Sastra Lampung Post

Sabtu, 25 Desember 2010

Pohon Jejawi (Budi Darma)

CERPEN
Pohon Jejawi
Kompas, Minggu, 26 Desember 2010 | 03:10 WIB

Oleh Budi Darma

Jangan buka peta Surabaya hari ini, tapi, bukalah peta Surabaya pada akhir tahun 1920-an, atau paling muda awal tahun 1930-an, ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Waktu itu, jalan dan kampung bernama ”kedung” tidak sebanyak sekarang. Hanya ada satu pada waktu itu, yaitu Kedung Gang Buntu.

Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan ”kedung” karena di situ ada sebuah ”kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan ”buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat.

Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan, Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu.

Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa.

Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari tempat-tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa apa lagi pasti ada. Seharusnya ada kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya bunuh diri dapat dicegah

Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal Amsterdam turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua malam di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah insinyur ini tampan tapi sombong, tampak pandai tapi konyol pula, jalannya digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip pemain sepak bola, tapi bukan sepak bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja.

Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan wali kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit tuberkulosis. Dalam hati Henky van Kopperlyk berkata garang: ”Vini, Vidi, Vici,” dengan lagak Julius Caesar ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum Masehi dengan mudah mengalahkan Raja Parnaces II di Zile, wilayah Turki sekarang.

Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih menyembunyikan istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai istrinya, tapi juga, dan inilah yang penting, dia agak malu. Nanti-nanti sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang, istrinya akan diselundupkan ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota.

Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan, pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih dari empat ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer sambil merentangkan tangan mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup. Dua puluh orang pun mungkin masih kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin bagian selatan, pohon jejawi dianggap keramat.

Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi, meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling berbisik.

Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang Perang Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan Sitti Margopoh di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun 1908-1910, serta perkelahian antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas Roemeltje pada tanggal 4 Februari 1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya.

Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang ke tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda. Memang, akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut hukum internasional diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk berunding, dan sesuai dengan kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian, sama sekali tanpa pengawal. Ternyata Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding, tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai, kemudian dibuang ke Makassar.

Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan berbisik-bisik. Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik itu datang dari berbagai suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang menyangkut semua suku bangsa di Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang Jawa. Tidak sama pula dengan pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku bangsa Minang di Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an.

Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai sesajen dan doa-doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun sebelum Henky van Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki Belanda yang tiba-tiba kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini bertualang di Kalimantan, menginap di tempat tinggal kepala suku, lalu meminang anak perempuan kepala suku. Malam itu juga keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke Surabaya.

Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Tidak ada peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya. Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan kencing, barulah dia tahu bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa.

Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky van Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon jejawi itu sampai ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi.

Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak buahnya, baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju. Berbahaya. Maka, setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van Kopperlyk memberi tahunya terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba linglung, ada pula pembesar yang tampak sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas anak laki-lakinya lumpuh, dan banyak contoh lain.

Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia tidak mau diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya mengenai masalah-masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan matanya terbuka, dia sengaja tidak melihat apa-apa.

Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan beberapa orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys, pengarang Indo Belanda kelahiran Semarang.

Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang menurut dia ”inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis. Dalam suratnya kepada Rob Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya sebagai wartawan, dia akan berjuang mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai dengan terompet tanda kiamat ditiup para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia. Bangsa inlander ini, tegas Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.

Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama bangsa Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada jantungnya, tapi pada punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih, perempuan pribumi asal Jawa Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina ini. Kawin resmi, bukan kawin bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan nyai, sebutan resmi gundik-gundik Belanda.

”Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon penghuni neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru sambil tersenyum, seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya. Henky van Kopperlyk merasa menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia berhadapan dengan perempuan pribumi, jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya untuk mengawini pribumi ini hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan mempunyai istri pribumi. Karena setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau gambarnya, langsung jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir setiap hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari Perak, lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal Mojokerto, atau mungkin Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo.

Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak, yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi istrinya, Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap menginjak-injak kepala suaminya.

Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja Henky van Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya perempuan pribumi, dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan seorang joki gagah perkasa, dia tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang joki benaran di atas kuda pada pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke kiri sambil melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan dan ke kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil menjerat perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran besar.

Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk datang ke kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak digagah-gagahkan. Bahkan, beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van Kopperlyk sempat menggumamkan lagu ”Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-kincir angin, babat habislah pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin sumber ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar sebelum menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua. Gumam Henky van Kopperlyk benar-benar bersemangat.

Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus didatangkan. Dalam waktu paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh akar dan udara yang mengelilinginya, serta burung-burung jahat yang menghuninya, harus sudah selesai.

Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan berat, lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang Henky van Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu burung pun yang terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga, tidak ada satu burung pun yang tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari kendaraan berat, memberi aba-aba: ”satu… dua… tiga!”

Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung.

Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi, dengan sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang mula-mula bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit, memuntahkan sumpah serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua burung di seluruh Surabaya dan sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang menggantung.

Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya untuk mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah.

Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya, dan Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura memuji-mujinya. Istri Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara sembunyi-sembunyi, seorang perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya dengan bumbu kata-kata ”sejak dulu saya sudah tahu kamu goblok.”

Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya, Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah untuk mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati: ”Inilah Henky van Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kolonialisme Belanda!”

Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh Jawa dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur Jenderal. Hari dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli 1927, tepat pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun dirancang dengan sangat teliti: tempat duduk Gubernur Jenderal, para gubernur, para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara lengkap dengan lagu-lagu marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah siap.

Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah dibersihkan dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan bangunan lain. Gedung-gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang Belanda, ruang tunggu khusus untuk orang Belanda di tiga stasiun kereta api Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar: ”Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk”.

Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia yang tidak memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat kepada dia. Henky van Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapa pun, tidak pula oleh Anneke von Hubertus, istrinya.

Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya benar, dan orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus, di mana-mana berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal Tilburg, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman. Hubertus nama Jerman, tapi dalam darahnya justru mengalir kebencian terhadap Jerman.

Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah iklan rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan rokok merek Ogden. Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten kapal perang Inggris yang terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain, adalah nenek moyang Jenderal Angkatan Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty Ship Centurion, mengobrak-abrik angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I.

Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi, dan merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama Henricus von Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara, keponakan, dan apa pun juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang akan menangis, tapi tahu bagaimana memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke von Hubertus satu-satunya anak Henricus von Hubertus, dan karena itu, tidak ada orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerima harta karun warisan kecuali Anneke.

Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering naik kuda dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di tempat-tempat ramai dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan dalam sebuah parade, sambil mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikan tangan kepada khalayak ramai.

Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-papan ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok. Kisah tentang Belanda kehilangan kemaluannya dan pengalamannya sendiri dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya terbakar. Pribumi harus dihina, dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar hidup-hidup.

Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi. Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus berbuat baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia kepada Belanda dan makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan membuktikan bahwa para bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya.

Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali. Dia tahu orang-orang akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok karena tidak mampu mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang mempunyai hak penuh untuk mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya berantakan, dan kalau berbicara kadang-kadang seperti anjing geladak sedang menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal, Henky van Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya, tanpa istri. Bagi pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah perbuatan bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani mempertontonkan istrinya di depan umum.

Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai mercon meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana kemari, menyebarkan potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu, pidato-pidato pun dimulai.

Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan udara. Lalu, senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh dari bola. Pistol pertama meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk makin siap menendang, menunggu pistol ketiga meledak. Begitu pistol ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van Kopperlyk lari menuju ke arah bola.

Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang, bukan bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang terlepas, lalu melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin menggedor-gedor pintu surga. Bola tetap berada di tempatnya semula.

Sabtu, 18 Desember 2010

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 19 Desember 2010

Tajuk tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis.

PANDANGAN yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.

Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.

Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.

Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.

Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.

Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.

Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.

Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.

Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).

Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.

Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.

Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.

Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).

Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).

Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.

Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.

Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan

Puisi Agit Yogi Subandi


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 19 Desember 2010

Berjalan

seperti dugaanmu, aku telah menempuh jalan ini: berjalan dalam bimbang dan tetap sadar di dalam malam, meski akhirnya, kita memahami bahwa kata "sampai" akan tersuruk pula ke dalam makna yang selama ini acap kita cari-cari. seperti katamu dulu, jalanan ini memang begitu kedap. tak terhitung teriakan yang lesap ke dinding dan beton-beton di pinggir jalan, bahkan lorong-lorong, yang seharusnya memiliki gema di kala malam, telah mengecoh logika bahwa gema itu kosong. teriaklah sekuatmu, tak ada yang mendengar, karena setiap orang telah disibukkan dengan teriakan masing-masing. orang-orang hanya dapat melihat rautmu yang mengerut dan memancar. tak ada yang perduli, tak kan ada.

seperti katamu pula, menuju sebuah tempat yang dicita-citakan dengan menempuh jalan ini, kita jadi mengerti siapa yang pulang dan yang pergi dan siapa yang tak memiliki tempat kembali dan tempat untuk pergi. kini aku bersaksi, tentang jutaan debar di jalan ini yang hilang begitu saja, ada resah yang tak sempat sampai kepada gelisah, ada gelisah yang tak sempat termaktub ke dalam kisah. dan seperti katamu pula, bahwa di jalan ini, banyak orang menghiba pada sesuatu yang tak terduga. dan aku selalu mengingat kata-katamu, “berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”

(Tanjungkarang, 2009)

-------

Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Dibesarkan di Lampung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.

Minggu, 18 Juli 2010

Puisi-Puisi Deny Tri Aryanti

Jawa Pos, Minggu, 18 Juli 2010

Karena Tahun Tak Pernah Berulang

saat kukenang kelahiranku yang terselip butiran tanah merah

yang nampak hanya roncean semboja

di antara keabadian tak terbaca

seperti teriakan ku yang masih saja menjadi teka-teki ''cinta maya''

adakah kemolekan dari sebuah tarian sunyi

saat berputar-putar mengelilingi mimpi

bercinta dengan abjad yang semakin renta

dan memberikan bayang-bayang sebuah ironi

adakah engkau di sini

saat tetesan pelangi mulai melahirkan kereta kencana

menembus fatamorgana

seolah merantas segala kemuskilan yang tengah kau tawarkan

munkin kelahiranku adalah tawa

munkin juga mengenangnya adalah sebuah luka dari seonggok nyawa

tapi aku mampu menundukkanmu dalam siluet kata-kata

dari detak angka dari detik waktu

semua legenda hanya sebuah dinasti tak bertuan

mungkin masa lalu adalah kesiaan

saat hanya kesepian yang mampu memberikan senyuman

Aku sadar doamu adalah sajak tanpa nyawa

melesatkan waktu dalam hentakan abad

saat terjalku menjelma mimpi dalam lorong masa lalu

dan bayanganmu hanya cerita yang sia

karena tahun tak pernah berulang

Sby- dari seberang mimpi

Dalam Diamku

Kubungkus resahmu dalam gulungan mimpi

Kutorehkan kematian pada sudut pelangi

Hingga sunyi pun tak mampu membaca tanda koma

Lautku mulai memerah

merapatkan sayap senja tanpa perisai kata

menuangkan buihnya pada lengkung cadas

Aku kehilangan luka

tentang darah

yang pernah engkau ceritakan pada air mata

tentang lorong

yang pernah kau sembunyikan di ketiak burung hantu

Aku memungut serpihan kaca

yang kau sebar di wajahku

kurajut dalam untaian fatamorgana

menjelmakannya pada sebuah siluet tentang kemuskilan

Aku masih berharap

laut menuangkan vodka di ujung bibirku

Aku masih berharap

buihnya akan menjadi kemabukan yang indah

aku pun masih ingin menganggap

tebingmu adalah kebosanan yang terlelap dalam resah

Aku masih menunggu detik ini

di ujung jarum jam yang menenggelamkanku pada kebisuan

Aku resah di ujung waktumu

aku gelisah di ketiak lentera angan-angan

Mimpi kita adalah dosa yang indah

Waktu kita...hanya malam tanpa kelambu

hanya sejarah tanpa tanda baca

yang tak mampu mengeja setiap kisah

tentang doa dan dosa

Oktober 2009

Deny Tri Aryanti, lahir di Trenggalek, 7 April 1980. Jebolan D3 Pariwisata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Belajar berkesenian dan menulis di Teater GAPUS Surabaya, tergabung dalam komunitas

@rek pilem Surabaya.

Ranggalawe Gugur

Jawa Pos, Minggu, 18 Juli 2010 ]

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta1


---

Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.

''Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.'' Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.

Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati -sejumlah puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya -tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.

Ratu Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman. Kencana Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya, manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang. Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi: Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama alias bala depak yang senantiasa terdepak. Panggung sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka. Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban, Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke Majapahit. Bisa saja.

Kulihat ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat. Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya. Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan. Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama mati.

Rarasati merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan. Ada pula yang malah jatuh kasihan.

Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan utusan-utusan Blambangan itu pulang.

Di Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.

Mas mas mas aja diplerok (Mas mas mas jangan dipelototin)

Mas mas mas aja dipoyoki (Mas mas mas jangan digodain)

Karepku njaluk diesemi 2 (Pinginnya minta disenyumin)

Ruang pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring. Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan Ketoprak is the place where we live and where we die... berlatar orang sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati. Gamelan terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator. Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan. Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya yang setia.

Menak Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama. Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa. Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu. Kali ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar biasa kikuk -jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam film Saur Sepuh- mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan. Pertempuran itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu. Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan. Akhirnya dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian panggung.

Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu kakehan alasan... (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak alasan...)

Seorang pelawak masuk ke panggung dan me­nari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu. Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin. Mungkin pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh gamelan. Di tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Am­plop itu pun dibuka. Berisi duit yang langsung me­reka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.

Malam ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung. Ia meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair sebuah lagu, katanya. Lilanana pamit mulih... (Relakanlah aku pamit pulang...)

Lilanana pamit mulih (Relakan aku pamit)

Pesti kula yen dudu jodhone (Aku memang bukan jodohmu)

Muga enggal antuk sulih (Semoga segera mendapat ganti)

Wong sing bisa ngladeni slirane (Orang yang bisa mendampingimu)

Pancen abor jroning ati (Memang berat rasanya)

Ninggal ndika wong sing ndak tresnani (Meninggalkan orang yang kucintai)

Nanging badhe kados pundi (Tapi mau bagaimana lagi)

Yen kawula saderma nglampahi3 (Aku cuma sekadar melakoni)

Lelaki itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.

Malam sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya. Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya. Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya. ''Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!''

Adegan pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah Menak Jingga. Ia bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari janjinya. Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.

Tak ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe. Tetapi saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga me­me­rintahkan agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. ''Makamkan ia dengan upacara kehormatan!''

Pertunjukan selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami telah mengusir mereka. ***

2010

(End notes)

1 Nisan, puisi karya Chairil Anwar, 1941

2 Aja Dipleroki, lagu karya Ki Nartosabdho

3 Pamitan, lagu karya Gesang, 1940

---

Oleh: Gunawan Maryanto

Sabtu, 10 Juli 2010

Sajak Iyut Fitra

Koran Tempo, 11 Juli 2010

DARI BEBERAPA BAGIAN


1. datang malam
di luar musik jazz mulai dimainkan. gerombolan lagu lama
atau mungkin seorang kulit hitam menjeritkan birahi malam
di teras, seekor capung terluka baling-baling kipas angin
sedemikian panjangkah waktu atau justru sangat singkat
malam mulai merambat. mulai lesat

2. larut malam
jangan kauduga itu suara ketitiran atau pipit sawah. hanya hempas
ombak yang ramah. dari waktu ke waktu kita senantiasa mengulang
kata pergi dan pulang. kini kau terhampar di ranjang
mimpi apa yang kau inginkan?

jangan kausebut ini sepi atau segerombolan laron yang tercampak
di trotoar. barangkali detak nadimu sendiri yang bergetar
seolah bunyi sitar. menggiring galau pada ujung yang kauusung
: kau menaiki kereta yang nyinyir

3. telah pagi
bunyi yang satu ini seperti uir-uir. (kuingat kampung halaman
tatkala melintasi tebing menuju sawah. sebatang pimping melukai jari
tanganku). ah, barangkali serupa dendang yang dilantunkan gadis kecil
di anak tangga. kampuang den jauah di mato...
lalu matahari yang menyapamu. adakah kaupahami makna rantau
bagi lelaki

4. terik siang
bayang-bayang tak mau tinggal
benarkah itu kesetiaan yang berceceran sepanjang jalan. atau...

5. menjelang dan sesudah senja
kaulihat awan berkemas. setelah upacara dengan matahari ia tinggalkan
waktu tergolek pasrah. alangkah banyak mimpi berkunjung
ke dalam hidup. tapi kita tak bisa meraih semuanya. sungguh tak bisa!
"lalu begitu setiakah kita dengan luka? begitu tak berdayakah kita
digiring bayang-bayang ke tempat-tempat semu semata?" teriakmu
sebelum orang-orang mulai menutup jendela dan pintu

senja lepas sudah. aku tak melihatmu lagi di antara pasir, capung-capung
dan debur laut. hanya sedikit pesan yang kau tinggalkan di sebuah
surat kabar sore: waktu tak selalu ada sebagai hitungan

2010

DAN KITA BERTEMU DI BALE TIMBANG

serupa gadis belia. harum putik padi, dan dada yang tumbuh
17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam. 17 tahun almanak tersimpan
sampai resan. dan kita bertemu di bale timbang
di malam tepi kota yang hampir kita lupa aromanya. kau ditemani seorang perempuan jepang dan pelukis burung hantu. aku masih dengan baju lusuh yang kemarin
"durian yang kita tanam sudah berbuah, tidakkah kaucemburu pada waktu?"
kau kembangkan lagi jalan-jalan. debu kota serta polusi yang berubah jadi pelangi

kemudian kita bercerita tentang pohon-pohon
sepetak tanah yang akan kautetesi susu. "aku ingin jadi ibu, meski cinta
adalah kata yang selalu terlambat!" katamu seolah mengukur-ukur sesal
(di matamu--dan itu jelas tak bisa kausimpan--ada gelegak amarah ingin
berloncatan). seekor kunang-kunang rebah di samping meja
perempuan jepang dan pelukis burung hantu memesan jus jambu
"mereka datang hanya untuk menyuburkan benci di tubuhku!"

17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam
17 tahun almanak tersimpan sampai resan
dan kita bertemu di bale timbang
bercerita tentang pohon-pohon

Denpasar, Mei 2010
Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatra Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (Horison, 2006) dan Dongeng-dongeng Tua (Akar Indonesia, 2009). Giat di komunitas seni INTRO.

Cerpen Yanusa Nugroho: Tangga Cahaya...

Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010

Tangga Cahaya...

DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya-- namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).

Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini.

Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan.

***

Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.

Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.

Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni...

Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ''Capek, kurang tidur,'' begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.

Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan... aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.

***

Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.

Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.

***

Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ''kata'' sebagai wakilnya. Dan ''kata''', sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.

***

Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.

''Untuk apa, ya?''

''Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,'' ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.

Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.

''Tapi... malam-malam begini?''

''Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.''

Hmm.. kata ''diperintah'' ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.

Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.

Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ''perintah'' itu gagal dilaksanakan?

Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ''pemerintah'' yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.

''Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?'' begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.

''Yang bilang begitu siapa, Pak?''

''Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini...''

''Yaa... maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.''

''Hahahaha...nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha...''

Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?

''Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?''

''Bapak mendengar dari siapa?''

''Tak ada asap jika tak ada api.''

Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.

''Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?''

Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.

''Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm...siapa, siapa?'' tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.

''Abimanyu, anak Arjuna...'

''Yaaaa... Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?'' ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.

Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.

''Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,'' jawabku dingin.

Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.

''Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi...'' setelah agak lama dia terdiam, ''seperti itukah kematian saya?''

Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.

''Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang...''

''Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?''

''Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.''

''Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran... Hah? hahahahahaaa...Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha...''

***

Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?

Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.

Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.

Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah... kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.

Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.

***

Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***

Pinang, 982

*) Yanusa Nugroho , cerpenis tinggal di Jakarta

Puisi-puisi Tjahjono Widijanto

Jawa Pos, Minggu, 11 Juli 2010

Lukisan Perempuan di Museum Blanco

debu berebut merajam waktu

aku terpenjara mata perempuan

semata perempuan dalam kanvasmu

mata yang menari entah dalam irama

gamelan, jazz, bosanava atau salsa.

mata yang samar serupa kabut

memucat pada lembar biografi

mefosil dalam geletar ingatan

mata perawan menyimpan rahasia api

buah larangan yang disembunyikan dewa-dewa

pada bilik-bilik kahyangan yang pengap

ruas tubuhnya bergetar menafsiri rahasia malam

jejak-jajak malaikat tersesat

pada rambut yang berkibar-kibar

meramu wangi udara serupa harum sesajen

ditaburkan pada pori-pori di tubuhmu

di tengah ranum bola matanya

jalan-jalan rumpil berkelok-kelok,

sungai dengan jenggot sulur yang getas

di antara akar-akarnya

bayangmu bergoyang-goyang

bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu

menganyam senja, jarak, peristiwa

juga warna malam dan awan

menunggu menjadi hantu di taman tua

merajam sunyi menjadi bunyi

Ubud-Ngawi, 09/010

---

Camar Mencari Ceruk Karang

waktu yang digaris gerimis mengingatkanku

ketika tapak kaki bergilir satu-satu menapak jalan setapak

mendadak matahari begerak pelan terbenam di wajahmu

bersama kleneng lonceng yang ditabuh bergantian

mengiringi lumut-lumut liar dibesarkan embun

bertumbuhan menggerogoti batu-batu tepian

''kuiringi perjalananmu bersama dongeng ibu selepas senja'' bisikmu lamat-lamat

sebongkah mesiu rindu meledak di pusat jantung: amis keringat bapa,

harum rambutmu, juga suara bocah-bocah main jamuran di pelataran

sebelum mengabur dalam lembar kalender yang berlepasan

dan kita terperangkap cuaca bersama getar kuncup bunga

kenangan purba yang berhamburan dalam warna tanah

selangkah lagi sampai di ujung belawan

angin menuliskan pesan di ranting-ranting: ini tak akhir perjalanan!

mendadak danau di kelopak matamu mengobarkan api

membuka kembali rute-rute perjalanan yang mesti dilalui

meski bumi menjadi murung kehilangan kata-kata

di ujung belawan di awal malam, seekor camar berputar-putar dalam gelap

mencari sisa ceruk karang yang akan ditatahnya jadi sarang terakhir

Ngawi, 2009/2010

---

Kunti di Tepi Kali

ranjang batu, ayunan batu, lumut di atas batu

kenangan yang akan setia mengunjungimu

dia akan mengingatkanmu tentang kalender yang pernah tanggal

segera musnah oleh taring rayap tapi angkanya tetap tinggal

alir kali jalan kenangan terpanjang

lurung waktu tak bisa dipagar kawat berduri

di laut gericiknya akan sampai

di hulu-hulunya kau akan menemu sampan

melayarinya seperti nahkoda haus mengangkat sauh

menitip rindu pada tajam cadas karang

rindu yang beku dan kelu

meledak dalam palung paling arus

kenangan akan turut meledak dijakunmu

membayangkan ibu mengibar-ngibarkan sejarah

pada secarik kutang di kain jemuran

melambai-lambaimu bersama angin

mendekam ngilu di sebujur pori-porimu

''Radeya, eja dan rapal namamu dengan benar meski lidahmu beku!''

Di gudang tua itu suatu saat akan kau dapati potretmu

ibu meletakkannya di samping pigura laki-laki

yang disebut-sebut sebagai suami

''Radeya, tak usah kau risau

toh sebuah nama adalah fana

seperti debu kelak turut larut

dibawa lari kereta kudamu

menuju dunia yang lain lagi''

Ngawi, 2008/2010

Tjahjono Widijanto , lahir di Ngawi, 18 April 1969. Buku puisi tunggalnya: Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), peserta Festival Sastra Internasional Ubud Writter and Reader Festival 2009.

Puisi-Puisi Ulfatin Ch.

JawaPost, Minggu, 20 Juni 2010


Belum Tuntas Kata

Belum tuntas kata

yang berkelok di tikungan itu

jejaknya masih lekat di lengkuk mataku

sebagaimana dulu kita mengurainya dari kelam

hingga malam

dari siang hingga petang

Dan matahari itu sudah meninggi

meninggalkan kita

menyisakan bayangan menghitam

di belakang

2009

---

Membaca Batu

Akhirnya, wajah kita yang tertunduk

membaca batu-batu di sepanjang jalan itu.

Dingin udara malam melangkahkan kaki kita

berputar seperti piringan di taman

tapi, tak juga sampai pada kata

pada nada yang terkemas. Hingga kudengar lagu

Mestinya Tuhan menciptakan kita bahagia, katamu

tapi, angin yang kesiur hanya menjawab rindu

2009

---

Laut dan Nelayan

Seberapa dalam lautan, nelayanku

ombak pun seperti diam

saat kausentuhkan jala ikan di atasnya.

Dan dengan kesabaran rindu

kau menunggu

berlayar bersama camar-camar timbul tenggelam di atas samudera

Seberapa dalam sudah kau selam lautan, nelayanku

hingga badai hingga gelombang

menahan kokang

rindu pada dendam

2009

---

Rindu Yang Kutanam

Tak ada lagi prasasti itu di sini

di antara subuh yang kauketuk

dan kehadiranmu di pintu

tak ada lagi surat bertuliskan alamat

tak ada

Rindu, biarkan kutanam dalam

jangan kautanya pada buta mataku

2009

---

Aku dan Ismet


Ini hari matahari meninggi

Jejak pejalan terseok ke belakang

di antara susunan malaikat

dan penghianat

Tapi, aku dan ismet terus bernyanyi

melahirkan puisi

menuntaskan sunyi

berdzikir malambertasbih bulan

aku dan ismet bernyanyi

hingga hari mengukir pagi

2009

---

Catatan Cinta Tiga Baris


1

Seberapa dalam cinta kautanam

hingga jera

merampas luka

2

Sungguh aku mencintaimu

hingga waktu memburu

api membakar jiwa

---

Catatan Beranda

1

Tak ada jejak di beranda

tak ada juga lukisan bunga ungu

di halaman depan buku itu

tinggal goresan yang bernama rindu

dan kelopak menunggu

hujan

2

Jika beranda yang kautanya

tolong jangan kauhapus dulu air mata

Sebab embun tak lagi sesejuk pagi

sebab subuh tak kauingat lagi

Jendela yang kutatap hanyalah kekosongan

dan tak ada kehadiran yang bisa diharapkan

Tolong jangan kauseka air mata

3

Selepas subuh

beranda pun sunyi

Sajadah merapat raka'at

saat tahiyat

dan salamku padamu

2010

---

Dan Bunga

1

Dan bunga telah mati

Dan hari pun suri

Dan mimpi tak ada lagi

Dan sunyi itu pun

abadi

2

Mungkin

aku yang merindukan

sebuah taman dengan bunga-bunga

di jambangan itu

matahari jingga di atas kepala

bagai payung nirwana

Mungkin

aku yang merindukan

Kesunyian perpustakaan

yang mengantar kita pada kata

dan lipatan-lipatan kertas

tak terbaca

pada cinta atau pun luka

2009

---

Sajak Gugur

Satu kelopak bunga di taman gugur

satu sahabat, satu teman, satu saudara

dan, entah siapa lagi

menggenapkan hitungan ini

hingga nol di tangkai mawar

Aku sendiri entah kapan sampai

di urutan terdepan mengambil komando

dan kubilang 'siap'

Sedang tangan kita masih meraba

dengan sangat hati-hati sekali

menyisihkan lembar demi lembar buram masa lalu

untuk kita bakar sebagai kenangan

2009

---

*) ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Jogja dan bergabung dengan Teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) 1989, SAS, dan Mitra Lirika. Kumpulan puisi tunggalnya: Selembar Daun Jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, dan Perempuan Sunyi.

Hari Kusam

Adakah yang mesti kusiapkan saat kau pulang

sedang FB tak bisa kaulepaskan

Hari-hari penat di kepala yang ada hanya umpat

Setelah Kemarin

Setelah kemarin dan hari ini

apalagi yang kaupertanyakan tentang cinta

Keangkuhan telah menutup mata hati

hingga ke sudut paling tepi

Dan tak ada lagi bulan yang sempurna

Apalagi gerhana melunaskan igauan

tentang cahaya malam, riuh anak-anak

dan kelakar para santri di bilik sepi

Tinggal kepak kelelawar dan gema burung hantu

mengamini hingga subuh

tak ada lagi

2009

Akhir Tahun

Hari semakin tua membidik usia

bulan semakin dalam menusuk kelam

Jika kini kupilih sendiri

tak berarti aku kehilangan api

Terompet dan kembang apilah yang membuatku

sunyi menepi di akhir tahun ini

Orang-orang beramai-ramai datang

dari pelosok desa

bergerombol berpusat di kota

menunggu tengah malam tiba

Jika kini kupilih sendiri

tak berarti aku kehilangan api

Anak-anak dan suami membawaku

bermimpi berdzikir pagi

Catatan akhir

Semakin dalam kita

terperosok dalam lingkaran

semakin dalam cinta

menikam kelam

Usai Pesta Tahun Baru

Sudah tuntas bunga api semalam

anak-anak, aku dan suami bersama

dalam satu tikar dimusim durian

Di jalan Kaliurang di tempat para pendatang

bermalam

kami bersendau membelah malam

Dingin ilalang membawakan angin

dari puncak merapi hinggap ke pangkuan

Tak ada api di sana

hanya kerlip lampu dan riuh pejalan

mengantar lelah

pulang

2010

Biodata

ULFATIN CH. lahir di Pati, Jawa Tengah

menulis sejak SMA dan lebih serius ketika hijrah ke Yogya dan bergabung dengan komunitas seniman Yogya tahun 1989

di teater Eska IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN) dan SAS, Mitra Lirika, dll.

Karya-karyanya dipublikasikan di media lokal dan Nasional. Dan lebih dari dua puluh antologi bersama, al: Kafilah Angin (Eska), Sembilu (DKY, 1991)Delapan Penyair Baca Puisi (DKJ), Cakrawala (Horison), Festifal International (TUK, 2001), Antologi Puisi Indonesia-Portugal (2008), dll

Antologi Puisi tunggalnya: Selembar Daun jati, Konser Sunyi, Nyanyian Alamanda, Perempuan sunyi.

Sekarang tinggal di jl. Kaliurang Km 7 Gg. Anggrek I no.5 Babadan Baru, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta

Hp. 081578879255


Rasa
Anak-anak Masa Lalu

* Rasa
* Anak-anak Masa Lalu
* Jejak Ditam
* Malam Rajam
* Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.
* L a n d o
* Sajak-Sajak Mashuri
* Menari di Padang Prairi
* Suara Serak di Seberang Radio
* Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim

Sajak-Sajak Mashuri

JawaPost, Minggu, 23 Mei 2010


Berguru pada Hujan

tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku

sebentuk jarum yang runcing, dingin

menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku

hingga segala seakan hancur

dan tak terkenali kembali, lebur

tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana

seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi

seperti telapak kaki pada tanah basah...

tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput

kau kekal dan diam di pembaringan

bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya

di gigir rintik, kusembayangi bayangmu

kematianmu

aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak

wujudmu

masih maujud dalam satu kata

dan tak terkotak, terpeta

dalam kekaburan dan buta

kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih

namun aku berguru pada derasnya, suaranya

dan linangnya yang tertahan di udara

agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak

di tubuhmu

ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang

yang pernah kau pahat di kalbuku

meski perih

Surabaya, 2009

---

Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu

tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah

dan meruapkan renjana

karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit

hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam

dari malam

di sana, aku bisa berkaca tanpa suara

saat kuncup kuntum itu masih

dedahkan madah purba

hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta

mungkin hanya dalam mimpi,

kubisa menggelung rambutku

kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam

dan menggeraikan segalanya

di udara

dan ronce melati itu akan sia-sia

tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri

di padang kerontang

bagai keris kini yang mencari warangka

yang tersesat di sebuah abad yang terlupa

Surabaya, 2009

---

Rumah Kita


telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu

bersua luka

aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu

tinggalkan jejak abu-abu

seperti asap yang tiba-tiba berderap

di benak dan atap

tampak rumah kita di persimpangan

pohon randu alas meranggas, dan uap belerang

di antara kawah, di antara dua pegunungan

tak mengekalkan harapan

dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah

sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api

padam dinihari

dan laut tak jua deburkan harum ombak

bagai bunga pudak

sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang

di jalan-jalan

dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu

terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu

lantai tanah,

dan sebentuk bangku di ruang tamu

mungkin ada yang harus mengingat

lunas pohon-pohon

dan ada yang harus berangkat

ke tanah-tanah tanpa sekat

tuk bersawah dan membukitkan rindu

pada sejarah

: silsilah yang bersudah

Surabaya, 2009

Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim dan LUBIS GRAFURA

JawaPost, Minggu, 09 Mei 2010

BERSAMA OMBAK

Bersama

ombak

gairah,

cakrawala

buih,

menghisap bayangan

Nyanyian

menempuh mata angin

2001

---

MENGAJAK CAHAYA


Mengajak cahaya

mendaki

rambut

mengibarkan kenangan

2001

---

POHON YANG TERLUKA

pohon yang terluka

hawa menerbangkan kata

ada masa silam

terserak di jalanan

jiwa-jiwa termangu

menunggu lagu asing

menyergap rindu

menyergap pilu

Wonosobo, 2005

---

AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU


aku rindu sentuhan tanganmu di dahi

menghalau galau zaman

pada hari ini

alangkah sulitnya berkata

dan bertanya

yang tersisa hanya malam datang

dan datang lagi

keheningan menggenangi

ruang tempat kita bertatapan

butir-butir tasbih

pedih, mengemasi waktu

2005

---

GUBENG KERTAJAYA

Ada malam abadi

mencari sunyi

Wajah mirip kata

tak mampu dijadikan nada

Cukup sebuah lagu

memperluka waktu

Hutang cinta

tak terbayar oleh usia

2010

*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta

---

LUBIS GRAFURA:


Perumpamaan Hasut


Pecahkan cermin. Rangkai kembali.

Tataplah wajahmu.

Nglegok, 2010

---

Inisial A.

Kalau saja pertapaanku ini,

melebihi batas usiaku

barangkali nanti kan kutitipkan jasad

agar aku leluasa menemui: mu!

Nglegok, 2010

---

Sendiri

Kadang kita butuh waktu:

bermeditasi, mencari persejatian diri

mencari jalan kembali

namun, tanpamu di sini

hidup seolah memilih berhenti

Nglegok, 2010

---

Sajak Kematian


Menanti dirimu

seolah menanti fajar yang menggulung sinar

Hanya saja,

fajar datang sesuai waktunya

Sementara dirimu,

kedatangannya tak tertandai waktu

Penataran, 2010

---

Dalam Sujud


yang berperang tanpa pedang

yang musuhnya arupa mamang

Penataran, 2010

---

*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).

Puisi-Puisi Abdul Wachid B.S.

Jawapost, Minggu, 30 Mei 2010

Jalan Menuju Hatimu

Jalan ke arah rumahmu

Begitu mendaki dan berliku

Jalan menuju hatimu

Begitu mencari dan semoga ketemu

Jalan aspal jalanan berlobang

Jalan penderitaan tak berkesudahan

Kulalui di siang ke malam, harap-harap cemas

Jauh pun ditempuh, ada janji belum berbalas

Di belakang jalan tak kutengok sejarah

Di hari kemarin berporsi percintaan berserah

Kepada rasa, ke duli naluri Adam-Hawa yang

Diasingkan dari pintu-pintu surga

Jalan hidup kau aku

Jalanan berbecek, mendaki, melingkar-lingkar

Tapi kau aku tak pernah terasa sakit

Sekalipun percintaan begitu terjepit

Jalanan hari berganti ruang

Jalanan ruang berubah jarak

Sampailah dipisahkan tembok-tembok

Sekalipun percintaan kau aku terus saja mabok

Jalanan cinta

Jalanan penuh kasih sayang

Kau aku menolak sekian kehancuran

Kau aku hidup dalam bayang-bayang kebersamaan

Jalanan angan jalanan kenyataan

Jalanan impian terbentur jalanan bebatuan

Tetapi jalan menuju hatimu

Setidaknya pernah lebur di dalam penyatuan

Yogyakarta, Januari 2009

---

Di Ujung Nun

Di ujung nun

Jalan bercabang dua

Bila yang satu naik, bila yang satu turun

Lalu langkah kaki bertemu di mana?

Di ujung nun

Jalan mengapa menjelma dua?

Di atasnya ada satu titik takdir

Matahari: di mana cinta tak harus berakhir

Yogyakarta, Januari 2009

---

Hari Ini Adalah Puisi Indah

Tiap bangun tidur, masih di atas dipan

Kuhadapkan wajahku ke cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang meniatkan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlalu aku menuju kran air

Kubasuhkan wajahku dalam urutan wudlu

Kusahadatkan hatiku agar kembali segar

Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah

Lalu berlaku aku dalam sujud

Kuhunjamkan keningku ke bumi

Ke dalam waktu di mana suara manusia masih dengkur

Yang terbaca bahwa hari ini adalah puisi indah

Betapa nyatanya terasa kata Gus Mus

Sampainya doa akibat tiga perkara

Lelaku siapa itu, di tempat mana dia sampaikan pinta

Dan waktu kapan dia tengadahkan harapan

Tetapi subuh masih jauh

Dan fajar menjadi jembatan cahaya antara bumi dan langit

Tatkala malaikat-malaikat saling ganti berganti

Dalam kerjanya yang tak habis-habis

Hatiku jendela yang membuka

Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin

Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga

Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah

Yogyakarta, 6 Agustus 2009

Abdul Wachid B.S., l ahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit antara lain Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit Bukulaela, cet.III-2005), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Grafindo Litera Media, 2005), dan Gandrung Cinta (Pustaka Pelajar, 2008). Kini mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Sabtu, 26 Juni 2010

Sajak Rio Fitra SY

Koran Tempo, 27 Juni 2010

HAL-HAL YANG AKAN IA YAKINKAN

tak ada badan, jelmaan yang merubuhkan tulang, di

sebuah lubang, sewaktu ia tak peduli dengan pulang. tak

ada rumah, dinding yang dibatasi perpisahan, saat dua lambai

lemah mengukuhkan ingatan. tak ada kenangan, di bantal

air mata yang menyembunyikan pertengkaran, ketika kalimatnya

memimpikan getar. tak ada kebisuan yang menggerakkan

isyarat, di sentuhan tuhan, sewaktu tahun-tahun saling jauh-

berjauhan. tak ada ruang, tak ada waktu yang mengambang,

di sisa angkasa, saat cahaya meluncur ke dalam umur. tak

ada masa meski ia telah tua, di antara banyak angka,

ketika ia menghitung jumlah badannya

Padang, 2010

RAHANG

hanya kunyah

dan kenyang mencoba

menarikmu dari kejang.

luar dan dalam pedas

melepas decas. sedangkan

decak nikmatku seperti kawat

yang lamat-lamat melumat

karat. sebatang terkerat

sebilah lagi jadi sekarat. tapi

aku bersikeras menahan serat

cicipan yang disisipkan ke

lubang gigitan. serat yang berkilau

barangkali. hanya kunyah,

setiap hari yang payah,

setiap pagi yang renyah,

berupaya menerkammu dari

perburuan. sehingga aku

takut mengejarmu sampai

ke sarang. hanya kunyah

yang tak hentinya bertanya

perihal suapan: suapan

puasa. hanya kunyah

yang kau percaya karena

aku puas menganga

untuk dagingmu

yang merah

Padang, 2010

RUMAH-RUMAH WAKTU

lampu merah

mungkin makin tinggi kaki ini setelah kautebas.

simpang jalan melintas-lintas. di sana, para pekerja

terlambat lewat ketika melompat dari jam pintas. adakah

dari mereka yang menjinjing sekantong penat dari

swalayan terdekat?

perhatikan. mata tanda tampak seredup kabut. aku

berhenti untukmu: tak mengerjapkan isyarat yang sekerat.

aku hanya sebatang kata yang ditanam di jalanmu untuk

mengeja, saat lidah menjulurkan pergi. entah menuju

simpang pemberhentian yang mana lagi

halte

kau dan aku selalu menjadi orang baru atau orang asing

yang bangkit dari usia masa yang lain. kau keluarkan bayang-

bayang matahari: condong ke kiri. bayang itu mampu juga

menghitamkan tubuhku

kau hendak menumpang, wahai penampung kepulangan?

sudahlah, aku tak mau mengenalmu dengan keteduhan sebab

seorang asing hanya menunggu hujan meredakanmu dari deru

bus kota yang tersesat

bus kota

baik-baik engkau naik. bila kaudaki berkali-kali, tertinggal

endap malam penuh dendam bergidik, dalam lelap

sopir terakhir

Padang, 2010

Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Giat di Komunitas Ruangsempit dan Teater Noktah di Padang.

Gunawan Maryanto: Pergi ke Toko Wayang

Korantempo, Minggu, 27 Juni 2010

AKHIRNYA aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.

Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.

Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.

Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.

Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.

Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.

Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.

Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.

Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.

Jogja, 2010

Gunawan Maryanto tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman