Sastra Lampung Post

Minggu, 13 Desember 2009

Angkon Muakhi

Oleh Budi P. Hatees
Dimuat Media Indonesia edisi 12 Desember 2009

Khazanah foklor masyarakat adat Lampung acap mengisahkan tentang tradisi angkon muakhi (pengangkatan saudara) antara orang Lampung (ulun Lappung) dengan masyarakat dari luar penganut kebudayaan itu. Sebut saja dalam foklor asal mula Keratuan Darah Putih, leluhur masyarakat adat Lampung di kawasan pesisir Selatan (sekarang wilayah Kabupaten Lampung Selatan), yang merupakan daerah kekuasaan Keratuan Pugung.
Foklor ini memuat kisah angkon muakhi antara Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten. Daerah kekuasaan Keratuan Pugung meliputi seluruh bekas wilayah Kewedanaan Sukadana (sekarang wilayah Kabupaten Lampung Timur) sampai pesisir Selatan dan kawasan Selat Sunda. Peninggalannya berupa bekas pertapakan kerajaan di kawasan situs purbakala Pugung Raharjo di Desa Pugung Raharjo yang masih menganut agama Hindu. Angkon muakhi antara Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten perlahan-lahan membuat pengaruh agama Hindu berkurang, digantikan dengan agama Islam yang dibawa para tuan syekh dari wilayah Banten.
Angkon muakhi Keratuan Pugung dengan Kesultanan Banten awalnya terjalin untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah, karena Kesultanan Banten menguasai jalur perdagangan di wilayah Selat Sunda dan bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke perairan Sumatra bagian Selatan. Namun, di perairan ini Kesultanan Palembang menguasai jalur-jalur perdagangan rempah-rempah dari Bangka, Jambi, sampai wilayah perairan Tulang Bawang. Melihat kekuatan kekuasaan Kesultanan Palembang, Kesultanan Banten kemudian mempererat angkon muakhi dengan Keratuan Pugung lewat hubungan pernikahan.
Putri Sinar Alam, salah satu putri dari Keratuan Pugung, menikah dengan Fatahillah dari Kesultanan Banten. Dari hasil perkawinan ini lahir Hurairi, kelak berganti nama menjadi Haji Muhammad Zaka Wa1iul1ah Ratu Darah Putih bergelar Minak Kejala Ratu. Setelah dewasa, Hurairi mendapat mandat mendirikan sebuah keratuan di kawasan pesisir Selatan, kemudian di daerah itu berdiri Keratuan Darah Putih, berpusat di Kauripan (termasuk Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan). Keratuan Ratu Darah Putih dengan gelar Minak Kejala Ratu melahirkan keturunan yang merupakan pejuang Lampung, Khadin Intan (Radin Intan), yang terkenal karena kegigihannya melawan kolonialisme Belanda.
Keratuan Ratu Darah Putih tetap bersaudara angkat dengan Kesultanan Banten. Sampai hari ini, di era otonomi daerah saat ini, Gubernur Lampung tetap melanjutkan hubungan persaudaraan itu dengan Gubernur Banten.

‘Indonesia Mini’
Angkon muakhi merupakan kearifan lokal masyarakat adat Lampung. Tradisi ini ditemukan pada semua masyarakat subbudaya, baik Pepadun maupun Saibatin. Jejak-jejaknya hingga kini ditandai dengan penerimaan masyarakat adat Lampung yang begitu terbuka terhadap kehadiran masyarakat dari lingkungan budaya lain, sehingga wilayah Provinsi Lampung disebut juga sebagai “Indonesia Mini”. Artinya, masyarakat penganut budaya Banten, Jawa, Palembang, Batak, Bugis, Sunda, Bali, Tionghoa, Minang, dan lain sebagainya bisa ditemukan di lingkungan masyarakat adat Lampung bukan sebagai pendatang, melainkan sebagai pemilik Provinsi Lampung.
Semua khazanah budaya lokal yang ada di Indonesia bisa ditemukan di Provinsi Lampung. Masyarakat dari berbagai kelompok budaya membentuk komunitas-komunitas budaya masing-masing. Menurut data yang dikeluarkan Badan Perencanaan Pembangun Daerah (Bappeda) Lampung, masyarakat Lampung hanya sekitar 20% dari 2,2 juta total penduduk, sisanya terdiri dari masyarakat penganut kebudayaan lain. Setiap nilai budaya dari masyarakat luar kebudayaan Lampung itu memiliki peluang yang sama dengan nilai-nilai budaya Lampung untuk berkembang. Itu sebabnya, seni tradisi seperti Reog Ponorogo justru berkembang pesat di wilayah Kota Metro, bahkan pada tahun 2006 memenangi Festival Reog Nasional di Jawa Tengah—mengalahkan Ponorogo. Bahkan, salah satu stasion radio di Provinsi Lampung menampilkan mata acara lagu-lagu Batak dengan segmentasi komunitas masyarakat Batak di Lampung.
Lampung menjelma sebagai Indonesia Mini karena masyarakat Lampung memiliki tradisi yang kuat untuk membuka diri terhadap pendatang, meskipun kehadiran para pendatang di lingkungan mereka mengharuskan masyarakat Lampung membagi berbagai sector kehidupan dengan para pendatang tersebut. Membuka diri dalam hal ini tidak sekedar menerima dan memposisikan masyarakat penganut kebudayaan lain sebagai pendatang, melainkan sebagai bagian dari keluarga luas dalam pengertian saudara angkat.
Persaudaraan angkat masyarakat adat Lampung dengan pendatang dari penganut kebudayaan berbeda tidak pernah menimbulkan persoalan krusial seperti konflik antarsuku. Berbagai perbedaan dalam memahami nilai budaya justru membuat Provinsi Lampung menjadi sangat kaya dari segi budaya, juga dari berbagai aspek kehidupan social lainnya.
Kehadiran masyarakat Jawa, misalnya, membuat masyarakat adat Lampung menjadi lebih paham mengenai berbagai teknologi perkebunan. Pada awalnya, tradisi berkebun masyarakat adat Lampung bisa dibedakan dengan tradisi berkebun masyarakat Jawa. Masyarakat adat Lampung cenderung membiarkan tanaman budidayanya dan kurang memberi perawatan, sehingga tingkat produksi hasil panen rendah. Ketika masyarakat Jawa yang sudah memiliki tradisi teknologi di bidang pertanian dan subsektornya---salah satu yang menjadi alas an Belanda untuk melakukan program kolonisasi Jawa ke Lampung—hadir di tengah-tengah masyarakat adat Lampung, produksi hasil panen mereka tinggi sehingga menarik perhatian masyarakat adat Lampung. Dalam bukunya, Budaya Muakhi (2009), Dr. A. Fauzi Nurdin, M.S. menyebut tradisi angkon muakhi berasal dari kata angkon dala bahasa Lampung yang berarti angkat dan kata muaqi dari bahasa Arab yang berarti persaudaraan. Dilihat dari asal kata, tradisi angkon muakhi diartikan sebagai pengangkatan saudara untuk mengikat silaturahmi persaudaraan.
Secara konseptual muakhi merupakan persaudaraan pertalian darah dan hubungan kerabat atas dasar moral dan agama. Tradisi ini menjadi inti dari filsafat hidup yang disebut piil pesenggiri yang terdiri dari: nemui nyimah (menghargai tamu), nengah nyappur (bergaul dan membuka diri), sakai sambayan (tolong menolong), dan bejuluk beadek (memiliki nama atau gelar yang baik). Filsafat hidup ini bersumber dari kitab undang-undang adat masyarakat Lampung, Kuntakha Khaja Niti yang banyak dipengaruhi ajaran agama Islam.

Legitimasi Kekuasaan Lokal
Sebagai sebuah tradisi budaya, angkon muakhi termasuk warisan leluhur budaya masyarakat Lampung yang tidak akan pernah punah. Meskipun lingkungan kebudayaan di Provinsi Lampung sangat plural, tradisi angkon muakhi bisa diterima oleh semua penganut kebudayaan berbeda. Apabila budaya ini diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat di Lampung, sangat kecil kemungkinan akan mendapat penolakan dari masyarakat penganut kebudayaaan di luar Lampung. Artinya, penerapan budaya local ini yang sekaligus menjadi upaya pelestarian, meskipun sangat menguntungkan bagi masyarakat adat Lampung sebagai pemiliknya, dipastikan tidak akan menimbulkan resiustensi pada penganut kebudayaan bukan Lampung.
Penyebabnya, nilai-nilai dalam budaya angkon muakhi yang merupakan nilai-nilai paling dominan dalam kebudayan Lampung, juga ditemukan dalam kebudayaan-kebudayaan lain. Angkon muakhi merupakan kearifan local yang tidak cuma dimiliki masyarakat adat Lampung, tetapi juga sebagian besar penganut kebudayaan local yang ada di Nusantara. Sebab itu, apabila masyarakat Lampung memproyeksikan angkon muakhi sebagai puncak-puncak kebudayaan Lampung –meminjam defenisi Koetjaraningrat tentang kebudayaan nasional--untuk diproyeksikan sebagai bagian dari kebudayaan nasional, sangat pasti tidak akan mendapat banyak kesulitan.
Tentu, hal ini hanya mungkin dilakukan apabila angkon muakhi tidak diposisikan oleh penganutnya ke dalam kedudukan sebagai mesin kekuasaan. Artinya, alasan-alasan local angkon muakhi jangan diubah menjadi cara legitimasi politik kedaerahan dalam rangka menghidupkan kembali jaringan-jaringan patron klien dan keke¬luargaan (kekerabatan) yang berbasis etnisitas tradisional.
Di era otonomi daerah, desentralisasi telah mengubah politik kebudayaan di daerah. Besarnya wewenang daerah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi budaya warisan leluhur budayanya, justru memberi peluang bagi menguatnya kembali karakter patrimonial. Pemerintah daerah terkesan dikelola secara personal seperti dalam keluarga, baik dalam penempatan jabatan-jabatan publik maupun distribusi sumberdaya keuangan. Seorang pejabat pemerintah, atas nama angkon muakhi acap menjalin tali persaudaraan yang disahkan lewat acara-acara adat, meskipun orientasinya hanya untuk memperluat jaringan dalam rangka legitiminasi kekuasaan.
Nilai-nilai angkon muakhi terutama terkait nilai kekeluargaan, meskipun nilai kekeluargaan itu sangat luhur dan universal, akan menghasilkan dampak buruk apabila diterapkan dalam semangat patrimonial. Angkon muakhi di lingkungan masyarakat adat Lampung akan kehilangan keuniversalannya di hadapan penganut-penganut kebudayaan lain. n

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman