Sastra Lampung Post

Minggu, 14 Juni 2009

Sajak-sajak Wendoko

Minggu, 14 Juni 2009 | 02:58 WIB 

cetak.kompas.com


Pesta Makan Laba-laba

: Albert Roussel

Bunyi seruling….

 

Di suatu taman, di suatu tempat – di celah bunga ranum dan hijau daun-daun – seekor laba-laba membangun sarang. Ketika itu senja awal musim panas. Cahaya berenang – dalam warna keemasan. Kumbang berputar-putar di putik bunga. Kupu-kupu di tengah cahaya. Semut-semut mengangkut daun mawar – yang tanggal oleh gunting si tukang taman.

 

Seruling melincir – lalu biola-biola

Orkestra perlahan memberat….

 

Seekor kupu-kupu terbang merendah – ke tangkai bunga-bunga. Ia lalu meneguk air yang tertinggal di daun – bekas siraman si tukang taman. Ah, sayapnya tersangkut ke jaring laba-laba! Ia mengepak – dan mengepak. Sekali-dua. Akhirnya kupu-kupu lepas dari perangkap si laba-laba. Di atas rumput semut-semut terperangah.

 

Melodi mengeras – lalu menurun

Fuga yang dinamis – lalu kontrapung….

 

Sebutir apel tiba-tiba lepas dari dahan. Jatuh dengan suara berdebam. Laba-laba tersentak – bersembunyi ke balik daun mawar. Jaringnya separuh terkoyak. Di atas rumput dua ekor cacing mendekat. Belalang menengok dari tepi daun semak – tak kelihatan oleh kumbang-kumbang. Cacing-cacing mulai menggerogoti apel yang bulat.

 

Massa bunyi melebar – makin kuat

Motif yang melompat….

 

Dua kumbang memperebutkan putik bunga. Malang bagi mereka! Kumbang-kumbang terbang terlalu rendah. Mereka terjerat ke jaring laba-laba. Seekor lalat hinggap di kelopak mawar. Laba-laba mendekat. Sebentar lagi saatnya santap malam. Tetapi belalang mendesak – dan melepaskan seekor kumbang. Laba-laba bertengkar dengan belalang. Sementara kumbang yang lain juga terlepas – karena jaring yang separuh koyak.

 

Sebuah mars yang murung

Pendek dan lambat – seolah terkurung….

 

Hari mulai gelap. Bulan di balik dedaunan. Taman separuh gelap separuh keemasan. Di celah batang mawar – kunang-kunang menyalakan lampunya.

 

Solo seruling

Suara harpa yang bening....

 

Rapsodi Spanyol

: Maurice Ravel

/01/

Motif yang mengganggu – pada 4 nada rendah.

Meluncur – seolah malam musim panas yang lambat.

Malam yang lengang – gelap menangkup di sekitar taman.

Pohon-pohon zaitun, almo, pina dan lauria gemerlap

di bawah bulan merah. Motif dalam irama cepat

– di atasnya sekuen-sekuen yang menggeram.

Waktu itu malam di taman Granada. Lampu-lampu menyala

– dalam balutan kabut, gelap-langit, dan dahan-dahan ara.

 

Tremolo pada senar-senar. Pianissimo menyeruak

– seolah geliat palem waktu tiupan angin malam.

Frase yang terengah. Angin menjelajah –

mengelus ranting dan daun-daunan. Lalu bunga malba,

kembang bakung, anyelir, leli dan magnolia.

 

Klarinet berlalu dalam gelap bayang. Kadens-kadens

menggantung – seolah palem menunduk dan harum azalea.

Di tengah rumpun rubus, krataegus, dan ilalang….

 

/02/

Lalu irama tarian. Pizzicato mengambang –

seolah awan mengapung di langit malam. Keheningan

tanpa bintang. Bulan muncul-lenyap – di langit yang berjalan.

 

Seruling dan korno – portamento pada senar-senar.

Dua suara. Violin melincir dari nada ke nada.

Awan lalu menebar – terseret angin yang lambat.

Di bulatan bulan tak ada awan. Cahaya merebak

di langit yang ungu dan hitam – jingga-keemasan.

 

Crescendo mengeras. Resitatif merenggang –

seolah angin yang menderas. Malam adalah ruang

– dengan bayang-bayang, lalu suara-suara malam.

Korno bergetar. Di udara angin menggoyang dedaunan.

Tali-tali pada motif 4 nada. Di tanah angin menggesek ilalang.

Bayang lalu mengelam. Noda kabut di sebuah tikungan.

Burung malam bertengger di dahan. Menceracau –

sewaktu suara-suara menghilang saat larut malam….

 

/03/

Irama mengacak. Irama yang penuh dan tetap

– seolah urai rambut mengombak. Ikal rambutnya

mengilap di antara dua mata. Mata yang besar –

tapi setengah memejam. Hidung runcing mulutnya bundar.

Kepala lurus menegak. Leher jenjang – kulit kuning-tembaga.

Lalu pinggang ramping dan dada melandai. Pundak lebar

– di pelipis ada daun dan buah delima.

Waktu menunduk, di wajahnya cahaya merah-padam.

 

Cis yang mengertak. Irama menepuk dan melompat

– seolah dua gerak lilitan. Pinggang yang ramping berputar.

Pahanya melencit lepas – seolah ikan menggelinjang.

Kaki mengentak-entak. Lalu kerlingan mata dan kelokan.

Jari-jari tangan membuka. Pakaian bawah menggesek lantai

– dan menggerisik di telinga. Bajunya hitam –

sehelai sutera di pundak. Rambut yang legam,

dalam semerbak parfum dan harum bunga-bunga….

/04/

Orkestra menguat. Glissando pada harpa –

seolah pekan di serambi terbuka. Enam lelaki berdansa.

Pakaian putih mantel hitam – bermahkota kertas cokelat.

Tambur-tambur berdentam. Akordion dimainkan.

Flageolet yang memencar. Simbal-simbal menderas.

Segelas anggur dan segelas jenewar. Kastanyet lalu mendedas.

Angin menggeliat. Di balkon anak-anak bertepukan –

bernyanyi di bawah pelita dan bayang dedaunan.

 

Senar-senar mengerang. Bunyi korno perlahan –

seolah keheningan malam. Serambi terbuka penuh renda

– dibalut lentera dan cahaya. Balkon dengan mawar-mawar.

Lalu genta gereja. Bunyi mengkristal pada selesta.

Di bawah atap lampu-lampu gemetar. Motif 4 nada melambat.

Apa itu yang di kejauhan? Malam terang – biru-kehijauan.

Lengkung langit dan kerlipan bintang. Bulan yang merah –

dasar malam menghitam dan pohonan menggelombang.

 

Tarian Kematian

: Camille Saint-Saens

Harpa dan korno dalam 12 ketukan.

Tengah malam di sekitar menara gereja.

Malam musim dingin yang mistis.

Biola dan korno terpilin.

Pizzicato pada bas.

Malam gelap dan gelisah.

Kuin-kuin memekakkan telinga.

Suara serak dari biola.

Kematian lalu menyeruak dari lembah.

Biola tersendat dan memainkan walsa.

Motif menurun.

Kromatik yang mengeruh.

Orang-orang mati bangkit dari kubur.

Bunyi seolah mengabut.

Mereka menari tarian gila.

Dies irae rusak di tengah.

Tulang-tulang saling beradu.

Nada terselubung lewat ksilofon.

Hobo menjerit.

Simbal-simbal seperti menggigil.

Lalu fajar tiba.

Ada kokok ayam jantan.

Suara gemuruh dari bawah lembah.

Senar-senar bergetar.

Tanah perlahan membuka.

Di langit tinggal bulan setengah.

Biola tiba-tiba berhenti.

Ambang dini hari.

Tarian tiba-tiba terhenti.

Bayang terakhir kembali ke bumi.

 

Wendoko lahir di Semarang, 10 Maret 1968. Kumpulan puisinya adalah (Oratorium) Paskah (2006) dan Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008). Buku puisi terbarunya, Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa, sedang dalam proses penerbitan.

APRESIASI

Minggu, 14 Juni 2009

Lampung Post



SAJAK-SAJAK

Sunlie Thomas Alexander

Menyusur Glodok

--bersama zen hae

di mulut lorong,

hikayat pipih serupa tubuhku

terimpit pintu pintu hoki (dan besi!);

buah tanganmu yang terberkahi

kubuka daun jendela reyot di matamu

lalu mendapati meja-kursi berdebu,

lemari kayu cokelat tua

dan teh yang kau suguhkan padaku

mengental di dasar teko

seperti menjarah

setiap kenangan yang lewat,

setiap kecemasan yang hinggap!

ah, menjelang sin cia

jarak dan waktu begitu kusam

di dinding dinding papan

yang merapuh dari intaian

mata lapar

wahai, sahibul hikayat!

berilah aku riwayat kota cina

di lorong-lorong padat yang

menyusun labirin dalam tubuhku

di wangi aroma dupa yang menjauh,

atau huruf huruf merah yang terbakar

di dahiku

maka, akan kuhaturkan tabik

dengan rapat jemariku yang luka

sembari merajah angka angka,

tato dan doa

kenangan kian menepi

dari rencana, spekulasi, dan

boneka kucing pemanggil hoki di etalase

hikayat makin pipih,

kisah-kisah hinggap dan terbang lagi

Jakarta-Yogyakarta, 2008-2009

Sin Cia: Tahun Baru Imlek

Lanskap Leluhur

di tanah asing bagi jatuh sauhmu,

aku telah menyusu pada

sejarah tak utuh

hingga ari-ariku

yang terpotong dari luka

di pusar ibu;

hangus juga oleh kobaran dendam

masa silam itu

tapi telah kuwarisi

dendang ibu, dan mantera

yang kau tuliskan di sekujur tubuhku

jadi penangkal bala

di setiap pintu rumah (dan cerita hantu)

walau tak kunjung merindu

pada tempat kau melepas sauh

dengan panji-panji merah

terpancang di keningmu,

tebingku!

o, sempurnalah tubuhku

sebagai aksara ganjil

yang menerima dan menolak

takdirmu: hikayat pahit

terampas dari buritan kapal

yang berlayar di ganas lautan

dengan tiga titik nyala dupa

mengasapi hari lahirku

di sini, kuperas darahmu

dari setiap ujung kesakitan di tubuh,

dari seluruh lekuk sejarahku

sebagai perantau abadi

di tanah kelahiran yang pilu!

Yogyakarta, 2008

Bunga Matahari
: romi zarman 

dalam sebuah operet anak-anak

aku telah membayangkanmu

menjadi bunga matahari

mekar di antara rerumputan,

merona liar di liat belukar

bila kelopakmu ingin menyaingi mentari,

akulah penyaksi yang gugup

membaca bahasa agung tuhan

hingga setiap kehendaknya

siap ditakwil ulang

lalu setiap kupu-kupu akan bertandang

mencumbui kemolekan yang jantan:

berkelok jalan rimba, berderet kampung tua

bersusun bukit, bersimpang ngarai

sampai ke tepian perempuan

dan kehidupan tiba-tiba purba

untuk kembali dikisahkan

di beranda atau pelataran halaman

tapi begitulah kau mekar bersama cahaya

matahari di kedua mataku yang polos:

mengintip girang pertunjukan

yang mengamalkan permainan kudus

o, dalam operet anak anak itu

kubayangkan kau mempersembahkan

keindahan dengan ikhlas kepada kupu-kupu

dan kelopak perempuan;

luka yang diam diam direstui Tuhan

Yogyakarta, 2008


Sunlie Thomas Alexander, lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Belajar Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, esai dan artikel di berbagai media dan dalam sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya, Malam Buta Yin (Gama Media, 2009).

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman