkan wajah yang berbeda, sehingga orang yang ia temui kemarin tak bisa mengenalinya hari ini, dan yang ia temui hari ini tak akan mengenalinya besok, dan seterusnya. Dan Seto mulai mewujudkan gagasan tersebut dengan memotong rambut kribonya dan selanjutnya berusaha mendapatkan, dengan segala cara, beberapa model rambut palsu untuk ia kenakan berganti-ganti.

Kelak, dengan bantuan dua orang, yakni temannya di pabrik yang mampu membongkar semua jenis kunci dan seorang perias artis yang sudah jarang mendapatkan pekerjaan, Seto menjalankan aksinya untuk membongkar pelbagai lemari besi dan peti uang. Sepanjang kariernya sebagai pembobol, ia berhasil membongkar 14 lemari besi, mengeruk isi 12 peti uang, dan mengumpulkan sekitar Rp 230 juta yang sebagian ia habiskan untuk berfoya-foya dan merias wajahnya.

Ia mati dalam rupa pedagang barang rongsokan, lima hari menjelang ulang tahun kesepuluh anak Tari. Sang kolonel menembaknya pada sebuah petang, tepat di jidat, ketika kepala Seto menyembul dari balik tembok belakang rumah. Anda tahu, Seto tidak berniat menggarong di rumah sang kolonel. Ia hanya merasakan dorongan kuat untuk datang lagi hari itu ke rumah sang kolonel, menjenguk Tari dan anaknya, namun ia tidak memiliki keberanian untuk mengetuk pintu depan. Begitu kepalanya menyembul, ia menyaksikan Tari menunggangi kursi goyang di teras kamar dan anaknya berlari-lari pecicilan di pekarangan. Dan ia terpaku beberapa saat oleh pemandangan itu.

Pada saat yang bersamaan, istri sang kolonel hendak menutup jendela kamarnya dan ia terkesiap menyaksikan sebutir kepala menyembul dari balik tembok belakang. Sang kolonel, yang baru pulang dari kantor, segera meraih pistolnya dan menembak kepala tersebut. Sampai datang mobil jenazah yang membawa mayat Seto ke rumah sakit, dan mungkin sampai bertahun-tahun kemudian, sang kolonel tetap menyangka bahwa petang itu ia menembak seorang pemulung yang berniat menggarong rumahnya.

Tari terus menunggang kursi goyangnya. Dan istri sang kolonel menjadi tampak pikun di usia 55; ia semakin sering mendesak suaminya agar menemui Seto dan membawanya ke pulang demi anak bungsu mereka.

A.S. Laksana tinggal di Jakarta. Buku cerita pendeknya adalah Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004).

Pada suatu hari di bulan Agustus, Tari keluar kamar setelah selesai azan magrib dan bertahan di teras kamar hingga tengah malam, duduk di kursi goyang miliknya dan merajut kain flanel di tangannya. Anda tak akan bisa tahu apa yang ada dalam pikiran anak itu ketika ia duduk berjam-jam di kursi goyangnya; ia tak pernah membicarakan isi pikirannya kepada siapa pun. Paling banter kita hanya bisa menduga, demi kepentingan dramatik, bahwa mungkin Tari sedang membayangkan dirinya naik kuda yang mencongklang ke langit, meyakini bahwa jaraknya semakin dekat dengan juru selamat yang ia tunggu-tunggu.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman