JawaPost, Minggu, 23 Mei 2010
Berguru pada Hujan
tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku
sebentuk jarum yang runcing, dingin
menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku
hingga segala seakan hancur
dan tak terkenali kembali, lebur
tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana
seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi
seperti telapak kaki pada tanah basah...
tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput
kau kekal dan diam di pembaringan
bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya
di gigir rintik, kusembayangi bayangmu
kematianmu
aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak
wujudmu
masih maujud dalam satu kata
dan tak terkotak, terpeta
dalam kekaburan dan buta
kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih
namun aku berguru pada derasnya, suaranya
dan linangnya yang tertahan di udara
agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak
di tubuhmu
ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang
yang pernah kau pahat di kalbuku
meski perih
Surabaya, 2009
---
Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu
tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah
dan meruapkan renjana
karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit
hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam
dari malam
di sana, aku bisa berkaca tanpa suara
saat kuncup kuntum itu masih
dedahkan madah purba
hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta
mungkin hanya dalam mimpi,
kubisa menggelung rambutku
kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam
dan menggeraikan segalanya
di udara
dan ronce melati itu akan sia-sia
tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri
di padang kerontang
bagai keris kini yang mencari warangka
yang tersesat di sebuah abad yang terlupa
Surabaya, 2009
---
Rumah Kita
telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu
bersua luka
aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu
tinggalkan jejak abu-abu
seperti asap yang tiba-tiba berderap
di benak dan atap
tampak rumah kita di persimpangan
pohon randu alas meranggas, dan uap belerang
di antara kawah, di antara dua pegunungan
tak mengekalkan harapan
dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah
sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api
padam dinihari
dan laut tak jua deburkan harum ombak
bagai bunga pudak
sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang
di jalan-jalan
dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu
terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu
lantai tanah,
dan sebentuk bangku di ruang tamu
mungkin ada yang harus mengingat
lunas pohon-pohon
dan ada yang harus berangkat
ke tanah-tanah tanpa sekat
tuk bersawah dan membukitkan rindu
pada sejarah
: silsilah yang bersudah
Surabaya, 2009
Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar