Sastra Lampung Post

Minggu, 18 April 2010

Dehumanisasi Seni Pemanggungan (Esai Alexander G.B.)

Lampungpost, Minggu, 18 April 2010

APRESIASI


Dehumanisasi Seni Pemanggungan

Esai Alexander G.B.

Pada situasi ideal, setiap peristiwa kesenian--teater secara spesifik-- hendaknya mampu meraih momen-momen yang menggentarkan seperti halnya pencapaian perasaan spiritual dalam ritual, pelbagai momen dan tahapan pertemuan para pelaku seni yang walaupun terbatas tetapi sublim.

Kemungkinan Gagalnya Mencipta Kontak Organik

Di sebuah tempat dan masa teater atau tari terjebak pada kleptomania artistik. Pada kemegahan setting panggung, gemerlap kostum, make-up, atau spektakel-spektakel yang sejatinya menjauhkan aktor atau penari atau performa dengan penontonnya. Tapi untuk kontek Lampung, sebagian besar kelompok atau sanggar masih di level kurang memahami medianya (tari dengan tubuhnya atau teater dengan penokohan dan bangunan artistiknya) dengan baik sehingga kontak antara performer dan penonton menjadi sulit terhubungkan.

Saya percaya salah satu esensi setiap pertunjukan adalah membangun kontak dengan penonton, mungkin sekadar sharing kesedihan, kesakitan, keterputusasaan, atau bisa juga sebuah perayaan atas kebodohan, kekalahan juga kebobrokan masyarakat yang baru menuju modern seperti Indonesia. Mampukah seni pemanggungan tidak sebatas hiburan, yaitu sebagai media penumbuhan dan pengembangan kesadaran kritis masyarakatnya.

Seorang teman bertanya tentang manfaat seni, lantas teman seniman di lain waktu berbicara tentang sepinya penonton, tentang tak adanya masa depan bagi pelaku teater, tentang minimnya dukungan pemerintah, dan masih bannyak lagi. Tetapi saya hanya akan mengajak untuk melihat kembali tentang hilangnya manusia dan kontak organik di berbagai pementasan atau pemanggungan.

Grotowski, produser teater asal Polandia, kemudian penggagas Teater Miskin (Poor Teater) berbicara tentang aktualisasi jati diri manusia (aktor). Ia melakukan berbagai eksperimen agar kontak esensial antara aktor dan penonton dapat terjalin kembali, sebuah hubungan yang autentik dan dialektik. Pada fase teater laboratorium (laboratory teater) ia menerapkan bermacam-macam metode latihan yang tujuannya penyatuan antara tubuh-pikiran-batin dalam diri aktor. Pertemuan yang memungkinkan setiap aktor menggali dunia-dalamnya, meraih dan mengeluarkan kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Menggali gerak-gerak primal, merespons kondisi alam, mewujudkan ekologikal interrelationship demi membentuk aktor yang humanis dengan tujuan merevitalisasi aspek-aspek kehidupan manusia melalui teater.

Butoh--jenis tari yang berkembangkan di Jepang mencoba menelanjangi manusia dengan menghadirkan sisi gelap di setiap pemanggungan yang lebih ekstrem dari teaternya Grotowski. Lantas apa yang telah dan ingin dilakukan seni pemanggungan di Lampung? Sudahkah kita sungguh-sungguh memikirkan penonton dalam setiap penghadiran teater dan tari?

Mungkin belum ada manusia dengan huruf M di pentas tari maupun teater di Lampung. Organisme yang organik, yang kompleks. Banyak yang masih bersembunyi di balik kostum dan setting pangung atau tata cahaya. Sebagai seni; tari dan teater dikehendaki presisif dan spontan pada sisi lainnya.

Banyak sanggar tari hanya berfokus pada kostum, gerak, dan hitungan. Seperti robot konslet, tanpa misi, tanpa keterlibatan pikiran dan emosi. Sementara teater dalam versi yang berbeda, banyak kelompok teater yang sebenarnya masih kebingungan pentas itu bagaimana. Lantas mengundang penonton, mungkin untuk berbagi kebingungan dan kegagapannya. Nah, pada posisi yang semacam ini memang sulit membincangkan kontak antara aktor-penari dengan penontonnya.

Kegagapan Kuadrat

Masih banyak kelompok teater (seni) di Lampung ini yang anggota dan kelompoknya tidak membekali diri dengan wawasan dan pengetahuan yang memadai tentang medianya sendiri. Jangankan membangun masyarakat, membangun kelompok yang keren, visioner saja sulit bukan kepalang.

Pada situasi ideal, setiap peristiwa kesenian--teater secara spesifik-- hendaknya mampu meraih momen-momen yang menggetarkan seperti halnya pencapaian perasaan spiritual dalam ritual, pelbagai momen dan tahapan pertemuan para pelaku seni yang walaupun terbatas tetapi sublim. Sebab ketika masyarakat tampak individual seperti sekarang ini, kehadiran kelompok-kelompok seni justru sangat dibutuhkan. Bukan untuk melawan arus perkembangan zaman, malainkan sebagai media untuk sejenak merenungkan hakikat kemanusiaannya. Sebagai tempat jeda sesaat, atau spasi jika dalam sebuah kalimat.

Alih-alih meningkatkan wawasan dan lingkungan yang kreatif dan sublim, memperbaiki disiplin dan memperpeka daya cipta, sebagian seniman masih dihadapkan pada kegagapannya pada hal-hal teknis, seperti menguasai teknologi pemanggungan. Yang lebih parah lagi, sama sekali tidak tahu proses berkesenian yang benar itu seperti apa. Para pelaku seni di Lampung terlalu asyik dengan imajinasinya sendiri tentang seni, sebuah dunia yang semata-mata nyentrik, banyak ajang atau event kesenian menjadi perlombaan narsis dan obrolan-obrolan ringan, sepele, dan menggelikan dalam kontek seni dan pemikiran. Sehingga karya seni menjadi remeh, dangkal, dan lari dari tujuan awalnya—memanusiakan manusia. Sebuah kegagapan kuadrat.

Maka merancang atau membangun seni pemanggungan meniscayakan kepekaan-kepekaan simbolik tertentu. Kepekaan-kepekaan tersebut mengandaikan kualitas kematangan kejiwaan. Mengolah medium-mediumnya sampai titik optimal, sehingga setiap ekspresi mampu terartikulasikan dengan baik. Tujuan seni sebagaimana Grotowski sudah semestinyalah menciptakan ekspresi yang autentik para pelakunya, sebuah ekspresi yang efektif dan sekaligus total. Setiap gerak, setiap penyampaian sekecil apa pun merupakan ekspresi yang benar-benar keluar karena didorong kesadaran.

Menurut Peter Book, proses teater juga seni pemanggungan yang lain bukan sebatas pekerjaan, melainkan cara untuk mendekati batas persoalan tentang makna kemanusiaan. Eksperimen adalah pencarian kesejatian, perjalanan ke diri sendiri. Konkretisasi atau eksteriorisasi terhadap kenyataan diri yang berproses dan menjadi. Diri dan kenyataan-kenyataannya yang tak tersentuh tapi ada dan mengandung kebenaran.

Kerja sama dan pendayagunaan pelbagai elemen seni merupakan tindakan manusia sebagai dirinya, seluruhnya. Kembalinya manusia pada momen keutuhan, kesempurnaan, dan keseluruhan. Di dalam seni, kesadaran dan ketidaksadaran manusia dipelajari, pun manusia sebagai kekuatan mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos, manusia sebagai individu dan manusia secara kolektif.

Demikianlah sebuah harapan. Sebuah cita-cita. Menciptakan sebuah medan komunikasi yang autentik antarmanusia, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara pelaku seni dan masyarakatnya. Sebagai langkah awal, kita bisa membentuk semacam masyarakat peduli teater (seni). Yang menampung pelaku dan stakeholder-nya untuk bahu-bahu membangun Lampung dalam konteks kultural ini. Sehingga kita layak disebut sebagai masyarakat yang beradab.

Alexander G.B., pelaku teater, tinggal di Bandar Lampung.

Sajak Hanna Fransisca

koran tempo, minggu, 18 April 2010
BULU KAKI MATA SIPIT
Hanna Fransisca

"Perempuan tanpa bulu,
membawa derita yang tak bisa diburu!"

Mari kuajak kau meneguk racun dengan secangkir kopi pahit,
dan kuceritakan padamu tentang bulu kaki
yang membikin lelakimu mati. Di langit-langit ruang lapang
bunyi gemerincing uang, dan waktu serentak menjadi angka.
Atas impian menjadi kaya, kaupuja Dewa yang kadang iseng tapi kalian harus percaya:
para lelaki itu tiba-tiba menjadi beriman, menjadi yakin pada
kepastian tuah yang dimiliki kaki perempuan. Bulu-bulu dipuja
di depan Dewa mereka. Ular dan serigala dalam diri kau mengamuk
di malam pertama, menghitung kelamin perempuan menjadi angka,
menjadi impian belantara dari jalan kaki hingga menuju kepala.
Amboi, kauhirup tuak dan menari-nari, lalu kau menyesali sabda Dewa
jika perempuanmu polos dan putus asa. Kausesali ibu yang melahirkan perempuanmu,
kaucaci leluhur yang menjadikan kau pengantin mati hingga pagi hari,
"Ada apa dengan Tuhanmu? Adakah Tuhanmu tak sanggup
menumbuhkan sebiji bulu?"

Mari kuajak kau melihat pengantinmu yang berlari di pagi hari,
"Adalah layak bagi kau, jika pengantinmu
menjual diri di jalan raya."

Jakarta, 2009

KEPADA KERBAU

Pada keluargamu, pada ladang, pada mimpi sebuah negeri

Burung-burung selalu berpindah saat berganti musim. Katak
berganti rumah untuk waspada dengan cuaca. Tapi
kerbau bisa datang begitu saja tanpa alasan hujan
atau kemarau.

Di pintu rumah peladang ia datang. Dituntun lelaki dari pasar,
dan wajah istri anak-beranak yang menyongsong suami dengan berseri, "Ai,
akhirnya kita miliki juga. Alangkah gagah, tak rugi hilang sepetak sawah.
Maka di sini engkau akan tinggal, sayang. Menjadi keluarga
seadanya."
Sejak itu, setiap pagi adalah riwayat
yang terus berganti.

Bulan April mimpi menguning padi di ladang terang.
Jejak riwayat kegagahannya tak habis-habis dibilang: "Kita beruntung, sayang,
lantaran engkau tanah lumpur bakal jadi gembur."
Maka langit dan rumah dipenuhi ungkapan rindu.
"Anak-anak akan tumbuh, seiring tumbuhnya ladang. Anak sulung,
tahun depan dipinang orang."

Bulan September menderas hujan teruslah berderai.
Jejak riwayat keringat dimulai, membajak tanah harapan,
menabur biji-bijian.
Maka tak henti-henti sanjung dan puji, "Engkau nadi yang merestui hati
kami. Jejak kakimu menggali-gali, pupuk perutmu berkilo tahi,
menumbuhkan biji bersama matahari. Sabarlah sayang, terus bekerja
sambil bernyanyi. Bergerak dan bernyanyilah bersama kami."
Maka jejak tanah berpagar tak lagi menuai sendu yang samar.

Sepetak tanah selalu tumbuh dengan cinta yang sederhana. Bersama
hidangan rumput hari-hari, yang dipangkas seperti kasih tangan ibu,
bersama petang yang selalu benderang di tanah lapang,
bersama rendam segar air lubuk dan usap sentuhan
jemari ayah.

Ia telah resmi
menjadi keluarga.
Tapi tahun ini badai datang melanda tomat.
Padahal ia mulai belajar menulis, "Aku mencintai
rumah ini." Badai tomat membuat ikan di dapur menjadi tiada.
Semalam ayah bicara cabai, lalu jagung pengganti beras. "Cabai tak
ada harga. Apa kita biarkan membusuk di kebun seperti tomat yang
kita rawat sepenuh hati?" Ai, malam bicara badai, duka di wajah ke tepi-tepi.
Pagi memanggul sepikul gabah, diubahnya jagung menjadi mendung.
"Kita lelang berpikul gabah, tapi sekarung beras tak sanggup beli. Sungguh
mulai celaka ini negeri!"

Anak gadis ranum tiba dipinang umur. Kering di bulan Juni, ibu menangis tepi
jendela. Tak patut memandang ladang, ia bergegas pergi ke kandang. "Aduhai
engkau yang kusayang. Lihat mataku, adakah engkau mengerti?" Rumput
mulai kering, bahkan air irigasi pun kini harus beli. Anak gadis nyaris dipinang,
apakah nasib yang lebih buruk dari seorang petani?

"Di pejagalan kudengar orang memilih kulit yang tebal: sebagai kerupuk
atau dijemur menjadi beduk. Orang kaya di kota amatlah bangga, memajang
ukiran tanduk dari kerbau-kerbau perkasa. Bagaimanakah rupa dan lezat rasa,
daging muda yang dibalut tulang perkasa?" Sayang, lihatlah mataku sayang, adakah engkau mengerti?

Ia tidak melihat mata ibu menjadi kejam. Ia tak kuasa,
memandang wajah ayah yang berlinangan. Ia hanya mendengar suara derum
mesin truk di depan rumah, di tempat ia telah menulis, "Aku bahagia
menemu surga di tengah keluarga."

Ayah yang lelah, membisikan kata sayang begitu pasrah, lalu menggiringnya
untuk pergi
menjadi tiada.

Jakarta, Februari 2010

Hanna Fransisca lahir pada 1979 di Singkawang, Kalimantan Barat. Kini tinggal di Jakarta.

Sajak-sajak Ari Pahala Hutabarat

Lampungpost,Minggu, 18 April 2010

SENI BUDAYA
Peramal

:hudan noer
Ada sungai, awan merah, dan saudagar yang ziarah

di pasar tua. Ada retak batu kecubung, asmara renta

serta rejeki yang tertunda

di telapak tanganmu

di kampung halamanmu

karena aku takut tenggelam

ada sungai dan janji di gurat tanganmu

ada sangsi yang tak selesai di sungai itu

2010

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman