Koran Tempo, 11 Juli 2010
DARI BEBERAPA BAGIAN
1. datang malam
di luar musik jazz mulai dimainkan. gerombolan lagu lama
atau mungkin seorang kulit hitam menjeritkan birahi malam
di teras, seekor capung terluka baling-baling kipas angin
sedemikian panjangkah waktu atau justru sangat singkat
malam mulai merambat. mulai lesat
2. larut malam
jangan kauduga itu suara ketitiran atau pipit sawah. hanya hempas
ombak yang ramah. dari waktu ke waktu kita senantiasa mengulang
kata pergi dan pulang. kini kau terhampar di ranjang
mimpi apa yang kau inginkan?
jangan kausebut ini sepi atau segerombolan laron yang tercampak
di trotoar. barangkali detak nadimu sendiri yang bergetar
seolah bunyi sitar. menggiring galau pada ujung yang kauusung
: kau menaiki kereta yang nyinyir
3. telah pagi
bunyi yang satu ini seperti uir-uir. (kuingat kampung halaman
tatkala melintasi tebing menuju sawah. sebatang pimping melukai jari
tanganku). ah, barangkali serupa dendang yang dilantunkan gadis kecil
di anak tangga. kampuang den jauah di mato...
lalu matahari yang menyapamu. adakah kaupahami makna rantau
bagi lelaki
4. terik siang
bayang-bayang tak mau tinggal
benarkah itu kesetiaan yang berceceran sepanjang jalan. atau...
5. menjelang dan sesudah senja
kaulihat awan berkemas. setelah upacara dengan matahari ia tinggalkan
waktu tergolek pasrah. alangkah banyak mimpi berkunjung
ke dalam hidup. tapi kita tak bisa meraih semuanya. sungguh tak bisa!
"lalu begitu setiakah kita dengan luka? begitu tak berdayakah kita
digiring bayang-bayang ke tempat-tempat semu semata?" teriakmu
sebelum orang-orang mulai menutup jendela dan pintu
senja lepas sudah. aku tak melihatmu lagi di antara pasir, capung-capung
dan debur laut. hanya sedikit pesan yang kau tinggalkan di sebuah
surat kabar sore: waktu tak selalu ada sebagai hitungan
2010
DAN KITA BERTEMU DI BALE TIMBANG
serupa gadis belia. harum putik padi, dan dada yang tumbuh
17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam. 17 tahun almanak tersimpan
sampai resan. dan kita bertemu di bale timbang
di malam tepi kota yang hampir kita lupa aromanya. kau ditemani seorang perempuan jepang dan pelukis burung hantu. aku masih dengan baju lusuh yang kemarin
"durian yang kita tanam sudah berbuah, tidakkah kaucemburu pada waktu?"
kau kembangkan lagi jalan-jalan. debu kota serta polusi yang berubah jadi pelangi
kemudian kita bercerita tentang pohon-pohon
sepetak tanah yang akan kautetesi susu. "aku ingin jadi ibu, meski cinta
adalah kata yang selalu terlambat!" katamu seolah mengukur-ukur sesal
(di matamu--dan itu jelas tak bisa kausimpan--ada gelegak amarah ingin
berloncatan). seekor kunang-kunang rebah di samping meja
perempuan jepang dan pelukis burung hantu memesan jus jambu
"mereka datang hanya untuk menyuburkan benci di tubuhku!"
17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam
17 tahun almanak tersimpan sampai resan
dan kita bertemu di bale timbang
bercerita tentang pohon-pohon
Denpasar, Mei 2010
Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatra Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (Horison, 2006) dan Dongeng-dongeng Tua (Akar Indonesia, 2009). Giat di komunitas seni INTRO.
Sastra Lampung Post
Sabtu, 10 Juli 2010
Cerpen Yanusa Nugroho: Tangga Cahaya...
Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010
Tangga Cahaya...
DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya-- namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).
Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini.
Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan.
***
Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.
Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.
Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni...
Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ''Capek, kurang tidur,'' begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.
Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan... aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.
***
Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.
Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.
***
Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ''kata'' sebagai wakilnya. Dan ''kata''', sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.
***
Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.
''Untuk apa, ya?''
''Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,'' ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.
Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
''Tapi... malam-malam begini?''
''Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.''
Hmm.. kata ''diperintah'' ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.
Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.
Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ''perintah'' itu gagal dilaksanakan?
Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ''pemerintah'' yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.
''Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?'' begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.
''Yang bilang begitu siapa, Pak?''
''Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini...''
''Yaa... maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.''
''Hahahaha...nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha...''
Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?
''Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?''
''Bapak mendengar dari siapa?''
''Tak ada asap jika tak ada api.''
Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.
''Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?''
Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.
''Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm...siapa, siapa?'' tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.
''Abimanyu, anak Arjuna...'
''Yaaaa... Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?'' ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.
Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.
''Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,'' jawabku dingin.
Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.
''Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi...'' setelah agak lama dia terdiam, ''seperti itukah kematian saya?''
Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.
''Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang...''
''Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?''
''Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.''
''Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran... Hah? hahahahahaaa...Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha...''
***
Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?
Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.
Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.
Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah... kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.
Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.
***
Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***
Pinang, 982
*) Yanusa Nugroho , cerpenis tinggal di Jakarta
Tangga Cahaya...
DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya-- namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).
Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini.
Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan.
***
Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.
Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.
Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni...
Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ''Capek, kurang tidur,'' begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.
Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan... aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.
***
Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.
Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.
***
Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ''kata'' sebagai wakilnya. Dan ''kata''', sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.
***
Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.
''Untuk apa, ya?''
''Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,'' ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.
Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
''Tapi... malam-malam begini?''
''Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.''
Hmm.. kata ''diperintah'' ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.
Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.
Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ''perintah'' itu gagal dilaksanakan?
Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ''pemerintah'' yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.
''Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?'' begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.
''Yang bilang begitu siapa, Pak?''
''Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini...''
''Yaa... maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.''
''Hahahaha...nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha...''
Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?
''Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?''
''Bapak mendengar dari siapa?''
''Tak ada asap jika tak ada api.''
Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.
''Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?''
Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.
''Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm...siapa, siapa?'' tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.
''Abimanyu, anak Arjuna...'
''Yaaaa... Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?'' ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.
Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.
''Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,'' jawabku dingin.
Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.
''Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi...'' setelah agak lama dia terdiam, ''seperti itukah kematian saya?''
Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.
''Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang...''
''Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?''
''Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.''
''Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran... Hah? hahahahahaaa...Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha...''
***
Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?
Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.
Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.
Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah... kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.
Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.
***
Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***
Pinang, 982
*) Yanusa Nugroho , cerpenis tinggal di Jakarta
Puisi-puisi Tjahjono Widijanto
Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010
Lukisan Perempuan di Museum Blanco
debu berebut merajam waktu
aku terpenjara mata perempuan
semata perempuan dalam kanvasmu
mata yang menari entah dalam irama
gamelan, jazz, bosanava atau salsa.
mata yang samar serupa kabut
memucat pada lembar biografi
mefosil dalam geletar ingatan
mata perawan menyimpan rahasia api
buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa
pada bilik-bilik kahyangan yang pengap
ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam
jejak-jajak malaikat tersesat
pada rambut yang berkibar-kibar
meramu wangi udara serupa harum sesajen
ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu
di tengah ranum bola matanya
jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,
sungai dengan jenggot sulur yang getas
di antara akar-akarnya
bayangmu bergoyang-goyang
bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu
menganyam senja, jarak, peristiwa
juga warna malam dan awan
menunggu menjadi hantu di taman tua
merajam sunyi menjadi bunyi
Ubud-Ngawi, 09/010
---
Camar Mencari Ceruk Karang
waktu yang digaris gerimis mengingatkanku
ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak
mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu
bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian
mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun
bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian
''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat
sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,
harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran
sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan
dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga
kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah
selangkah lagi sampai di ujung belawan
angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!
mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api
membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui
meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata
di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap
mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir
Ngawi, 2009/2010
---
Kunti di Tepi Kali
ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu
kenangan yang akan setia mengunjungimu
dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal
segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal
alir kali jalan kenangan terpanjang
lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri
di laut gericiknya akan sampai
di hulu-hulunya kau akan menemu sampan
melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh
menitip rindu pada tajam cadas karang
rindu yang beku dan kelu
meledak dalam palung paling arus
kenangan akan turut meledak dijakunmu
membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah
pada secarik kutang di kain jemuran
melambai-lambaimu bersama angin
mendekam ngilu di sebujur pori-porimu
''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''
Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu
ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki
yang disebut-sebut sebagai suami
''Radeya, tak usah kau risau
toh sebuah nama adalah fana
seperti debu kelak turut larut
dibawa lari kereta kudamu
menuju dunia yang lain lagi''
Ngawi, 2008/2010
Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.
Lukisan Perempuan di Museum Blanco
debu berebut merajam waktu
aku terpenjara mata perempuan
semata perempuan dalam kanvasmu
mata yang menari entah dalam irama
gamelan, jazz, bosanava atau salsa.
mata yang samar serupa kabut
memucat pada lembar biografi
mefosil dalam geletar ingatan
mata perawan menyimpan rahasia api
buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa
pada bilik-bilik kahyangan yang pengap
ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam
jejak-jajak malaikat tersesat
pada rambut yang berkibar-kibar
meramu wangi udara serupa harum sesajen
ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu
di tengah ranum bola matanya
jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,
sungai dengan jenggot sulur yang getas
di antara akar-akarnya
bayangmu bergoyang-goyang
bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu
menganyam senja, jarak, peristiwa
juga warna malam dan awan
menunggu menjadi hantu di taman tua
merajam sunyi menjadi bunyi
Ubud-Ngawi, 09/010
---
Camar Mencari Ceruk Karang
waktu yang digaris gerimis mengingatkanku
ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak
mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu
bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian
mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun
bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian
''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat
sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,
harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran
sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan
dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga
kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah
selangkah lagi sampai di ujung belawan
angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!
mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api
membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui
meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata
di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap
mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir
Ngawi, 2009/2010
---
Kunti di Tepi Kali
ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu
kenangan yang akan setia mengunjungimu
dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal
segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal
alir kali jalan kenangan terpanjang
lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri
di laut gericiknya akan sampai
di hulu-hulunya kau akan menemu sampan
melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh
menitip rindu pada tajam cadas karang
rindu yang beku dan kelu
meledak dalam palung paling arus
kenangan akan turut meledak dijakunmu
membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah
pada secarik kutang di kain jemuran
melambai-lambaimu bersama angin
mendekam ngilu di sebujur pori-porimu
''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''
Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu
ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki
yang disebut-sebut sebagai suami
''Radeya, tak usah kau risau
toh sebuah nama adalah fana
seperti debu kelak turut larut
dibawa lari kereta kudamu
menuju dunia yang lain lagi''
Ngawi, 2008/2010
Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.
Puisi-Puisi Ulfatin Ch.
JawaPost, Minggu, 20 Juni 2010
Belum Tuntas Kata
Belum tuntas kata
yang berkelok di tikungan itu
jejaknya masih lekat di lengkuk mataku
sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam
hingga malam
dari siang hingga petang
Dan matahari itu sudah meninggi
meninggalkan kita
menyisakan bayangan menghitam
di belakang
2009
---
Membaca Batu
Akhirnya, wajah kita yang tertunduk
membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.
Dingin udara malam melangkahkan kaki kita
berputar seperti piringan di taman
tapi, tak juga sampai pada kata
pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu
Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu
tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu
2009
---
Laut dan Nelayan
Seberapa dalam lautan, nelayanku
ombak pun seperti diam
saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.
Dan dengan kesabaran rindu
kau menunggu
berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera
Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku
hingga badai hingga gelombang
menahan kokang
rindu pada dendam
2009
---
Rindu Yang Kutanam
Tak ada lagi prasasti itu di sini
di antara subuh yang kauketuk
dan kehadiranmu di pintu
tak ada lagi surat bertuliskan alamat
tak ada
Rindu, biarkan kutanam dalam
jangan kautanya pada buta mataku
2009
---
Aku dan Ismet
Ini hari matahari meninggi
Jejak pejalan terseok ke belakang
di antara susunan malaikat
dan penghianat
Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi
melahirkan puisi
menuntaskan sunyi
berdzikir malambertasbih bulan
aku dan ismet bernyanyi
hingga hari mengukir pagi
2009
---
Catatan Cinta Tiga Baris
1
Seberapa dalam cinta kautanam
hingga jera
merampas luka
2
Sungguh aku mencintaimu
hingga waktu memburu
api membakar jiwa
---
Catatan Beranda
1
Tak ada jejak di beranda
tak ada juga lukisan bunga ungu
di halaman depan buku itu
tinggal goresan yang bernama rindu
dan kelopak menunggu
hujan
2
Jika beranda yang kautanya
tolong jangan kauhapus dulu air mata
Sebab embun tak lagi sesejuk pagi
sebab subuh tak kauingat lagi
Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan
dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan
Tolong jangan kauseka air mata
3
Selepas subuh
beranda pun sunyi
Sajadah merapat raka'at
saat tahiyat
dan salamku padamu
2010
---
Dan Bunga
1
Dan bunga telah mati
Dan hari pun suri
Dan mimpi tak ada lagi
Dan sunyi itu pun
abadi
2
Mungkin
aku yang merindukan
sebuah taman dengan bunga-bunga
di jambangan itu
matahari jingga di atas kepala
bagai payung nirwana
Mungkin
aku yang merindukan
Kesunyian perpustakaan
yang mengantar kita pada kata
dan lipatan-lipatan kertas
tak terbaca
pada cinta atau pun luka
2009
---
Sajak Gugur
Satu kelopak bunga di taman gugur
satu sahabat, satu teman, satu saudara
dan, entah siapa lagi
menggenapkan hitungan ini
hingga nol di tangkai mawar
Aku sendiri entah kapan sampai
di urutan terdepan mengambil komando
dan kubilang 'siap'
Sedang tangan kita masih meraba
dengan sangat hati-hati sekali
menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu
untuk kita bakar sebagai kenangan
2009
---
*) ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Jogja dan bergabung dengan Teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) 1989, SAS, dan Mitra Lirika. Kumpulan puisi tunggalnya: Selembar Daun Jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, dan Perempuan Sunyi.
Hari Kusam
Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang
sedang FB tak bisa kaulepaskan
Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat
Setelah Kemarin
Setelah kemarin dan hari ini
apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta
Keangkuhan telah menutup mata hati
hingga ke sudut paling tepi
Dan tak ada lagi bulan yang sempurna
Apalagi gerhana melunaskan igauan
tentang cahaya malam, riuh anak-anak
dan kelakar para santri di bilik sepi
Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu
mengamini hingga subuh
tak ada lagi
2009
Akhir Tahun
Hari semakin tua membidik usia
bulan semakin dalam menusuk kelam
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Terompet dan kembang apilah yang membuatku
sunyi menepi di akhir tahun ini
Orang-orang beramai-ramai datang
dari pelosok desa
bergerombol berpusat di kota
menunggu tengah malam tiba
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Anak-anak dan suami membawaku
bermimpi berdzikir pagi
Catatan akhir
Semakin dalam kita
terperosok dalam lingkaran
semakin dalam cinta
menikam kelam
Usai Pesta Tahun Baru
Sudah tuntas bunga api semalam
anak-anak, aku dan suami bersama
dalam satu tikar dimusim durian
Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang
bermalam
kami bersendau membelah malam
Dingin ilalang membawakan angin
dari puncak merapi hinggap ke pangkuan
Tak ada api di sana
hanya kerlip lampu dan riuh pejalan
mengantar lelah
pulang
2010
Biodata
ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah
menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989
di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.
Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll
Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.
Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta
Hp. 081578879255
Rasa
Anak-anak Masa Lalu
* Rasa
* Anak-anak Masa Lalu
* Jejak Ditam
* Malam Rajam
* Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
* L a n d o
* Sajak-Sajak Mashuri
* Menari di Padang Prairi
* Suara Serak di Seberang Radio
* Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim
Belum Tuntas Kata
Belum tuntas kata
yang berkelok di tikungan itu
jejaknya masih lekat di lengkuk mataku
sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam
hingga malam
dari siang hingga petang
Dan matahari itu sudah meninggi
meninggalkan kita
menyisakan bayangan menghitam
di belakang
2009
---
Membaca Batu
Akhirnya, wajah kita yang tertunduk
membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.
Dingin udara malam melangkahkan kaki kita
berputar seperti piringan di taman
tapi, tak juga sampai pada kata
pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu
Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu
tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu
2009
---
Laut dan Nelayan
Seberapa dalam lautan, nelayanku
ombak pun seperti diam
saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.
Dan dengan kesabaran rindu
kau menunggu
berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera
Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku
hingga badai hingga gelombang
menahan kokang
rindu pada dendam
2009
---
Rindu Yang Kutanam
Tak ada lagi prasasti itu di sini
di antara subuh yang kauketuk
dan kehadiranmu di pintu
tak ada lagi surat bertuliskan alamat
tak ada
Rindu, biarkan kutanam dalam
jangan kautanya pada buta mataku
2009
---
Aku dan Ismet
Ini hari matahari meninggi
Jejak pejalan terseok ke belakang
di antara susunan malaikat
dan penghianat
Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi
melahirkan puisi
menuntaskan sunyi
berdzikir malambertasbih bulan
aku dan ismet bernyanyi
hingga hari mengukir pagi
2009
---
Catatan Cinta Tiga Baris
1
Seberapa dalam cinta kautanam
hingga jera
merampas luka
2
Sungguh aku mencintaimu
hingga waktu memburu
api membakar jiwa
---
Catatan Beranda
1
Tak ada jejak di beranda
tak ada juga lukisan bunga ungu
di halaman depan buku itu
tinggal goresan yang bernama rindu
dan kelopak menunggu
hujan
2
Jika beranda yang kautanya
tolong jangan kauhapus dulu air mata
Sebab embun tak lagi sesejuk pagi
sebab subuh tak kauingat lagi
Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan
dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan
Tolong jangan kauseka air mata
3
Selepas subuh
beranda pun sunyi
Sajadah merapat raka'at
saat tahiyat
dan salamku padamu
2010
---
Dan Bunga
1
Dan bunga telah mati
Dan hari pun suri
Dan mimpi tak ada lagi
Dan sunyi itu pun
abadi
2
Mungkin
aku yang merindukan
sebuah taman dengan bunga-bunga
di jambangan itu
matahari jingga di atas kepala
bagai payung nirwana
Mungkin
aku yang merindukan
Kesunyian perpustakaan
yang mengantar kita pada kata
dan lipatan-lipatan kertas
tak terbaca
pada cinta atau pun luka
2009
---
Sajak Gugur
Satu kelopak bunga di taman gugur
satu sahabat, satu teman, satu saudara
dan, entah siapa lagi
menggenapkan hitungan ini
hingga nol di tangkai mawar
Aku sendiri entah kapan sampai
di urutan terdepan mengambil komando
dan kubilang 'siap'
Sedang tangan kita masih meraba
dengan sangat hati-hati sekali
menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu
untuk kita bakar sebagai kenangan
2009
---
*) ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Jogja dan bergabung dengan Teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) 1989, SAS, dan Mitra Lirika. Kumpulan puisi tunggalnya: Selembar Daun Jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, dan Perempuan Sunyi.
Hari Kusam
Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang
sedang FB tak bisa kaulepaskan
Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat
Setelah Kemarin
Setelah kemarin dan hari ini
apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta
Keangkuhan telah menutup mata hati
hingga ke sudut paling tepi
Dan tak ada lagi bulan yang sempurna
Apalagi gerhana melunaskan igauan
tentang cahaya malam, riuh anak-anak
dan kelakar para santri di bilik sepi
Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu
mengamini hingga subuh
tak ada lagi
2009
Akhir Tahun
Hari semakin tua membidik usia
bulan semakin dalam menusuk kelam
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Terompet dan kembang apilah yang membuatku
sunyi menepi di akhir tahun ini
Orang-orang beramai-ramai datang
dari pelosok desa
bergerombol berpusat di kota
menunggu tengah malam tiba
Jika kini kupilih sendiri
tak berarti aku kehilangan api
Anak-anak dan suami membawaku
bermimpi berdzikir pagi
Catatan akhir
Semakin dalam kita
terperosok dalam lingkaran
semakin dalam cinta
menikam kelam
Usai Pesta Tahun Baru
Sudah tuntas bunga api semalam
anak-anak, aku dan suami bersama
dalam satu tikar dimusim durian
Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang
bermalam
kami bersendau membelah malam
Dingin ilalang membawakan angin
dari puncak merapi hinggap ke pangkuan
Tak ada api di sana
hanya kerlip lampu dan riuh pejalan
mengantar lelah
pulang
2010
Biodata
ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah
menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989
di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.
Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll
Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.
Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta
Hp. 081578879255
Rasa
Anak-anak Masa Lalu
* Rasa
* Anak-anak Masa Lalu
* Jejak Ditam
* Malam Rajam
* Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
* L a n d o
* Sajak-Sajak Mashuri
* Menari di Padang Prairi
* Suara Serak di Seberang Radio
* Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim
Sajak-Sajak Mashuri
JawaPost, Minggu, 23 Mei 2010
Berguru pada Hujan
tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku
sebentuk jarum yang runcing, dingin
menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku
hingga segala seakan hancur
dan tak terkenali kembali, lebur
tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana
seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi
seperti telapak kaki pada tanah basah...
tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput
kau kekal dan diam di pembaringan
bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya
di gigir rintik, kusembayangi bayangmu
kematianmu
aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak
wujudmu
masih maujud dalam satu kata
dan tak terkotak, terpeta
dalam kekaburan dan buta
kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih
namun aku berguru pada derasnya, suaranya
dan linangnya yang tertahan di udara
agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak
di tubuhmu
ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang
yang pernah kau pahat di kalbuku
meski perih
Surabaya, 2009
---
Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu
tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah
dan meruapkan renjana
karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit
hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam
dari malam
di sana, aku bisa berkaca tanpa suara
saat kuncup kuntum itu masih
dedahkan madah purba
hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta
mungkin hanya dalam mimpi,
kubisa menggelung rambutku
kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam
dan menggeraikan segalanya
di udara
dan ronce melati itu akan sia-sia
tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri
di padang kerontang
bagai keris kini yang mencari warangka
yang tersesat di sebuah abad yang terlupa
Surabaya, 2009
---
Rumah Kita
telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu
bersua luka
aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu
tinggalkan jejak abu-abu
seperti asap yang tiba-tiba berderap
di benak dan atap
tampak rumah kita di persimpangan
pohon randu alas meranggas, dan uap belerang
di antara kawah, di antara dua pegunungan
tak mengekalkan harapan
dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah
sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api
padam dinihari
dan laut tak jua deburkan harum ombak
bagai bunga pudak
sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang
di jalan-jalan
dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu
terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu
lantai tanah,
dan sebentuk bangku di ruang tamu
mungkin ada yang harus mengingat
lunas pohon-pohon
dan ada yang harus berangkat
ke tanah-tanah tanpa sekat
tuk bersawah dan membukitkan rindu
pada sejarah
: silsilah yang bersudah
Surabaya, 2009
Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Berguru pada Hujan
tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku
sebentuk jarum yang runcing, dingin
menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku
hingga segala seakan hancur
dan tak terkenali kembali, lebur
tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana
seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi
seperti telapak kaki pada tanah basah...
tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput
kau kekal dan diam di pembaringan
bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya
di gigir rintik, kusembayangi bayangmu
kematianmu
aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak
wujudmu
masih maujud dalam satu kata
dan tak terkotak, terpeta
dalam kekaburan dan buta
kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih
namun aku berguru pada derasnya, suaranya
dan linangnya yang tertahan di udara
agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak
di tubuhmu
ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang
yang pernah kau pahat di kalbuku
meski perih
Surabaya, 2009
---
Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu
tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah
dan meruapkan renjana
karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit
hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam
dari malam
di sana, aku bisa berkaca tanpa suara
saat kuncup kuntum itu masih
dedahkan madah purba
hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta
mungkin hanya dalam mimpi,
kubisa menggelung rambutku
kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam
dan menggeraikan segalanya
di udara
dan ronce melati itu akan sia-sia
tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri
di padang kerontang
bagai keris kini yang mencari warangka
yang tersesat di sebuah abad yang terlupa
Surabaya, 2009
---
Rumah Kita
telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu
bersua luka
aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu
tinggalkan jejak abu-abu
seperti asap yang tiba-tiba berderap
di benak dan atap
tampak rumah kita di persimpangan
pohon randu alas meranggas, dan uap belerang
di antara kawah, di antara dua pegunungan
tak mengekalkan harapan
dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah
sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api
padam dinihari
dan laut tak jua deburkan harum ombak
bagai bunga pudak
sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang
di jalan-jalan
dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu
terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu
lantai tanah,
dan sebentuk bangku di ruang tamu
mungkin ada yang harus mengingat
lunas pohon-pohon
dan ada yang harus berangkat
ke tanah-tanah tanpa sekat
tuk bersawah dan membukitkan rindu
pada sejarah
: silsilah yang bersudah
Surabaya, 2009
Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim dan LUBIS GRAFURA
JawaPost, Minggu, 09 Mei 2010
BERSAMA OMBAK
Bersama
ombak
gairah,
cakrawala
buih,
menghisap bayangan
Nyanyian
menempuh mata angin
2001
---
MENGAJAK CAHAYA
Mengajak cahaya
mendaki
rambut
mengibarkan kenangan
2001
---
POHON YANG TERLUKA
pohon yang terluka
hawa menerbangkan kata
ada masa silam
terserak di jalanan
jiwa-jiwa termangu
menunggu lagu asing
menyergap rindu
menyergap pilu
Wonosobo, 2005
---
AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU
aku rindu sentuhan tanganmu di dahi
menghalau galau zaman
pada hari ini
alangkah sulitnya berkata
dan bertanya
yang tersisa hanya malam datang
dan datang lagi
keheningan menggenangi
ruang tempat kita bertatapan
butir-butir tasbih
pedih, mengemasi waktu
2005
---
GUBENG KERTAJAYA
Ada malam abadi
mencari sunyi
Wajah mirip kata
tak mampu dijadikan nada
Cukup sebuah lagu
memperluka waktu
Hutang cinta
tak terbayar oleh usia
2010
*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta
---
LUBIS GRAFURA:
Perumpamaan Hasut
Pecahkan cermin. Rangkai kembali.
Tataplah wajahmu.
Nglegok, 2010
---
Inisial A.
Kalau saja pertapaanku ini,
melebihi batas usiaku
barangkali nanti kan kutitipkan jasad
agar aku leluasa menemui: mu!
Nglegok, 2010
---
Sendiri
Kadang kita butuh waktu:
bermeditasi, mencari persejatian diri
mencari jalan kembali
namun, tanpamu di sini
hidup seolah memilih berhenti
Nglegok, 2010
---
Sajak Kematian
Menanti dirimu
seolah menanti fajar yang menggulung sinar
Hanya saja,
fajar datang sesuai waktunya
Sementara dirimu,
kedatangannya tak tertandai waktu
Penataran, 2010
---
Dalam Sujud
yang berperang tanpa pedang
yang musuhnya arupa mamang
Penataran, 2010
---
*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).
BERSAMA OMBAK
Bersama
ombak
gairah,
cakrawala
buih,
menghisap bayangan
Nyanyian
menempuh mata angin
2001
---
MENGAJAK CAHAYA
Mengajak cahaya
mendaki
rambut
mengibarkan kenangan
2001
---
POHON YANG TERLUKA
pohon yang terluka
hawa menerbangkan kata
ada masa silam
terserak di jalanan
jiwa-jiwa termangu
menunggu lagu asing
menyergap rindu
menyergap pilu
Wonosobo, 2005
---
AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU
aku rindu sentuhan tanganmu di dahi
menghalau galau zaman
pada hari ini
alangkah sulitnya berkata
dan bertanya
yang tersisa hanya malam datang
dan datang lagi
keheningan menggenangi
ruang tempat kita bertatapan
butir-butir tasbih
pedih, mengemasi waktu
2005
---
GUBENG KERTAJAYA
Ada malam abadi
mencari sunyi
Wajah mirip kata
tak mampu dijadikan nada
Cukup sebuah lagu
memperluka waktu
Hutang cinta
tak terbayar oleh usia
2010
*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta
---
LUBIS GRAFURA:
Perumpamaan Hasut
Pecahkan cermin. Rangkai kembali.
Tataplah wajahmu.
Nglegok, 2010
---
Inisial A.
Kalau saja pertapaanku ini,
melebihi batas usiaku
barangkali nanti kan kutitipkan jasad
agar aku leluasa menemui: mu!
Nglegok, 2010
---
Sendiri
Kadang kita butuh waktu:
bermeditasi, mencari persejatian diri
mencari jalan kembali
namun, tanpamu di sini
hidup seolah memilih berhenti
Nglegok, 2010
---
Sajak Kematian
Menanti dirimu
seolah menanti fajar yang menggulung sinar
Hanya saja,
fajar datang sesuai waktunya
Sementara dirimu,
kedatangannya tak tertandai waktu
Penataran, 2010
---
Dalam Sujud
yang berperang tanpa pedang
yang musuhnya arupa mamang
Penataran, 2010
---
*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).
Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010
Jalan Menuju Hatimu
Jalan ke arah rumahmu
Begitu mendaki dan berliku
Jalan menuju hatimu
Begitu mencari dan semoga ketemu
Jalan aspal jalanan berlobang
Jalan penderitaan tak berkesudahan
Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas
Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas
Di belakang jalan tak kutengok sejarah
Di hari kemarin berporsi percintaan berserah
Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang
Diasingkan dari pintu-pintu surga
Jalan hidup kau aku
Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar
Tapi kau aku tak pernah terasa sakit
Sekalipun percintaan begitu terjepit
Jalanan hari berganti ruang
Jalanan ruang berubah jarak
Sampailah dipisahkan tembok-tembok
Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok
Jalanan cinta
Jalanan penuh kasih sayang
Kau aku menolak sekian kehancuran
Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan
Jalanan angan jalanan kenyataan
Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan
Tetapi jalan menuju hatimu
Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan
Yogyakarta, Januari 2009
---
Di Ujung Nun
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu di mana?
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
---
Hari Ini Adalah Puisi Indah
Tiap bangun tidur, masih di atas dipan
Kuhadapkan wajahku ke cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlalu aku menuju kran air
Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu
Kusahadatkan hatiku agar kembali segar
Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlaku aku dalam sujud
Kuhunjamkan keningku ke bumi
Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur
Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah
Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus
Sampainya doa akibat tiga perkara
Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta
Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan
Tetapi subuh masih jauh
Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit
Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti
Dalam kerjanya yang tak habis-habis
Hatiku jendela yang membuka
Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah
Yogyakarta, 6 Agustus 2009
Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Jalan Menuju Hatimu
Jalan ke arah rumahmu
Begitu mendaki dan berliku
Jalan menuju hatimu
Begitu mencari dan semoga ketemu
Jalan aspal jalanan berlobang
Jalan penderitaan tak berkesudahan
Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas
Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas
Di belakang jalan tak kutengok sejarah
Di hari kemarin berporsi percintaan berserah
Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang
Diasingkan dari pintu-pintu surga
Jalan hidup kau aku
Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar
Tapi kau aku tak pernah terasa sakit
Sekalipun percintaan begitu terjepit
Jalanan hari berganti ruang
Jalanan ruang berubah jarak
Sampailah dipisahkan tembok-tembok
Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok
Jalanan cinta
Jalanan penuh kasih sayang
Kau aku menolak sekian kehancuran
Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan
Jalanan angan jalanan kenyataan
Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan
Tetapi jalan menuju hatimu
Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan
Yogyakarta, Januari 2009
---
Di Ujung Nun
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu di mana?
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
---
Hari Ini Adalah Puisi Indah
Tiap bangun tidur, masih di atas dipan
Kuhadapkan wajahku ke cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlalu aku menuju kran air
Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu
Kusahadatkan hatiku agar kembali segar
Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah
Lalu berlaku aku dalam sujud
Kuhunjamkan keningku ke bumi
Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur
Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah
Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus
Sampainya doa akibat tiga perkara
Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta
Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan
Tetapi subuh masih jauh
Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit
Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti
Dalam kerjanya yang tak habis-habis
Hatiku jendela yang membuka
Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin
Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga
Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah
Yogyakarta, 6 Agustus 2009
Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Langganan:
Postingan (Atom)
Catatan ke 23
Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!
17 Juni 2010