Sastra Lampung Post

Senin, 24 Januari 2011

Musikalitas Teater Tutur Lampung

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 23 Januari 2011

Iwan Nurdaya Djafar


Dalam tulisan Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan (Lampung Post, 19-12-2010), saya menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Sementara metode penyebarannya dalam bentuk teater tutur merupakan seni yang mandiri (otonom). Teater tutur Lampung klasik, hemat saya, termasuk ke dalam wilayah seni suara dan/atau musikalisasi puisi. Dalam bahasa Lampung disebut bedendang atau belagu.

Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama. Teater tutur umumnya bersifat hiburan dan edukatif (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984). Definisi barusan tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bubandung, tangis, mardinei, dan lain-lain.

Terdapat perbedaan di dalam menuturkan aneka ragam teater tutur orang Lampung di atas. Menuturkan salah satu teater tutur itu, bubandung, misalnya, harus dengan lafal dan intonasi yang tepat. Di berbagai tempat, intonasi atau lagu yang menyertai ucapan ketika menuturkan bubandung berbeda-beda. Beda dialek beda pula intonasinya.

Demikian pula dengan pisaan, yang berasal dari kata pesi yang berarti periksa. Karena pisaan mengandung maksud yang tersembunyi maka harus diperiksa (dipesi). Pisaan dituturkan tanpa terikat oleh tempat dan waktu tertentu dan dikenal pada masyarakat Lampung Pubian, Sungkai, dan Way kanan. Pisaan ialah seni suara, lagu klasik atau sejenis pantun yang mengandung kata-kata sindiran atau berupa rangkaian cerita kuno. Adakalanya pisaan dipergunakan pada saat melepas keberangkatan seorang gadis menuju rumah calon suaminya dan pada saat bujang gadis dalam suatu pertemuan muda-mudi untuk menyatakan kasih cinta.

Menilik isinya, ada bermacam-macam pisaan, yaitu pisaan sedih, gembira, riwayat, peristiwa, sindiran, ungkapan hasrat bujang kepada gadis, atau apa saja dapat menjadi tema pisaan. Sebelum menuturkan pisaan lazimnya diawali dengan kata: "Kita puuun...” maksudnya, sebagai pertanda seseorang akan ber-pisaan.

Menilik bentuknya, pisaan dapat disebut pantun berantai atau pantun berkait: baris keempat pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, baris keempat bait kedua menjadi baris pertama bait ketiga, dan seterusnya.

Teater tutur lain, yaitu incang-incang. Jumlah baitnya tidak terikat, antara lima sampai sembilan bait. Tiap bait terdiri atas empat larik dan bersajak a-b-a-b. Larik pertama dan kedua berupa sampiran, sedangkan larik ketiga dan keempat berupa isi. Maka, incang-incang sama dengan pantun. Isinya bukan hanya berupa senandung untuk meninabobokan anak dalam bentuk petuah, pesan, nasihat yang bersifat jenaka dan menghibur, namun bisa meluas sampai ke pantun cinta-kasih atau tema lain. Incang-incang terpelihara pada marga Lampung Pubian. Manakala dituturkan, irama incang-incang ada bermacam-macam, di antaranya: irama pubian daghak (pubian darat), irama pubian doh (pubian hilir), dan irama pisaan.

Adapun pada ragam babagh bunyi sughat yang berarti menyampaikan sesuatu melalui surat, sering juga disebut ngehidu, karena pada setiap pergantian kalimat (ganti pematang) sang pelantun akan melontarkan kata hi … du …-- atau jeda untuk mengambil napas panjang untuk melantunkan kalimat selanjutnya.

Begitu pula dengan muayak (wayak) yang berasal dari kata waya berarti senang atau gembira. Senang karena pekerjaan dilaksanakan sambil melantunkan pantun atau lagu dengan nada yang nyaring.

Muayak biasanya dilakukan pada saat acara kebuah kecambay, papulangan, jebus, belin muli meghanai, nattak teba (gotong royong), pesta sekura (topeng), atau dalam suatu acara pertunjukan di luar itu. Muayak dituturkan oleh orang yang sudah dewasa atau remaja yang akan meningkat dewasa (muli meghanai tameghanjak). Sesuai dengan fungsinya, muayak sering dikatakan masak layu (matang sebelum waktunya) atau anak bergaya bujang, karena tidak sesuai dengan pelantunnya.

Sebagaimana halnya pantun, muayak terdiri atas empat baris per bait, bersajak a-b-a-b, dua baris pertama merupakan sampiran, dan dua baris terakhir adalah isi. Jumlah bait bergantung pada muayak itu sendiri, tapi biasanya antara 8-12 bait.

Pada masyarakat Belalau, Lampung Barat, muayak terdiri dari tiga macam sujak (jenis) yaitu muayak sujak jebus, muayak sujak pulangan, dan muayak sujak kecambay. Muayak sujak jebus adalah muayak yang dilantunkan dengan nada tinggi yang dikenal dengan istilah nguin (melengking) mulai dari awal hingga akhir. Maksudnya, agar apa yang dilantunkan terdengar oleh orang walaupun dari jauh. Muayak jebus dilaksanakan pada saat kita akan berkunjung ke suatu desa (pekon), sebagai tanda kita akan berkunjung ke desa itu. Pada jarak kira-kira 40 meter menjelang desa yang dikunjungi, muayak sujak jebus dilantunkan sebagai pemberitahuan kepada gadis-gadis yang ada di desa tersebut bahwa akan ada tamu yang datang sehingga mereka bersiap-siap untuk menerimanya.

Muayak sunjak pulangan adalah muayak yang dilantunkan dengan nada sedang dan lazimnya diawali dengan kata "ai ... ai ..." serta di antara bait demi bait diselingi dengan kata "ai.. ai..." pula. Muayak pulangan ini dilantunkan oleh bujang dan gadis pada saat berlangsungnya acara perpisahan seorang gadis yang akan berumah tangga terhadap teman-temannya yang ditandai dengan saling memaafkan. Acara pulangan dilaksanakan di suatu tempat yang telah ditentukan. Bujang gadis saling melantunkan muayak pulangan yang berisi pesan-pesan dan harapan-harapan yang bukan hanya ditujukan kepada gadis yang akan berumah tangga, tetapi juga kepada teman-teman yang lain.

Muayak sujak kecambay yaitu muayak yang dilantunkan dengan nada bervariasi antara nada tinggi dan nada rendah, atau menggunakan sujak jebus dan sujak pulangan dan biasanya dibawakan secara bersamaan antara kelompok bujang dengan kelompok gadis.

Fungsi muayak seirama dengan isi, lagu dan cara melantunkannya. Pertama, sebagai sarana informasi yang komunikatif dan bersifat mendidik karena dalamnya terkandung pesan, nasihat dan ajaran yang berguna dalam membentuk perilaku manusia untuk berperilaku jujur, berbuat baik dan memiliki rasa tanggung jawab dalam kehidupan dan penghidupan. Kedua, sebagai sarana hiburan; karena dilantunkan dengan menggunakan lagu dan irama yang disebut sujak. Ketiga, sebagai sarana ekspresi nilai-nilai kehidupan, misalnya menyatakan betapa pentingnya kebersamaan, toleransi dan rasa persatuan dalam mencapai suatu tujuan.

Menilik riwayatnya, pada zaman dahulu muayak dilantunkan pada saat tertentu saja dengan suara lepas tanpa musik pengiring. Namun dalam perkembangannya muayak dapat dilantunkan dalam bentuk bersahutan (dialog) dan disertai musik pengiring berupa gamolan/kulitang peghing (bambu), talo (tala) dan ghujih. Pada tahap ini, yang terjadi adalah suatu musikalisasi puisi, karena kegiatan bedendang atau belagu di situ sudah dilengkapi dengan alat musik.

Selanjutnya kita lihat teater tutur bubandung. Secara harfiah bandung berarti "bertemu" (butungga). Bentuk puisi tersebut disebut bandung karena disampaikan pada suatu perjumpaan (pertemuan). Bubandung terdapat di Lampung Selatan, berupa sejenis pantun klasik yang biasa dipakai dalam acara bujang gadis menurut adat yang disebut ngediyow, yaitu upacara cangget atau tarian yang dilakukan bujang gadis; seraya menari mereka bubandung atau pantun bersahut. Isi bubandung seringkali merupakan kata kiasan tanam tumbuhan, dilakukan dengan irama naik turun dan keras.

Terdapat lima macam bubandung. Pertama, bubandung usul yang berisi suatu ajaran terutama keyakinan atau ideologi yang perlu ditanamkan kepada pendengarnya, kadangkala merupakan ajaran agama dari sabda Rasul (taghosul). Kedua, bubandung santeghi, berisi nasihat tentang keimanan atau nasihat tentang keyakinan dalam menjalankan perintah agama atau nasihat keagamaan. Ketiga, bubandung amanat, yang berisi pesan-pesan atau amanat, hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan fisik dan mental.

Keempat, bubandung kediyoan, yang berisi curahan hati perasaan seseorang, pemecahan persoalan yang dihadapi dan dilaksanakan pada malam ngediyo (malam yang keesokan harinya berlangsung begawi adat). Kelima, bubandung cerita, misalnya kisah seorang anak yang melalaikan perintah orang tua, dll.

Ciri-ciri bubandung: (1) umumnya tiap bait terdiri atas empat larik, (2) pada bait awal terdapat mukadimah (pembukaan), (3) berisi amanat, nasihat keagamaan atau kemasyarakatan; (4) bersajak a-b-a-b (sajak silang), (5) berirama/nada minor, (6) semua baris merupakan isi/pesan yang ingin disampaikan.

Bubandung dituturkan pada acara pernikahan, peringatan hari besar Islam, pada saat keluarga besar berkumpul, upacara khitanan dll. Menuturkan bubandung harus dengan lafal dan intonasi yang tepat. Di berbagai tempat, intonasi atau lagu yang menyertai ucapan ketika menuturkan bubandung berbeda-beda. Beda dialek beda pula intonasinya.

Berikut contoh lagu atau intonasi pada bubandung amanat. Karena pola persajakannya bersifat statis maka lagu atau intonasi untuk bait-bait selanjutnya sama dengan bait pertama:

Untuk kepentingan pengajaran, disarankan agar semua bentuk teater tutur orang Lampung dituangkan dalam bentuk notasi seperti contoh di atas, sehingga diperoleh takaran suara yang tepat, baik tinggi-rendah atau panjang-pendek nadanya, cepat-lambat temponya, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan penelitian yang menyeluruh atas aspek musikalitas teater tutur Lampung.

Iwan Nurdaya Djafar, budayawan

Sabtu, 15 Januari 2011

Membaca Sejarah secara Fiksional



Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 16 Januari 2011

"...sebuah cincin Saibatin Sekala Bgha bergambar ukiran harimau kesayangannya yang tetap setia melingkari jari manis sang ratu merupakan tanda percumbuan imajiner itu. Kemesraan mistik itu pula yang membuat Sekeghumong tidak memilih kuda atau binatang peliharaan lainnya. Ia memilih bayi harimau jantan sebagai peliharaannya. Diasuhnya harimau itu dengan kasih seorang ibu."

BEGITULAH M. Harya Ramdhoni gaya M. Harya Ramdhoni menggambarkan secara fiksional sejarah Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat melalui novel perdananya, Perempuan Penunggang Harimau yang diterbitkan BE Press, Lampung, Januari 2011. Ia padukan antara fakta sejarah dan fiksi. Para tokoh dalam novelnya seperti La Laula, Taruda, Rakian Sekehandak, Dapunta Hyang Jayanaga dan lain-lain merupakan individu-individu yang pernah hidup pada masanya masing-masing. Begitu pula demikian dengan nama kerajaan, dinasti, tempat, aksara, suku, dan benda, semuanya fakta sejarah. Ramdhoni, pria yang lahir di Solo itu, menceritakan kehebatan Ratu Sekeghumong yang mempertahankan adat leluhurnya. Sekeghomong bangga dengan hidup kesederhanaan.

Mengapa menulis novel dan bukan buku sejarah, Ramdhoni menyatakan argumennya. "Pertama, saya bukan sejarawan. Kedua, karya sastra merupakan senjata yang ampuh untuk mentransfer ilmu," katanya saat peluncuran novel itu di aula Lampung Post, Sabtu (15-1) siang. Bukan tanpa bukti ia mengatakannya. Suatu hari, Ramdhoni pernah bertanya kepada teman-teman adiknya, mana lebih suka buku sejarah atau novel sejarah. Serempak mereka menjawab, "Novel!" Akhirnya, Ramdhoni memberikan mereka sebuah novel karya Pramoedya Ananta Tour. Hasilnya tak dinyana. Beberapa hari kemudian, anak-anak sekolah itu meminta novel lanjutannya. Dari situ, Ramdhoni berkesimpulan, ternyata karya sastra lebih memikat!

Krisis identitas dan budaya Lampung di kalangan kawula muda mengetuk juga mengetuk pintu hati Ramdhoni. Pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Kebangasaan Malaysia (UKM) itu ingin menyegarkan ingatan mereka. Namun, Ramdhoni ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Kebetulan, ia hobi menulis puisi. Bahkan, sebelumnya ia sudah pernah menulis novel, tetapi gagal karena aktivitasnya yang sibuk. Akhirnya, Ramdhoni mencoba menuliskan novel sejarah Kerajaan Skala Brak, Lampung Barat.

Selain itu, ia yakin karya sastra bisa membangkitkan gairah masyarakat. "Kenapa saya menulis Kerajaan Skala Brak? Karena saya orang sana. Menulis tentang asal-usul kita sendiri lebih emosional daripada dituliskan orang lain," kata Ramdhoni yang siang itu mengenakan kaus berkerah garis-garis.

Penyair Iswadi Pratama mengakui secara keseluruhan novel Perempuan Penunggang Harimau cukup komprehensif. Data-data yang dipaparkan teruji secara empirik. Sebab, penulisnya merupakan akademisi. Namun, ada beberapa bagian yang dikritiknya. Iswadi menjelaskan pada Bab I Halaman 1 dikatakan "ada seorang bayi perempuan dilahirkan". Lalu, pada halaman berikutnya dikatakan, "puluhan purnama ia menanti bayi itu". Menurut Iswadi, seorang perempuan mengandung hanya 9 bulan, bukan puluhan bulan. "Di sini ada ambiguitas. Masalahnya, kalimatnya diletakkan berdekatan," kritik Iswadi. "Mungkin maksudnya, saking terlalu lama. Dalam literer ini yang saya maksud ketaksaan berbahasa," katanya.

Pada bagian lainnya, kata Iswadi, Ramdhoni menuliskan “mereka berpelukan bahagia. ia mencium keningnya”. Lalu dikatakan, “air matanya menetes membasahi pipi ibunya”. Semestinya, kata Iswadi, air mata itu jatuh ke orang yang dipeluknya, bukan ibunya. Selain itu, bahagia dan sedih merupakan dua hal yang berlawanan. "Ini memang tidak penting tapi, lebay. Hanya, saya sebagai pribadi membayangkan pergolakan tokoh-tokoh di novel ini. Habisnya, tidak ada lagi sih yang bisa dikritik dari novel ini," ujar Iswadi terkekeh yang juga disambut gelak tawa peserta yang hadir dalam launching buku tersebut.

Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat mengatakan novel Perempuan Penunggang Harimau ditulis secara konvensional. "Ada sinopsis, prolog, dan epilognya," ujar Djadjat.

Menurut Djadjat, novel ini penting karena bisa menjadi oasis bagi masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam "dedikasi" dari pengarangnya untuk mengingatkan pada masa lalu Lampung yang sudah mengalami pengendapan dan penafsiran ulang. "Novel ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak bahwa banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif."

Menurut Djadjat, karya sastra bisa memengaruhi masyarakat. Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuliskan masalah pendidikan di Pulau Belitong, Bangka Belitung. Dampaknya, masyarakat Belitong khususnya, para siswa, menjadi rajin sekolah.

Djadjat mencatat ada beberapa hal yang mengganjal dari novel ini. Ketika asyik menikmati "tempo doeloe" dalam novel ini, tiba terselip kata-kata baru, bukan dari bahasa lama. "Misalnya, kata "sialan". Bukankah kata "sialan" lebih kita kenal sebagai ungkapkan dalam bahasa betawi. Saya masing ingat ketika ke Jakarta pada 1970-an. Saya mendengar perkataan itu, 'sialan loe'," kata Djadjat.

Begitu pula kata "Pakdalom". Namun, penyair Anton Kurniawan menolak kata "Pak" sebagai bahasa baru karena kata ini sering dipergunakan dalam khazanah bahasa Lampung.

Pujangga kelahiran Lampung Timur, Binhad Nurrohmat, mengatakan jarang sekali suku di Indonesia yang mempunyai aksara. Lampung merupakan salah satu provinsi yang kaya akan situs dan aksara. Dia percaya tradisi bercerita muncul dengan watak bahasa tertentu. Namun, ia mengaku kesulitan dengan bahasa latin. Pasalnya, kata Nurrohmat, kita tidak bisa melakukan modifikasi terhadap bahasa latin. "Saya curiga berhentinya budaya cerita di Indonesia karena kita berhenti dengan aksara pahlawan," ujarnya yang mengaku karya Ramdhoni menyelematkan masa silam.

Kehadiran novel Perempuan Penunggang Harimau adalah kembalinya tradisi cerita setelah sekian lama tenggelam. "Lampung punya potensi itu karena Lampung mempunyai aksara," tegasnya. Artinya, setelah ini kita pun berharap sastra Lampung semakin bersinar sebagaimana dikatakan budayawan Iwan Nurdaya Djafar, novel karya Ramdhoni menjadi semacam penyelamat bagi masa depan sastra klasik Lampung. Semoga. (HENDRY SIHALOHO/P-1)

Sabtu, 08 Januari 2011

Kritikus Seni Sudah Mati

Minggu, 9 Januari 2011 | 03:27 WIB

Arif Bagus Prasetyo

Temu Sastrawan Indonesia III di Kota Tanjung Pinang pada 28-31 Oktober menyoroti mendung krisis kritik sastra yang sejak lama dirasakan merundung ranah kesusastraan kita. Sastra Indonesia mutakhir dianggap tumbuh nyaris tanpa kritik. Diperlukan upaya serius dalam meningkatkan jumlah ataupun mutu kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini.

Kritikus sudah mati, kata Profesor Ronan McDonald dalam The Death of the Critic (2007). Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad ke-20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan. Kritikus seni menjadi sosok panutan yang sabdanya diyakini berbobot istimewa dan layak ”diimani” khalayak. Pada era postmodern abad ke-21 sekarang, aspek hierarkis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni.

Dewasa ini, palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil alih oleh khalayak umum: blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol.

Demokratisasi

Respons terhadap seni telah mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan, nyaris dalam hal apa pun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya. Opini awam tak lebih rendah daripada komentar pakar. Lihatlah acara talk show di TV yang melibatkan partisipasi penonton di studio atau di rumah. Pihak yang berkuasa menentukan pemenang kompetisi seni semacam Indonesia Mencari Bakat atau Indonesian Idol bukanlah dewan juri yang kompeten di bidang seni, melainkan para penonton TV yang mengirim SMS dukungan kepada peserta. Ingat pula bagaimana proses hukum bisa dipengaruhi oleh suara para Facebooker dalam kasus Bibit-Chandra.

Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara ”mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus makin tidak dibutuhkan karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Brian Hieggelke, sambil menyebut sejumlah nama kritikus profesional yang diberhentikan dari media tempatnya bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.

Di lapangan sastra, menurut McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto ”kematian pengarang” yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. ”Kematian pengarang” telah memerdekakan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Akibatnya, kritikus pun menjadi ”mati” karena otoritasnya sebagai agen penilai-penafsir karya telah direbut pembaca. Kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh khalayak pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.

Pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang ”maksud karya” atau ”maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya dan menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya.

Namun, sejak Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan yang tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak berisi apa pun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. ”Kematian pengarang” adalah momen ”kelahiran pembaca”.

Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka ”kematian pengarang” tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk ikut bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas yang dirayakan khalayak pembaca.

Kalau begitu, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. ”Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi.

Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra pada masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok ”mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong ”kayu sastra” demi memberinya makna baru.

Pada zaman sekarang, kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya.

Pada era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra tidak perlu berupaya membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan.

Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra pada masa kini sebaiknya berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya karya sastra.

Arif Bagus Prasetyo Penulis; Tinggal di Denpasar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman