Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 Juli 2010

Sajak Iyut Fitra

Koran Tempo, 11 Juli 2010

DARI BEBERAPA BAGIAN


1. datang malam
di luar musik jazz mulai dimainkan. gerombolan lagu lama
atau mungkin seorang kulit hitam menjeritkan birahi malam
di teras, seekor capung terluka baling-baling kipas angin
sedemikian panjangkah waktu atau justru sangat singkat
malam mulai merambat. mulai lesat

2. larut malam
jangan kauduga itu suara ketitiran atau pipit sawah. hanya hempas
ombak yang ramah. dari waktu ke waktu kita senantiasa mengulang
kata pergi dan pulang. kini kau terhampar di ranjang
mimpi apa yang kau inginkan?

jangan kausebut ini sepi atau segerombolan laron yang tercampak
di trotoar. barangkali detak nadimu sendiri yang bergetar
seolah bunyi sitar. menggiring galau pada ujung yang kauusung
: kau menaiki kereta yang nyinyir

3. telah pagi
bunyi yang satu ini seperti uir-uir. (kuingat kampung halaman
tatkala melintasi tebing menuju sawah. sebatang pimping melukai jari
tanganku). ah, barangkali serupa dendang yang dilantunkan gadis kecil
di anak tangga. kampuang den jauah di mato...
lalu matahari yang menyapamu. adakah kaupahami makna rantau
bagi lelaki

4. terik siang
bayang-bayang tak mau tinggal
benarkah itu kesetiaan yang berceceran sepanjang jalan. atau...

5. menjelang dan sesudah senja
kaulihat awan berkemas. setelah upacara dengan matahari ia tinggalkan
waktu tergolek pasrah. alangkah banyak mimpi berkunjung
ke dalam hidup. tapi kita tak bisa meraih semuanya. sungguh tak bisa!
"lalu begitu setiakah kita dengan luka? begitu tak berdayakah kita
digiring bayang-bayang ke tempat-tempat semu semata?" teriakmu
sebelum orang-orang mulai menutup jendela dan pintu

senja lepas sudah. aku tak melihatmu lagi di antara pasir, capung-capung
dan debur laut. hanya sedikit pesan yang kau tinggalkan di sebuah
surat kabar sore: waktu tak selalu ada sebagai hitungan

2010

DAN KITA BERTEMU DI BALE TIMBANG

serupa gadis belia. harum putik padi, dan dada yang tumbuh
17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam. 17 tahun almanak tersimpan
sampai resan. dan kita bertemu di bale timbang
di malam tepi kota yang hampir kita lupa aromanya. kau ditemani seorang perempuan jepang dan pelukis burung hantu. aku masih dengan baju lusuh yang kemarin
"durian yang kita tanam sudah berbuah, tidakkah kaucemburu pada waktu?"
kau kembangkan lagi jalan-jalan. debu kota serta polusi yang berubah jadi pelangi

kemudian kita bercerita tentang pohon-pohon
sepetak tanah yang akan kautetesi susu. "aku ingin jadi ibu, meski cinta
adalah kata yang selalu terlambat!" katamu seolah mengukur-ukur sesal
(di matamu--dan itu jelas tak bisa kausimpan--ada gelegak amarah ingin
berloncatan). seekor kunang-kunang rebah di samping meja
perempuan jepang dan pelukis burung hantu memesan jus jambu
"mereka datang hanya untuk menyuburkan benci di tubuhku!"

17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam
17 tahun almanak tersimpan sampai resan
dan kita bertemu di bale timbang
bercerita tentang pohon-pohon

Denpasar, Mei 2010
Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatra Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (Horison, 2006) dan Dongeng-dongeng Tua (Akar Indonesia, 2009). Giat di komunitas seni INTRO.

Cerpen Yanusa Nugroho: Tangga Cahaya...

Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010

Tangga Cahaya...

DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya-- namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).

Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini.

Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan.

***

Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.

Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.

Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni...

Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ''Capek, kurang tidur,'' begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.

Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan... aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.

***

Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.

Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.

***

Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ''kata'' sebagai wakilnya. Dan ''kata''', sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.

***

Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.

''Untuk apa, ya?''

''Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,'' ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.

Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.

''Tapi... malam-malam begini?''

''Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.''

Hmm.. kata ''diperintah'' ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.

Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.

Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ''perintah'' itu gagal dilaksanakan?

Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ''pemerintah'' yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.

''Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?'' begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.

''Yang bilang begitu siapa, Pak?''

''Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini...''

''Yaa... maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.''

''Hahahaha...nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha...''

Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?

''Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?''

''Bapak mendengar dari siapa?''

''Tak ada asap jika tak ada api.''

Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.

''Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?''

Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.

''Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm...siapa, siapa?'' tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.

''Abimanyu, anak Arjuna...'

''Yaaaa... Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?'' ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.

Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.

''Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,'' jawabku dingin.

Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.

''Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi...'' setelah agak lama dia terdiam, ''seperti itukah kematian saya?''

Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.

''Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang...''

''Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?''

''Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.''

''Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran... Hah? hahahahahaaa...Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha...''

***

Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?

Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.

Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.

Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah... kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.

Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.

***

Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***

Pinang, 982

*) Yanusa Nugroho , cerpenis tinggal di Jakarta

Puisi-puisi Tjahjono Widijanto

Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010

Lukisan Perempuan di Museum Blanco

debu berebut merajam waktu

aku terpenjara mata perempuan

semata perempuan dalam kanvasmu

mata yang menari entah dalam irama

gamelan, jazz, bosanava atau salsa.

mata yang samar serupa kabut

memucat pada lembar biografi

mefosil dalam geletar ingatan

mata perawan menyimpan rahasia api

buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa

pada bilik-bilik kahyangan yang pengap

ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam

jejak-jajak malaikat tersesat

pada rambut yang berkibar-kibar

meramu wangi udara serupa harum sesajen

ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu

di tengah ranum bola matanya

jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,

sungai dengan jenggot sulur yang getas

di antara akar-akarnya

bayangmu bergoyang-goyang

bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu

menganyam senja, jarak, peristiwa

juga warna malam dan awan

menunggu menjadi hantu di taman tua

merajam sunyi menjadi bunyi

Ubud-Ngawi, 09/010

---

Camar Mencari Ceruk Karang

waktu yang digaris gerimis mengingatkanku

ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak

mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu

bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian

mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun

bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian

''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat

sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,

harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran

sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan

dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga

kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah

selangkah lagi sampai di ujung belawan

angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!

mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api

membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui

meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata

di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap

mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir

Ngawi, 2009/2010

---

Kunti di Tepi Kali

ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu

kenangan yang akan setia mengunjungimu

dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal

segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal

alir kali jalan kenangan terpanjang

lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri

di laut gericiknya akan sampai

di hulu-hulunya kau akan menemu sampan

melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh

menitip rindu pada tajam cadas karang

rindu yang beku dan kelu

meledak dalam palung paling arus

kenangan akan turut meledak dijakunmu

membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah

pada secarik kutang di kain jemuran

melambai-lambaimu bersama angin

mendekam ngilu di sebujur pori-porimu

''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''

Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu

ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki

yang disebut-sebut sebagai suami

''Radeya, tak usah kau risau

toh sebuah nama adalah fana

seperti debu kelak turut larut

dibawa lari kereta kudamu

menuju dunia yang lain lagi''

Ngawi, 2008/2010

Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.

Puisi-Puisi Ulfatin Ch.

JawaPost, Minggu, 20 Juni 2010


Belum Tuntas Kata

Belum tuntas kata

yang berkelok di tikungan itu

jejaknya masih lekat di lengkuk mataku

sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam

hingga malam

dari siang hingga petang

Dan matahari itu sudah meninggi

meninggalkan kita

menyisakan bayangan menghitam

di belakang

2009

---

Membaca Batu

Akhirnya, wajah kita yang tertunduk

membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.

Dingin udara malam melangkahkan kaki kita

berputar seperti piringan di taman

tapi, tak juga sampai pada kata

pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu

Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu

tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu

2009

---

Laut dan Nelayan

Seberapa dalam lautan, nelayanku

ombak pun seperti diam

saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.

Dan dengan kesabaran rindu

kau menunggu

berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera

Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku

hingga badai hingga gelombang

menahan kokang

rindu pada dendam

2009

---

Rindu Yang Kutanam

Tak ada lagi prasasti itu di sini

di antara subuh yang kauketuk

dan kehadiranmu di pintu

tak ada lagi surat bertuliskan alamat

tak ada

Rindu, biarkan kutanam dalam

jangan kautanya pada buta mataku

2009

---

Aku dan Ismet


Ini hari matahari meninggi

Jejak pejalan terseok ke belakang

di antara susunan malaikat

dan penghianat

Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi

melahirkan puisi

menuntaskan sunyi

berdzikir malambertasbih bulan

aku dan ismet bernyanyi

hingga hari mengukir pagi

2009

---

Catatan Cinta Tiga Baris


1

Seberapa dalam cinta kautanam

hingga jera

merampas luka

2

Sungguh aku mencintaimu

hingga waktu memburu

api membakar jiwa

---

Catatan Beranda

1

Tak ada jejak di beranda

tak ada juga lukisan bunga ungu

di halaman depan buku itu

tinggal goresan yang bernama rindu

dan kelopak menunggu

hujan

2

Jika beranda yang kautanya

tolong jangan kauhapus dulu air mata

Sebab embun tak lagi sesejuk pagi

sebab subuh tak kauingat lagi

Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan

dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan

Tolong jangan kauseka air mata

3

Selepas subuh

beranda pun sunyi

Sajadah merapat raka'at

saat tahiyat

dan salamku padamu

2010

---

Dan Bunga

1

Dan bunga telah mati

Dan hari pun suri

Dan mimpi tak ada lagi

Dan sunyi itu pun

abadi

2

Mungkin

aku yang merindukan

sebuah taman dengan bunga-bunga

di jambangan itu

matahari jingga di atas kepala

bagai payung nirwana

Mungkin

aku yang merindukan

Kesunyian perpustakaan

yang mengantar kita pada kata

dan lipatan-lipatan kertas

tak terbaca

pada cinta atau pun luka

2009

---

Sajak Gugur

Satu kelopak bunga di taman gugur

satu sahabat, satu teman, satu saudara

dan, entah siapa lagi

menggenapkan hitungan ini

hingga nol di tangkai mawar

Aku sendiri entah kapan sampai

di urutan terdepan mengambil komando

dan kubilang 'siap'

Sedang tangan kita masih meraba

dengan sangat hati-hati sekali

menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu

untuk kita bakar sebagai kenangan

2009

---

*) ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Jogja dan bergabung dengan Teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) 1989, SAS, dan Mitra Lirika. Kumpulan puisi tunggalnya: Selembar Daun Jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, dan Perempuan Sunyi.

Hari Kusam

Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang

sedang FB tak bisa kaulepaskan

Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat

Setelah Kemarin

Setelah kemarin dan hari ini

apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta

Keangkuhan telah menutup mata hati

hingga ke sudut paling tepi

Dan tak ada lagi bulan yang sempurna

Apalagi gerhana melunaskan igauan

tentang cahaya malam, riuh anak-anak

dan kelakar para santri di bilik sepi

Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu

mengamini hingga subuh

tak ada lagi

2009

Akhir Tahun

Hari semakin tua membidik usia

bulan semakin dalam menusuk kelam

Jika kini kupilih sendiri

tak berarti aku kehilangan api

Terompet dan kembang apilah yang membuatku

sunyi menepi di akhir tahun ini

Orang-orang beramai-ramai datang

dari pelosok desa

bergerombol berpusat di kota

menunggu tengah malam tiba

Jika kini kupilih sendiri

tak berarti aku kehilangan api

Anak-anak dan suami membawaku

bermimpi berdzikir pagi

Catatan akhir

Semakin dalam kita

terperosok dalam lingkaran

semakin dalam cinta

menikam kelam

Usai Pesta Tahun Baru

Sudah tuntas bunga api semalam

anak-anak, aku dan suami bersama

dalam satu tikar dimusim durian

Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang

bermalam

kami bersendau membelah malam

Dingin ilalang membawakan angin

dari puncak merapi hinggap ke pangkuan

Tak ada api di sana

hanya kerlip lampu dan riuh pejalan

mengantar lelah

pulang

2010

Biodata

ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah

menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989

di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.

Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll

Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.

Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta

Hp. 081578879255


Rasa
Anak-anak Masa Lalu

* Rasa
* Anak-anak Masa Lalu
* Jejak Ditam
* Malam Rajam
* Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
* L a n d o
* Sajak-Sajak Mashuri
* Menari di Padang Prairi
* Suara Serak di Seberang Radio
* Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim

Sajak-Sajak Mashuri

JawaPost, Minggu, 23 Mei 2010


Berguru pada Hujan

tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku

sebentuk jarum yang runcing, dingin

menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku

hingga segala seakan hancur

dan tak terkenali kembali, lebur

tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana

seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi

seperti telapak kaki pada tanah basah...

tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput

kau kekal dan diam di pembaringan

bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya

di gigir rintik, kusembayangi bayangmu

kematianmu

aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak

wujudmu

masih maujud dalam satu kata

dan tak terkotak, terpeta

dalam kekaburan dan buta

kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih

namun aku berguru pada derasnya, suaranya

dan linangnya yang tertahan di udara

agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak

di tubuhmu

ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang

yang pernah kau pahat di kalbuku

meski perih

Surabaya, 2009

---

Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu

tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah

dan meruapkan renjana

karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit

hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam

dari malam

di sana, aku bisa berkaca tanpa suara

saat kuncup kuntum itu masih

dedahkan madah purba

hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta

mungkin hanya dalam mimpi,

kubisa menggelung rambutku

kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam

dan menggeraikan segalanya

di udara

dan ronce melati itu akan sia-sia

tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri

di padang kerontang

bagai keris kini yang mencari warangka

yang tersesat di sebuah abad yang terlupa

Surabaya, 2009

---

Rumah Kita


telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu

bersua luka

aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu

tinggalkan jejak abu-abu

seperti asap yang tiba-tiba berderap

di benak dan atap

tampak rumah kita di persimpangan

pohon randu alas meranggas, dan uap belerang

di antara kawah, di antara dua pegunungan

tak mengekalkan harapan

dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah

sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api

padam dinihari

dan laut tak jua deburkan harum ombak

bagai bunga pudak

sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang

di jalan-jalan

dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu

terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu

lantai tanah,

dan sebentuk bangku di ruang tamu

mungkin ada yang harus mengingat

lunas pohon-pohon

dan ada yang harus berangkat

ke tanah-tanah tanpa sekat

tuk bersawah dan membukitkan rindu

pada sejarah

: silsilah yang bersudah

Surabaya, 2009

Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim dan LUBIS GRAFURA

JawaPost, Minggu, 09 Mei 2010

BERSAMA OMBAK

Bersama

ombak

gairah,

cakrawala

buih,

menghisap bayangan

Nyanyian

menempuh mata angin

2001

---

MENGAJAK CAHAYA


Mengajak cahaya

mendaki

rambut

mengibarkan kenangan

2001

---

POHON YANG TERLUKA

pohon yang terluka

hawa menerbangkan kata

ada masa silam

terserak di jalanan

jiwa-jiwa termangu

menunggu lagu asing

menyergap rindu

menyergap pilu

Wonosobo, 2005

---

AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU


aku rindu sentuhan tanganmu di dahi

menghalau galau zaman

pada hari ini

alangkah sulitnya berkata

dan bertanya

yang tersisa hanya malam datang

dan datang lagi

keheningan menggenangi

ruang tempat kita bertatapan

butir-butir tasbih

pedih, mengemasi waktu

2005

---

GUBENG KERTAJAYA

Ada malam abadi

mencari sunyi

Wajah mirip kata

tak mampu dijadikan nada

Cukup sebuah lagu

memperluka waktu

Hutang cinta

tak terbayar oleh usia

2010

*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta

---

LUBIS GRAFURA:


Perumpamaan Hasut


Pecahkan cermin. Rangkai kembali.

Tataplah wajahmu.

Nglegok, 2010

---

Inisial A.

Kalau saja pertapaanku ini,

melebihi batas usiaku

barangkali nanti kan kutitipkan jasad

agar aku leluasa menemui: mu!

Nglegok, 2010

---

Sendiri

Kadang kita butuh waktu:

bermeditasi, mencari persejatian diri

mencari jalan kembali

namun, tanpamu di sini

hidup seolah memilih berhenti

Nglegok, 2010

---

Sajak Kematian


Menanti dirimu

seolah menanti fajar yang menggulung sinar

Hanya saja,

fajar datang sesuai waktunya

Sementara dirimu,

kedatangannya tak tertandai waktu

Penataran, 2010

---

Dalam Sujud


yang berperang tanpa pedang

yang musuhnya arupa mamang

Penataran, 2010

---

*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).

Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.

Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010

Jalan Menuju Hatimu

Jalan ke arah rumahmu

Begitu mendaki dan berliku

Jalan menuju hatimu

Begitu mencari dan semoga ketemu

Jalan aspal jalanan berlobang

Jalan penderitaan tak berkesudahan

Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas

Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas

Di belakang jalan tak kutengok sejarah

Di hari kemarin berporsi percintaan berserah

Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang

Diasingkan dari pintu-pintu surga

Jalan hidup kau aku

Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar

Tapi kau aku tak pernah terasa sakit

Sekalipun percintaan begitu terjepit

Jalanan hari berganti ruang

Jalanan ruang berubah jarak

Sampailah dipisahkan tembok-tembok

Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok

Jalanan cinta

Jalanan penuh kasih sayang

Kau aku menolak sekian kehancuran

Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan

Jalanan angan jalanan kenyataan

Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan

Tetapi jalan menuju hatimu

Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan

Yogyakarta, Januari 2009

---

Di Ujung Nun

Di ujung nun

Jalan bercabang dua

Bila yang satu naik, bila yang satu turun

Lalu langkah kaki bertemu di mana?

Di ujung nun

Jalan mengapa menjelma dua?

Di atasnya ada satu titik takdir

Matahari: di mana cinta tak harus berakhir

Yogyakarta, Januari 2009

---

Hari Ini Adalah Puisi Indah

Tiap bangun tidur, masih di atas dipan

Kuhadapkan wajahku ke cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlalu aku menuju kran air

Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu

Kusahadatkan hatiku agar kembali segar

Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlaku aku dalam sujud

Kuhunjamkan keningku ke bumi

Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur

Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah

Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus

Sampainya doa akibat tiga perkara

Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta

Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan

Tetapi subuh masih jauh

Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit

Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti

Dalam kerjanya yang tak habis-habis

Hatiku jendela yang membuka

Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah

Yogyakarta, 6 Agustus 2009

Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman