tag:blogger.com,1999:blog-66774919881234340802024-03-12T21:59:25.957-07:00TamukuTamumuUnknownnoreply@blogger.comBlogger105125tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-87133680359173272562011-01-24T08:09:00.000-08:002011-01-24T08:12:58.809-08:00Musikalitas Teater Tutur Lampung<p>Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.<br />Minggu, 23 Januari 2011<strong><br /></strong></p><p>Iwan Nurdaya Djafar<br /></p><br />Dalam tulisan Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan (Lampung Post, 19-12-2010), saya menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Sementara metode penyebarannya dalam bentuk teater tutur merupakan seni yang mandiri (otonom). Teater tutur Lampung klasik, hemat saya, termasuk ke dalam wilayah seni suara dan/atau musikalisasi puisi. Dalam bahasa Lampung disebut bedendang atau belagu.<br /><br />Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama. Teater tutur umumnya bersifat hiburan dan edukatif (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984). Definisi barusan tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bubandung, tangis, mardinei, dan lain-lain.<br /><br />Terdapat perbedaan di dalam menuturkan aneka ragam teater tutur orang Lampung di atas. Menuturkan salah satu teater tutur itu, bubandung, misalnya, harus dengan lafal dan intonasi yang tepat. Di berbagai tempat, intonasi atau lagu yang menyertai ucapan ketika menuturkan bubandung berbeda-beda. Beda dialek beda pula intonasinya.<br /><br />Demikian pula dengan pisaan, yang berasal dari kata pesi yang berarti periksa. Karena pisaan mengandung maksud yang tersembunyi maka harus diperiksa (dipesi). Pisaan dituturkan tanpa terikat oleh tempat dan waktu tertentu dan dikenal pada masyarakat Lampung Pubian, Sungkai, dan Way kanan. Pisaan ialah seni suara, lagu klasik atau sejenis pantun yang mengandung kata-kata sindiran atau berupa rangkaian cerita kuno. Adakalanya pisaan dipergunakan pada saat melepas keberangkatan seorang gadis menuju rumah calon suaminya dan pada saat bujang gadis dalam suatu pertemuan muda-mudi untuk menyatakan kasih cinta.<br /><br />Menilik isinya, ada bermacam-macam pisaan, yaitu pisaan sedih, gembira, riwayat, peristiwa, sindiran, ungkapan hasrat bujang kepada gadis, atau apa saja dapat menjadi tema pisaan. Sebelum menuturkan pisaan lazimnya diawali dengan kata: "Kita puuun...” maksudnya, sebagai pertanda seseorang akan ber-pisaan.<br /><br />Menilik bentuknya, pisaan dapat disebut pantun berantai atau pantun berkait: baris keempat pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, baris keempat bait kedua menjadi baris pertama bait ketiga, dan seterusnya.<br /><br />Teater tutur lain, yaitu incang-incang. Jumlah baitnya tidak terikat, antara lima sampai sembilan bait. Tiap bait terdiri atas empat larik dan bersajak a-b-a-b. Larik pertama dan kedua berupa sampiran, sedangkan larik ketiga dan keempat berupa isi. Maka, incang-incang sama dengan pantun. Isinya bukan hanya berupa senandung untuk meninabobokan anak dalam bentuk petuah, pesan, nasihat yang bersifat jenaka dan menghibur, namun bisa meluas sampai ke pantun cinta-kasih atau tema lain. Incang-incang terpelihara pada marga Lampung Pubian. Manakala dituturkan, irama incang-incang ada bermacam-macam, di antaranya: irama pubian daghak (pubian darat), irama pubian doh (pubian hilir), dan irama pisaan.<br /><br />Adapun pada ragam babagh bunyi sughat yang berarti menyampaikan sesuatu melalui surat, sering juga disebut ngehidu, karena pada setiap pergantian kalimat (ganti pematang) sang pelantun akan melontarkan kata hi … du …-- atau jeda untuk mengambil napas panjang untuk melantunkan kalimat selanjutnya.<br /><br />Begitu pula dengan muayak (wayak) yang berasal dari kata waya berarti senang atau gembira. Senang karena pekerjaan dilaksanakan sambil melantunkan pantun atau lagu dengan nada yang nyaring.<br /><br />Muayak biasanya dilakukan pada saat acara kebuah kecambay, papulangan, jebus, belin muli meghanai, nattak teba (gotong royong), pesta sekura (topeng), atau dalam suatu acara pertunjukan di luar itu. Muayak dituturkan oleh orang yang sudah dewasa atau remaja yang akan meningkat dewasa (muli meghanai tameghanjak). Sesuai dengan fungsinya, muayak sering dikatakan masak layu (matang sebelum waktunya) atau anak bergaya bujang, karena tidak sesuai dengan pelantunnya.<br /><br />Sebagaimana halnya pantun, muayak terdiri atas empat baris per bait, bersajak a-b-a-b, dua baris pertama merupakan sampiran, dan dua baris terakhir adalah isi. Jumlah bait bergantung pada muayak itu sendiri, tapi biasanya antara 8-12 bait.<br /><br />Pada masyarakat Belalau, Lampung Barat, muayak terdiri dari tiga macam sujak (jenis) yaitu muayak sujak jebus, muayak sujak pulangan, dan muayak sujak kecambay. Muayak sujak jebus adalah muayak yang dilantunkan dengan nada tinggi yang dikenal dengan istilah nguin (melengking) mulai dari awal hingga akhir. Maksudnya, agar apa yang dilantunkan terdengar oleh orang walaupun dari jauh. Muayak jebus dilaksanakan pada saat kita akan berkunjung ke suatu desa (pekon), sebagai tanda kita akan berkunjung ke desa itu. Pada jarak kira-kira 40 meter menjelang desa yang dikunjungi, muayak sujak jebus dilantunkan sebagai pemberitahuan kepada gadis-gadis yang ada di desa tersebut bahwa akan ada tamu yang datang sehingga mereka bersiap-siap untuk menerimanya.<br /><br />Muayak sunjak pulangan adalah muayak yang dilantunkan dengan nada sedang dan lazimnya diawali dengan kata "ai ... ai ..." serta di antara bait demi bait diselingi dengan kata "ai.. ai..." pula. Muayak pulangan ini dilantunkan oleh bujang dan gadis pada saat berlangsungnya acara perpisahan seorang gadis yang akan berumah tangga terhadap teman-temannya yang ditandai dengan saling memaafkan. Acara pulangan dilaksanakan di suatu tempat yang telah ditentukan. Bujang gadis saling melantunkan muayak pulangan yang berisi pesan-pesan dan harapan-harapan yang bukan hanya ditujukan kepada gadis yang akan berumah tangga, tetapi juga kepada teman-teman yang lain.<br /><br />Muayak sujak kecambay yaitu muayak yang dilantunkan dengan nada bervariasi antara nada tinggi dan nada rendah, atau menggunakan sujak jebus dan sujak pulangan dan biasanya dibawakan secara bersamaan antara kelompok bujang dengan kelompok gadis.<br /><br />Fungsi muayak seirama dengan isi, lagu dan cara melantunkannya. Pertama, sebagai sarana informasi yang komunikatif dan bersifat mendidik karena dalamnya terkandung pesan, nasihat dan ajaran yang berguna dalam membentuk perilaku manusia untuk berperilaku jujur, berbuat baik dan memiliki rasa tanggung jawab dalam kehidupan dan penghidupan. Kedua, sebagai sarana hiburan; karena dilantunkan dengan menggunakan lagu dan irama yang disebut sujak. Ketiga, sebagai sarana ekspresi nilai-nilai kehidupan, misalnya menyatakan betapa pentingnya kebersamaan, toleransi dan rasa persatuan dalam mencapai suatu tujuan.<br /><br />Menilik riwayatnya, pada zaman dahulu muayak dilantunkan pada saat tertentu saja dengan suara lepas tanpa musik pengiring. Namun dalam perkembangannya muayak dapat dilantunkan dalam bentuk bersahutan (dialog) dan disertai musik pengiring berupa gamolan/kulitang peghing (bambu), talo (tala) dan ghujih. Pada tahap ini, yang terjadi adalah suatu musikalisasi puisi, karena kegiatan bedendang atau belagu di situ sudah dilengkapi dengan alat musik.<br /><br />Selanjutnya kita lihat teater tutur bubandung. Secara harfiah bandung berarti "bertemu" (butungga). Bentuk puisi tersebut disebut bandung karena disampaikan pada suatu perjumpaan (pertemuan). Bubandung terdapat di Lampung Selatan, berupa sejenis pantun klasik yang biasa dipakai dalam acara bujang gadis menurut adat yang disebut ngediyow, yaitu upacara cangget atau tarian yang dilakukan bujang gadis; seraya menari mereka bubandung atau pantun bersahut. Isi bubandung seringkali merupakan kata kiasan tanam tumbuhan, dilakukan dengan irama naik turun dan keras.<br /><br />Terdapat lima macam bubandung. Pertama, bubandung usul yang berisi suatu ajaran terutama keyakinan atau ideologi yang perlu ditanamkan kepada pendengarnya, kadangkala merupakan ajaran agama dari sabda Rasul (taghosul). Kedua, bubandung santeghi, berisi nasihat tentang keimanan atau nasihat tentang keyakinan dalam menjalankan perintah agama atau nasihat keagamaan. Ketiga, bubandung amanat, yang berisi pesan-pesan atau amanat, hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan fisik dan mental.<br /><br />Keempat, bubandung kediyoan, yang berisi curahan hati perasaan seseorang, pemecahan persoalan yang dihadapi dan dilaksanakan pada malam ngediyo (malam yang keesokan harinya berlangsung begawi adat). Kelima, bubandung cerita, misalnya kisah seorang anak yang melalaikan perintah orang tua, dll.<br /><br />Ciri-ciri bubandung: (1) umumnya tiap bait terdiri atas empat larik, (2) pada bait awal terdapat mukadimah (pembukaan), (3) berisi amanat, nasihat keagamaan atau kemasyarakatan; (4) bersajak a-b-a-b (sajak silang), (5) berirama/nada minor, (6) semua baris merupakan isi/pesan yang ingin disampaikan.<br /><br />Bubandung dituturkan pada acara pernikahan, peringatan hari besar Islam, pada saat keluarga besar berkumpul, upacara khitanan dll. Menuturkan bubandung harus dengan lafal dan intonasi yang tepat. Di berbagai tempat, intonasi atau lagu yang menyertai ucapan ketika menuturkan bubandung berbeda-beda. Beda dialek beda pula intonasinya.<br /><br />Berikut contoh lagu atau intonasi pada bubandung amanat. Karena pola persajakannya bersifat statis maka lagu atau intonasi untuk bait-bait selanjutnya sama dengan bait pertama:<br /><br />Untuk kepentingan pengajaran, disarankan agar semua bentuk teater tutur orang Lampung dituangkan dalam bentuk notasi seperti contoh di atas, sehingga diperoleh takaran suara yang tepat, baik tinggi-rendah atau panjang-pendek nadanya, cepat-lambat temponya, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan penelitian yang menyeluruh atas aspek musikalitas teater tutur Lampung.<br /><br />Iwan Nurdaya Djafar, budayawanUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-58189540458425686862011-01-15T18:34:00.000-08:002011-01-15T18:35:16.317-08:00Membaca Sejarah secara Fiksional<table width="600" border="0" cellpadding="2"><tbody><tr><td><img src="http://lampungpost.com/img/logo_cetak.gif" border="0" /><br /><br />Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.<br />Minggu, 16 Januari 2011</td></tr> <tr><td><img src="http://lampungpost.com/img/bening.gif" width="1" border="0" height="10" /></td></tr><tr><td class="judul"><br /></td></tr> <tr><td><p>"...sebuah cincin Saibatin Sekala Bgha bergambar ukiran harimau kesayangannya yang tetap setia melingkari jari manis sang ratu merupakan tanda percumbuan imajiner itu. Kemesraan mistik itu pula yang membuat Sekeghumong tidak memilih kuda atau binatang peliharaan lainnya. Ia memilih bayi harimau jantan sebagai peliharaannya. Diasuhnya harimau itu dengan kasih seorang ibu."</p> <p>BEGITULAH M. Harya Ramdhoni gaya M. Harya Ramdhoni menggambarkan secara fiksional sejarah Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat melalui novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau yang diterbitkan BE Press, Lampung, Januari 2011. Ia padukan antara fakta sejarah dan fiksi. Para tokoh dalam novelnya seperti La Laula, Taruda, Rakian Sekehandak, Dapunta Hyang Jayanaga dan lain-lain merupakan individu-individu yang pernah hidup pada masanya masing-masing. Begitu pula demikian dengan nama kerajaan, dinasti, tempat, aksara, suku, dan benda, semuanya fakta sejarah. Ramdhoni, pria yang lahir di Solo itu, menceritakan kehebatan Ratu Sekeghumong yang mempertahankan adat leluhurnya. Sekeghomong bangga dengan hidup kesederhanaan.</p> <p>Mengapa menulis novel dan bukan buku sejarah, Ramdhoni menyatakan argumennya. "Pertama, saya bukan sejarawan. Kedua, karya sastra merupakan senjata yang ampuh untuk mentransfer ilmu," katanya saat peluncuran novel itu di aula Lampung Post, Sabtu (15-1) siang. Bukan tanpa bukti ia mengatakannya. Suatu hari, Ramdhoni pernah bertanya kepada teman-teman adiknya, mana lebih suka buku sejarah atau novel sejarah. Serempak mereka menjawab, "Novel!" Akhirnya, Ramdhoni memberikan mereka sebuah novel karya Pramoedya Ananta Tour. Hasilnya tak dinyana. Beberapa hari kemudian, anak-anak sekolah itu meminta novel lanjutannya. Dari situ, Ramdhoni berkesimpulan, ternyata karya sastra lebih memikat!</p> <p>Krisis identitas dan budaya Lampung di kalangan kawula muda mengetuk juga mengetuk pintu hati Ramdhoni. Pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Kebangasaan Malaysia (UKM) itu ingin menyegarkan ingatan mereka. Namun, Ramdhoni ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Kebetulan, ia hobi menulis puisi. Bahkan, sebelumnya ia sudah pernah menulis novel, tetapi gagal karena aktivitasnya yang sibuk. Akhirnya, Ramdhoni mencoba menuliskan novel sejarah Kerajaan Skala Brak, Lampung Barat.</p> <p>Selain itu, ia yakin karya sastra bisa membangkitkan gairah masyarakat. "Kenapa saya menulis Kerajaan Skala Brak? Karena saya orang sana. Menulis tentang asal-usul kita sendiri lebih emosional daripada dituliskan orang lain," kata Ramdhoni yang siang itu mengenakan kaus berkerah garis-garis.</p> <p>Penyair Iswadi Pratama mengakui secara keseluruhan novel Perempuan Penunggang Harimau cukup komprehensif. Data-data yang dipaparkan teruji secara empirik. Sebab, penulisnya merupakan akademisi. Namun, ada beberapa bagian yang dikritiknya. Iswadi menjelaskan pada Bab I Halaman 1 dikatakan "ada seorang bayi perempuan dilahirkan". Lalu, pada halaman berikutnya dikatakan, "puluhan purnama ia menanti bayi itu". Menurut Iswadi, seorang perempuan mengandung hanya 9 bulan, bukan puluhan bulan. "Di sini ada ambiguitas. Masalahnya, kalimatnya diletakkan berdekatan," kritik Iswadi. "Mungkin maksudnya, saking terlalu lama. Dalam literer ini yang saya maksud ketaksaan berbahasa," katanya.</p> <p>Pada bagian lainnya, kata Iswadi, Ramdhoni menuliskan “mereka berpelukan bahagia. ia mencium keningnya”. Lalu dikatakan, “air matanya menetes membasahi pipi ibunya”. Semestinya, kata Iswadi, air mata itu jatuh ke orang yang dipeluknya, bukan ibunya. Selain itu, bahagia dan sedih merupakan dua hal yang berlawanan. "Ini memang tidak penting tapi, lebay. Hanya, saya sebagai pribadi membayangkan pergolakan tokoh-tokoh di novel ini. Habisnya, tidak ada lagi sih yang bisa dikritik dari novel ini," ujar Iswadi terkekeh yang juga disambut gelak tawa peserta yang hadir dalam launching buku tersebut.</p> <p>Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau ditulis secara konvensional. "Ada sinopsis, prolog, dan epilognya," ujar Djadjat.</p> <p>Menurut Djadjat, novel ini penting karena bisa menjadi oasis bagi masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam "dedikasi" dari pengarangnya untuk mengingatkan pada masa lalu Lampung yang sudah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang. "Novel ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak bahwa banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif."</p> <p>Menurut Djadjat, karya sastra bisa memengaruhi masyarakat. Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuliskan masalah pendidikan di Pulau Belitong, Bangka Belitung. Dampaknya, masyarakat Belitong khususnya, para siswa, menjadi rajin sekolah.</p> <p>Djadjat mencatat ada beberapa hal yang mengganjal dari novel ini. Ketika asyik menikmati "tempo doeloe" dalam novel ini, tiba terselip kata-kata baru, bukan dari bahasa lama. "Misalnya, kata "sialan". Bukankah kata "sialan" lebih kita kenal sebagai ungkapkan dalam bahasa betawi. Saya masing ingat ketika ke Jakarta pada 1970-an. Saya mendengar perkataan itu, 'sialan loe'," kata Djadjat.</p> <p>Begitu pula kata "Pakdalom". Namun, penyair Anton Kurniawan menolak kata "Pak" sebagai bahasa baru karena kata ini sering dipergunakan dalam khazanah bahasa Lampung.</p> <p>Pujangga kelahiran Lampung Timur, Binhad Nurrohmat, mengatakan jarang sekali suku di Indonesia yang mempunyai aksara. Lampung merupakan salah satu provinsi yang kaya akan situs dan aksara. Dia percaya tradisi bercerita muncul dengan watak bahasa tertentu. Namun, ia mengaku kesulitan dengan bahasa latin. Pasalnya, kata Nurrohmat, kita tidak bisa melakukan modifikasi terhadap bahasa latin. "Saya curiga berhentinya budaya cerita di Indonesia karena kita berhenti dengan aksara pahlawan," ujarnya yang mengaku karya Ramdhoni menyelematkan masa silam.</p> <p>Kehadiran novel Perempuan Penunggang Harimau adalah kembalinya tradisi cerita setelah sekian lama tenggelam. "Lampung punya potensi itu karena Lampung mempunyai aksara," tegasnya. Artinya, setelah ini kita pun berharap sastra Lampung semakin bersinar sebagaimana dikatakan budayawan Iwan Nurdaya Djafar, novel karya Ramdhoni menjadi semacam penyelamat bagi masa depan sastra klasik Lampung. Semoga. (HENDRY SIHALOHO/P-1)</p></td></tr></tbody></table>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-82032418979762123292011-01-08T23:22:00.000-08:002011-01-08T23:23:58.588-08:00Kritikus Seni Sudah Mati<div class="c_blue_kompas font11 pb_10 pt_3">Minggu, 9 Januari 2011 | 03:27 WIB</div> <div class="img620 pt_10"><img alt="" src="http://stat.k.kidsklik.com/data" /></div> <p align="center"><strong>Arif Bagus Prasetyo</strong></p><p>Temu Sastrawan Indonesia III di Kota Tanjung Pinang pada 28-31 Oktober menyoroti mendung krisis kritik sastra yang sejak lama dirasakan merundung ranah kesusastraan kita. Sastra Indonesia mutakhir dianggap tumbuh nyaris tanpa kritik. Diperlukan upaya serius dalam meningkatkan jumlah ataupun mutu kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini.</p><p>Kritikus sudah mati, kata Profesor Ronan McDonald dalam The Death of the Critic (2007). Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad ke-20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan. Kritikus seni menjadi sosok panutan yang sabdanya diyakini berbobot istimewa dan layak ”diimani” khalayak. Pada era postmodern abad ke-21 sekarang, aspek hierarkis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni.</p><p>Dewasa ini, palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil alih oleh khalayak umum: blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol.</p><p><strong>Demokratisasi</strong></p><p>Respons terhadap seni telah mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan, nyaris dalam hal apa pun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya. Opini awam tak lebih rendah daripada komentar pakar. Lihatlah acara talk show di TV yang melibatkan partisipasi penonton di studio atau di rumah. Pihak yang berkuasa menentukan pemenang kompetisi seni semacam Indonesia Mencari Bakat atau Indonesian Idol bukanlah dewan juri yang kompeten di bidang seni, melainkan para penonton TV yang mengirim SMS dukungan kepada peserta. Ingat pula bagaimana proses hukum bisa dipengaruhi oleh suara para Facebooker dalam kasus Bibit-Chandra.</p><p>Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara ”mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus makin tidak dibutuhkan karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Brian Hieggelke, sambil menyebut sejumlah nama kritikus profesional yang diberhentikan dari media tempatnya bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.</p><p>Di lapangan sastra, menurut McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto ”kematian pengarang” yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. ”Kematian pengarang” telah memerdekakan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Akibatnya, kritikus pun menjadi ”mati” karena otoritasnya sebagai agen penilai-penafsir karya telah direbut pembaca. Kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh khalayak pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.</p><p>Pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang ”maksud karya” atau ”maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya dan menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya.</p><p>Namun, sejak Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan yang tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak berisi apa pun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. ”Kematian pengarang” adalah momen ”kelahiran pembaca”.</p><p>Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka ”kematian pengarang” tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk ikut bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas yang dirayakan khalayak pembaca.</p><p>Kalau begitu, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. ”Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi.</p><p>Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra pada masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok ”mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong ”kayu sastra” demi memberinya makna baru.</p><p>Pada zaman sekarang, kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya.</p><p>Pada era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra tidak perlu berupaya membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan.</p><p>Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra pada masa kini sebaiknya berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya karya sastra.</p><em>Arif Bagus Prasetyo Penulis; Tinggal di Denpasar </em>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-57211065137681016752010-12-25T21:07:00.000-08:002010-12-25T21:08:34.136-08:00Pohon Jejawi (Budi Darma)<div class="judul_kecil"><strong>CERPEN</strong></div> <div class="judul_artikel">Pohon Jejawi</div> <div class="c_blue_kompas font11 pb_10 pt_3">Kompas, Minggu, 26 Desember 2010 | 03:10 WIB</div> <div class="img620 pt_10"><img alt="" src="http://stat.k.kidsklik.com/data" /></div> <p align="center">Oleh<strong> Budi Darma</strong> </p> <p>Jangan buka peta Surabaya hari ini, tapi, bukalah peta Surabaya pada akhir tahun 1920-an, atau paling muda awal tahun 1930-an, ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Waktu itu, jalan dan kampung bernama ”kedung” tidak sebanyak sekarang. Hanya ada satu pada waktu itu, yaitu Kedung Gang Buntu.</p> <p>Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan ”kedung” karena di situ ada sebuah ”kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan ”buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat.</p> <p>Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan, Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu.</p> <p>Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa.</p> <p>Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari tempat-tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa apa lagi pasti ada. Seharusnya ada kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya bunuh diri dapat dicegah</p> <p>Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal Amsterdam turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua malam di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah insinyur ini tampan tapi sombong, tampak pandai tapi konyol pula, jalannya digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip pemain sepak bola, tapi bukan sepak bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja.</p> <p>Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan wali kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit tuberkulosis. Dalam hati Henky van Kopperlyk berkata garang: ”Vini, Vidi, Vici,” dengan lagak Julius Caesar ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum Masehi dengan mudah mengalahkan Raja Parnaces II di Zile, wilayah Turki sekarang.</p> <p>Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih menyembunyikan istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai istrinya, tapi juga, dan inilah yang penting, dia agak malu. Nanti-nanti sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang, istrinya akan diselundupkan ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota.</p> <p>Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan, pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih dari empat ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer sambil merentangkan tangan mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup. Dua puluh orang pun mungkin masih kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin bagian selatan, pohon jejawi dianggap keramat.</p> <p>Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi, meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling berbisik.</p> <p>Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang Perang Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan Sitti Margopoh di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun 1908-1910, serta perkelahian antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas Roemeltje pada tanggal 4 Februari 1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya.</p> <p>Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang ke tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda. Memang, akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut hukum internasional diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk berunding, dan sesuai dengan kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian, sama sekali tanpa pengawal. Ternyata Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding, tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai, kemudian dibuang ke Makassar.</p> <p>Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan berbisik-bisik. Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik itu datang dari berbagai suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang menyangkut semua suku bangsa di Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang Jawa. Tidak sama pula dengan pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku bangsa Minang di Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an.</p> <p>Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai sesajen dan doa-doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun sebelum Henky van Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki Belanda yang tiba-tiba kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini bertualang di Kalimantan, menginap di tempat tinggal kepala suku, lalu meminang anak perempuan kepala suku. Malam itu juga keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke Surabaya.</p> <p>Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Tidak ada peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya. Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan kencing, barulah dia tahu bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa.</p> <p>Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky van Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon jejawi itu sampai ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi.</p> <p>Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak buahnya, baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju. Berbahaya. Maka, setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van Kopperlyk memberi tahunya terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba linglung, ada pula pembesar yang tampak sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas anak laki-lakinya lumpuh, dan banyak contoh lain.</p> <p>Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia tidak mau diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya mengenai masalah-masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan matanya terbuka, dia sengaja tidak melihat apa-apa.</p> <p>Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan beberapa orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys, pengarang Indo Belanda kelahiran Semarang.</p> <p>Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang menurut dia ”inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis. Dalam suratnya kepada Rob Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya sebagai wartawan, dia akan berjuang mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai dengan terompet tanda kiamat ditiup para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia. Bangsa inlander ini, tegas Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.</p> <p>Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama bangsa Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada jantungnya, tapi pada punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih, perempuan pribumi asal Jawa Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina ini. Kawin resmi, bukan kawin bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan nyai, sebutan resmi gundik-gundik Belanda.</p> <p>”Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon penghuni neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru sambil tersenyum, seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya. Henky van Kopperlyk merasa menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia berhadapan dengan perempuan pribumi, jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya untuk mengawini pribumi ini hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan mempunyai istri pribumi. Karena setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau gambarnya, langsung jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir setiap hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari Perak, lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal Mojokerto, atau mungkin Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo.</p> <p>Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak, yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi istrinya, Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap menginjak-injak kepala suaminya.</p> <p>Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja Henky van Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya perempuan pribumi, dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan seorang joki gagah perkasa, dia tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang joki benaran di atas kuda pada pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke kiri sambil melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan dan ke kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil menjerat perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran besar.</p> <p>Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk datang ke kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak digagah-gagahkan. Bahkan, beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van Kopperlyk sempat menggumamkan lagu ”Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-kincir angin, babat habislah pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin sumber ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar sebelum menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua. Gumam Henky van Kopperlyk benar-benar bersemangat.</p> <p>Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus didatangkan. Dalam waktu paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh akar dan udara yang mengelilinginya, serta burung-burung jahat yang menghuninya, harus sudah selesai.</p> <p>Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan berat, lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang Henky van Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu burung pun yang terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga, tidak ada satu burung pun yang tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari kendaraan berat, memberi aba-aba: ”satu… dua… tiga!”</p> <p>Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung.</p> <p>Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi, dengan sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang mula-mula bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit, memuntahkan sumpah serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua burung di seluruh Surabaya dan sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang menggantung.</p> <p>Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya untuk mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah.</p> <p>Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya, dan Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura memuji-mujinya. Istri Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara sembunyi-sembunyi, seorang perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya dengan bumbu kata-kata ”sejak dulu saya sudah tahu kamu goblok.”</p> <p>Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya, Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah untuk mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati: ”Inilah Henky van Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kolonialisme Belanda!”</p> <p>Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh Jawa dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur Jenderal. Hari dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli 1927, tepat pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun dirancang dengan sangat teliti: tempat duduk Gubernur Jenderal, para gubernur, para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara lengkap dengan lagu-lagu marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah siap.</p> <p>Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah dibersihkan dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan bangunan lain. Gedung-gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang Belanda, ruang tunggu khusus untuk orang Belanda di tiga stasiun kereta api Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar: ”Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk”.</p> <p>Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia yang tidak memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat kepada dia. Henky van Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapa pun, tidak pula oleh Anneke von Hubertus, istrinya.</p> <p>Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya benar, dan orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus, di mana-mana berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal Tilburg, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman. Hubertus nama Jerman, tapi dalam darahnya justru mengalir kebencian terhadap Jerman.</p> <p>Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah iklan rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan rokok merek Ogden. Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten kapal perang Inggris yang terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain, adalah nenek moyang Jenderal Angkatan Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty Ship Centurion, mengobrak-abrik angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I.</p> <p>Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi, dan merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama Henricus von Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara, keponakan, dan apa pun juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang akan menangis, tapi tahu bagaimana memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke von Hubertus satu-satunya anak Henricus von Hubertus, dan karena itu, tidak ada orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerima harta karun warisan kecuali Anneke.</p> <p>Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering naik kuda dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di tempat-tempat ramai dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan dalam sebuah parade, sambil mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikan tangan kepada khalayak ramai.</p> <p>Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-papan ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok. Kisah tentang Belanda kehilangan kemaluannya dan pengalamannya sendiri dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya terbakar. Pribumi harus dihina, dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar hidup-hidup.</p> <p>Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi. Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus berbuat baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia kepada Belanda dan makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan membuktikan bahwa para bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya.</p> <p>Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali. Dia tahu orang-orang akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok karena tidak mampu mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang mempunyai hak penuh untuk mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya berantakan, dan kalau berbicara kadang-kadang seperti anjing geladak sedang menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal, Henky van Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya, tanpa istri. Bagi pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah perbuatan bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani mempertontonkan istrinya di depan umum.</p> <p>Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai mercon meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana kemari, menyebarkan potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu, pidato-pidato pun dimulai.</p> <p>Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan udara. Lalu, senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh dari bola. Pistol pertama meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk makin siap menendang, menunggu pistol ketiga meledak. Begitu pistol ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van Kopperlyk lari menuju ke arah bola.</p> <p>Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang, bukan bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang terlepas, lalu melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin menggedor-gedor pintu surga. Bola tetap berada di tempatnya semula.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-69970802633083110262010-12-18T18:46:00.000-08:002010-12-18T18:48:38.327-08:00Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan<p><img src="http://lampungpost.com/img/logo_cetak.gif" border="0" /></p><hr /> Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.<br />Minggu, 19 Desember 2010<p>Tajuk tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis.</p> <p>PANDANGAN yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.</p> <p>Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.</p> <p>Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.</p> <p>Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.</p> <p>Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.</p> <p>Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.</p> <p>Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.</p> <p>Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.</p> <p>Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.</p> <p>Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.</p> <p>Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).</p> <p>Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.</p> <p>Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.</p> <p>Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.</p> <p>Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).</p> <p>Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).</p> <p>Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.</p> <p>Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.</p> <p>Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).</p> <p><b>Iwan Nurdaya-Djafar</b>, budayawan</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-91636444422187056692010-12-18T18:38:00.000-08:002010-12-18T18:42:34.078-08:00Puisi Agit Yogi Subandi<img src="http://lampungpost.com/img/logo_cetak.gif" border="0" /><hr /> Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.<br />Minggu, 19 Desember 2010<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berjalan</span><br /><br />seperti dugaanmu, aku telah menempuh jalan ini: berjalan dalam bimbang dan tetap sadar di dalam malam, meski akhirnya, kita memahami bahwa kata "sampai" akan tersuruk pula ke dalam makna yang selama ini acap kita cari-cari. seperti katamu dulu, jalanan ini memang begitu kedap. tak terhitung teriakan yang lesap ke dinding dan beton-beton di pinggir jalan, bahkan lorong-lorong, yang seharusnya memiliki gema di kala malam, telah mengecoh logika bahwa gema itu kosong. teriaklah sekuatmu, tak ada yang mendengar, karena setiap orang telah disibukkan dengan teriakan masing-masing. orang-orang hanya dapat melihat rautmu yang mengerut dan memancar. tak ada yang perduli, tak kan ada.<br /><br />seperti katamu pula, menuju sebuah tempat yang dicita-citakan dengan menempuh jalan ini, kita jadi mengerti siapa yang pulang dan yang pergi dan siapa yang tak memiliki tempat kembali dan tempat untuk pergi. kini aku bersaksi, tentang jutaan debar di jalan ini yang hilang begitu saja, ada resah yang tak sempat sampai kepada gelisah, ada gelisah yang tak sempat termaktub ke dalam kisah. dan seperti katamu pula, bahwa di jalan ini, banyak orang menghiba pada sesuatu yang tak terduga. dan aku selalu mengingat kata-katamu, “berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”<br /><br />(Tanjungkarang, 2009)<br /><br />-------<br /><br />Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Dibesarkan di Lampung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-59819576107002911682010-07-18T09:13:00.001-07:002010-07-18T09:13:54.296-07:00Puisi-Puisi Deny Tri AryantiJawa Pos, Minggu, 18 Juli 2010 <br /><br />Karena Tahun Tak Pernah Berulang<br /><br />saat kukenang kelahiranku yang terselip butiran tanah merah<br /><br />yang nampak hanya roncean semboja<br /><br />di antara keabadian tak terbaca<br /><br />seperti teriakan ku yang masih saja menjadi teka-teki ''cinta maya''<br /><br />adakah kemolekan dari sebuah tarian sunyi<br /><br />saat berputar-putar mengelilingi mimpi<br /><br />bercinta dengan abjad yang semakin renta<br /><br />dan memberikan bayang-bayang sebuah ironi<br /><br />adakah engkau di sini<br /><br />saat tetesan pelangi mulai melahirkan kereta kencana<br /><br />menembus fatamorgana<br /><br />seolah merantas segala kemuskilan yang tengah kau tawarkan<br /><br />munkin kelahiranku adalah tawa<br /><br />munkin juga mengenangnya adalah sebuah luka dari seonggok nyawa<br /><br />tapi aku mampu menundukkanmu dalam siluet kata-kata<br /><br />dari detak angka dari detik waktu<br /><br />semua legenda hanya sebuah dinasti tak bertuan<br /><br />mungkin masa lalu adalah kesiaan<br /><br />saat hanya kesepian yang mampu memberikan senyuman<br /><br />Aku sadar doamu adalah sajak tanpa nyawa<br /><br />melesatkan waktu dalam hentakan abad<br /><br />saat terjalku menjelma mimpi dalam lorong masa lalu<br /><br />dan bayanganmu hanya cerita yang sia<br /><br />karena tahun tak pernah berulang<br /><br />Sby- dari seberang mimpi<br /><br />Dalam Diamku<br /><br />Kubungkus resahmu dalam gulungan mimpi<br /><br />Kutorehkan kematian pada sudut pelangi<br /><br />Hingga sunyi pun tak mampu membaca tanda koma<br /><br />Lautku mulai memerah<br /><br />merapatkan sayap senja tanpa perisai kata<br /><br />menuangkan buihnya pada lengkung cadas<br /><br />Aku kehilangan luka<br /><br />tentang darah<br /><br />yang pernah engkau ceritakan pada air mata<br /><br />tentang lorong<br /><br />yang pernah kau sembunyikan di ketiak burung hantu<br /><br />Aku memungut serpihan kaca<br /><br />yang kau sebar di wajahku<br /><br />kurajut dalam untaian fatamorgana<br /><br />menjelmakannya pada sebuah siluet tentang kemuskilan<br /><br />Aku masih berharap<br /><br />laut menuangkan vodka di ujung bibirku<br /><br />Aku masih berharap<br /><br />buihnya akan menjadi kemabukan yang indah<br /><br />aku pun masih ingin menganggap<br /><br />tebingmu adalah kebosanan yang terlelap dalam resah<br /><br />Aku masih menunggu detik ini<br /><br />di ujung jarum jam yang menenggelamkanku pada kebisuan<br /><br />Aku resah di ujung waktumu<br /><br />aku gelisah di ketiak lentera angan-angan<br /><br />Mimpi kita adalah dosa yang indah<br /><br />Waktu kita...hanya malam tanpa kelambu<br /><br />hanya sejarah tanpa tanda baca<br /><br />yang tak mampu mengeja setiap kisah<br /><br />tentang doa dan dosa<br /><br />Oktober 2009<br /><br />Deny Tri Aryanti, lahir di Trenggalek, 7 April 1980. Jebolan D3 Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Belajar berkesenian dan menulis di Teater GAPUS Surabaya, tergabung dalam komunitas<br /><br />@rek pilem Surabaya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-18863812001432567832010-07-18T09:01:00.000-07:002010-07-18T09:10:27.562-07:00Ranggalawe GugurJawa Pos, Minggu, 18 Juli 2010 ]<br /><br /><span style="font-style:italic;">Bukan kematian benar menusuk kalbu<br /><br />Keridlaanmu menerima segala tiba<br /><br />Tak kutahu setinggi itu atas debu<br /><br />dan duka maha tuan bertakhta1</span><br /><br />---<br /><br />Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.<br /><br />''Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.'' Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.<br /><br />Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati -sejumlah puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya -tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.<br /><br />Ratu Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman. Kencana Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya, manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang. Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi: Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama alias bala depak yang senantiasa terdepak. Panggung sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka. Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban, Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke Majapahit. Bisa saja.<br /><br />Kulihat ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat. Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya. Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan. Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama mati.<br /><br />Rarasati merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan. Ada pula yang malah jatuh kasihan.<br /><br />Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan utusan-utusan Blambangan itu pulang.<br /><br />Di Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.<br /><br />Mas mas mas aja diplerok (Mas mas mas jangan dipelototin)<br /><br />Mas mas mas aja dipoyoki (Mas mas mas jangan digodain)<br /><br />Karepku njaluk diesemi 2 (Pinginnya minta disenyumin)<br /><br />Ruang pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring. Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan Ketoprak is the place where we live and where we die... berlatar orang sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati. Gamelan terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator. Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan. Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya yang setia.<br /><br />Menak Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama. Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa. Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu. Kali ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar biasa kikuk -jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam film Saur Sepuh- mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan. Pertempuran itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu. Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan. Akhirnya dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian panggung.<br /><br />Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu kakehan alasan... (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak alasan...)<br /><br />Seorang pelawak masuk ke panggung dan menari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu. Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin. Mungkin pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh gamelan. Di tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Amplop itu pun dibuka. Berisi duit yang langsung mereka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.<br /><br />Malam ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung. Ia meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair sebuah lagu, katanya. Lilanana pamit mulih... (Relakanlah aku pamit pulang...)<br /><br />Lilanana pamit mulih (Relakan aku pamit)<br /><br />Pesti kula yen dudu jodhone (Aku memang bukan jodohmu)<br /><br />Muga enggal antuk sulih (Semoga segera mendapat ganti)<br /><br />Wong sing bisa ngladeni slirane (Orang yang bisa mendampingimu)<br /><br />Pancen abor jroning ati (Memang berat rasanya)<br /><br />Ninggal ndika wong sing ndak tresnani (Meninggalkan orang yang kucintai)<br /><br />Nanging badhe kados pundi (Tapi mau bagaimana lagi)<br /><br />Yen kawula saderma nglampahi3 (Aku cuma sekadar melakoni)<br /><br />Lelaki itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.<br /><br />Malam sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya. Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya. Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya. ''Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!''<br /><br />Adegan pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah Menak Jingga. Ia bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari janjinya. Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.<br /><br />Tak ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe. Tetapi saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga memerintahkan agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. ''Makamkan ia dengan upacara kehormatan!''<br /><br />Pertunjukan selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami telah mengusir mereka. ***<br /><br />2010<br /><br />(End notes)<br /><br />1 Nisan, puisi karya Chairil Anwar, 1941<br /><br />2 Aja Dipleroki, lagu karya Ki Nartosabdho<br /><br />3 Pamitan, lagu karya Gesang, 1940<br /><br />---<br /><br />Oleh: Gunawan MaryantoUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-17651253845036702782010-07-10T22:30:00.000-07:002010-07-10T22:52:00.307-07:00Sajak Iyut Fitra<span style="font-weight:bold;"><span style="font-style:italic;">Koran Tempo, 11 Juli 2010</span><br /><br />DARI BEBERAPA BAGIAN</span><br /><br />1. datang malam<br />di luar musik jazz mulai dimainkan. gerombolan lagu lama<br />atau mungkin seorang kulit hitam menjeritkan birahi malam<br />di teras, seekor capung terluka baling-baling kipas angin<br />sedemikian panjangkah waktu atau justru sangat singkat<br />malam mulai merambat. mulai lesat<br /><br />2. larut malam<br />jangan kauduga itu suara ketitiran atau pipit sawah. hanya hempas<br />ombak yang ramah. dari waktu ke waktu kita senantiasa mengulang<br />kata pergi dan pulang. kini kau terhampar di ranjang<br />mimpi apa yang kau inginkan?<br /><br />jangan kausebut ini sepi atau segerombolan laron yang tercampak<br />di trotoar. barangkali detak nadimu sendiri yang bergetar<br />seolah bunyi sitar. menggiring galau pada ujung yang kauusung<br />: kau menaiki kereta yang nyinyir<br /><br />3. telah pagi<br />bunyi yang satu ini seperti uir-uir. (kuingat kampung halaman<br />tatkala melintasi tebing menuju sawah. sebatang pimping melukai jari<br />tanganku). ah, barangkali serupa dendang yang dilantunkan gadis kecil<br />di anak tangga. kampuang den jauah di mato...<br />lalu matahari yang menyapamu. adakah kaupahami makna rantau<br />bagi lelaki<br /><br />4. terik siang<br />bayang-bayang tak mau tinggal<br />benarkah itu kesetiaan yang berceceran sepanjang jalan. atau...<br /><br />5. menjelang dan sesudah senja<br />kaulihat awan berkemas. setelah upacara dengan matahari ia tinggalkan<br />waktu tergolek pasrah. alangkah banyak mimpi berkunjung<br />ke dalam hidup. tapi kita tak bisa meraih semuanya. sungguh tak bisa!<br />"lalu begitu setiakah kita dengan luka? begitu tak berdayakah kita<br />digiring bayang-bayang ke tempat-tempat semu semata?" teriakmu<br />sebelum orang-orang mulai menutup jendela dan pintu<br /><br />senja lepas sudah. aku tak melihatmu lagi di antara pasir, capung-capung<br />dan debur laut. hanya sedikit pesan yang kau tinggalkan di sebuah<br />surat kabar sore: waktu tak selalu ada sebagai hitungan<br /><br />2010<br /><br />DAN KITA BERTEMU DI BALE TIMBANG<br /><br />serupa gadis belia. harum putik padi, dan dada yang tumbuh<br />17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam. 17 tahun almanak tersimpan<br />sampai resan. dan kita bertemu di bale timbang<br />di malam tepi kota yang hampir kita lupa aromanya. kau ditemani seorang perempuan jepang dan pelukis burung hantu. aku masih dengan baju lusuh yang kemarin<br />"durian yang kita tanam sudah berbuah, tidakkah kaucemburu pada waktu?"<br />kau kembangkan lagi jalan-jalan. debu kota serta polusi yang berubah jadi pelangi<br /><br />kemudian kita bercerita tentang pohon-pohon<br />sepetak tanah yang akan kautetesi susu. "aku ingin jadi ibu, meski cinta<br />adalah kata yang selalu terlambat!" katamu seolah mengukur-ukur sesal<br />(di matamu--dan itu jelas tak bisa kausimpan--ada gelegak amarah ingin<br />berloncatan). seekor kunang-kunang rebah di samping meja<br />perempuan jepang dan pelukis burung hantu memesan jus jambu<br />"mereka datang hanya untuk menyuburkan benci di tubuhku!"<br /><br />17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam<br />17 tahun almanak tersimpan sampai resan<br />dan kita bertemu di bale timbang<br />bercerita tentang pohon-pohon<br /><br />Denpasar, Mei 2010<br />Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatra Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (Horison, 2006) dan Dongeng-dongeng Tua (Akar Indonesia, 2009). Giat di komunitas seni INTRO.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-7071910724996798972010-07-10T20:30:00.000-07:002010-07-10T20:32:10.120-07:00Cerpen Yanusa Nugroho: Tangga Cahaya...Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tangga Cahaya...</span><br /><br />DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya-- namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).<br /><br />Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini. <br /><br />Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan. <br /><br />***<br /><br />Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.<br /><br />Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.<br /><br />Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni...<br /><br />Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ''Capek, kurang tidur,'' begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu. <br /><br />Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan... aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.<br /><br />***<br /><br />Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.<br /><br />Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.<br /><br />***<br /><br />Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ''kata'' sebagai wakilnya. Dan ''kata''', sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.<br /><br />***<br /><br />Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang. <br /><br />''Untuk apa, ya?''<br /><br />''Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,'' ucapnya dingin, tetapi memaksa itu. <br /><br />Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu. <br /><br />''Tapi... malam-malam begini?''<br /><br />''Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.''<br /><br />Hmm.. kata ''diperintah'' ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.<br /><br />Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu. <br /><br />Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ''perintah'' itu gagal dilaksanakan? <br /><br />Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ''pemerintah'' yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.<br /><br />''Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?'' begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan. <br /><br />''Yang bilang begitu siapa, Pak?''<br /><br />''Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini...''<br /><br />''Yaa... maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.''<br /><br />''Hahahaha...nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha...''<br /><br />Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?<br /><br />''Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?''<br /><br />''Bapak mendengar dari siapa?''<br /><br />''Tak ada asap jika tak ada api.''<br /><br />Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.<br /><br />''Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?''<br /><br />Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.<br /><br />''Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm...siapa, siapa?'' tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.<br /><br />''Abimanyu, anak Arjuna...'<br /><br />''Yaaaa... Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?'' ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.<br /><br />Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.<br /><br />''Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,'' jawabku dingin.<br /><br />Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.<br /><br />''Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi...'' setelah agak lama dia terdiam, ''seperti itukah kematian saya?'' <br /><br />Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.<br /><br />''Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang...''<br /><br />''Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?''<br /><br />''Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.''<br /><br />''Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran... Hah? hahahahahaaa...Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha...''<br /><br />***<br /><br />Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?<br /><br />Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.<br /><br />Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.<br /><br />Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah... kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu. <br /><br />Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.<br /><br />***<br /><br />Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***<br /><br />Pinang, 982 <br /><br />*) Yanusa Nugroho , cerpenis tinggal di JakartaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-58293320135942336992010-07-10T20:25:00.000-07:002010-07-10T20:29:06.344-07:00Puisi-puisi Tjahjono WidijantoJawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Lukisan Perempuan di Museum Blanco </span><br /><br />debu berebut merajam waktu<br /><br />aku terpenjara mata perempuan<br /><br />semata perempuan dalam kanvasmu <br /><br />mata yang menari entah dalam irama <br /><br />gamelan, jazz, bosanava atau salsa. <br /><br />mata yang samar serupa kabut<br /><br />memucat pada lembar biografi<br /><br />mefosil dalam geletar ingatan<br /><br />mata perawan menyimpan rahasia api <br /><br />buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa<br /><br />pada bilik-bilik kahyangan yang pengap<br /><br />ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam<br /><br />jejak-jajak malaikat tersesat <br /><br />pada rambut yang berkibar-kibar <br /><br />meramu wangi udara serupa harum sesajen<br /><br />ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu <br /><br />di tengah ranum bola matanya<br /><br />jalan-jalan rumpil berkelok-kelok, <br /><br />sungai dengan jenggot sulur yang getas<br /><br />di antara akar-akarnya<br /><br />bayangmu bergoyang-goyang<br /><br />bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu<br /><br />menganyam senja, jarak, peristiwa<br /><br />juga warna malam dan awan<br /><br />menunggu menjadi hantu di taman tua<br /><br />merajam sunyi menjadi bunyi<br /><br />Ubud-Ngawi, 09/010 <br /><br />--- <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Camar Mencari Ceruk Karang </span><br /><br />waktu yang digaris gerimis mengingatkanku<br /><br />ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak<br /><br />mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu<br /><br />bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian<br /><br />mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun<br /><br />bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian<br /><br />''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat<br /><br />sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa, <br /><br />harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran<br /><br />sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan<br /><br />dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga <br /><br />kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah <br /><br />selangkah lagi sampai di ujung belawan<br /><br />angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!<br /><br />mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api<br /><br />membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui <br /><br />meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata<br /><br />di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap<br /><br />mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir<br /><br />Ngawi, 2009/2010 <br /><br />--- <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kunti di Tepi Kali</span> <br /><br />ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu<br /><br />kenangan yang akan setia mengunjungimu<br /><br />dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal<br /><br />segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal<br /><br />alir kali jalan kenangan terpanjang<br /><br />lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri<br /><br />di laut gericiknya akan sampai<br /><br />di hulu-hulunya kau akan menemu sampan<br /><br />melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh<br /><br />menitip rindu pada tajam cadas karang<br /><br />rindu yang beku dan kelu<br /><br />meledak dalam palung paling arus<br /><br />kenangan akan turut meledak dijakunmu<br /><br />membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah<br /><br />pada secarik kutang di kain jemuran<br /><br />melambai-lambaimu bersama angin<br /><br />mendekam ngilu di sebujur pori-porimu<br /><br />''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''<br /><br />Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu<br /><br />ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki <br /><br />yang disebut-sebut sebagai suami<br /><br />''Radeya, tak usah kau risau<br /><br />toh sebuah nama adalah fana <br /><br />seperti debu kelak turut larut<br /><br />dibawa lari kereta kudamu<br /><br />menuju dunia yang lain lagi''<br /><br />Ngawi, 2008/2010 <br /><br />Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-18273746586917491572010-07-10T05:28:00.000-07:002010-07-10T05:33:46.218-07:00Puisi-Puisi Ulfatin Ch.<span style="font-style:italic;">JawaPost, Minggu, 20 Juni 2010</span><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Belum Tuntas Kata</span><br /><br />Belum tuntas kata<br /><br />yang berkelok di tikungan itu<br /><br />jejaknya masih lekat di lengkuk mataku<br /><br />sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam<br /><br />hingga malam<br /><br />dari siang hingga petang<br /><br />Dan matahari itu sudah meninggi<br /><br />meninggalkan kita<br /><br />menyisakan bayangan menghitam<br /><br />di belakang<br /><br />2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Membaca Batu</span><br /><br />Akhirnya, wajah kita yang tertunduk<br /><br />membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.<br /><br />Dingin udara malam melangkahkan kaki kita<br /><br />berputar seperti piringan di taman<br /><br />tapi, tak juga sampai pada kata<br /><br />pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu<br /><br />Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu<br /><br />tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu<br /><br />2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Laut dan Nelayan</span><br /><br />Seberapa dalam lautan, nelayanku<br /><br />ombak pun seperti diam<br /><br />saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.<br /><br />Dan dengan kesabaran rindu<br /><br />kau menunggu<br /><br />berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera<br /><br />Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku<br /><br />hingga badai hingga gelombang<br /><br />menahan kokang<br /><br />rindu pada dendam<br /><br />2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Rindu Yang Kutanam</span><br /><br />Tak ada lagi prasasti itu di sini<br /><br />di antara subuh yang kauketuk<br /><br />dan kehadiranmu di pintu<br /><br />tak ada lagi surat bertuliskan alamat<br /><br />tak ada<br /><br />Rindu, biarkan kutanam dalam<br /><br />jangan kautanya pada buta mataku<br /><br />2009<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Aku dan Ismet</span><br /><br />Ini hari matahari meninggi<br /><br />Jejak pejalan terseok ke belakang<br /><br />di antara susunan malaikat<br /><br />dan penghianat<br /><br />Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi<br /><br />melahirkan puisi<br /><br />menuntaskan sunyi<br /><br />berdzikir malambertasbih bulan<br /><br />aku dan ismet bernyanyi<br /><br />hingga hari mengukir pagi<br /><br />2009<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Catatan Cinta Tiga Baris</span><br /><br />1<br /><br />Seberapa dalam cinta kautanam<br /><br />hingga jera<br /><br />merampas luka<br /><br />2<br /><br />Sungguh aku mencintaimu<br /><br />hingga waktu memburu<br /><br />api membakar jiwa<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Catatan Beranda<br /></span><br />1<br /><br />Tak ada jejak di beranda<br /><br />tak ada juga lukisan bunga ungu<br /><br />di halaman depan buku itu<br /><br />tinggal goresan yang bernama rindu<br /><br />dan kelopak menunggu<br /><br />hujan<br /><br />2<br /><br />Jika beranda yang kautanya<br /><br />tolong jangan kauhapus dulu air mata<br /><br />Sebab embun tak lagi sesejuk pagi<br /><br />sebab subuh tak kauingat lagi<br /><br />Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan<br /><br />dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan<br /><br />Tolong jangan kauseka air mata<br /><br />3<br /><br />Selepas subuh<br /><br />beranda pun sunyi<br /><br />Sajadah merapat raka'at<br /><br />saat tahiyat<br /><br />dan salamku padamu<br /><br />2010<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dan Bunga</span><br /><br />1<br /><br />Dan bunga telah mati<br /><br />Dan hari pun suri<br /><br />Dan mimpi tak ada lagi<br /><br />Dan sunyi itu pun<br /><br />abadi<br /><br />2<br /><br />Mungkin<br /><br />aku yang merindukan<br /><br />sebuah taman dengan bunga-bunga<br /><br />di jambangan itu<br /><br />matahari jingga di atas kepala<br /><br />bagai payung nirwana<br /><br />Mungkin<br /><br />aku yang merindukan<br /><br />Kesunyian perpustakaan<br /><br />yang mengantar kita pada kata<br /><br />dan lipatan-lipatan kertas<br /><br />tak terbaca<br /><br />pada cinta atau pun luka<br /><br />2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sajak Gugur</span><br /><br />Satu kelopak bunga di taman gugur<br /><br />satu sahabat, satu teman, satu saudara<br /><br />dan, entah siapa lagi<br /><br />menggenapkan hitungan ini<br /><br />hingga nol di tangkai mawar<br /><br />Aku sendiri entah kapan sampai<br /><br />di urutan terdepan mengambil komando<br /><br />dan kubilang 'siap'<br /><br />Sedang tangan kita masih meraba<br /><br />dengan sangat hati-hati sekali<br /><br />menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu<br /><br />untuk kita bakar sebagai kenangan<br /><br />2009<br /><br />---<br /><br />*) ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Jogja dan bergabung dengan Teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) 1989, SAS, dan Mitra Lirika. Kumpulan puisi tunggalnya: Selembar Daun Jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, dan Perempuan Sunyi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Hari Kusam</span><br /><br />Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang<br /><br />sedang FB tak bisa kaulepaskan<br /><br />Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat<br /><br />Setelah Kemarin<br /><br />Setelah kemarin dan hari ini<br /><br />apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta<br /><br />Keangkuhan telah menutup mata hati<br /><br />hingga ke sudut paling tepi<br /><br />Dan tak ada lagi bulan yang sempurna<br /><br />Apalagi gerhana melunaskan igauan<br /><br />tentang cahaya malam, riuh anak-anak<br /><br />dan kelakar para santri di bilik sepi<br /><br />Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu<br /><br />mengamini hingga subuh<br /><br />tak ada lagi<br /><br />2009<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Akhir Tahun</span><br /><br />Hari semakin tua membidik usia<br /><br />bulan semakin dalam menusuk kelam<br /><br />Jika kini kupilih sendiri<br /><br />tak berarti aku kehilangan api<br /><br />Terompet dan kembang apilah yang membuatku<br /><br />sunyi menepi di akhir tahun ini<br /><br />Orang-orang beramai-ramai datang<br /><br />dari pelosok desa<br /><br />bergerombol berpusat di kota<br /><br />menunggu tengah malam tiba<br /><br />Jika kini kupilih sendiri<br /><br />tak berarti aku kehilangan api<br /><br />Anak-anak dan suami membawaku<br /><br />bermimpi berdzikir pagi<br /><br />Catatan akhir<br /><br />Semakin dalam kita<br /><br />terperosok dalam lingkaran<br /><br />semakin dalam cinta<br /><br />menikam kelam<br /><br />Usai Pesta Tahun Baru<br /><br />Sudah tuntas bunga api semalam<br /><br />anak-anak, aku dan suami bersama<br /><br />dalam satu tikar dimusim durian<br /><br />Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang<br /><br />bermalam<br /><br />kami bersendau membelah malam<br /><br />Dingin ilalang membawakan angin<br /><br />dari puncak merapi hinggap ke pangkuan<br /><br />Tak ada api di sana<br /><br />hanya kerlip lampu dan riuh pejalan<br /><br />mengantar lelah<br /><br />pulang<br /><br />2010<br /><br />Biodata<br /><br />ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah<br /><br />menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989<br /><br />di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.<br /><br />Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll<br /><br />Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.<br /><br />Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta<br /><br />Hp. 081578879255<br /><br /> <br />Rasa<br />Anak-anak Masa Lalu<br /><br /> * Rasa<br /> * Anak-anak Masa Lalu<br /> * Jejak Ditam<br /> * Malam Rajam<br /> * Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.<br /> * L a n d o<br /> * Sajak-Sajak Mashuri<br /> * Menari di Padang Prairi<br /> * Suara Serak di Seberang Radio<br /> * Puisi-Puisi Mustofa W. HasyimUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-44096382964208102602010-07-10T05:25:00.000-07:002010-07-10T05:26:48.789-07:00Sajak-Sajak MashuriJawaPost, Minggu, 23 Mei 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Berguru pada Hujan</span><br /><br />tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku<br /><br />sebentuk jarum yang runcing, dingin<br /><br />menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku<br /><br />hingga segala seakan hancur<br /><br />dan tak terkenali kembali, lebur<br /><br />tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana<br /><br />seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi<br /><br />seperti telapak kaki pada tanah basah...<br /><br />tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput<br /><br />kau kekal dan diam di pembaringan<br /><br />bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya<br /><br />di gigir rintik, kusembayangi bayangmu<br /><br />kematianmu<br /><br />aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak<br /><br />wujudmu<br /><br />masih maujud dalam satu kata<br /><br />dan tak terkotak, terpeta<br /><br />dalam kekaburan dan buta<br /><br />kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih<br /><br />namun aku berguru pada derasnya, suaranya<br /><br />dan linangnya yang tertahan di udara<br /><br />agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak<br /><br />di tubuhmu<br /><br />ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang<br /><br />yang pernah kau pahat di kalbuku<br /><br />meski perih<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu</span><br /><br />tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah<br /><br />dan meruapkan renjana<br /><br />karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit<br /><br />hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam<br /><br />dari malam<br /><br />di sana, aku bisa berkaca tanpa suara<br /><br />saat kuncup kuntum itu masih<br /><br />dedahkan madah purba<br /><br />hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta<br /><br />mungkin hanya dalam mimpi,<br /><br />kubisa menggelung rambutku<br /><br />kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam<br /><br />dan menggeraikan segalanya<br /><br />di udara<br /><br />dan ronce melati itu akan sia-sia<br /><br />tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri<br /><br />di padang kerontang<br /><br />bagai keris kini yang mencari warangka<br /><br />yang tersesat di sebuah abad yang terlupa<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Rumah Kita</span><br /><br />telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu<br /><br />bersua luka<br /><br />aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu<br /><br />tinggalkan jejak abu-abu<br /><br />seperti asap yang tiba-tiba berderap<br /><br />di benak dan atap<br /><br />tampak rumah kita di persimpangan<br /><br />pohon randu alas meranggas, dan uap belerang<br /><br />di antara kawah, di antara dua pegunungan<br /><br />tak mengekalkan harapan<br /><br />dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah<br /><br />sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api<br /><br />padam dinihari<br /><br />dan laut tak jua deburkan harum ombak<br /><br />bagai bunga pudak<br /><br />sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang<br /><br />di jalan-jalan<br /><br />dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu<br /><br />terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu<br /><br />lantai tanah,<br /><br />dan sebentuk bangku di ruang tamu<br /><br />mungkin ada yang harus mengingat<br /><br />lunas pohon-pohon<br /><br />dan ada yang harus berangkat<br /><br />ke tanah-tanah tanpa sekat<br /><br />tuk bersawah dan membukitkan rindu<br /><br />pada sejarah<br /><br />: silsilah yang bersudah<br /><br />Surabaya, 2009<br /><br />Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-9236917313929092912010-07-10T05:22:00.000-07:002010-07-10T05:24:51.153-07:00Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim dan LUBIS GRAFURA<span style="font-style:italic;">JawaPost, Minggu, 09 Mei 2010</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">BERSAMA OMBAK</span><br /><br />Bersama<br /><br />ombak<br /><br />gairah,<br /><br />cakrawala<br /><br />buih,<br /><br />menghisap bayangan<br /><br />Nyanyian<br /><br />menempuh mata angin<br /><br />2001<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />MENGAJAK CAHAYA</span><br /><br />Mengajak cahaya<br /><br />mendaki<br /><br />rambut<br /><br />mengibarkan kenangan<br /><br />2001<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">POHON YANG TERLUKA</span><br /><br />pohon yang terluka<br /><br />hawa menerbangkan kata<br /><br />ada masa silam<br /><br />terserak di jalanan<br /><br />jiwa-jiwa termangu<br /><br />menunggu lagu asing<br /><br />menyergap rindu<br /><br />menyergap pilu<br /><br />Wonosobo, 2005<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU</span><br /><br />aku rindu sentuhan tanganmu di dahi<br /><br />menghalau galau zaman<br /><br />pada hari ini<br /><br />alangkah sulitnya berkata<br /><br />dan bertanya<br /><br />yang tersisa hanya malam datang<br /><br />dan datang lagi<br /><br />keheningan menggenangi<br /><br />ruang tempat kita bertatapan<br /><br />butir-butir tasbih<br /><br />pedih, mengemasi waktu<br /><br />2005<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">GUBENG KERTAJAYA</span><br /><br />Ada malam abadi<br /><br />mencari sunyi<br /><br />Wajah mirip kata<br /><br />tak mampu dijadikan nada<br /><br />Cukup sebuah lagu<br /><br />memperluka waktu<br /><br />Hutang cinta<br /><br />tak terbayar oleh usia<br /><br />2010<br /><br />*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />LUBIS GRAFURA:</span><br /><span style="font-weight:bold;"><br />Perumpamaan Hasut</span><br /><br />Pecahkan cermin. Rangkai kembali.<br /><br />Tataplah wajahmu.<br /><br />Nglegok, 2010<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Inisial A.</span><br /><br />Kalau saja pertapaanku ini,<br /><br />melebihi batas usiaku<br /><br />barangkali nanti kan kutitipkan jasad<br /><br />agar aku leluasa menemui: mu!<br /><br />Nglegok, 2010<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sendiri</span><br /><br />Kadang kita butuh waktu:<br /><br />bermeditasi, mencari persejatian diri<br /><br />mencari jalan kembali<br /><br />namun, tanpamu di sini<br /><br />hidup seolah memilih berhenti<br /><br />Nglegok, 2010<br /><br />--<span style="font-weight:bold;">-<br /><br />Sajak Kematian</span><br /><br />Menanti dirimu<br /><br />seolah menanti fajar yang menggulung sinar<br /><br />Hanya saja,<br /><br />fajar datang sesuai waktunya<br /><br />Sementara dirimu,<br /><br />kedatangannya tak tertandai waktu<br /><br />Penataran, 2010<br /><br />---<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Dalam Sujud</span><br /><br />yang berperang tanpa pedang<br /><br />yang musuhnya arupa mamang<br /><br />Penataran, 2010<br /><br />---<br /><br />*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-65622995150310223052010-07-10T05:17:00.000-07:002010-07-10T05:19:28.388-07:00Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.<span style="font-style:italic;">Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010 </span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jalan Menuju Hatimu</span><br /><br />Jalan ke arah rumahmu<br /><br />Begitu mendaki dan berliku<br /><br />Jalan menuju hatimu<br /><br />Begitu mencari dan semoga ketemu<br /><br />Jalan aspal jalanan berlobang<br /><br />Jalan penderitaan tak berkesudahan<br /><br />Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas<br /><br />Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas<br /><br />Di belakang jalan tak kutengok sejarah<br /><br />Di hari kemarin berporsi percintaan berserah<br /><br />Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang<br /><br />Diasingkan dari pintu-pintu surga<br /><br />Jalan hidup kau aku<br /><br />Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar<br /><br />Tapi kau aku tak pernah terasa sakit<br /><br />Sekalipun percintaan begitu terjepit<br /><br />Jalanan hari berganti ruang<br /><br />Jalanan ruang berubah jarak<br /><br />Sampailah dipisahkan tembok-tembok<br /><br />Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok<br /><br />Jalanan cinta<br /><br />Jalanan penuh kasih sayang<br /><br />Kau aku menolak sekian kehancuran<br /><br />Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan<br /><br />Jalanan angan jalanan kenyataan<br /><br />Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan<br /><br />Tetapi jalan menuju hatimu<br /><br />Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan<br /><br />Yogyakarta, Januari 2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Di Ujung Nun</span><br /><br />Di ujung nun<br /><br />Jalan bercabang dua<br /><br />Bila yang satu naik, bila yang satu turun<br /><br />Lalu langkah kaki bertemu di mana?<br /><br />Di ujung nun<br /><br />Jalan mengapa menjelma dua?<br /><br />Di atasnya ada satu titik takdir<br /><br />Matahari: di mana cinta tak harus berakhir<br /><br />Yogyakarta, Januari 2009<br /><br />---<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Hari Ini Adalah Puisi Indah</span><br /><br />Tiap bangun tidur, masih di atas dipan<br /><br />Kuhadapkan wajahku ke cermin<br /><br />Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga<br /><br />Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah<br /><br />Lalu berlalu aku menuju kran air<br /><br />Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu<br /><br />Kusahadatkan hatiku agar kembali segar<br /><br />Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah<br /><br />Lalu berlaku aku dalam sujud<br /><br />Kuhunjamkan keningku ke bumi<br /><br />Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur<br /><br />Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah<br /><br />Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus<br /><br />Sampainya doa akibat tiga perkara<br /><br />Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta<br /><br />Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan<br /><br />Tetapi subuh masih jauh<br /><br />Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit<br /><br />Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti<br /><br />Dalam kerjanya yang tak habis-habis<br /><br />Hatiku jendela yang membuka<br /><br />Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin<br /><br />Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga<br /><br />Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah<br /><br />Yogyakarta, 6 Agustus 2009<br /><br />Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-81308510417101282122010-06-26T23:04:00.000-07:002010-06-26T23:06:53.859-07:00Sajak Rio Fitra SYKoran Tempo, 27 Juni 2010<br /><br />HAL-HAL YANG AKAN IA YAKINKAN<br /><br />tak ada badan, jelmaan yang merubuhkan tulang, di <br /><br />sebuah lubang, sewaktu ia tak peduli dengan pulang. tak <br /><br />ada rumah, dinding yang dibatasi perpisahan, saat dua lambai <br /><br />lemah mengukuhkan ingatan. tak ada kenangan, di bantal <br /><br />air mata yang menyembunyikan pertengkaran, ketika kalimatnya <br /><br />memimpikan getar. tak ada kebisuan yang menggerakkan <br /><br />isyarat, di sentuhan tuhan, sewaktu tahun-tahun saling jauh- <br /><br />berjauhan. tak ada ruang, tak ada waktu yang mengambang, <br /><br />di sisa angkasa, saat cahaya meluncur ke dalam umur. tak <br /><br />ada masa meski ia telah tua, di antara banyak angka, <br /><br />ketika ia menghitung jumlah badannya <br /><br />Padang, 2010 <br /><br />RAHANG <br /><br />hanya kunyah <br /><br />dan kenyang mencoba <br /><br />menarikmu dari kejang. <br /><br />luar dan dalam pedas <br /><br />melepas decas. sedangkan <br /><br />decak nikmatku seperti kawat <br /><br />yang lamat-lamat melumat <br /><br />karat. sebatang terkerat <br /><br />sebilah lagi jadi sekarat. tapi <br /><br />aku bersikeras menahan serat <br /><br />cicipan yang disisipkan ke <br /><br />lubang gigitan. serat yang berkilau <br /><br />barangkali. hanya kunyah, <br /><br />setiap hari yang payah, <br /><br />setiap pagi yang renyah, <br /><br />berupaya menerkammu dari <br /><br />perburuan. sehingga aku <br /><br />takut mengejarmu sampai <br /><br />ke sarang. hanya kunyah <br /><br />yang tak hentinya bertanya <br /><br />perihal suapan: suapan <br /><br />puasa. hanya kunyah <br /><br />yang kau percaya karena <br /><br />aku puas menganga <br /><br />untuk dagingmu <br /><br />yang merah <br /><br />Padang, 2010 <br /><br />RUMAH-RUMAH WAKTU <br /><br />lampu merah <br /><br />mungkin makin tinggi kaki ini setelah kautebas. <br /><br />simpang jalan melintas-lintas. di sana, para pekerja <br /><br />terlambat lewat ketika melompat dari jam pintas. adakah <br /><br />dari mereka yang menjinjing sekantong penat dari <br /><br />swalayan terdekat? <br /><br />perhatikan. mata tanda tampak seredup kabut. aku <br /><br />berhenti untukmu: tak mengerjapkan isyarat yang sekerat. <br /><br />aku hanya sebatang kata yang ditanam di jalanmu untuk <br /><br />mengeja, saat lidah menjulurkan pergi. entah menuju <br /><br />simpang pemberhentian yang mana lagi <br /><br />halte <br /><br />kau dan aku selalu menjadi orang baru atau orang asing <br /><br />yang bangkit dari usia masa yang lain. kau keluarkan bayang- <br /><br />bayang matahari: condong ke kiri. bayang itu mampu juga <br /><br />menghitamkan tubuhku <br /><br />kau hendak menumpang, wahai penampung kepulangan? <br /><br />sudahlah, aku tak mau mengenalmu dengan keteduhan sebab <br /><br />seorang asing hanya menunggu hujan meredakanmu dari deru <br /><br />bus kota yang tersesat <br /><br />bus kota <br /><br />baik-baik engkau naik. bila kaudaki berkali-kali, tertinggal <br /><br />endap malam penuh dendam bergidik, dalam lelap <br /><br />sopir terakhir <br /><br />Padang, 2010 <br /><br />Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Giat di Komunitas Ruangsempit dan Teater Noktah di Padang.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-60714500410585377462010-06-26T22:40:00.000-07:002010-06-26T22:44:54.622-07:00Gunawan Maryanto: Pergi ke Toko WayangKorantempo, Minggu, 27 Juni 2010 <br /><br />AKHIRNYA aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.<br /><br />Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.<br /><br />Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.<br /><br />Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.<br /><br />Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.<br /><br />Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.<br /><br />Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.<br /><br />Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.<br /><br />Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.<br /><br />Jogja, 2010<br /><br />Gunawan Maryanto tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-6160271421174761762010-06-26T22:34:00.000-07:002010-06-26T22:36:21.931-07:00Puisi Inggit Putria MargaTiga Sajak Berawal dari Burung<br /><br />Kompas, Minggu, 27 Juni 2010 | 04:21 WIB<br /><br /> <br /><br />Ketika Matahari Mati<br /><br />: ahmad mudzil<br /><br /> <br /><br />gelombang burung terbang<br /><br />warna-warni layang-layang<br /><br /> <br /><br />udara bau cendana<br /><br />ribuan lilin menyala<br /><br />pantulan bayang-bayang seroja<br /><br /> <br /><br />genderang dibunyikan<br /><br />sitar disuarakan<br /><br /> <br /><br />para pelayan menari<br /><br />ratusan lembu berjalan tenang<br /><br />dikendarai ratusan bidadari<br /><br /> <br /><br />menyambut kau lahir<br /><br />mengantar matahari berakhir<br /><br /> <br /><br />malam tak lagi gelap<br /><br />karena matamu rumah bagi cahaya untuk menetap<br /><br /> <br /><br />di langit, indah bulan tersingkir<br /><br />sebab senyummu mantra ampuh para penyihir<br /><br /> <br /><br />syair yang lahir dari tangan penyair<br /><br />yang luka dan cinta dalam dan pada kehidupan<br /><br /> <br /><br />maka tertawa dan menangislah<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />menari dan terjatuhlah<br /><br /> <br /><br />ketika kau tertawa dan menangis<br /><br />para bidadari penunggang lembu<br /><br />akan menabuh genderang<br /><br /> <br /><br />ribuan pelayan akan memainkan sitar<br /><br />lalu tawa dan tangismu jadi kidung<br /><br /> <br /><br />bergema, memantul ke gunung-gunung<br /><br />meresapi samadi pendeta-pendeta agung<br /><br /> <br /><br />saat kau menari dan terjatuh<br /><br />gelombang burung terbang<br /><br />akan mengangkatmu<br /><br /> <br /><br />jadikan kau satu di antara<br /><br />ribuan warna-warni layang-layang<br /><br /> <br /><br />tenang melayang lalu kembali jatuh<br /><br /> <br /><br />rebah di tanah<br /><br />terkubur bagai sejarah<br /><br /> <br /><br />bagai udara bau cendana yang cepat hampa<br /><br />nyala lilin yang pantulkan bayang-bayang seroja<br /><br />lalu padam, segera atau seketika.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />umpama burung pengepak sayap<br /><br />ia berkidung setiap hinggap<br /><br /> <br /><br />di rumput-rumput lembab<br /><br />rumah-rumah tak beratap<br /><br />mulut-mulut gagap<br /><br />pikiran-pikiran gelap<br /><br /> <br /><br />bulu-bulu merak<br /><br />melingkari kepalanya<br /><br /> <br /><br />kekuatan dan keanggunan<br /><br />menyatu dalam ia<br /><br /> <br /><br />sepasang mutiara<br /><br />tergantung di telinganya<br /><br /> <br /><br />kedalaman dan misteri samudra<br /><br />mewujud sebagai hatinya<br /><br /> <br /><br />cahaya purnama adalah tangannya<br /><br />kelopak-kelopak padma adalah jemarinya<br /><br /> <br /><br />yang menggenggam suling<br /><br />lalu ia tiup sambil menunggang sapi<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />ke semua ruas semesta ia berkeliling<br /><br />membuat segala yang keruh jadi bening<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />yang bising jadi hening<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />yang berpusing jadi bergeming<br /><br /> <br /><br />dilebur diri sejati<br /><br />yang kerap terasing<br /><br /> <br /><br />pecah berkeping<br /><br />di antara debu-debu musim kering<br /><br /> <br /><br />jika ia pijakkan kaki di rawa<br /><br />mekarlah kuncup-kuncup seroja<br /><br /> <br /><br />bila tangan ia kibaskan ke udara<br /><br />puluhan kupu-kupu bertukar warna<br /><br /> <br /><br />di cantiknya yang baka<br /><br />gadis-gadis cemburu dan menangis<br /><br /> <br /><br />di wibawanya yang tak fana<br /><br />para lelaki sujud dan terpana<br /><br /> <br /><br />kepadanya, hanya untuk ia<br /><br /> <br /><br />ribuan mantra dirapalkan<br /><br />ribuan kidung dinyanyikan<br /><br /> <br /><br />agar sampai akhir usia semesta<br /><br />suara sulingnya tetap bergema<br /><br /> <br /><br />menjadi denyut nadi<br /><br />setiap makhluk pendengarnya<br /><br /> <br /><br />dari lembar-lembar buku tua<br /><br />kubaca kisah tentang ia<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />: sang peniup suling<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />penghening segala yang bising<br /><br /> <br /><br />di kelopak-kelopak lotus<br /><br />di udara pagi<br /><br />di bentuk awan-awan yang tak pasti<br /><br />di arus sungai yang tak mampu berhenti<br /><br /> <br /><br />ia kucari<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />sampai ketika aku berkaca<br /><br />di jernih telaga:<br /><br /> <br /><br />bayang-bayang awan ungu<br /><br />berpendaran di belakang bayang-bayang wajah:<br /><br /> <br /><br />kepalanya dilingkari bulu-bulu merak<br /><br />sepasang telinganya digantungi<br /><br /> <br /><br />mutiara<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />taburan burung gereja<br /><br />awan-awan nila<br /><br />angin menggoyang tumbuhan liar<br /><br />di dinding bangunan tua sebuah kota<br /><br /> <br /><br />sejauh apa pun ia pergi<br /><br />sedalam apa pun ia sembunyi<br /><br />ke panorama itu selalu ia kembali<br /><br /> <br /><br />pernah, ia pergi mencari panorama lain:<br /><br /> <br /><br />kapal berlayar lalu karam lebur di karang hitam<br /><br />tari ribuan rumput yang ia cabut<br /><br />saat bibirnya tak menemu tempat berpagut<br /><br />barisan semut yang di tubuhnya kerap menyelimut<br /><br /> <br /><br />tapi, ia pengecut yang selalu mencari alasan untuk takut<br /><br /> <br /><br />pada karam yang kalut<br /><br />pada maut yang pasti memagut<br /><br />pada tali karma yang makin kusut<br /><br /> <br /><br />lalu, ia kembali pergi<br /><br />mencipta panorama sendiri:<br /><br /> <br /><br />ia ciptakan sesuatu yang ia sebut puisi<br /><br />membacakannya di depan tubuh-tubuh tak berpenghuni<br /><br />berharap mereka percaya:<br /><br />ia mampu merayakan luka di kelahiran yang entah keberapa.<br /><br /> <br /><br />di perut bumi,<br /><br />ia bangun ruang terdalam untuk sembunyi<br /><br />ia ingin dekat dengan ibu bumi dan merasa suci<br /><br />terlepas dari lilitan temali karma yang menghantui<br /><br /> <br /><br />ribuan topeng bergantian digunakan<br /><br />ribuan kata bersusulan diucapkan<br /><br />ribuan hari habis untuk berlari<br /><br />ribuan kelahiran hanya menggiringnya kembali<br /><br /> <br /><br />ke panorama yang ia lihat pertama kali:<br /><br /> <br /><br />taburan burung gereja<br /><br />awan-awan nila<br /><br />angin menggoyang tumbuhan liar<br /><br />di dinding bangunan tua sebuah kota<br /><br /> <br /><br />kepada mereka, ia tanyakan:<br /><br /> <br /><br />apa arti pergi dan kembali, bagiku<br /><br />jika setiap kepergianku adalah<br /><br />awal kepulangan padamu?<br /><br /> <br /><br />tetapi, adakah kepulangan, bagiku<br /><br />jika di tiap panorama yang terlihat dalam kepergianku<br /><br />yang tampak hanya dirimu?<br /><br /> <br /><br />engkau, tanah kelahiran<br /><br />yang membuatku dihantui kematian<br /><br /> <br /><br />dirimu, tanah kematian<br /><br />yang tak pernah menolakku<br /><br />untuk kembali dilahirkan<br /><br /> <br /><br />ia lepaskan lapis-lapis topeng di wajahnya<br /><br />diam, membakar segala jenis puisi dan kata<br /><br /> <br /><br />pelan-pelan ia memburung<br /><br />hilang tampak di antara awan-awan nila<br /><br />melayang bersama angin<br /><br />menggoyang tumbuhan liar<br /><br /> <br /><br />di dinding bangunan tua<br /><br />sebuah kota.<br /><br /> <br /><br />2010 <br /><br />Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-32194176280833894532010-06-19T20:55:00.000-07:002010-06-19T20:56:12.494-07:00Puisi A MuttaqinPenangkapan<br /><br />Di ranting garing, gelap merambat bagai sayap codot Mendekap buah. Buah-buah membuka mata. Segerumbul Anggur terpekur dari tidur. Segantang kunang terlepas, bagai Bulir emas. Seekor jengkrik mengiris sepi. Sepi merenggang, Dan apel-apel pun berlubang. Daun delima berbisik pada Angin. Angin memainkan lagu lembutnya. Tomat, pepaya, Dan pisang yang mulai matang jadi tak tenang. Sebutir apel Mengintip bulan, betapa merah dan menggoda ia--o, sisa Sorga yang tetap terjaga. Sebiji bintang yang bergelantung Tegang di sana, lalu lepas ke bawah. Sementara, Aku yang Menyaksikan itu semua, berdoa, seperti berharap Keberuntungan menetas dari seberkas senja. <br /><br />2009 <br /><br />Panduan <br /><br />Dengan kesabaran, kita putar kaki pelan-pelan. Dua kaki Berkitaran, seperti laku matahari dan bulan. Kita bersepeda, Mengikuti rima jalan. Biar jalan bergeronjal dan berbenjol, Tak apa. Mari kayuh dengan tabah. Dengan kekhusukan yang Nyata. Tak boleh curang kaki sebelah. Karena akan melukai Kaki sebelahnya. Juga mengingkari kaki kita semua. Tak Perlu tergesa. Karena akan berat sendiri. Jadi dibutuhkan kaki Yang kompak, seperti pribahasa tentang ringan dan berat. Sabar adalah kunci. Nikmati saja pemandangan sekitar: buah-Buah mangga yang sedang bertapa, kebun kelapa yang Menanti air sorga, atau sedap kamboja yang setiap malam Sampai ke ranjang kita. Kayuh terus. Dan santai saja. Itu jurus Membunuh bosan. Juga demi perut yang gampang gendut. Tak perlu gupuh ke jalan pulang. Semua jalan adalah pilihan. Tugas kita hanyalah jangan sampai sepeda tabrakan. <br /><br />2010 <br /><br />Perlawanan <br /><br />Kupakai jaket panjang, bertabur kunang-kunang. Kupadu Kaos kutang bergambar codot terbang. Celanaku cingkrang Bermotif ganja jarang. Kukalungkan ranting mawar di leherku Jenjang. Kulubangi hidung dan bibir, agar umang-umang Sesekali bisa mampir. Kutampung tawon dan laron yang tak Punya pohon, di dadaku yang monoton. Kupasang walang Garing dan kepinding di dua kuping. Darah meninggi. Hati Dan paru mekar. Dan nafas pun terdengar kembar, seperti Babi lapar yang diseret sepanjang pasar. <br /><br />2009 <br /><br />Pelepasan <br /><br />Datang ya angin. Leburkan segala ingin. Datang ya bulan. Balur sekujurku dengan kelembutan. Datang ya matahari. Ajari aku memberi dan membagi. Datang ya air. Mahirkan Aku mengalir dan mendesir. Datang ya kembang. Ajak Kumbang. Kupu juga. Juga ulat dan telurnya. Biar pada Mekar kekuncup habbah. Datang ya buah. Bawa bijimu. Biar Tumbuh di perutku. Hingga tak sendiri daun hatiku. Datang Ya burung. Tetaskan jantung. Setelah itu kita terbang. Tinggalkan usus yang tak kunjung lurus. Menyusul sepasang Mata yang telah jadi kupu kurus. Menyusul telinga yang Menjelma lelawa halus. Menyusul nafasku ungu ke daur Debu. Menempel di pucuk-pucuk wuku, di pohon-pohon Waktu. <br /><br />2009 <br />A Muttaqin lahir di Gresik, tinggal Surabaya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-89115087940607869532010-06-19T20:51:00.000-07:002010-06-19T20:52:13.383-07:00Cerpen Cicilia ODAYSolilokui Bunga Kemboja<br /><br />Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:56 WIB<br /><br /><br />Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna gincu wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.<br /><br />Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.<br /><br />Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi.<br /><br />Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku. Sempat kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda kodrat itu, sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu dengan panggilan ibu.<br /><br />Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati ataupun benda hidup.<br /><br />Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati bernama mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak menuju suatu tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya.<br /><br />Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa tubuhnya memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan mengulangi kebiasaan yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola kegiatannya meskipun sebatas teras dan garasi itu saja.<br /><br />Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia dirinya. Tak jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka. Percakapan yang diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan sebelum mencapai ruang tamu.<br /><br />Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan lelaki itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil yang selalu ia tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari bercakap ditemani penganan dan secangkir teh.<br /><br />”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata perempuan yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh ceking berjalan melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya.<br /><br />”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya.<br /><br />”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau dia benar-benar menatap kita.”<br /><br />"Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.”<br /><br /> <br /><br />Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata para wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan teman-temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa kecewa yang hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa pernah sempatkan melirikku barang sekejap.<br /><br />Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang kucintai. Atas kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak peduli berapa kali dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan memberiku pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya tetap tak bisa membantu. Aku telah kehilangan minat terhadap kehidupan.<br /><br />Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut diriku yang tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras rumahnya turut merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama dukaku belum teratasi. Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya menatap iba kepada kami.<br /><br /> <br /><br />Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras menuju garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya sambil bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya. Tetapi kepada seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya disebabkan oleh sikap murung ibunya.<br /><br />Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa dirinya tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris seluruh Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa, kelopak-kelopak bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk.<br /><br />Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk menyerah dari hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya hiburan di masa menjelang pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si lelaki lebih menyayangi sang ibu daripada benda mati yang ia mandikan setiap pagi, walaupun tampak ia lebih besar menaruh perhatian padanya. Tetapi ia tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai diriku dan bunga-bunga Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri.<br /><br /> <br /><br />Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun menyaput sekujur kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil pagi. Tetapi pagi itu aku merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku bahkan mekar lebih lebar daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan pintu depan di ujung teras itu dibuka untuk pertama kali.<br /><br />Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah yang selalu membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram tanaman di tangannya, dengan bekal semangat berniat memberi kami makan. Minggu-minggu terakhir betapa pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi kujamin pagi ini keputusanku menjadi mekar kembali dapat mengembalikan semangat yang sempat redup wanita bergincu itu.<br /><br />Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi yang tampak olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang membalut tubuhnya nyaris sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai. Aku terus mengawasi wajah tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar keras, sehingga menyebabkan kelopak-kelopakku bergoyang.<br /><br />Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik menuju pintu, berlari sepanjang ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu muncul lagi bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu melebar sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak kami secara bergantian.<br /><br /> <br /><br />”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu berkata. Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu. Keterkejutan di wajahnya berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan. Pelan bahunya lantas bergetar sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu mendekap tubuh ibunya, merapatkan kepala pada bidang dadanya.<br /><br />”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu.<br /><br />”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih yakin dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua kali lipat kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya membawa berlipat-lipat kebahagiaan bagi diriku.<br /><br /> <br /><br />Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai genta dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia dapat bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita bergincu yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya.<br /><br />Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu. Mulailah pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak biasa.<br /><br /> <br /><br />Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku berdebar keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka, menyusul dirinya berjalan keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka pintu di samping jok penumpang. Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal mayang, berdiri di sampingnya.<br /><br />Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan melintasi teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka berhenti. Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas tangan lelaki yang menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas.<br /><br /> <br /><br />”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus angin menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku melayang jatuh, disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung lengan tempat pangkal daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang apa pun tak dapat menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang, aku ragu bahwa anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di antara si lelaki dan perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali takdirku sendiri karena tercipta hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja.<br /><br /> <br /><br />Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu tetap terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki itu terangkat menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama ia menyentuhku, ia membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat aku tertancap seorang diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja. Hidupku berakhir di ujung jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah direkah senyuman membawaku kepada perempuan berambut panjang ikal mayang yang tengah cemas menantinya di tengah teras.<br /><br />Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku dapat menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap diriku di ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut wajah perempuan yang balas tersenyum.<br /><br /> <br /><br />Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di antara helai-helai rambutnya.<br /><br />”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya.<br /><br />Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya. Dari sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung detik-detik kematianku.<br /><br /> <br /><br />”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang kucintai sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Seandainya aku tercipta sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar lebih banyak tentang cinta daripada yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga Kemboja.<br /><br />Januari, 2010Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-39557898209870823662010-06-19T20:50:00.000-07:002010-06-19T20:51:11.911-07:00Cerpen Clara NgRisalah Lidah<br /><br /><br />IA menemukan kota kecil di dalam mulutnya. Sebulan lalu, waktu Ibu selesai mengepang rambutnya panjang di kiri dan kanan, Asna mendengar suara tangisan bayi. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya--betapa anehnya ungkapan itu, tapi rasanya benar. Setelah kebingungan beberapa saat, akhirnya Asna membuka mulut di depan cermin, memandang kegelapan di tenggorokannya sambil menunggu kesunyian lewat. Telah hilang semenit, suara tangis itu terdengar lagi. <br /><br />Cepat-cepat Asna menjulurkan lidah. Pancaran matanya berkilat tak percaya ketika memandangi lidahnya. Ada sesuatu di sana. Air mukanya yang tadi merona merah jambu langsung luntur menjadi pias. Apa yang terjadi? Ia sedang berdiri di depan cermin sambil memandangi lidahnya yang padat dengan jalan raya, rumah, gedung, dan pagar. Ada kota mungil tumbuh di atas lidahnya. <br /><br />Asna terguncang hebat, mundur selangkah. Lidahnya masuk kembali ke dalam mulut dengan kilat seakan tertelan. Seluruh pori-pori kulitnya gemetar. Apa itu tadi? Sebuah kota? Atau apa? Gadis delapan tahun itu tak bisa memikirkan apa yang barusan melintas di depan matanya. Otaknya membeku. Dengan gamang, ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah cermin. Jam berdetik, tak bisa mengukur ketegangan yang ia rasakan. <br /><br />Sekarang Asna baru tahu, ternyata lidah punya kejutan berbuncah. Pelan-pelan ia membuka mulut lagi, menjulurkan lidah sejauh-jauhnya. Sungguh, ia tidak salah lihat. Menakjubkan. Terpukaulah ia. Lihat, ada peradaban di lidahnya! Ada anak-anak kecil bersepeda di taman ditemani ibu-ibu muda mendorong kereta bayi. Pohon-pohon hijau melambai indah, berderet-deret di sepanjang jalan. Mobil-mobil berlalu lalang dengan santai, tidak ada kesibukan yang dikejar-kejar. Ada gedung-gedung jangkung seperti gedung-gedung di New York. Ada hotel-hotel mungil dengan jendela berbingkai seperti di Paris. Air mancur di kolam-kolam bening seperti di Madinah. Asna takjub tak alang kepalang. Ia seperti menemukan pintu ajaib menuju negeri dongeng. <br /><br />Ini hal baru. Tentu saja Asna akrab dengan lidahnya, sama seperti manusia-manusia normal yang akrab dengan anggota tubuhnya yang lain. Ia tidak terlalu sering memperhatikan apa yang terjadi dengan lidahnya, tapi ia tahu lidahnya selalu ada di sana untuknya. Lidah selalu melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik, Asna tidak perlu protes dengan lidah. Hanya sekali-kali ketika sariawan menyerang, Asna membenci masa-masa itu, tapi tidak pernah membenci lidah. <br /><br />Penemuan kota lidah berusaha Asna ceritakan pada ibu, tapi ibu tidak mau mendengar. Katanya Asna mengada-ada. Ia ceritakan pada ayah, tapi ayah hanya tertawa lalu sibuk menekuni ponselnya. Ia mau ceritakan pada guru mengaji, tapi kayaknya percuma karena bisa-bisa ia dipukul pakai penggaris. Akhirnya Asna tidak mau bercerita pada siapa-siapa. <br /><br />KOTA itu terus tumbuh dan Asna menjadi saksi pertumbuhan kota itu. Bayi yang dilihatnya kemarin merangkak, esoknya sudah belajar jalan. Anak yang bermain bola ternyata minggu depannya sudah merokok. Lelaki berkumis yang rajin mengajar di sekolah ternyata dua minggu kemudian meninggal dunia. Waktu berdetik lebih cepat di sana. <br /><br />Asna betah kembali ke lidahnya. Bagai magnet, ia tak bisa mengelak dari rasa ketertarikan pada kota damai yang pelan-pelan berubah menjadi bising. Hiruk-pikuknya menjadi tanda-tanda tragedi yang mengerikan. Mobil-mobil di jalan raya sering mengeluh dan melenguh keras. Anjing menggonggong mengancam, bercampur baur dengan bunyi-bunyi ganjil lainnya. Para penghuni kota berusaha menjinakkan teror yang tumbuh semakin besar. <br /><br />Suatu hari, di tengah malam Asna terbangun oleh pekik kemarahan yang menggema di kepalanya. Ia turun dari ranjang dan berjinjit di depan cermin. Di sana tampak lampu-lampu jalan yang meredup, menjadi saksi keributan manusia yang terusir dari pinggir jalanan dan kolong jembatan. Wajah-wajah bengis dan paras-paras putus asa saling memandang satu sama Mereka dorong-mendorong dan caci-mencaci. Tangisan anak-anak dan jeritan kutukan sahut menyahut. Adegan demi adegan terus beralih, tiba-tiba terdengar suara tembakan. DOR! <br /><br />Asna terpaku kaget, lidahnya nyaris tertelan. Cepat ia berbalik, terbirit-birit menuju kamar ibu. Ia menyusup di tengah-tengah orangtuanya, tak bisa lelap tidur sepanjang malam. Matanya berkaca-kaca. Ia mengompol pada dini hari. <br /><br />Esoknya ibu marah sekali pada Asna. "Bagaimana mungkin anak kelas tiga SD masih kencing di kasur?" bentak ibu murka. Asna membela diri, ia tidak sadar kemarin malam. Ibu tidak menyimak perkataannya. Ibu terus membentak-bentak Asna, merepet-repet sambil mengganti seprai. Mbak Iyo sudah seminggu pulang kampung dan belum balik. Sepertinya Mbak Iyo mencuri kesabaran Ibu dan membawanya ke kampung untuk dibagi-bagikan kepada ibu muda di sana. Sungguh beruntung ibu-ibu muda di kampung Mbak Iyo. <br /><br />Asna kagum dengan tsunami kata-kata ibu. Ia ingin tahu bagaimana seorang perempuan bisa berbicara secepat itu? Asna mendelik memperhatikan lidah ibu, seperti apa lidahnya. Lidahnya datar. Ya, ya, seperti apa kota yang tumbuh di lidah datar itu? Asna meminta ibu menjulurkan lidah. Oh, mengamuklah ibu! Ia tambah marah, mengira anak perempuannya menyepelekannya habis-habisan. Marahnya sambung menyambung, bergantian; seperti naga ia menyembur-nyemburkan api. Namun bukan ibu namanya kalau ia tidak mahapengampun. Setelah marah-marah tak berkesudahan, marah ibu disudahi juga. Ia menjulurkan lidah buat Asna. <br /><br />Ada yang salah. Ternyata tidak ada kota apa-apa di lidah ibu. Asna malah terpaku memandang gurun pasir. Gurun pasir berwarna kuning keemasan tercadar oleh debu. Kaktus-kaktus berdiri kaku dalam keheningan, masing-masing sendirian dalam hamburan angin yang mengaum keras. Cahaya hanya redup di sana, kalah oleh kematiannya. Tidak ada keriangan, semuanya beku dan panas seperti api kebencian. Ibu bertanya apa Asna puas? Asna terlalu kaget untuk menjawab apa-apa. Ibu menarik lidahnya lagi, menelan gurun pasir ke dalam mulutnya. <br /><br />Sejak hari itu, Asna mulai senang membujuk orang-orang untuk menunjukkan lidahnya. Asna menemukan permainan baru, menyadari bahwa lidah-lidah yang dimiliki manusia tidak ada yang sama. Ayahnya memiliki pasar yang teramat besar tumbuh di atas lidahnya. Di sana ada pedagang-pedagang yang suka saling tipu-menipu satu sama lain. Jalan-jalan besar lebar yang penuh dengan teriakan penjual merayu kebohongan. Keramaian tak tertanggungkan di bawah terpal-terpal yang gagah melindungi meja kayu dan daging ayam, kambing dari sengatan panas. Kekotoran dan kesemrawutan yang membusuk. <br /><br />Lidah pamannya lebih lucu lagi. Tidak ada kota atau pasar atau gurun pasir di sana. Yang ada hanya lapangan luas dengan satu monumen agung di tengahnya. Setiap hari lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mengangkat spanduk dan kepalan tangan. Mereka berprotes dan berdemonstrasi, berpekik tentang demokrasi, revolusi, kekuasaan, kemerdekaan, kejayaan, kemenangan. Berulang-ulang kata yang sama dipanggil, pagi siang sore malam; tidak ada hal yang baru lagi. Manusia-manusi adalah poros alam semesta di dalam lidah paman, bukan yang lain. <br /><br />Siapa yang percaya pada apa yang dilihat Asna? Mereka ikut-ikutan melihat di cermin, tapi yang ada di mata mereka hanya lidah biasa berwarna merah dengan bintil-bintil kecil seperti jerawat. Tidak kelihatan apa-apa. Lagian siapa yang mau memercayai anak kecil? Yang tidak tampak tapi dikatakan tampak bukan cerita istimewa yang layak didengarkan. Asna dituduh memiliki daya khayal dan tingkat lelucon yang terlalu kekanak-kanakan. <br /><br />Tidak ada lagi yang mau percaya pada perkataan Asna, sebab itu Asna bosan memberitahu. Ia memutuskan hanya mengamati lidahnya saja, menonton dalam kegairahan yang tak berjumlah ketika kota di lidahnya tumbuh semakin serampangan. <br /><br />ASNA tumbuh semakin besar, demikian juga dengan kota di lidahnya. Waktu ia berumur sepuluh tahun, kota itu semakin sesak. Jalan layang bertumpuk-tumpuk, sampah berkembang biak, mal-mal dengan etalase yang genit membakar setiap inci kota. Deru angin menggulung-gulung, menebarkan kengerian dan kebekuan di sepanjang trotoar. Waktu ia berumur lima belas, pohon-pohon gundul di sepanjang taman-taman. Penjara penuh dengan orang yang saling membunuh, tapi lama-lama satu per satu orang mati karena terbunuh. Gedung bioskop kosong melompong. Sepanjang gang, kekejaman meluap dari gorong-gorong tempat tikus-tikus raksasa hidup. <br /><br />Sejak remaja, Asna tidak lagi meminta orang menunjukkan lidahnya pada Asna. Ia mual melihat lidah-lidah di dunia. Bertahun-tahun Asna mencari lidah yang menumbuhkan taman Firdaus di atasnya, tapi ia tidak pernah menemukan. Ia melihat ratusan kota pengap, gurun pasir mengerikan, ladang ilalang yang kesepian, berhektar-hektar payau, kebun yang hangus, sampai kubangan tinja. Ia tidak sanggup melihat lagi. <br /><br />Dalam kesendiriannya, Asna menonton kehancuran kota lidahnya yang merayap dengan cepat pada usia tujuh belas tahun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolongnya, seakan-akan kotanya memiliki takdirnya sendiri. Mustahil menyelamatkan, bahkan ia sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kotanya mati setahun setelahnya. Tembok cat mengelupas, menelanjangi dinding-dinding yang runtuh perlahan-lahan. Jendela kosong memandangi gema. Pintu retak-retak, membisu sepanjang malam. Pabrik berhenti menggerutu dengan asapnya. Tidak ada manusia yang hidup di kota itu lagi. <br /><br />Hati Asna hampa melihat kota lidahnya lenyap. Ia ingat bayi-bayi lucu yang tumbuh besar, bekerja, lalu mati. Ia juga ingat rumah-rumah kecil yang berkembang menjadi semakin tinggi dan luas, dengan keluarga-keluarga yang membengkak. Ia ingat bunga-bunga yang mengembang bersama embun. Tapi kenangan adalah seperti kertas yang tersiram air, melumatkan kata-kata yang tertera di atasnya, dan lama-lama menghancurkan kertas itu sendiri. Di usia dua puluh tahun, Asna lupa akan lidahnya. Boro-boro ingat kota, ia bahkan tidak ingat memiliki lidah. Berbaring dengan ringan setiap malam tanpa terganggu suara-suara berisik yang dulu berasal dari lidahnya. <br /><br />Suatu hari keponakannya yang mungil memasuki kamar Asna, menatap tantenya dengan pancaran mata misterius, pekat oleh kabut rahasia. Asna bangun dari ranjang, menyambut Ratri. Biasanya keponakannya pasti hendak mengajaknya bermain atau mengobrol tentang pelajaran menggambar. Tapi kali ini Ratri tidak mengajaknya bermain, ia malah meminta Asna membuka mulut dan menjulurkan lidah. Masih tersenyum Asna mengangguk, mengabulkan permintaan Ratri. Ia menjulurkan lidahnya. <br /><br />Ratri bilang lidah Asna menakjubkan. Ada kuburan besar di dalamnya. Ada deretan nisan putih pualam yang seakan-akan mengeja sendiri kata-kata yang tertulis di sana. Daun-daun merontokkan dirinya di atas pekuburan, meliuk-liuk dan berbisik-bisik menjadi gerimis. Semuanya mendesing seperti peluru dalam kesunyian. <br /><br />Asna memandang Ratri dengan tatapan heran. "Kuburan di lidah?" tanyanya. <br /><br />Ratri bilang, "Coba lihat di cermin, Tante." <br /><br />Asna pergi ke cermin dan menjulurkan lidahnya sekali lagi. <br /><br />"Sayang, tidak ada kuburan di sini." <br /><br />Keponakannya tetap ngotot. <br /><br />"Tapi Tante tidak melihat apa-apa." <br /><br />Ratri memberikan tatap kecewa kepada Asna. Asna balas memandang Ratri dengan senyum lebar. Ratri melengos. Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa lagi, mungkin menyerah meyakinkan Asna atau tidak punya ketekunan memberitahu. Ia melompat-lompat keluar seperti kelinci, terus berjalan menuju ke kebun belakang. <br /><br />Sekeluarnya Ratri dari kamar, Asna berbaring di ranjang dengan senyum yang masih dikulum. Anak-anak, pikirnya sambil mendengus, tidak pernah berbicara benar. Mereka selalu berkhayal yang aneh-aneh. Mereka... ah. Mendadak sesuatu menyisiri pikirannya, ada yang berdenting di sana. Asna mengingat kupu-kupu, mengingat rumah, mengingat kota, mengingat lidah, sepertinya terjadi beberapa dekade lalu. Terasa samar-samar, tapi ada. Seberapa kuatnya ia berusaha mengingat, Asna tidak pernah bisa kembali ke jejak masa lalu. <br /><br />Asna segera melupakan perkataan Ratri tentang kuburan, dan juga tentang imaji hujan daun di musim gugur. Sudah terlalu siang, ia tidak mau berpikir terlalu berat. Ia hanya ingin menikmati tidur yang tak terganggu sampai matahari turun. Hari ini adalah hari cutinya, enaknya dinikmati di rumah seharian. Biarkan saja atasan dan rekan kerjanya menjadi besi karatan, tenggelam di lautan hiruk pikuk kesibukan kantor. Asna mematikan Blackberry-nya. Matanya terpejam pelan-pelan, kegelapan menghunuskan pedangnya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa Ratri dari arah kebun dan teriakan pembantu bersahutan di antaranya. Asna tertidur, lidahnya berdecak-decak dalam mimpi. <br />Clara Ng tinggal di Jakarta. Telah menerbitkan 11 novel, antara lain Jampi-jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2009); dan sebuah kumpulan cerita pendek, Malaikat Jatuh dan Cerita-Cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-16598502194561941622010-06-19T20:41:00.000-07:002010-06-19T20:48:30.607-07:00kampung dalam akuarium<br /><br />Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:59 WIB<br /><br />Zelfeni Wimra<br /><br />ke pemancingan mana lagi kautumpahkan rindu<br /><br />melumutkan kecemasan pada lendir umpan<br /><br />dan mata kail yang lapar<br /><br />agar ikan-ikan mau kaubujuk bercerai dengan lubuk<br /><br />dan pulang ke kampung penggorengan<br /><br />pelengkap hidangan di meja makan<br /><br /> <br /><br />kau tahu, sejauh-jauh pergi menyisir bibir sungai,<br /><br />hanya untuk mencari air keruh,<br /><br />ikan-ikan pilihan tak akan memakan umpan dalam kejernihan<br /><br />kau tinggalkan hulu yang hening-bening<br /><br />muasal segala arus terus menghanyutkan<br /><br />anak-anak pantau dengan sejarah hambar<br /><br />entah arah mana akan dituju<br /><br />sebut saja, kampung berair jernih berikan jinak;<br /><br />berair keruh berikan liar;<br /><br />berair tawar berikan banyak<br /><br />alamat kepulangan yang pahit<br /><br /> <br /><br />aku beritahu, andaikata usahamu sia-sia, pulanglah.<br /><br />aku dan ikan-ikan yang kauburu<br /><br />setelah penggusuran itu<br /><br />kini tinggal di kampung baru<br /><br />mendekam di kamar air empat persegi<br /><br />pada sebuah ruang tamu tidak berhulu-bermuara<br /><br />hanya gelembung-gelembung dihembus tenaga listrik<br /><br />juga kincir-kincir plastik<br /><br />batu-batu buatan dan lukisan karang di balik kaca<br /><br />terasa seperti menyelam-melintas di antara<br /><br />tanjung dan teluk kampung pesisir yang tenang<br /><br />meski tidak ada kapal-kapal berbenah<br /><br />bagi pelayaran para pelaut<br /><br />apalagi jejaring pukat ikan karang<br /><br /> <br /><br />bertandanglah, oi pemancing<br /><br />bukankah sungai-sungai yang menghilir<br /><br />dari hunjaman kaki-kaki hujan<br /><br />sudah tidak mampu menafsirkan kehendak air matamu<br /><br />dan kerinduan tidak selamanya mesti dipuaskan<br /><br />dengan tancapan mata kail di rahang ikan yang rakus<br /><br /> <br /><br />aku bayangkan kau datang<br /><br />sebelum insangku sempurna jadi karang<br /><br />menyematkan mata kail<br /><br />di setiap saku baju para tamu<br /><br /> 2010<br /><br />Zelfeni Wimra<br /><br /> <br /><br />pada sebatang tubuh yang tidak lagi muda<br /><br />ia kini berkurung, menujum bunga, meninggam buah<br /><br />mengurut cemburu ke sekeliling<br /><br />ke batang lain, beragam buah bergelantungan<br /><br /> <br /><br />riwayat bunga putik dan burung<br /><br />burung yang gemar mematuki madu di benang sari<br /><br />telah lama berlalu<br /><br />bunga putik berubah bentuknya<br /><br />dari kelopak yang merekah<br /><br />kini meranum sebagai buah yang sempurna<br /><br />meski sebagian bergelimpangan<br /><br />menghitam, tak mampu mengubah diri<br /><br />dulu kelopak yang gemilang<br /><br />kini lendir sekarat, meradang di pangkal batang.<br /><br /> <br /><br />seseorang, belakangan sering datang, duduk mengenang<br /><br />menimbang setiap cabang:<br /><br /> <br /><br />”ini kebun sungguh rindang<br /><br />tangan siapa yang dingin dan suka menanam batang-batang;<br /><br />tubuh-tubuh indah dan riang? buahnya, aduhai, rindu yang matang.”<br /><br /> <br /><br />”mereka menanam tubuh mereka sendiri,” ingin ia jawab begitu<br /><br />tapi undur ketika melepas pandang ke sekujur batang yang berliang:<br /><br />dari bengkalai badan yang sunsang<br /><br />entah apa kelak akan dipetik orang?<br /><br /> <br /><br />ia idamkam sebatang lain dalam waktu yang baru<br /><br />tumbuh memayungi pagar halaman,<br /><br />pintu kamar seorang pencinta<br /><br />telah lama menanti kepulangan kekasihnya<br /><br />membawa jinjingan, buah tangan perantauan<br /><br /> <br /><br />tapi apa yang meletup<br /><br />berdentang tak henti di balik kedua buah dadanya<br /><br />telah kekal sebagai cikal bunyi<br /><br />seperti tonjolan talempong yang dipukul tak beraturan<br /><br />mengundang orang berdendang tari selendang<br /><br /> <br /><br />sebelum sampai ke gendongan, merasakan geliat<br /><br />dan rengek, juga jemari kecil yang lunak<br /><br />buah hati tak lebih dari dongengan para nabi dalam kitab suci<br /><br /> <br /><br />melewati pagi dengan segelas pergunjingan<br /><br />mengaduk buah bibir dengan buah pikiran<br /><br />meski pada akhirnya jadi buah angan saja<br /><br /> <br /><br />seorang yang belakangan sering datang memegang cabang<br /><br />sementara tubuhnya terus meliuk ditunda angin<br /><br />musim yang tentu akan selalu berganti<br /><br /> <br /><br />2010<br /><br />Gunawan Maryanto<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Wong lanang lara atine --------------------------<br /><br /> <br /><br />Seorang lelaki yang sakit hati<br /><br />Melaku ning tengahing wengi<br /><br /> <br /><br />-------------------Berjalan di tengah malam buta<br /><br />Gerimis lan melu nangisi ------------------------ Gerimis pun ikut menangisinya<br /><br />Uripe wis kerasa mati<br /><br />-----------------------------Hidupnya terasa sudah mati<br /><br /> <br /><br />Dewi Kirana, 30 tahun, menyapa penggemarnya yang berkerumun. Sebuah kebetulan, mendadak hujan turun. Seperti menegaskan bahwa lagu itu nyata hadir malam itu. Para lelaki yang merasa terwakili menggoyangkan dadanya. Ada juga yang mengeras di dada saya. The queen of Pantura datang pada mereka malam ini bersama the best of music yang paling eksis Puspa Kirana. Bagai Dewi Padi yang dirindukan para petani–mereka yang datang dari abad lima belas. Keributan sempat terjadi di pinggir panggung antar-remaja tanggung. Tapi hiburan terus berlangsung.<br /><br /> <br /><br />Empat anak Sang Dewi duduk di belakang panggung berjajar seperti pagar ayu, menyaksikan ibunya bertarung. Entah berapa lama lagi ia sanggup bertahan. Mau tak mau perahu yang mereka tumpangi malam itu akan tenggelam. Beberapa musim panen lagi mungkin. Akan segera tiba perahu yang lain dengan dewi yang lain–yang lebih muda yang lebih menggoda.<br /><br /> <br /><br />Jerite sajeroning ati<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />--------------------------------Ia menjerit dalam hati<br /><br />Banyumata bli bisa mili<br /><br />---------------------------Airmata tak bisa keluar lagi<br /><br />Larane disimpen neng dada -------------------- Sakitnya disimpan di dada<br /><br />Ngakoni sabar lan nerima -------------------- -<br /><br />Mengakuinya dan sabar menerima<br /><br /> <br /><br />Tak ada kabar gembira sebenarnya. Tapi mereka melagukannya dengan gembira. Hasilnya adalah kesedihan yang asing– entah punya siapa. Yang jelas bukan milik mereka malam itu. Sang Dewi terus bergoyang. Tato di punggungnya berkilat oleh cahaya bulan. Pemuda di samping saya memanjat ketinggian. Ia melemparkan uang ribuan dan menjerit kesenangan. Seandainya ia jatuh, ia jatuh dalam kemenangan.<br /><br />Jogja, 2010<br /><br /> <br /><br />Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi sebagai penulis dan sutradara. Buku kumpulan puisinya adalah Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008).<br /><br />Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto, Minangkabau, 26 Oktober 1979. Sutradara Teater Cabang dan penggiat Komunitas Daun serta Magistra Indonesia, Padang.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-25942877950409791252010-06-19T20:40:00.000-07:002010-06-19T20:41:18.208-07:00Sudarmoko: Kritik Sastra, Kritikus Sastra, dan Latar BelakangnyaKompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:57 WIB<br /><br />Kajian akademik terhadap karya sastra Indonesia dimulai sejak mulai dibukanya lembaga pendidikan seperti fakultas Sastra di UI berupa sekolah tinggi sastra dan budaya sejak tahun 1929, atau UGM dengan fakultas sastra, pedagogik, dan filsafatnya tahun 1950. Kita pun baru mengenal kritikus sastra seperti Teeuw, Jassin, Umar Junus, dan beberapa nama lain kurang dari 50 tahun ini. Lalu, bagaimana kehidupan kritik dan kajian sastra sebelumnya? Dan apa pentingnya membicarakan dan mengotak-ngotakkan kritikus dan apresiator sastra Indonesia?<br /><br />Banyak media massa yang terbit pada masa penjajahan Belanda yang memuat berbagai apresiasi, analisis, komentar, resensi, dan bahkan polemik berkaitan dengan karya sastra yang diterbitkan. Kebanyakan kritik itu ditulis oleh para wartawan, penulis, dan masyarakat pembaca. Ambil contoh polemik terhadap karya sastra yang diterbitkan di sekitar Sumatera Barat dan Sumatera Utara pada akhir 1930-an. Banyak tulisan di surat kabar dan majalah yang membahas tentang keberadaan karya-karya itu. Terakhir kemudian diadakan konferensi roman di Medan pada akhir 1939.<br /><br />Majalah-majalah dan surat kabar sudah memberikan ruang yang cukup luas untuk apresiasi dan polemik ini. Majalah Pujangga Baru dapat dijadikan contoh berlangsungnya perdebatan kritik seni dan budaya, termasuk di dalamnya sastra. Sutan Takdir Alisjahbana dapat dijadikan salah satu sosok yang ikut membangun wacana dalam bidang ini, selain nama-nama seperti Gayus Siagian dan Hamka.<br /><br />Tentu saja, pengetahuan sastra dan kajian sastra para kritikus itu dilandasi pada pengetahuan, pengalaman, dan rasa yang ada pada mereka. Sebagian mungkin mendapatkan pengetahuan dari buku-buku, referensi agama, surat kabar, atau sumber lain. Yang pasti, belum ada sekolah atau universitas khusus yang mempelajari dan mengajarkan kajian sastra. Meski kajian kritik sastra di luar negeri sudah berlangsung beberapa dekade sebelumnya, tapi secara akademis belum terbentuk di Indonesia tersebab beberapa alasan akademik dan nonakademik.<br /><br />Berlangsungnya kritik sastra Indonesia modern ini juga sebenarnya didukung dan berpusat pada keberadaan universitas yang membuka jurusan sastra dan ilmu budaya. Dengan landasan teoretis dan format berpikir yang terstruktur secara akademik, kajian kritik sastra dapat bertahan dari waktu ke waktu. Namun demikian, apresiasi para pengkaji sastra yang berasal dari luar wilayah akademik sastra turut memberikan sumbangan yang tidak kecil.<br /><br />Media menjadi salah satu instrumen dalam membangun kajian sastra. Untuk kasus di Indonesia, surat kabar menjadi fondasinya. Banyak apresiasi dan kritik sastra berlangsung di surat kabar. Tidak sedikit yang memiliki pandangan tajam, kebaruan dalam melakukan kritik, dan juga ide-ide segar dalam perbincangan sastra. Tema-tema khusus dan menarik diolah menjadi esai yang sederhana dalam hal panjang tulisannya. Namun demikian, dari hal-hal yang terbatas kedalaman dan keluasan ruang itu, kajian dan apresiasi sastra Indonesia menjadi terjaga ritme dan perjalanannya.<br /><br />Hal berbeda terjadi dalam majalah atau jurnal khusus sastra. Dengan tingkat akses yang terbatas, seleksi dan editing yang juga masih terbatas, oplah yang sedikit, menjadikan majalah dan jurnal khusus sastra belum sepopuler surat kabar. Tampaknya motivasi dalam publikasi ini juga berbeda, tersangkut masalah finansial dan juga motif publikasi, baik bagi pengelola media maupun penulisnya.<br /><br />Masih berkaitan dengan media, tulisan-tulisan atau artikel yang membahas sastra Indonesia modern yang ditulis oleh para peneliti luar negeri dan dipublikasikan di berbagai jurnal internasional masih terus berlangsung. Beberapa jurnal di Inggris, Belanda, Perancis, Amerika, Malaysia, Singapura, dan Australia masih memuat kajian-kajian terhadap sastra Indonesia. Wacana yang berlangsung di berbagai jurnal internasional itu mungkin belum dijadikan referensi dan pendukung bagi wacana yang berlangsung di dalam negeri. Beberapa jurnal dan artikel itu bisa diunduh dengan bebas jika para pengkaji sastra ingin mendapatkannya.<br /><br />Dalam praktiknya, perbedaan antara akademis dan nonakademis dalam pengkajian dan penelitian kritik sastra kita tak ada bedanya, atau dapat dikatakan kecil. Seperti disinggung oleh Damhuri Muhammad dalam kuliah publiknya di Yogyakarta pada Maret lalu, bertajuk ”Akademisi Sastra vs Esais Sastra Mencari Kutu dalam Seteru”. Bahkan, berbagai hasil apresiasi dan kajian sastra yang dilakukan oleh kalangan nonakademisi sastra telah memberikan pemahaman dan sudut pandang yang penting dalam kajian sastra secara keseluruhan.<br /><br /> <br /><br />Surat kabar dalam rubrik seni dan budaya juga diisi oleh berbagai kalangan. Memang tidak berbanding dengan isi jurnal yang didominasi oleh kalangan dari perguruan tinggi. Namun, untuk majalah dan berkala yang diterbitkan di luar lingkungan akademik, tetap menunjukkan kontribusi yang berimbang. Hal ini tidak terlepas dari ranah dan lingkup serta tujuan penerbitannya.<br /><br />Tampaknya, sastra menjadi medan terbuka yang menarik banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Hampir semua orang membaca karya sastra, baik dalam bentuk buku maupun yang terbit di surat kabar dan berbagai media lain. Semua orang berhak dan terbukti terlibat dalam proses produksi dan reproduksi sastra. Banyak komunitas sastra muncul. Pembaca baru dan lama saling merangsek masuk. Apresiasi pun hendaknya merangkum sifat keterbukaan ini.<br /><br />Bila kemudian institusi akademis sastra dijadikan satu bagian penting dalam kajian dan kehidupan sastra, itu karena mereka hidup dan bekerja dalam sebuah lingkungan yang sebenarnya kemudian harus bertanggung jawab untuk menjaga kelangsungan dunia sastra lewat pengajaran, kajian, dan penelitiannya yang terwujud dalam berbagai tulisan. Bila tidak terjadi, tentu saja kalangan yang lain, yang tidak berlatar belakang akademi sastra dipersilakan untuk menutupinya. Seakan-akan ini menjadi medan perebutan makna, yang ternyata tidak ada otoritas mutlak di dalamnya.<br /><br />Kita juga melihat, banyak redaktur sastra, sebagai bagian yang juga penting, yang tidak berlatar akademi sastra. Demikian juga dengan para penulis karya sastra. Lalu, kenapa harus ditunggu para akademis sastra untuk bangun dan sadar akan peran dan tanggung jawabnya? Ah, ternyata mereka, termasuk saya, belum betul-betul sadar dengan tugasnya.<br /><br />Sudarmoko Dosen Sastra Indonesia FSUA, Padang, Dosen Tamu Jurusan Melayu-Indonesia HUFS, Yongin, KoreaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-69246994516787868362010-06-19T20:34:00.000-07:002010-06-19T20:37:47.676-07:00Puisi Oky SanjayaKonsisten<br /><br /><br />kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.<br /><br />tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.<br /><br />tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan.<br /><br />selintas memang, kau melihatku agak marah,<br /><br />rumah yang telah lama kita bangun,<br /><br />hancur; atau terlanjur digusur.<br /><br />“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.<br /><br />tapi cinta kita lengkap.<br /><br /><br />seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur<br /><br />tidak berkata-kata; atau menanyakan<br /><br />silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah<br /><br />yang turun-temurun terkubur bersama,<br /><br />seseorang yang mungkin kamu; tetangga.<br /><br /><br />kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,<br /><br />yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu<br /><br />resiko salah berhitung.<br /><br />-----<br /><br />Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung. Bergiat di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6677491988123434080.post-86201972477635960702010-06-19T20:32:00.000-07:002010-06-19T20:33:59.107-07:00Refleksi DJADJAT SUDRADJATCopyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.<br />Minggu, 20 Juni 2010<br /><br />Sembunyi<br /><br /><br />INI bulan Juni. Bulan yang belakangan sering saya ingat karena penyair Sapardi Djoko Damono “memaknainya” dengan sangat istimewa. Dalam Hujan Bulan Juni , sajak tiga bait ini kerap menggoda saya tentang sesuatu yang sangat biasa menjadi sangat penting, tentang hujan bulan Juni: tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan Juni/dirahasiakan rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu.<br /><br />Itu bait pertamanya yang kerap “mengajak” kita untuk kembali “manyapanya”. Juga bait kedua yang kian menguatkan tentang nikmat membaca kata-kata, tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu.<br /><br />Seluruh bait Hujan Bulan Juni kerap membuat saya terpana. Terpana tentang personifikasinya yang tak biasa, tentang hujan bulan Juni. Bulan yang menurut Sapardi amat “tabah”, “bijak”, dan “arif”. Simak bait terakhirnya, tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu. Begitu arifnya hujan bulan Juni, hingga sesuatu yang tak terucapkan pun dibiarkan diserap pohon bunga itu.<br /><br />Saya menikmati sajak itu justru ketika banyak hal dalam realitas sosial-politik kita tak memberinya rasa percaya. Sajak Sapardi, bisa saja mengandung ironi seperti tafsir Bakdi Soemanto. Bahwa bulan Juni, katanya, yang kemarau itu, justru “dimaknai” hujan oleh Sapardi. Dalam realitas geografi kita (Indonesia) bukankah hujan memang masih turun di bulan Juni (bahkan kadang lebat dan menjadi bencana?)<br /><br />Ini bulan Juni. Saya tak tergoda untuk memanjang-manjang kata bicara segi-segi ekstrinsik sajak indah itu. Saya tak peduli bulan Juni kemarau atau tidak. Saya tak peduli teks sajak tiga bait itu realitas yang dialami oleh sang penyairnya atau imajinasi belaka. Seni punya hukumnya sendiri dan masyarakat punya ruang amat terbuka untuk menafsirkannya.<br /><br />Sebab itu, bagi saya, begitu teks sastra dibaca dan memberi rasa nikmat--juga mungkin membetot rasa “kegelisah”–dan terterima dengan tangan terbuka oleh pembacanya, ia tak perlu penjelasan apa pun. Menjadi benar pendapat bahwa seni yang bernilai memang sering tak memerlukan penjelasan apa pun. Ia akan berbicara sendiri kepada publiknya.<br /><br />Juga sajak Hujan Bulan Juni. Rasa nikmat dan gelisah itulah yang kerap membetot saya untuk selalu ”menyapa” sajak ini. Terlebih lagi di bulan Juni ini, ada semacam “ritual khusus” dengannya. Ia menjadi semacam tempat untuk saya “bersembunyi” menghadapi realitas Indonesia yang didera aneka persoalan tanpa jalan keluar. Hujan Bulan Juni bagi saya sering menjadi tempat katarsis. Seperti para dalang yang mengalami pencerahan kembali setelah membawakan serial cerita Perang Baratayudha tujuh malam tanpa henti?<br /><br />***<br /><br />INI bulan Juni. Bulan yang memunculkan rupa-rupa persoalan yang tak terselesaikan. Ada “gentong babi” yang mendapat reaksi keras publik, tapi agaknya, akan menjadi kesepakatan Senayan. Juga pembiaran tentang masyarakat yang kian mudah melakukan destruksi di hampir seluruh negeri ; tentang video porno yang jadi pembicaraan dunia; tentang infrastruktur yang kian hancur; tentang Indonesia yang kian tak tentu arah jalannya; tentang politik yang kian tak menarik.<br /><br />Banyak nama yang dulu berada di garda depan reformasi kini jadi frustasi. Benarkah reformasi telah dirampok oleh para politisi? Benarkan Indonesia sebuah konstruksi yang retak? Sebuah negeri dengan fondasi yang rapuh dan para pengelola negara yang tak peduli negeri ini mau tegak atau sebaliknya.<br /><br />Hujan Bulan Juni adalah sebuah contoh tentang hal biasa menjadi penting. Ini karena Sapardi--juga umumnya seniman--punya kekuatan yang disebut kepekaan menangkap objek. Memang menjadi ironi jika disandingkan dengan laku para politisi. Mereka membuat hal penting jadi biasa, bahkan jadi main-main karena hilangnya kepekaan dan gagalnya memaknai realitas sosial yang berdenyut. Saya tak hendak menjadikan seniman jadi model bagi para politisi, tetapi dalam soal komitmen akan profesi dan kepekaan, politisi kita sungguh harus belajar.<br /><br />Adakah saya beruntung bisa “bersembunyi” di balik sebuah teks sajak dengan 55 kata di tengah pengapnya udara politik kita? Sebuah sajak yang tak sampai menempati seperempat halaman buku saku. Tapi, ia jadi lebar untuk berlindung. Ia pasti rapuh jika air dijadikan musuhnya dan api dijadikan lawannya. Kata-kata jadi kuat ketika ia punya daya gugah dan punya kesamaan “kimiawi” dengan publiknya.<br /><br />Ini bulan Juni. Bulan yang masih muram di negeri sendiri, tapi terhibur karena tanah Afrika menyuguhkan sepak bola dunia. Inilah bulan yang membuat lebih dari separuh manusia Indonesia ikhlas memelototi layar kaca, menikmati aksi mengolah “si Jabulani”. Tetapi, dalam kenikmatan itu, saya kerap jadi masygul karena kita hanya riuh dan gempita sebagai penonton. Penonton belaka, Bung! Berpuluh-puluh tahun. Mungkin juga beratus tahun.<br /><br />Sebab itu, izinkan saya kembali pada sajak Hujan Bulan Juni untuk “bersembunyi”. Maaf…!Unknownnoreply@blogger.com0