Sastra Lampung Post

Minggu, 06 September 2009

Sajak-sajak Agit Yogi Subandi

Koran Kompas, 6 September 2009

Menunggu

menunggumu, kudengar keluh bangku taman

di dekat kembang pagar perdu;

suaranya, retak daun musim gugur

dan angin yang menumbur daun retak itu.



menunggumu, dinda,

mawar menggugurkan kelopaknya.

kumbang-kumbang menghisap duri-duri;

madu, merah kirmizi.



menunggumu, aku paham percakapan serangga

yang sembunyi di balik semak malam hari.

sepanjang malam, kudengar kisah gadisnya

yang tersesat di belantara pepohonan setiap hari.



menunggumu, adinda,

aku dibenci arloji

sebab ruangnya kujarah

dan tubuhnya padat caci maki.



menunggumu, seperti menghadapi malam

meruang dengan sebatang lilin putih mengelam.

dan masjid hanya takbir, suaranya adalah suaraku;

yang direkam angin dari kamarku.



dan dalam penantianku, adinda, aku telah berbicara

kepada ratusan wali-wali pilihanmu.

langit menyempit di mataku,

kau melebar di dadaku.



(2009)

Sajak Sajak Avianti Armand

Koran Kompas, Minggu, 6 September 2009 | 02:55 WIB

Puisi-puisi tanpa Judul

1.

Di antara lembar-lembar buku itu ia temukan kerangka daun yang sudah putih,

kelopak-kelopak bunga – kering dan rapuh, dan kupu-kupu mati yang segera jadi abu

bila disentuh. Di lembar-lembar berikut terselip jalan-jalan di kota berkanal yang

airnya hijau, kamar-kamar hotel murah setua debu, dan bau mawar liar di jendela.

Sesekali terdengar kepak sayap dari merpati yang berebut jagung di piazza kota dan

dingin musim gugur yang tak pernah menyakitkan. Di lembar lain terjepit tawa yang

seringan bulu dari anak-anak yang berlari menerbangkan layang-layang. Derum mobil

tak tersimpan di situ. Juga hujan yang membikin tanah jadi becek dan udara berjamur.



Di antara lembar-lembar buku itu hanya ada memori yang membasahi mata.

Dan di halaman terakhir: perempuan itu.



2.

Bolehkah kusimpan pecahan cermin ini?

: Untuk apa?

Untuk mengingatkanku pada satu saat di sebuah kampung

yang jalannya berbatu-batu dan batunya berbau kopi.

Untuk membawaku kembali pada sudut kecil tempat sepotong bagel dihidangkan

dengan segelas anggur yang asamnya tak lekas hilang.

Untuk membuka pintu ke satu stasiun di mana kau tinggalkan karcis

lusuh terserak di antara langkah orang-orang yang bergegas.

Lebih sederhana lagi –

untuk memanggilmu kembali.

: Aku?

Kamu.

Di cermin yang hanya sepotong ini

aku hanya bisa melihat

: Mataku.



3.

Ruang menyusut, meninggalkan kamu di dalam, dan aku di luar. Matahari redup. Tapi

angin bernapas begitu keras, menerbangkan daun-daun ke laut dan menarik-narik

anak-anak rambutku. Ke mana? Tanyamu. Aku telanjur terbang, sebelum sempat

menjawab dan mengikat rambut.



Mungkin di satu hari baik nanti, kau akan temukan aku tersangkut di cecabang

kamboja yang dulu kau tanam di sisa petak depan rumahmu yang tak pernah jadi.



4.

Mimpi pergi, ketika asap bakaran sampah mendesak masuk ke kamar lewat kisi-kisi

kayu yang rapat namun ompong di sana-sini. Besok, tak akan ada lagi kerat roti yang

kau olesi mentega asin di piring. Kakimu tak lagi bisa mengusik debu di depan pintu

yang biasanya terbuka pada ketok ketiga. Tak bakal kulihat kepul kopi susu

menyaputi sebelah susumu yang separuh terbuka.



Sungguh, aku tak kehilangan apa-apa.



5.

Kemarin kamu bilang: Jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati. Tapi mungkinkah

pernah kamu serukan kalimat yang sama pada perdu di samping rumah, kolam hijau

pekat yang dasarnya tak pernah kita lihat, kumpulan ketilang, juga pagi yang malas?



Mereka berbisik sekarang.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman