Sastra Lampung Post

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sajak MM Bhoernomo

SUARA PEMBARUAN DAILY
Menjaring Ombak

Nelayan itu ragu

Ketika menebar jaring

Pada gulungan ombak

Adakah ikan

Dalam keraguan

Nelayan tetap menjaring

Di tengah lautan

Tak peduli maut mengiring

Bagi nelayan

Hidup adalah menjaring

Dengan harapan

Masih ada ikan.

Griya Pena Kudus, 2009

Nihilisme

Berburu macan di kota

Pasti akan dianggap gila

Berburu ikan di gunung

Pasti dianggap linglung

Berburu babi di lautan

Pasti dianggap sakit ingatan

Berburu hantu di siang bolong

Pasti dianggap pembohong

Betapa banyak kekonyolan

Dalam kehidupan.

Griya Pena Kudus 2009

Keranda

Selalu ada keranda

Diusung ke pusara

Berisi jasad tanpa jiwa

Selalu ada keranda

Menanti kita

Untuk mengisinya

Selalu ada keranda

Membayangi kita

Di mana-mana.

Griya Pena Kudus, 2009

Keris

Kerismu bukan kerisku

Meski sama-sama keris

Biarlah pamornya membiru

Tak lagi bau darah amis

Keris kita berlekuk dan berkarat

Tak cocok untuk merajang tomat

Maka biarlah tersimpan di museum

Bersama riwayat-riwayat mesum

Keris kita adalah turangga

Menyimpan watak murka

Tak layak dibangga-banggakan

Tak laik dijadikan hiasan.

Griya Pena Kudus, 2009

Gambar Anjing

Anakku menggambar anjing

Berjas dan berdasi

Membawa tas jinjing

Bergambar kucing

Anak tetanggaku juga menggambar anjing

Bersepatu dan berpeci

Membawa tas jinjing

Bergambar kucing

Di layar televisi

Ada banyak anjing

Menyalak tak henti-henti

Mencari tikus di dalam tas jinjing.

Griya Pena Kudus, 2009

Rumah

Rumah-rumah telah menjadi penjara

Mengurung keluarga-keluarga kaya

Seumur hidupnya

Rumah-rumah telah disita

Karena dibangun dengan uang negara

Di mana-mana

Rumah-rumah selalu kosong

Karena penghuninya melancong

Setelah berhasil menjadi cukong.

Griya Pena Kudus, 2009

Last modified: 2/10/

Esha Tegar Putra

Korantempo, Minggu, 18 Oktober 2009

SAJAK YANG BERMULA DARI SEPANTUN-SEPANTUN KECIL


sepantun gelapung hanyut

kalau disebut sepantun gelapung, maka hanyut akan teringat batangnya disebut-sebut, buahnya dibiar tiada tujuan

sepantun talang basah

diketuk juga itu talang, di dalamnya miang gatal bersarang di dalamnya bulat air diumpamakan di dalamnya basah tak dapat dikemanakan dan dari kulit luar itu talang bakal dibilah dengan parang

sepantun kopi pahit

kau dengarlah suara-suara yang berbunyi malam maka akan kau pantunkan kopi pahit rasa di lidah hendak dibuang, tapi candu di badan mengharuskan untuk menelan

sepantun benang basah

seringkali benang basah diberi maksud yang salah tak baik dipintal, tak baik diregang, tak baik ditarik ditegakkan

tak ada salah jika dikeringkan, didiang di bumbungan dapur atau diurai dari satu tangkai pohon ke tangkai lain agar gerak angin memberinya maksud lain jadilah benang berguna penyambung kain buruk

sepantun orang buta

jika berlari hendak disuruh, berjalan pun aku dipapah kusebut ini agar kau mematah agak seranting kayu biar aku belajar menyusun langkah

2009

JURU MASAK KAMPUNG

: damhuri

sesekali kau harus pandai menggunakan asam sebagai garam juga empedu sebagai tebu

di bunyi tingkahan sendok gulai dan kuali kau bakal menemu hal yang serupa itu

kau tak paham bagaimana dirinya mengurung mendung agar tak menurunkan hujan (dengan segenggam garam dan percikan buah asam ia lemparkan ke bara dalam tungku sambil merapal entah kalimat apa)

kau juga bakal tak paham bagaimana ia mengendapkan sari tebu ke dalam serat empedu sebab ia lihai meracik bumbu ia tahu di gelegak mana santan menggumpal ia hafal di wangi manakah lada, pala, garda munggu (di mana segala bumbu saling berpadu)

agar suatu kali kau maknai ia sebagai si tua, juru masak kampung yang selalu berkopiah berkain sarung lihai bersiul dan bersenandung pandai mengobat hati yang murung Gunuangpangilun, 2009 Esha Tegar Putra belajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Kumpulan puisinya Pinangan Orang Ladang (FramePublishing, 2009)

Iyut Fitra

Sajak Sajak

Kompas,Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB

Istri Penyair



setiap pagi ia seduhkan hangat sebagai kopi dan matahari. di bawah jendela kembang-

kembang ditanam mulai daun. dan ketika ia ceritakan retak mimpi semalam, penyair

hanya menyapa dengan selembar sajak tua; mengalirlah sebatas impian, meski yang

kita rindu adalah ruang kelengkapan



di meja makan siang beringsut perlahan. panas di ubun tegak tali. lelah yang terasa

ranggas dan gerah yang kekeringan. ia siapkan sebuah perjamuan juga sedikit nyanyian

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai tunas. terasa wangi mulai ada

tapi penyair hanya berkata; apa pun kenyataan, bertahanlah pada satu keabadian



malam menjadi ujung. selimut dingin terjela di ranjang. ia kisahkan bagaimana rama mencuri sesuatu dari sinta. kemudian ia buka kain pintu sebelum hasrat jadi beku

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai putik. kumbang dan rerama ada di antaranya. penyair hanya gumam saja; kita kan ada sepanjang pandang terlihat sua



sebelum jatuh larut. ia rasa waktu akan beranjak lamban

“aku tertimbun kata-kata…”



Payakumbuh 2009

Kekasih


seperti kelelawar patah sayap. paruh dan cakar digantung bulan. kemudian kau datang

membawa sarang. berumahlah di tebing ini. di hatiku gerimis dan hujan bersusulan

gulung halimun. langit jadi seputih kapas. tidakkah kaurindu musim bersebadan segera datang? dan begitu saja aku telah memujamu. duhai!



bagai anak kijang berkaki pincang. sepi tersemai di tengah padang. lalu kaugamit

angin ragu arah. singgahlah di rindang ini. kemarau di luar akan panjang. limbubu

berkesiur datang membakar pohon-pohon. hanya lumut lembah di setiap jalan. kau akan

tersesat sebelum hari jatuh petang. dalam gamang, tiba-tiba, aku mencintaimu. o!



semisal rerama dan bebunga. duri-duri merindu darah. setelahnya kaubuka diri untuk

ngilu. hinggaplah di ranting ini. cuaca di tubuhmu rapuh. bunga-bunga kuncup juga

bunga-bunga kembang meliuk meminta warnamu. kau akan kehilangan cinta di setiap

senja. begitulah aku serahkan birahi ke hasratmu. wahai!



semisal aku dan engkau. dua petualang dan juga mungkin dua jurang. kita bertemu

ketika waktu lelah dalam jumlah. malam digelapkan kunang-kunang riang. gigil jua

yang bersandar. kauceritakan tentang sepasang kekasih kesepian di ujung renung

dan tanganku kaugenggam. demikianlah, aku pun berkasih kepadamu. duh!



Payakumbuh 2009


Pergi



kita hanya gerombolan burung-burung gundah, katamu seraya berkemas. kaubawa

segala yang pernah kauberi. di hatiku kemarau tiba-tiba. sebab hujan bermusim

kita tampung kautuang ke dalam malam. bila di selenting ranting pernah bersama

adalah canggah-canggah terasa sepi, dan kau pun berjalan. aku tak bertanya ke mana

tujuan. juga tak berkata tentang luka ditinggalkan



kurasa kini ada palung yang kosong. ada lorong-lorong kosong. bila saja masih aku

bernyanyi dendang lengang, adalah pucuk kehilangan tiada lerai. gerombol burung-

burung bercinta. berpasang kicau-kicau lampau. aku hanya sekejap-kejap singgah

saat tua daun-daun ruruh. aku akan berangkat mencari musim, seolah terngiang

juga kata-katamu sebelum aku dilipat waktu



kini kau telah pergi. tersebab itukah aku menanti?



Payakumbuh 2009


Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Musim Retak (2006) dan Dongeng-dongeng Tua (2009)

Acep Zamzam Noor

Sajak Sajak

Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB


Seperti Sebuah Gurau



Seperti sebuah gurau, kau pernah berjanji akan menyayangiku

Dengan sungguh-sungguh. Lalu aku teringat kampung yang jauh

Bukit-bukit gersang di pesisir selatan, lereng-lereng tanpa pepohonan

Serta tenda-tenda pengungsian. Seperti sebuah gurau, kau selalu

Bercerita tentang teman-temanmu yang hilang, tentang becak-becak

Yang ditenggelamkan, juga tentang perubahan yang tak kunjung datang

Kadang kau berang karena melihat masih banyak rumah peribadatan

Yang dibakar, masih banyak fatwa yang dipaksakan, masih banyak

Pembalakan liar, masih banyak aparat yang kurang ajar, sedang teror

Masih terus dimainkan. Kau berang karena keadaan ternyata sama saja

Hukum belum juga ditegakkan, pendidikan semakin mirip perusahaan

Berbeda keyakinan selalu dijadikan masalah besar, sementara korupsi

Dimaklumi sebagai kegiatan sehari-hari. Kadang kau tertawa kecil

Sambil menyelipkan kata-kata cinta, mengulang-ulang ungkapan rindu

Yang tak pernah berubah sejak dulu. Tapi entah kenapa aku sering ragu

Menanyakan di mana tempat tinggalmu, berapa anakmu dan bagaimana

Kesehatanmu? Nampaknya kau pun tak mau tahu apakah orang sepertiku

Masih suka turun ke jalan raya, masih rajin memprotes para penguasa

Atau malah sibuk jatuh cinta? Diam-diam aku berjanji akan mengingat

Semua ucapanmu yang lucu-lucu. Sebagai gurau yang indah


Maut Terus Mengikutiku


buat Sinta Ridwan



Ketika turun dari kereta api, maut seperti mengikutiku

Dari belakang. Ketika memasuki hotel dan memesan kamar

Maut terus saja mengikutiku. Ketika sempoyongan di ruang karaoke

Dan muntah-muntah di halaman kafe, maut terus saja menyertaiku

Ketika meninggalkan Jakarta dan memasuki hutan-hutan di Sumatera

Maut tidak pernah ketinggalan menguntitku. Ketika terbang ke Sulawesi

Berlayar ke Kalimantan dan menyusuri sungai-sungainya yang lebar

Maut menjadi bayang-bayang di sekelilingku. Ketika tenggelam

Diterjang gelombang pasang, mautlah yang mengangkat tubuhku

Ke tepian. Ketika angin puting beliung menyapu kampung-kampung

Maut begitu setia menemani ke manapun aku mengungsi

Ketika gempa dahsyat menggoyang Jawa, maut dengan sigap

Menggamit tanganku. Jika maut terus mengikutiku, terus menguntitku

Lalu siapakah yang sebenarnya kutuju? Aku harus segera berbalik

Dan mengikuti ke manapun maut pergi. Aku harus segera memburu

Ke manapun maut akan berlalu



Kepada Seorang Penyanyi Dangdut



Di tengah melambungnya harga-harga

Suaramu semakin merdu saja



Di tengah membengkaknya hutang negara

Wajahmu semakin cantik saja



Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama

Tubuhmu semakin sintal saja



Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana

Goyanganmu semakin heboh saja



Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya

Kehadiranmu semakin berarti saja



Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa

Hargamu semakin melambung saja

M. Raudah Jambak

Lampungpost,Minggu, 18 Oktober 2009

SENI BUDAYA


Syuhada yang Berkendara Gempa

Hari ini dan kemarin adalah hari esok

jalan kita menuju pintupintu surga

masuklah segera

gempa adalah sampan sajadahmu

yang paling gempita para syuhada

naiklah segera

maka, pada hari ini aku hanya bisa menabur

doadoa pada nisanmu yang entah tertanam

di bumi yang mana

Tujuh Koma Enam

Tujuh koma enam dinding itupun luluh lantak

selantak dadaku yang perih, seperih jeritan anak-anak

di bangsi

takpun bisa kuehentikan debar dadaku ini

meski sekejap gelap mata yang merembeskan

butiran kecemasan

kepadamu aku katakan, akan kubangun dinding baru

di dadamu dari padat batu yang masih tersimpan

di bara dadaku

maka, terimalah

Dari Sebuah Wasiat Singkat

Aku kehilangan kata-kata ketika kau wasiatkan

berjuta kata yang tak sempat kusimpan

yang kau kirimkan dari sebuah pesan

pilu hatiku menyimpan lemari kata-katamu

yang terbenam batu-batu sepenuh gunung debu

memadat, memekat

dan dari sebuah wasiat singkat yang kau amanatkan

akan kukirimkan tanda beribu bunga doa

di atas sajadah pada makammu yang tak bertanda

Kepada Para Pengusung Doa

Tahlilku tahlil sederhana mengiringi doadoa

yang menebar memenuhi semesta raya

mengetuk dadadada berlumur duka

tahmidku tahmid sederhana membunga doadoa

pada sekujur tubuh yang pasrah tak berdaya

dalam banjir air mata

tasbihku tasbih sederhana mengusung doadoa

yang tak pernah berhenti mengharap

demi sampai kepada bingkai cerita

Bayi Kardus

Takkan kulepaskan kehangatan semacam ini

sebab, waktuku memang untuk untuk itu

berpeluk pada kenistaan dan keniscayaan

tak usah kalian menjaring air mataku

dan menampungnya dalam kolam

kepura-puraan

tak kurasakan kepedihan apalagi duka

sebab, aku hanya hampa dari kedukaan

yang tercipta dan diciptakan secepat

peluru dari sudut mata kalian yang hina

dibungkus yang menahun setua

kepengecutan

medan, 2009

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II).

Minggu, 11 Oktober 2009

CERPEN Putu Wijaya

Kucing

Koran Tempo, Minggu,11 Oktober 2009

KAMI bertengkar lagi. Menurut saya, tetap tiga hari sekali. Tidak bisa diganggu-gugat. Sekali-sekali boleh empat hari sekali. Tapi jangan sampai satu minggu sekali. Meskipun ini bulan puasa. Itu kan kebutuhan rohani.

Tapi dasar kepala batu. Satu minggu satu kali saja sudah kebanyakan, katanya dua minggu sekali cukup. Orang lain ada yang sebulan sekali. Apalagi di bulan suci. Kalau tidak setuju terserah.

Setuju? Bagaimana mungkin saya setuju? Mestinya dia harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun, saya masih tetap fit. Saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.

Tapi kontrak tidak bisa hanya satu pihak. Saya jadi pusing tujuh keliling. Lalu saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Mencari-cari yang tak ada. Akhirnya saya beli juga sepuluh buku tua yang harganya jatuh. Bukan karena isinya sudah busuk, tapi karena kalah heboh oleh promosi buku-buku komoditi yang sebenarnya bermutu sampah.

Menggendong seabrek belanjaan yang mungkin tidak akan pernah saya baca itu, saya seberangi Jakarta. Lalu-lintas sudah makin brengsek. Janji untuk menurunkan rasa nyaman bagi pejalan kaki ternyata omong kosong semua. Motor berseliweran siap membunuh pejalan kaki yang meleng. Dan mobil-mobil seakan-akan begitu meremehkan harga manusia.

Tapi, saya masih bisa tepat sampai di depan rumah, ketika suara azan magrib terdengar. Cepat saya rogoh kunci dari saku dan buru-buru masuk rumah. Teh kental manis panas, di bulan puasa, lebih indah dari rubayat Omar Khayyam. Puasa adalah bulan yang paling saya tunggu dalam setahun. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng, dan kehidupan, betapa pun rewelnya, adalah sebuah puisi.

Celakanya, rumah kosong. Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Tak apa. Hanya saja saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. Ada vas bunga dengan bunga mawar. Tapi saya tidak bisa menenggak mawar. Saya memerlukan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokan setelah menahan nafsu selama 12 jam.

Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cireundeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.

Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap untuk kabur. Biar saya makan enak sendirian di PIM. Mengganyang bebek goreng yang harganya selangit itu. Seratus ribu melayang juga tak apa asal tidak kecewa. Dan kalau perlu terus nonton bioskop.

Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kucing mengeong. Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukang ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan. Tapi itu ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu, tetapi tak berdaya.

Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan, di situ, di situ.

Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar rica-rica yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.

Ngeong, kucing itu nyeletuk, seperti mengatakan. Nah ya, kan?

Benar, kata saya sambil membelai kucing itu dengan sayang. "Kalau kamu tidak merintih-rintih kawan, aku tidak akan tahu istriku sudah menyiapkan segala yang terbaik buat suaminya sebagaimana mestinya seorang istri yang bertanggung jawab. Terima kasih, Cing. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak pernah tahu aku sudah punya semua ini. Kau sudah menyelamatkan seratus ribu, mungkin dua ratus ribu lebih, yang mau disikat kas bebek goreng penganut neoliberalisme itu!"

Kucing menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya.

"Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!" kata saya sambil meletakkan kucing itu di lantai.

Saya buka sepatu. Kemudian menjerang teh tarik. Nikmatnya. Setelah marah-marah, tendangan rasa teh berlipat ganda. Apalagi istri saya tidak lupa menyediakan musuh yang serasi: singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng.

Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun. Tidak memberi jedah lagi, saya siap mengganyang ikan bakar rica-rica, untuk menghargai karya istri itu.

Tapi begitu menoleh, saya terperanjat. Rica-rica itu sudah lenyap. Pintu almari yang belum sempat saya tutup, seperti kecewa. Mata saya jelalatan mencari kucing. Ternyata sambil mengeram-ngeram, durjana itu mengganyang ikan saya di bawah meja, di depan mata si pemiliknya.

Darah saya langsung mendidih.

"Bangsat!"

Kucing itu terkejut. Sambil melotot, dia caplok ikan itu untuk dibawanya kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Hewan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan rica-rica saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu. Saya sabet sapu dan memburu keluar.

Kucing itu ternyata masih duduk di depan pintu menjilat-jilat kakinya, seperti menunggu kesempatan masuk. Saya geram dan memukul. Kena. Lalu saya tendang dia ke halaman. Waktu mau dihajar lagi, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyeberang jalan menuju ke rumah tuannya. Marah saya masih meluap.

Saya masuk ke dalam rumah. Lalu rica-rica itu saya campakkan ke tong sampah. Saya tidak sudi makan bekas kucing. Tapi kemudian saya ambil lagi. Saya bungkus baik-baik. Saya buang jauh-jauh dalam perjalanan ke restoran bebek goreng di PIM. Saya bunuh rasa kecewa dengan berfoya-foya dengan 200 ribu, memperbaiki sore hari yang rusak itu. Tetapi rasa dongkol itu tak berkurang.

***

PAGI-PAGI ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.

"Saya kira di bulan Ramadhan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak," katanya.

"Maksud Pak Haji?"

"Saya mendapat komplain dari Pak Michael, tetangga Bapak. Bapak sudah menzolimi mereka."

"Menzolimi bagaimana?"

"Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?"

"O, ya, kalau itu betul!"

"Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi pak Michael itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri."

"O begitu?"

"Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat terpukul oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak."

"Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan rica-rica saya yang disiapkan untuk buka puasa."

"Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja."

"Dia curi dari almari!"

"Apa kucing bisa membuka almari, Pak."

"Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup."

"Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak."

"Salah siapa? Salah saya?"

"Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah."

"Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!"

"Memang begitu, Pak."

"Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sori, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?"

"Memang itu maksud beliau."

"Apa?"

"Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya."

Pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi. Saya terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.

"Kami bukannya tidak punya duit pak RT," kata istri saya yang memang cepat naik darah, "tapi ini soal keadilan. Masak kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri rica-rica suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum, kan?"

Pak RT termenung. Diam-diam saya mengucap syukur. Kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.

"Baiklah," kata Pak RT kemudian, "demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusyukan bulan Ramadhan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?"

"Kenapa jadi begitu, Pak RT?"

"Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga."

Saya dan istri saya bisik-bisik.

"Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kita malu juga," bisik saya.

"Memang. Habis Pak RT kita terlalu baik sih. Seperti nabi saja."

"Jadi kita bayar saja?"

"Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!"

Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Pak RT memuji kekompakan kami. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang saya masih cakar-cakar dengan istri soal tiga kali sekali atau dua minggu sekali.

Kami terpaksa mengeluarkan 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh.

***

SEKALI pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam. Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.

"Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa. usir saja," kata saya mengindoktrinasi anak saya yang baru berusia 5 tahun.

"Kenapa?"

"Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!"

"Kalau nggak mau?"

"Hajar dengan batu!"

"Semua kucing?"

"Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bijaksana. Pukul rata saja, semuanya maling."

"Kenapa?"

"Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian."

"Kenapa?"

"Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi."

Lalu saya tunjukkan bagaimana saya mengajari kucing itu dengan melempar buku. Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan aku beli untuk menghajar maling.

"Jangan mengajari anak kamu kejam!" protes istri saya.

"Lho, hidup ini sudah kejam. kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!"

"Itu kan teori kamu!"

"Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak rica-rica lagi!"

Istri saya melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Dia tidak sampai hati membiarkan dendam saya pada rica-rica berkelanjutan. Sehari setelah saya sambat, ikan rica-rica itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu waktu buka.

Dengan tak sabar saya tunggu ceramah Pak Quraish Shihab di TV yang dipandu oleh si cantik Inneke Kusherawati. Sekali ini rasanya lama sekali. Bau rica-rica itu sudah mencabik-cabik.

"Lihat kucing itu sudah bengong di situ!" kata istri saya menunjuk keluar jendela. "Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!"

Saya ngintip. Kucing itu memang lagi termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau rica-rica yang sudah sempat membuat kakinya pincang.

"Tutup jendelanya, Pak!"

"Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?"

Sebaliknya dari menutup jendela, daun jendela saya kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Saya pura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan rica-rica itu saya pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.

"Aneh!" kata istri saya.

Saya tidak peduli. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu.

Begitu azan magrib terdengar, kucing itu makin gelisah. Ia tak putus-putusnya melongok ke arah meja di teras. Kelihatan nafsunya bergolak. Tapi pelajaran yang sudah diterimanya tak membiarkan dia bergerak lebih jauh dari pagar. Sebaliknya, meninggalkan pagar pun dia tidak mau. Rica-rica itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.

"Mau makan atau mau ngurus kucing makan?" bentak istri saya kesal.

"Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati wilayah kita!"

"Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!"

"Nggak bakalan!"

"Namanya juga kucing!"

"Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!"

Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu, sesuai dengan yang saya ajarkan. Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dia membungkuk menanti serangan. Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan.

Dan kucing itu menerjang.

"Pak!" teriak istri saya.

Saya langsung nongol di jendela. Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka saya. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.

Saya terpaku. Takjub melihat pemilik mobil itu sudah membunuh piaraan kesayangannya sendiri. Untung saya belum sempat teriak. Cepat-cepat saya beri isyarat istri saya supaya membawa anak kami masuk.

***

MALAM hari kami lebih cepat menutup pintu dan mematikan lampu. Saya tahu Pak Michael pasti sedang uring-uringan. Saya menghindari pertengkaran. Masak bulan suci harus berkelahi karena soal kucing.

Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegur.

"Bulan Ramadhan tidak boleh mengumbar emosi kan, Pak RT?"

Pak RT tersenyum seperti kena sindir.

"Betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat."

"Lho boleh?"

"Habis kalau nyolong melulu?"

Saya tertegun.

"Siapa Pak RT?"

"Siapa lagi! Almarhum!"

"Almarhum siapa?"

"Kucing yang Bapak bunuh itu."

Saya tertegun. Pak RT tersenyum.

"Saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!"

"Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya."

Saya tidak menjawab.

"Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya. Sekarang kita aman."

"O ya?"

Pak RT senyum lagi.

"Ya."

"Kalau begitu bagus dong."

"Bagus."

"Jadi kita aman sekarang. Tidak ada aman, tidak ada tai kucing?"

"Ya. Untuk sementara."

"Sementara?"

"Untuk sementara."

"Kenapa?"

"Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya."

Saya terhenyak.

"Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?"

Pak RT tertawa.

"Tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur."

"Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?"

"Betul!"

"Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!"

"Betul."

Saya tertawa.

"Kalau begitu kita kawan, Pak RT."

Saya mengulurkan tangan. Lalu kami berjabatan.

"O ya, saya lupa,"kata Pak RT sambil merogoh kantongnya, lalu mengulurkan selembar kuitansi. Darah saya tersirap.

"Apa ini?"

"Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu."

Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga? Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikan yang kacau itu?

Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabuk, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya robek kuitansi itu di depan matanya menjadi potongan-potongan kecil.

Jakarta, 6 September 2009
(sesudah berita Pulau Jemur)
Putu Wijaya menulis novel, novelet, cerita pendek, dan naskah sandiwara. Ia juga aktor dan sutradara.

CERPEN Agus Noor

Pemetik Air Mata

Kompas,Minggu, 11 Oktober 2009

Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.

Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.

Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.

Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.

Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.

Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.

”Air mata, Bu? Murah... Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”

Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.

Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.

Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.

”Kenapa Mama menangis?”

”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”

”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”

”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”

”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”

”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”

Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.

Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.

Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.

Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama... Mama….” Pipinya basah air mata.

Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.

Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.

”Itu bohong, sayang…”

”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”

Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”

Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.

”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”

Sandra mencoba tersenyum.

”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita,

”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”

Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”

Lalu mematikan lampu.

Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.

Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”

”Seperti Mama?”

”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”

Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.

Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.

”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.

”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”

Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?

Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?

Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.

Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.

Yogyakarta, 2009

Seluruh kisah masa kanak-kanak Sandra bisa dibaca pada cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno Gumira Ajidarma.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman