Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 April 2010

Embun di Mata Wie (Cerpen Syaiful Irba Tanpaka)

lampungpost, Minggu, 11 April 2010

SENI BUDAYA


Embun di Mata Wie

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka

Setiap menjelang pagi mata Wie dibasahi butiran embun. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, maka setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.

"Sungguh, sebetulnya aku tidak suka butiran embun itu bersila di mataku," ungkap Wie suatu kali kepadaku. "Tapi bagaimana aku bisa menolaknya? Ia begitu saja muncul di mataku setiap menjelang pagi ketika aku bangun dari tidur."

Wajah Wie sendu.

"Bukankah seharusnya engkau bersuka cita dengan butiran embun yang tergenang di matamu? Karena ia telah menambah kecantikanmu. Dan orang-orang terpukau memandang keelokan parasmu?"

"Justru itulah masalahnya. Karena ada butiran embun di mataku. Karena butiran embun itu telah mengubah kecantikanku. Aku merasa bukan menjadi diriku lagi."

"Apakah kau tidak suka menjadi bertambah cantik?"

"Setiap perempuan-seperti kita-pasti ingin menjadi cantik, tapi kalau kecantikan itu membuat diri kita menjadi imitasi, tidakkah itu suatu malapetaka!"

Aneh! Mungkin lebih tepatnya unik. Ya! Buatku Wie adalah seorang gadis yang unik. Karena baru kutemukan gadis seperti dia. Sementara gadis-gadis yang lain-- termasuk aku--ingin menjadi lebih cantik dengan berbagai cara, justru Wie merasa masygul dengan kecantikannya yang berkilauan seperti bidadari karena butiran embun yang muncul di matanya setiap menjelang pagi ketika ia bangun dari tidur.

Wie pernah mencoba pergi ke dokter mata untuk mengonsultasikan perihal embun yang tiba-tiba muncul di matanya. Setelah beberapa waktu diperiksa, dokter memberinya obat. Tapi hingga beberapa kali kedatangannya secara berkala ke dokter mata, embun itu tetap tidak bisa dicegah kehadirannya.

Setiap menjelang pagi ketika Wie bangun dari tidur, embun itu selalu muncul di matanya. Seperti di atas daun, butiran embun itu tampak bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari.

Aku membayangkan seandainya saja embun itu muncul di mataku. Ach! Betapa menyenangkan menjadi bertambah cantik seperti bidadari. Aku akan menjadi pusat perhatian di mana-mana. Semua orang akan terpesona. Ya! Mungkin serupa cerita nabi Yusuf yang digilai banyak wanita. Aku akan digandrungi banyak laki-laki. Betapa aku akan bersuka cita. Aku bisa membalas rasa dendam kepada laki-laki. Karena aku bisa memilih pasanganku seenaknya. Bahkan mungkin gonta-ganti pacar. Dan bila aku merasa bosan, aku bisa menendang dan meninggalkannya semauku. Kapan dan di mana saja.

Maaf! Imajinasiku memang sering ekstrem terhadap laki-laki. Karena terus terang, tiga kali sudah aku dikecewakan laki-laki; sakit hati bahkan mendekati frustasi. Mereka cuma mau enak sendiri, egois, dan cenderung diktator. Wajar kalau ada ujar-ujar yang mengatakan “cuma mau enak tapi ga mau anak”. Meskipun seorang kawan lelakiku membela kaumnya dengan mengetengahkan lagu Basofi Sudirman, "Tidak Semua Laki-laki". Tapi persetanlah! Mana mungkin kepedihan hatiku bisa terhapuskan dengan alasan yang absurd seperti itu. Lagian aku sampai sekarang belum menemukan laki-laki yang pinjam istilah iklan sebuah deodoran; setia setiap saat.

Rasa sakit hatiku kepada lelaki menumbuhkan semacam tombak amarah. Jika saja ada kesempatan untuk membalas, tentu tombak itu akan kutusukan dalam-dalam. Dan pada luka yang terjadi akibat tusukan itu, akan kusiram air cuka. Bisa kubayangkan ketika ia menjerit-jerit kesakitan, aku akan memaki dan menyumpah serapah dengan tawa kemenangan.

Bahkan, lebih gila lagi, aku pernah membayangkan seandainya saja Tuhan memberi pasangan untuk perempuan dari jenis selain lelaki. Mungkin beberapa jenis dan apalah namanya. Dan untuk mengembangkan keturunan, dengan melakukan persetubuhan dengan cara yang lain. Walaupun untuk hal ini aku kadang geli sendiri.

Tapi sayang aku cuma bisa berkhayal. Embun itu tidak muncul di mataku. Embun itu cuma muncul dimata Wie. Mahabesar Tuhan. Kadang yang kita harapkan tidak datang, dan yang datang tidak kita harapkan. Begitu misteri kehidupan dari Yang Mahaagung.

"Atau mungkin kamu datangi orang pintar saja, Wie," saranku suatu kali di suatu pagi yang cerah. "Siapa tahu keinginanmu bisa terwujud. Embun itu tidak lagi datang kepadamu."

"Maaf, Aku tidak suka pada hal yang berbau klenik."

"Ya, mungkin ini suatu pengecualian. Namanya juga usaha."

Wie hanya terdiam. Aku memandanginya dalam-dalam. Wie betul-betul terlihat cantik memesona. Butiran embun di matanya berkilau-kilauan. Bagaikan kilauan batu permata yang tak ternilai. Wajah Wie terlihat begitu segar. Ada semacam aura yang membetot pandangan untuk selalu menatapnya. Namun, mengapa hal ini justru membuatnya gundah. Aku sering tidak habis pikir. Di saat semua perempuan mendambakan hal serupa itu bisa terjadi pada dirinya.

"Kenapa denganmu, Wie?" suaraku memecah kebisuan

Wie mendesah. Ia meluruskan tatapannya padaku. Subhanallah! Tiba-tiba Wie terasa asing buatku. Aku seperti melihat seseorang yang sama sekali belum pernah kukenal. Mungkin benar ia bidadari dari kayangan. Selama ini aku belum pernah beradu pandang serupa ini. Kepalaku menjadi pusing. Aku seakan memasuki sebuah lorong cahaya yang gemerlapan. Dan aku tersedot dalam pusarannya yang tanpa batas. Melayang dan terus melayang, melayang dan terus melayang, menempuh jarak jutaan kilometer.

"Wiiiiiiieeeeeee.....!" aku menjerit.

Aku tersadar ketika Wie menyodorkan segelas air minum di mulutku. Aku terbaring lemas di atas tempat tidurnya.

"Kau tidak apa-apa, Lesli?" Wie menyapa dengan lembut.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Wie mencoba mengajakku tersenyum.

Peristiwa itu telah mengubah pikiranku tentang embun di mata Wie. Barangkali itu satu hal yang telah membuat Wie merasa masygul.

"Aku hanya ingin hidup sebagai perempuan sewajarnya," ungkap Wie ketika kami kembali bertemu.

"Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan damai, dan bukan sebagai sumber petaka."

"Tapi semua yang terjadi bukankah di luar keinginanmu, Wie?"

"Karena itulah aku lebih senang menyendiri. Kamu bisa bayangkan, seandainya ada sejuta lelaki yang terpesona menatapku, maka sebanyak itulah yang akan menjadi korban."

Aku membatin. Seandainya saja embun itu muncul di mataku. Akan kubuat habis seluruh laki-laki di dunia ini. Sayang, embun itu hanya muncul di mata Wie - seorang gadis yang lugu. Gadis dengan impian yang sederhana.

Wie pernah bercerita kepadaku. Bila ia menemukan lelaki yang menyintai dan dicintainya, dia akan membina rumah tangga. Ia ingin tinggal di sebuah desa yang asri sebagai petani.

"Kenapa harus jadi petani, Wie, bila kamu bisa menjadi lebih baik dari itu?"

"Tidak ada yang lebih baik dari petani, Lesli," ujarnya.

"Kalau kau jadi pedagang, kau takkan bisa luput dari kebohongan. Dan bila kau jadi buruh, karyawan atau pejabat, kau takkan bisa luput dari korupsi."

"Lantas apa baiknya petani?" tanyaku penasaran.

Wie tersenyum.

"Petani? Setelah menggarap sawah atau ladangnya, selebihnya ia serahkan kepada Allah Swt. Ia cuma berdoa semoga mendapat panen yang berlimpah. Tapi ia tidak pernah bisa tahu apakah musim berpihak atau tidak kepadanya. Jika tiba-tiba hama wereng atau tikus atau bencana alam melanda. Kau mengerti itu, Lesli?"

Aku tersenyum getir mendengarnya. Wie memang pantas disebut bidadari. Hatinya, prilakunya. Dan kini keelokannya. Aku mulai menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.

"Kalau begitu, segeralah kau menikah," saranku.

"Ya! Betapa aku menginginkannya. Tapi dengan siapa? Kau tahu, selama ini aku selalu menghindar dari keramaian. Aku menghindar dari lelaki."

"Bukankah kau bisa keluar sebentar. Memasuki keramaian. Berjalan-jalan di pusat kota atau mal, kafe, restoran, taman rekreasi, dan tempat manalah yang kau inginkan untuk mencari dan menemukan jodohmu."

Wie tertawa. Suaranya terdengar begitu renyah.

"Kenapa kau tertawa?"

"Andai saja itu dapat kulakukan dengan mudah."

"Bukankah kau seorang bidadari? Dengan aura embun di matamu, lelaki mana yang tidak akan bertekuk lutut."

"Kau salah mengerti, Lesli. Itulah yang menjadi kekhawatiranku. Mungkinkah aku bisa melakukan hal itu padahal aku tidak menginginkan lelaki yang jatuh hati kepadaku karena ia semaput dengan kecantikanku."

"Kau membuatku jadi bingung..."

"Aku sendiri juga bingung, Lesli..."

Kami berdua tertawa. Aku tidak tahu, apakah ini merupakan keriangan atau keprihatinan buat Wie. Buat seorang gadis dengan pendirian yang permata. Gadis dengan embun di matanya. Di mana aku menduga-duga; jangan-jangan embun itu muncul dari hatinya sehingga tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun, bahkan oleh orang pintar yang memiliki kesaktian canggih mandraguna.

***

Lebih dari setahun sudah aku tidak berjumpa dengan Wie. Karena kepindahanku ke luar daerah. Karena aku diterima bekerja pada sebuah perusahaan. Karena kesibukan-kesibukanku sebagai karyawan. Tapi sesekali aku masih menjalin komunikasi dengan Wie lewat hape. Menanyakan kabarnya. Menanyakan embun di matanya. Menanyakan kehidupannya. Sampai suatu hari Wie mengabarkan berita yang mengejutkan buatku. Wie akan menikah.

"Kamu ga becanda, kan?"

"Serius! Kamu datang, ya?" suaranya terdengar ceria.

Aku bersyukur. Wie akhirnya menemukan lelaki sejatinya. Lelaki dambaannya seperti yang sering diceritakannya padaku. Lelaki yang tidak hanya melihat perempuan secara lahiriah. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya Wie.

Sayangnya aku tidak bisa menghadiri pesta pernikahannya. Karena pada saat yang sama aku harus menjalani tes promosi jabatan di tempatku bekerja. Karena itu kukatakan aku akan mengunjunginya setelah aku memiliki waktu luang.

"Gapapa kok, aku bisa maklum. Tapi jangan lupa janjimu ya, Lesli!"

"Ya, ya, ya..."

Sebulan kemudian aku membuktikan ucapanku. Aku datang ke tempat Wie. Dengan perasaan berbunga-bunga aku membayangkan pertemuan dengannya. Rumahnya tampak sepi. Pembantu rumahnya mengatakan ayah ibu Wie sedang keluar kota, dan suaminya sedang bekerja. Wie sendiri berada di taman belakang. Karena aku terbiasa main di rumahnya, maka aku tidak kesulitan untuk sampai di taman belakang tempat Wie berada.

Kulihat Wie sedang duduk sambil memainkan gitar mengalunkan lagu cinta. Karena aku berada di belakangnya Wie sama sekali tidak tahu kehadiranku. Pelan-pelan aku melangkah mendekatinya. Dan setelah dirinya dalam jangkauanku mendadak kupegang pundaknya sambil aku berteriak: "Surprise....!"

Di luar dugaan, doronganku terlalu keras hingga membuat Wie terjatuh.

"Aduuhh...!" Wie menjerit spontan. Lalu ia mencoba bangkit. Tangannya meraba-raba ke sana kemari. Aku terkesiap menyaksikannya.

"Lesli...! Lesli....! Apakah itu kamu?"

Aku mencari-cari butiran embun di mata Wie. Butiran embun yang bulat bening dan segar. Dan bila matahari muncul menyinarinya; butiran embun itu berkilau-kilauan bak permata sehingga membuat mata Wie bercahaya. Dan, bila itu terjadi, setiap orang akan terpukau memandang kecantikan Wie yang berubah seperti bidadari...

Bandar Lampung, Maret 2009--2010

Misbahus Surur (Menuju Kematian yang Puitis)

lampungpost,Minggu, 11 April 2010

APRESIASI


Menuju Kematian yang Puitis

Manusia jamaknya memang selalu merasa alergi saat berhadapan dengan ihwal kematian. Seolah kematian terus-menerus mengeram dalam ceruk kekhawatiran.

KEDATANGAN maut adalah ujung bagi waktu yang membeku, juga seperti lupa yang merenggut ingatan kita. Maut menderu-deru seperti angin, menjerit di pori-pori nyawa. Berburu waktu dengan manusia, meski akhirnya ia menyeringai di depan dengan genggaman temali kepastian. Maut bagai kutukan yang merangsek ke dalam hidup, berselubung misteri dan teka-teki. Dan Tuhan sengaja tak memberi manusia porsi pengetahuan yang memadai untuk mengungkapnya. Manusia hanya terus diiming-iming, bahwa saatnya nanti ia akan bertemu ajal. Meski ingatan perihal itu tak kunjung membikin manusia takluk.

Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar dalam sajak Derai-derai Cemara. Kekalahan yang boleh jadi tersirat di pikiran Chairil saat itu sebagai ketakutan manusia akan tibanya ajal/mati. Sebuah kekalahan telak, karena tak ada ruang di mana manusia dapat melawan atau lari menyingkir. Namun, seorang Chairil agaknya masih berusaha memanfaatkan hidupnya meski manusia akan kalah juga. "Hanya ada satu hal yang nyata, kematian," kata Najib Mahfud. Kendati ia bukan sebuah kenyataan yang memastikan diri dalam ruang dan waktu yang presisi; karena manusia tak pernah tahu kapan, sebab, dan di mananya. Maka, kita adalah kematian dan anak dari kematian, tambah Mahfud, pada salah satu halaman novel Aulad Haratina.

Kalau kita cermati, akhir-akhir ini, kian jarang orang yang berpikir perihal (ke)mati(an). Alih-alih sekadar krentek dalam pikiran, berkelebat dalam benak saja tidak. Seolah kematian menjadi barang yang terlalu mewah untuk dipikir-renungkan. Kondisi seperti itu, membikin pemaknaannya menjadi dangkal, nirpenghayatan dan jarang sekali diingat-ingat. Apalagi saat-saat sekarang, perkembangan teknologi mutakhir kian memberi dampak serius bagi terenggutnya nilai kesadaran, spiritualitas dan penghayatan. Kehidupan yang serbacepat berakibat turunnya penghayatan manusia akan makna kehidupan. Di sisi lain, sains modern dengan meminjam tangan ilmu biologi, kedokteran, dan keilmuan medis lainnya, tak kalah kuasa mereduksi esensi kematian. Bahkan, saat ini, dominasi besar-besaran paradigma saintifik ke dalam tubuh pengetahuan modern, kerap memiuhkan makna kematian. Akibatnya, makna kematian menjadi dangkal, terkapar dalam simplifikasi. Bahkan ia tak lagi menjadi pengalaman yang menggetarkan hati, tetapi sekadar fragmen kehidupan yang biasa.

Pelibatan ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan pengalaman langsung; mencicipi detail lekuk kematian, menyelam dalam denyutnya yang abstrak, kian jarang. Lapisan kesadaran manusia modern gersang tergusur habitus mereka yang absurd. Dulu saat humanitas hanya didudukkan sebagai yang pasif, beberapa filsuf, seperti Kierkegaard, Husserl, juga Hiedegger, pernah menyerukan kembalinya eksistensi manusia beserta segenap keunikannya. Kierkegaard, misalnya, memahkotai humanisme dengan segala makna dan perantinya; hidup-mati, bahagia-sengsara, juga soal kebebasan, yang kemudian memuncak pada dimensi diri dan spritualitas kehidupan. Menurut Kierkegaard, ketika apa yang paling dekat dengan manusia itu (baca: kematian) makin tak dikenali, maka eksistensi manusia perlahan-lahan menjadi redup dan suram.

***

Sungguh memang maut amat misterius. Kemisteriusan itu bukan karena diri kematian itu, melainkan karena tak pernah ada manusia yang mampu mengetahui kedatangannya. Ia hampir selalu datang mendadak, tak pernah berikat janji ataupun kontrak yang serbapasti. Mendiang Chairil Anwar misalnya, pernah menyinggung perihal ajal dalam sajak Yang Terampas dan Yang Putus: Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin// Aku berbenah dalam kamar// Dalam diriku jika kau datang// Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu// Tapi hanya tangan yang bergerak lantang. Sajak ini adalah sajak kelam nan muram untuk menyambut derap kematian saat dirasa makin dekat. Kematian yang ditakzimi Chairil dengan ikhtiar melawan. Meski bekal dan persiapan bisa jadi belum matang. Atau taruhlah gegap kematian yang ditebar Pramudya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam : “...Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang ....Di mana pun juga dia menampakkan dirinya. Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia..." Kemudian diteruskan lewat aforisme lain yang padat nan serasa lebih menyentak, "... dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana." Sebuah parafrase, yang seakan terpacak rapi dalam pikiran Pram untuk senantiasa memprotes peran manusia yang kadang dikerdilkan dirinya sendiri; sekadar menjalani hidup dan kemudian menerima begitu saja takdir kematiannya.

Chairil, Pram, juga Mahfud adalah orang-orang yang sanggup menyambut kematian. Tapi mereka bukan manusia yang tak gentar terhadap maut. Mereka hanya punya langkah tepat untuk menghadapi kematian, bahkan ikhtiar melawannya. Tentu saja saat kehidupan menjadi nirmakna dan tak seyogianya, jalan satu-satunya bukankah hanya dengan bekal melawan. Pada titik ini, agaknya mereka menginsafi kematian sebanding dengan menghargai kehidupan; kehidupan yang didedikasikan secara penuh seluruh pada kemanusiaan. Tersebab itu, mereka melawan berbekal keberanian, meski akhinya akan (di)tiada(kan). Mereka sadar, bahwa ketiadaan itulah kebenaran sesungguhnya. Dan kesiapan untuk ditiadakan adalah langkah satu-satunya menyambut keberanian hidup yang tanpa konformitas.

Sebab itu, pada batas tertentu mereka bukanlah barisan manusia kalah. Barangkali keyakinan mereka sebagaimana pemerian Paul Tillich: “Keberanian adalah peng-iya-an dan afirmasi diri ketika kita tidak ber-ada." Maka, ketiadaan/ kematian akhirnya mereka sambut bukan sebagai afirmasi atas kegentaran terhadap mati, melainkan hanya sebagai satu-satunya langkah sublim menyambut ketiadaan. Mereka seperti orang-orang bebas lainnya, betapa mereka memandang hidup itu bukan hal-hal biasa dan sewajarnya. Kehidupan kadang menjelma bak sebujur jasad sakit yang diluberi limpahan anakronisme; dusta, rekayasa, juga euforia di sekujurnya, di mana kebebasan harus selalu diperjuangkan. Untuk itu, hidup bagi mereka bukan irama harian yang melenggang tenang, melainkan jalan berliku penuh kerikil dan kegelisahan. Siapa berani menantang hidup, harus berani menenteng kematiannya. “Berani hidup tak takut mati, takut hidup mati saja”. Begitulah mungkin aforisma orang bijak yang pantas untuk mereka. Frase ini terasa subtil untuk menyambut tibanya ajal, terlebih saat kematian berbalik menggentarkan. Sekali berarti, sudah itu mati, tegas Chairil.

Kematian memang akhir dari pergulatan hidup. Ending dari drama kehidupan manusia. Tapi bagi Chairil, Pram, juga Mahfud kehidupan yang tunai oleh buah kemanusiaan yang telah disepuh dengan berbagai lembar kisah tragis kehidupan itu, dengan beberapa episode yang berlalu silih berganti, bukanlah akhir yang berkesudahan. Ia tak harus ditangisi dan dirutuki sedih. Biarlah ia lari ke uzurnya, karena memang tak ada guna untuk digerutui. Seperti kata Chairil: kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Karena, sebagai “binatang jalang”, ia ingin tetap meradang menerjang, tanpa rayuan apalagi sedu sedan.

***

Ingat akan mati mungkin memang satu-satunya jalan adiluhung saat perjalanan manusia di dunia ini didapati hanya melacurkan diri dalam dusta-dusta peradaban, kebudayaan, kesejarahan, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mendustai dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan yang hakikatnya dibekali beban sekaligus amanah besar (khalifatullah fi al-ardh) menjaga kosmik tetap lestari dan seimbang. Pada tahap ini, ada beberapa momen berharga yang patut dibentangkan dalam gelaran peristiwa kelahiran sekaligus perkabungan manusia -mengutip kata hukama' (ahli hikmah): "jadikanlah kelahiranmu dipenuhi derai senyum kegembiraan yang mengembang. Dan kelak, saat tiba ajal kematianmu, jadikanlah manusia yang menghadirinya semata berkeinginan merayakan bersama ratap tangis, sembari tak putus-putus mengingat jasa-jasa yang kau toreh pada sejarah hidupmu". Bisa jadi, inilah kredo puitis bagi yang hidup hendak bersiap mati. Wallahu 'alam

Misbahus Surur, peminat sastra, mahasiswa S-2 UIN Maliki, Malang

SAJAK-SAJAK Pay Jarot Sujarwo

Lampungpost,Minggu, 11 April 2010

SENI BUDAYA


SAJAK-SAJAK Pay Jarot Sujarwo

Biar Rindu ini tak Terasa Pilu
: Y. Wibowo

kawan, kemarin aku membaca sajak (atau celoteh?) yang kau tulis

sungguh, aku rindu.

bukan pada tayangan televisi yang kau tonton,

tapi pada sejarahmu

yang menorehkan emas di atas permadani

di mana mereka pesta dan menari-nari*

tiba-tiba saja sejarah itu, sejarah yang kau torehkan itu

menyayat kembali angka kalender renta di masa-masa silam

aku merasa ditikam, begitu tajam, oleh kenangan yang riuh akan dendam
: beratus kepal tangan meninju udara, yel-yel,

julur asap rokok di ruang rapat dengan latar bendera merah,

juga anggur yang sama-sama kita tenggak

saat malam tengah berkemas

lalu kawan, kueja satu-satu diksi

yang kau hidangkan di koran-koran minggu

sebab di sana ada sejarahmu.

ya, sejarahmu kawan. yang kau tulis sebagai

erangan panjang memilukan.*

sungguh, aku rindu.

jika nanti kau kembali menonton kotak elektronik beracun itu

tuliskan lagi sajak (atau celoteh?) mu.

biar rindu ini tak terasa pilu

Sofia, maret 2010

* dari sajak (atau celoteh?) yang ditulis Y. Wibowo: Menyaksikan Sidang Paripurna Hak Angket Pansus Century, DPR RI

Di Depan Ketedral Alexander Nevski

kutemukan gemuruh pada ringkih pilarmu

oleh berjuta kilatan blitz dan narasi pada brosur-brosur perjalanan

sementara emas yang bersarang di kubah-kubahmu

masih saja menceritakan sunyi yang sama

sunyi yang tenggelam pada angka-angka almanak yang kian renta

sunyi yang menggedor-gedor pintu museum-museum purba

sunyi yang luka sebab sejarah gagal bercerita

kutemukan sajak di celah suara gentamu

merayap di sekeping kartu pos yang terbang

ke seluruh dunia

adakah kau merasa rindu?

Sofia, Maret 2010

Seorang Perempuan yang Mengubur Cerita tentang Perang

"kita tidak lahir dari buku-buku sejarah dan cerita para guru di sekolah"

katamu sambil melipat kembali arah-arah yang tidur di dalam peta.

sepasang mata cokelatmu masih saja tegar menancap

pada reranting kering penghujung musim dingin.

lalu pelan kau berbisik. entah kepadaku. entah kepada angin.

katamu: masih ingatkah kau akan perebutan konstantinopel

yang sekarang menjadi instanbul?

di sekolah-sekolah turki, mereka akan bilang itu adalah

penaklukan gemilang kekaisaran muslim.

dan di waktu yang sama, orang-orang balkan akan bilang itu adalah

peristiwa jatuhnya kota besar kristen secara tragis.

lalu kita, sampai hari ini masih saja saling berkelahi

matahari di kota sofia masih saja samar sebab salju di puncak vitosha

masih saja perkasa. lalu arah-arah yang tidur dalam peta

kau robek dan telantarkan begitu saja di tong sampah.

"kita hanya perlu melangkah, saat kota ini semakin tua, saat angka-angka kalender

semakin ringkih untuk menceritakan peristiwa kepada bayi-bayi kita”

aku merasakan marah mengalir di darahmu. seperti terwarisi darah

para pejuang thrakian*).

dari banya bashi**), sayup-sayup kudengar suara adzan

"pergilah bersembahyang, dan jangan kau tanyakan lagi cerita tentang perang."

aku tersentak. kehilangan diksi yang sudah sampai di ujung kerongkongan.

Sofia, 30 Maret 2010

*) Thrakian: Suku pertama yang mendiami tanah Bulgaria semenjak puluran ribu tahun Sebelum Masehi, sampai akhirnya Kalah oleh pasukan Roma (Alexander Agung) di abad ke-1 Mahesi

**) Banya Bashi: Nama masjid yang terletak di Kota Sofia, Bulgaria. Yang didirikan saat Ottoman Empire (Turki) menguasai negara ini, dan merupakan satu-satunya masjid di Sofia yang masih berfungsi

Tentang Alamay--yang Tidak Perlu itu

kugenggam tanganmu saat kau meracaukan alamat.

hendak kemana? melawat makam-makam para pejuang thrakian,

atau mengeja isyarat bertuah gypsy di pintu depan rumah?

semenjak tak ada lagi rahasia waktu kau tenggak bir dari gelasku,

tak henti-hentinya kau meracaukan alamat

"alamat tak perlu

tak ada jalan pulang

bakar saja peta

pintu rumah tak lagi terbuka

bulan pecah di laut hitam

tak perlu alamat"

kekasih, aku tak mengerti tapi aku tak risau.

bukankah sudah kita sempurnakan jejak

pada dinding-dinding purba monument kuda,

gereja, patung stalin, reruntuhan kerajaan roma,

juga pada setumpuk jaket musim dingin yang tak terpakai

sebab rumput hijau telah merayapi taman kota

dan kita, akan terus berjalan kemana saja

tak hanya sampai ujung sofia, tapi juga di bibir-bibir senja

yang betah berlama-lama menunggu jelaga

kekasih, buat apa aku risau meski aku tak mengerti

tapi kau terus meracau

membikin alamat benar-benar menjadi sesuatu yang tak perlu

Sofia, Maret 2010

Sabtu Sore 3 Tahun Lalu

aku kembali melihat sore sendirian. tidak bersamamu. tidak seperti

sabtu sore tiga tahun lalu. aku kembali membiarkan angin membelai pepori dan tidak menularkannya digerai rambutmu. barangkali, kenangan ini

memang sudah tidak layak diceritakan ulang. tapi kepada siapa kemudian kita akan mengakrabi rindu, ketika waktu tak lagi mencatat kisah-kisah biru.

cuma beku. seperti bebatu. seperti keras hati di puncak pilu.

dik, di tempat ini aku ingin tidak selalu berharap kau bisa kembali.

seperti sabtu tiga tahun lalu. tempat kita berjanji bertemu dan dengan tidak rela melihat jingga berubah pekat. "sudah magrib, mari kita pulang." ajakmu. aku kerap menggeleng, demi lebih lama membelai gerai rambutmu. "tapi sebentar lagi malam minggu, saatnya kau bertemu pacarmu dan aku bertemu pacarku. kita sambung sabtu sore minggu depan." lirihmu beranjak bersama senja yang benar-benar sudah tidak ada.

aku kembali melihat sore sendirian. tidak bersamamu. tidak seperti sabtu 3 tahun lalu. ya, aku sendirian. membaca lekat-lekat rerangkai huruf di selembar kertas undangan. ada namamu.

Pontianak, 2008

---

Pay Jarot Sujarwo, lahir di Pontianak, 5 Juli 1981. Alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta. Tulisannya tersebar di berbagai media. Tahun 2005 kembali ke Pontianak, mendirikan Penerbit Pijar Publishing, dan menerbitkan beberapa buku. Sementara ini berdomisili di Sofia, Bulgaria.

Minggu, 04 April 2010

Cerpen Benny Arnas

lampungpost, Minggu, 4 April 2010
SENI BUDAYA
Membunuh Shakespeare

Cerpen Benny Arnas

Julia, maafkan aku

baru kini aku kuasa memberitahumu

dalam kertas bergulung yang kurekat dengan

getah pohon mapel

sungguh, aku tak pernah mampu membuat puisi

-termasuk susunan kata-kata ini

yang mengantar surat ini

jauh lebih layak kaupanggil laki-laki puisi

cintailah Shakespear sebagaimana

kau pasrah disetubuhi

puisi-puisinya:

sandiwara-sandiwaranya

(Romeo, sebelum dipaksa menenggak racun itu)

Kembali ke Masa Depan

Di meja kayu yang terbuat dari bonggol beringin, gadis dengan syal biru pastel itu menyeracau pada pemuda yang duduk di hadapannya. Ia geram karena pemuda itu tak ingin mengajaknya jalan-jalan. Padahal ia tak minta diantar ke mana-mana. Tidak ke Italia, Jepang, atau Amerika. Ia hanya ingin kembali ke kampungnya yang kini tak lagi bernama. Tak lama, perempuan itu menyiramkan jus terong belanda di gelas kristal bertiang setinggi telunjuk ke laki-laki itu. Mungkin ia terlalu kesal. Namun, ajaib, pemuda itu malah bersimpuh dan mengucapkan sesuatu yang sangat diatur lenggok bahasanya. Oh, jangan-jangan ia sedang merayu. Dan tampaknya berhasil. Wajah gadis itu tiba-tiba merah ceri. Tak lama, mereka sudah berjalan bergandengan. Menyusuri jalan setapak yang dipagari krisan kuning yang berbaris dekat batu apung yang diserakkan di kiri-kanan jalan.

Ketika mereka pergi, kudekati meja kayu tempat mereka berselisih tadi. Betapa takjubnya aku ketika tempat duduk laki-laki tadi tiba-tiba menggeliat. Tak lama, terdengar suara dari situ.

"Aku tahu, Julia. Kau ingin kembali ke masa depan demi menyongsong kenangan itu. Namun, adakah yang kuasa membawamu selain puisiku."

Ah, pasti kursi itu menyadur rayuan Romeo tadi.

Laki-Laki Puisi itu Bukan Kekasihnya

Gadis itu mencangkung di sudut kamarnya. Ia mengeret selimut sampai ke sana. Sebenarnya bukan langit yang berkrayon gelap yang membuatnya menggigil. Namun karena telah dapat ia bayangkan, sebentar lagi bumi akan kuyup. O bukan juga! Bukan perihal hujan. Mungkin petir yang menyambar-nyambar. Blitz yang kadang-kadang dicorongkannya pada orang-orang yang tengah melamun-ria. Dia trauma. Pada suara gelegar langit, pada muntahan laut, pada gemeretak tanah, pada kumparan angin.... Ayahnya disambar petir ketika tengah memetik kelapa muda untuknya. Ibunya digulung tsunami ketika menyusur pantai di selatan kota. Adiknya ditimbun reruntuhan menara kastil ketika gempa. Kakaknya digulung puyuh yang datang tiba-tiba di siang lengang.

"Kenyataan pahit memang berserakan dalam hidupku. Namun, adakah yang mampu meluruhkan rindu?" katanya suatu waktu.

Tak lama, seorang laki-laki mengetuk pintu. Ia hampir saja melonjak kegirangan bila tak segera menyadari bahwa yang datang adalah bukanlah yang dinanti-nantikannya. Namun, ia tak ingin menampakkan keterkejutan. Gegas ia memeluk laki-laki itu. Menangis tersedu-sedan di balik punggungnya.

"Ada apa, Sayang? Mana satpam? Mana pembantu-pembantumu?"

Gadis itu masih menangis.

"Oh, keparat! Mereka makan gaji buta saja!"

Tangis itu makin pilu.

"Aku tahu cuaca sangat tak bersahabat. Namun, keinginanku untuk menghadiahimu sebuah puisi membuat semuanya tak berarti, Sayang." Laki-laki itu merenggangkan pelukan. Ia tatap mata perempuan itu lekat-lekat. "Sudahlah. Aku sudah membawa puisi untukmu...." Laki-laki itu menyeka air mata si gadis. Di tangan kirinya sebuah gulungan kertas digengam erat.

"Mengapa kau yang ke sini, Shakespear?" tanya gadis itu lirih, hampir tak terdengar.

"Maksudmu? Kau lebih mengharapkan Romeo?" Laki-laki itu mengernyitkan dahi. "Kau harus tahu, akulah yang membuat semua puisinya!"

"O ya?" Gadis itu mendongak dengan wajah diseri-serikan (ah, aktingnya begitu sempurna). "Kalau begitu, aku alihkan rindu itu padamu." Mata celik itu berbinar. "Takkan ada yang mengalahkan rinduku ini."

"Ya. Tapi, mengapa kau memertanyakan kepulanganku, Julia? Bukankah kau telah mendapatiku di sini?"

"Aku memang mendapatkanmu, tapi...." Gadis itu bagai bergumam.

Tiba-tiba laki-laki itu terhenyak. Gulungan kertas di tangannya terjatuh. Terdengar bunyi senak dari kerongkongan.

Gadis itu berbalik arah. Membuka pintu. Menerobos hujan yang bergumul dengan halilintar.

"Tapi kau telah membuatku kehilangan rindu itu...." Kali ini ia bercakap pada langit yang marah.

Telah Seberapa Kuyup Kau oleh Puisiku?

Aku akan datang kelak, gumam laki-laki itu.

Pada malam yang sangat dulu, gadis yang hendak ia sunting itu ditelan hujan lagi. Ia tahu sekali. Ya, dulu, Julia takluk oleh hujan yang ia guyur dalam kata-kata.

Awalnya adalah mendung. Lalu rinai. Deras. Hujan pun makin rimbun. Renyai. Ia ingat sekali. Kala itu Julia menelepon. Gadis itu mengungkapkan betapa ia merindukan laki-laki puisi. Ia ingin pemuda itu membacakan beberapa puisi untuknya.

Laki-laki itu tahu betapa bengkak tagihan telepon yang akan dibayar bila ia penuhi permintaan itu. Maka, ia merubah suaranya se-Romeo mungkin.

"Tutup telepon ini, Sayang. Keluarlah. Hitung hujan satu-satu. Lalu, ceritakan padaku. Telah seberapa kuyup engkau oleh puisiku...."

Bakda itu, gadis itu tak pernah menghubunginya lagi.

Laki-laki itu tak pernah tahu kalau Julia terus memintal rindu. Berhelai-helai rindu. Lalu menjahitnya. Kadang memayetnya di beberapa bagian. Setiap hari ia selalu mengenakannya.

Gadis itu ketakutan sendiri bila hujan turun. Ya, itu pertanda Romeo akan menyerangnya dengan puisi yang bertubi-tubi. Namun, itu tak akan pernah menamatkan rindunya. Hingga, Romeo menelepon bahwa ia akan pulang. Ia bilang akan melucuti pakaiannya di malam pertama perjumpaan mereka setelah hampir setahun tak bertemu. Dan gadis itu merasa kematian akan segera menyambanginya. Hayat rindunya akan segera khatam.

"Oh, takkan ada yang boleh mencurinya, merebutnya, apalagi melepas rindu itu dari tubuh yang sudah bersekutu dengan waktu."

Pelukan Berdarah

Mereka bilang: ketika puisi dihadiahkan, maka penulisnya tak ada lagi. Namun, sepertinya tak berlaku bagi Romeo. Ya, bila Julia mengeja larik yang bertipografi itu, tiba-tiba lidahnya mati. Ia tak menemukan kata-kata di sana, selain wajah seseorang yang melemparnya ke masa lalu. Maka, gegas ia berharap agar hari ini bumi tak lagi mandi. Namun, permintaannya tertolak. Hujan menggila. Merajam bumi tak alang kepalang. Suara seng berkereokan. Ia mencangkung di sudut kamar. Selimut yang dieretnya dari ranjang, menutupi kakinya hingga sebatas lutut.

Ia tangkupkan kedua tangannya di kaca jendela yang mulai berkabut. Ia tatap jalan setapak yang meliuk di taman krisan dekat rumah. Meja bonggol-beringin itu sudah berlubang di sana-sini. Entah, ia bagai mendapati gelas kristal yang dulu pernah ia tinggalkan di sana, kini bertengger dekat salah satu kaki kursi yang terbuat dari anyaman damar yang sudah mencokelat. Ia serta merta mundur beberapa langkah ketika kilat tiba-tiba menyilaukan pandangan.

Pintu diketuk. Ia sibakkan gorden. Ia ambil sebilah pisau di dapur. Ia selipkan di pinggangnya. Ia gegas menyambut laki-laki itu. Laki-laki puisi, itu yang dia harapkan datang.

....

Ia peluk laki-laki itu. Erat sekali. Ia menangis. Menangis karena rindu tak tertanggungkan. Rindu tak tepermanai. Ia ingat sekali, bakda diboyong dari taman krisan satu tahun lalu, ia dikurung olehnya, laki-laki puisi palsu itu. Anehnya laki-laki itu meninggalkan nomor telepon Romeo untuknya.

"Aku dapat saja memisahkan kalian, namun cinta adalah keajaiban yang tak boleh dihentikan, bukan?" Ia terbahak-bahak seraya memberi kode agar para pengawalnya menyeret Romeo keluar.

O ya, laki-laki itu juga membayar para profesional untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan Julia. Dari satpam, tukang antar makanan, tukang cuci, hingga tukang rias. Dan kemarin, telah ia kirim semua orang bayaran itu bertamasya ke langit. Ia benar-benar yakin, hari ini mereka menangis hingga awan tak kuasa menampung air mata mereka. Ya, mereka hendak mengadu pada sang tuan yang kini dipeluknya.

Tak lama, Julia merenggangkan pelukan. Setelah bercakap sedikit, mata laki-laki itu membelalak. Terhenyak. Sebilah pisau telah tertancap di dadanya yang tak bidang itu.

Perempuan itu pergi. Menerobos hujan. Merayakan kematian Shakespear. Merayakan rindu yang takkan pernah mati.

Percakapan di Liang Lahat

Oh, bila kejadian ini disaksikan oleh orang-orang yang memuja mereka, pasti banyak yang terhenyak.

Bukan! Bukan karena Julia memaki-maki Romeo yang membawa setangkai bunga matahari. Bukan pula karena terlampau kasar cercaannya. Tapi.... Ah, nantilah kalian akan tahu sendiri. Ini adalah satu dari cerita yang tak pernah diumumkan.

Ialah ketika pemuda itu menanyakan mengapa Julia tak membalas puisi yang dikirimnya malam itu. Julia balik bertanya, bukahkah Shakespearlah yang menulis semuanya.

"Apalagi ia juga yang mengantarnya," lanjutnya. "Takkah kau tahu betapa aku membenci Shakespear, hah?! Aku benar-benar lelah terus berpura-pura mencintaimu, Romeo."

"Berpura-pura?"

"Ya. Kupikir kaulah laki-laki puisi itu." Julia melipat kedua tangannya di dada.

"Shakespeare juga telah meracuniku sebelumnya, Julia," wajah Romeo itu tiba-tiba sayu.

"Dan si tua bangka itu telah terlebih dahulu berkoar pada dunia, bahwa kita mati karena cinta yang sejati, sehidup semati!" Dada Julia turun naik meredam sesak.

"Malam itu," bibir Romeo bergetar, "Aku hanya ingin berbagi, Julia. Dan aku tak cukup lelaki untuk mengutarakannya tanpa basa-basi. Ya, aku berharap, puisi tak membuatku lemah sebagai kekasih."

"Ja... ja... ja... di," Julia gagu, "Benar puisi itu kau yang menulisnya, Romeo?"

Romeo mengangguk. "Tapi aku tak layak menjadi laki-laki puisi sebagaimana kau bayangkan."

Hening.

"Malam itu, Shakespear memintaku menulis puisi untukmu. Hanya puisi yang malam itu. Selebihnya karya Shakespear." Romeo jujur. "Yang menyambut teleponmu di malam ketika kau merinduiku, pun Shakespeare..." Romeo tertunduk.

"Sudahlah. Kalaupun kau benar mencintaiku, tak demikian dengan aku. Mungkin bila kita diberi waktu hidup lebih lama, dunia akan tahu bahwa kita hanya diperbudak pengarang hebat itu untuk saling memuja."(*)

Lubuklinggau, 09 Februari 2010

Benny Arnas, lahir di Ulak Surung, kampung di utara Lubuklinggau, 08 Mei 1983. Meraih Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman