Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 Juli 2010

Sajak-Sajak Mashuri

JawaPost, Minggu, 23 Mei 2010


Berguru pada Hujan

tidakkah kau tahu, betapa rintik itu 'lah menikam dadaku

sebentuk jarum yang runcing, dingin

menggigilkan segala dedahan, dedaun, rimbun tubuhku

hingga segala seakan hancur

dan tak terkenali kembali, lebur

tapi aku masih ingin menyapamu dengan sederhana

seperti dahi pada lantai, seperti matahari pada bumi

seperti telapak kaki pada tanah basah...

tapi mimpimu kabut, jiwamu berumput

kau kekal dan diam di pembaringan

bagai pengantin terpenggal dan tertikam kelaminnya

di gigir rintik, kusembayangi bayangmu

kematianmu

aku lalu berdoa tanpa air mata, agar kelak

wujudmu

masih maujud dalam satu kata

dan tak terkotak, terpeta

dalam kekaburan dan buta

kelak saat hujan menyerpih, dadaku pasti bergetih

namun aku berguru pada derasnya, suaranya

dan linangnya yang tertahan di udara

agar aku bisa melupakan apa yang lah berjejak

di tubuhmu

ihwal namamu, wajahmu dan sebentuk kenang

yang pernah kau pahat di kalbuku

meski perih

Surabaya, 2009

---

Tiba-tiba Kuingin Menggelung Rambutmu

tiba-tiba kuingin menggelung rambutmu, saat melati itu tumpah

dan meruapkan renjana

karna di kepalamu, aku bertemu gambar langit

hati, gelinjang harapan, gerak-gerak terdalam

dari malam

di sana, aku bisa berkaca tanpa suara

saat kuncup kuntum itu masih

dedahkan madah purba

hadirkan telaga, rahim purwa, amsal cinta

mungkin hanya dalam mimpi,

kubisa menggelung rambutku

kArna kau begitu bersetia dengan gelombang, hitam

dan menggeraikan segalanya

di udara

dan ronce melati itu akan sia-sia

tumpah sendiri, seperti hasrat membasuh diri

di padang kerontang

bagai keris kini yang mencari warangka

yang tersesat di sebuah abad yang terlupa

Surabaya, 2009

---

Rumah Kita


telah kugores pedang di aspal ini, dan wajahmu

bersua luka

aku lalu melangkah, saat senja menutup pintu

tinggalkan jejak abu-abu

seperti asap yang tiba-tiba berderap

di benak dan atap

tampak rumah kita di persimpangan

pohon randu alas meranggas, dan uap belerang

di antara kawah, di antara dua pegunungan

tak mengekalkan harapan

dan darah yang telah tumpah tak juga bangkitkah gairah

sungguh, tak ada yang terjanji di sana, saat api

padam dinihari

dan laut tak jua deburkan harum ombak

bagai bunga pudak

sungguh, tak ada ... kecuali luka yang memanjang

di jalan-jalan

dan luka wajahmu seperti perempatan penuh debu

terpatri di kamar kita, di antara dinding bambu

lantai tanah,

dan sebentuk bangku di ruang tamu

mungkin ada yang harus mengingat

lunas pohon-pohon

dan ada yang harus berangkat

ke tanah-tanah tanpa sekat

tuk bersawah dan membukitkan rindu

pada sejarah

: silsilah yang bersudah

Surabaya, 2009

Mashuri, penyair dan novelis Surabaya. Novelnya, ''Hubu'' dinobatkan sebagai novel terbaik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman