Sastra Lampung Post

Minggu, 01 Maret 2009

Ketika Sandal Dimerdekakan

Lampungpost, Minggu, 1 Maret 2009

APRESIASI

Membaca Sajak-Sajak Oky Sanjaya

Sandal bisa menjadi apa saja yang pembaca inginkan. Oky Sanjaya memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk membebaskan sandal dari kungkungan makna.

--lit

SANDAL di tangan kapitalis bermetamorfosis; metamorfosis yang mirip idiom sandal dalam sejumlah sajak dalam manuskrip Belajar Memasak Sajak. Manuskrip ini berisi sajak-sajak Oky Sanjaya yang muncul di sejumlah media cetak di Lampung maupun luar provinsi; lahir dari proses panjang kepenyairannya sejak masih di SMA.

Metamorfosis sandal dalam sajak Oky bukan pada wilayah medan makna idiomatik, melainkan ranah pribadi. Oky memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk membebaskan sandal dari kungkungan makna. Oky membebaskan makna yang mengekang sandal dari sesuatu yang diterima sebagai alas kaki menjadi hal-hal lain di luar fungsi yang disandang sandal selama ini. Oky memberi ruang sebebas-bebasnya bagi sandal menjadi apa saja.

Sandal tak perlu manut, hanya mengusung makna tunggal, menggadang-gadang makna itu, dan memaksakan diri agar segala bentuk penafsiran berakhir dengan makna tunggal itu. Tidak ada otoritas dan karenanya tidak ada sikap otoriter memaksakan makna tunggal. Yang ada kebebasan dan kemerdekaan, sesuatu yang diidam-idamkan umat manusia.

***

SANDAL bisa menjadi apa saja yang pembaca inginkan. Kita baca sajak Bila Sandalku Telah Tiba: bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin/tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi. /beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada/salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga/tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap/ini setia.

Sandal berada pada kedudukan metaforis. Diksi ini akrab dengan keseharian pembaca. Tapi, orang pasti membela diri bahwa setiap sajak memang tumpukan metafora karena hakikat bahasa sesunguhnya metaforis.

Sambil mengutip Roland Barthes dalam The Death of the Author, orang akan memberi pembenaran bahwa makna yang diniatkan seorang penyair dalam sajak-sajaknya belum tentu akan diamini pembaca. Pembaca punya kebebasan menafsir teks berdasarkan ranah pengetahuan, pengalaman, dan kebudayaan yang membentuknya tanpa dibayang-bayangi sosok penyair.

Tapi, sulit mengabaikan bahwa tafsir dan tradisi menafsirkan teks sastra akan memerdekakan manusia. Tafsir merupakan bentuk lain dari penjajahan terhadap manusia, di mana manusia mesti taklit dan patuh pada teori-teori tafsir sehingga mengabaikan kemungkinan-kemungkinan metaforis lain dalam berbahasa.

Orang tidak sepenuhnya menjadi merdeka menafsirkan teks sastra. Mereka membiarkan diri dijajah konvensi penafsiran, mengutip Barthes, Foucault, Saussure, Derrida, dan para pembawa post-strukturalis. Lebih usang lagi, mengungkit sejarah bahasa, lalu sampai pada khazanah paling tradisional dari bahasa yang mantra.

Dalam sejarahnya, bahasa (kata) adalah penjajahan terhadap manusia. Aktivitas manusia dalam berbahasa merupakan penyakit pikiran. Manusia berusaha menamai benda-benda di sekitarnya, lalu penamaan itu menjadi konvensi tanpa reserve, manut, dan tunduk.

Maka, kata sandal diterima manusia sebagai alas kaki. Tapi, makna itu dimasabodohkan dalam sajak Oky. Sandal bukan cuma alas kaki.

Kalau pemikiran Derrida dipakai, maka cara berbahasa Oky menemukan relevansia. Makna dalam kata tidak sepenuhnya mampu menggambarkan realitas. Sebab itu, dalam berbahasa, kita mesti membebaskan diri dari "logosentris". Artinya, penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).

Tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.

Apa yang dikemukakan Paul de Man, seorang teoritikus terkemuka dari Yale University, tentang bahasa sebagai teks sastra, layak dimunculkan di sini. De Man berpendapat, ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Ini menciptakan signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.

***

Oky merupakan generasi baru kepenyairan Lampung. Mengawali keterlibatannya dalam khazanah kesusastraan sebagai pembaca puisi yang serius (ia sering mendapat penghargaan karena kemampuannya "membaca" puisi begitu luar biasa). Ia membaca Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan penganut renaisans Barat sampai Sutardji Calzoum Bachri yang memberi makna baru pada mantra (magis kata).

Ia juga membaca Isbedy Stiawan Z.S. yang menjadi ikon sastra kontemporer Lampung sampai Udo Z. Karzi yang tampil sebagai ikon sastra tradisi Lampung. Semua sajak yang dibacanya, membawa Oky pada simpul bahwa "penyair bukan entitas yang merdeka".

Tak puas pada sajak yang berangkat dari konvensi bahasa, membuat sajak Oky memiliki cara ungkap berbeda dari kebanyakan penyair Lampung saat ini; tidak hanyut dalam keseragaman pola ucap lirik naratif yang diwariskan turun-temurun dari tradisi bersastra ala Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) Universitas Lampung.

Oky muncul dengan kesadaran penuh untuk memerdekakan penyair dari kekangan konvensi berbahasa. Mari kita baca sajak Mengikat Pinggul Gorden: cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk/bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,/mematikan gigi palsu?/ Apakah kau tak ingin ikut/melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.

Satu hal yang bisa ditangkap dari sajak itu, sebuah anjuran yang pernah dikeluhkan Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality Through Literature. Kita mesti memperlakukan sastrawan (pengarang) sebagai kolega, yakni orang yang dengan kerja keras berusaha mengungkapkan pengalaman hidupnya. Sastrawan adalah juru bicara realitas, tetapi tidak ada masyarakat yang memberi aplaus atas usaha mereka.

Budi P. Hatees, esais

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman