Sastra Lampung Post

Minggu, 13 September 2009

Sajak-sajak Triyanto Triwikromo

KOMPAS,Minggu, 13 September 2009 | 04:53 WIB

Tersina Pembakaran Sinta


1

Aku ingin menjadi abu

dari arang yang kaubakar

dengan amarahmu, Ibu

Aku ingin jadi ibu

bagi api Rama

yang menghanguskan kesetiaanku

Tapi hujan begitu cepat menghapus gigitan cinta Rahwana di leherku. Hujan begitu cepat menenggelamkan kenangan indah percakapan rahasiaku dengan ular-ular kencana yang menjulur-julur di pohon angsoka itu

Jadi bagaimana aku akan moksa sebagai angsa jelita bagaimana aku lahir kembali sebagai ikan bersirip merah di kegaiban telaga bagaimana aku menjelma sabda yang menetas di

bulir-bulir padi dari sawah tanpa lintah tanpa hama

2

Bukankah bagimu aku hanya kayu lapuk, Ibu

Bukankah aku bagimu hanya wajah remuk

yang kausembunyikan dalam peti rahasia di ladang kering itu

Maka jangan harap aku mengenal wajahmu

dalam kabut asap pembakaranku

jangan harap aku mengenalmu sebagai anjing buntung atau kera bermata biru

Jangan harap aku mengenalmu sebagai surga

sejak raja janaka memungutku

dari rahim semestamu

3

Dan hujan api itu, Ibu

hujan api itu tak hendak menjilat bibir ranumku tak hendak memanaskan gelegak berahi suciku pada Rama—menantu pengecut kesayanganmu

Dan setelah pembakaran itu sembunyikan lagi aku ke dalam tanah terbelah

surga yang tak pernah dijamah oleh raksasa santun

dan ksatria pengecut yang selalu kaupuja itu

Dan kelak, katakan kepada cucu-cucumu:

kau memang tak pernah mengenal Sinta kau memang tak pernah mengenal kisah kesetiaan seekor angsa pada keheningan telaga

maka aku ingin menjadi abu

dari arang yang kaubakar

dengan amarahmu, Ibu

Aku ingin jadi ibu

bagi api Rama

yang menghanguskan kesetiaanku. Aku ingin...

2009



Surga Kunjarakarna


1

Dengan restumu, ya Wairocana

izinkan aku meninggalkan

wujud raksasaku

2

“Hanya dengan bertemu Yamadipati, Anakku

taringmu akan tanggal dari nafsumu.”

Aku telah sampai

di pintu neraka, ya Wairocana

aku telah bertemu

dengan Kalagupta dan Niskala

di mana Betara Yama?

“Ia ada di matamu

menyusuplah engkau

di relung gelap mata

yang tak teraba itu.”

3

Aku telah sampai di Lohabhumipattana

Aku telah sampai di Kerajaan Besi

“Telah kaulihat pohon-pohon berdahan pedang?”

Telah kulihat gunung berpintu besi

“Telah kaulihat burung-burung bersayap golok-golok tajam?”

Telah kulihat roh-roh manusia dihajar oleh Panglima Kingkaras

“Telah kaulihat wajahmu yang remuk disayat pisau-pisau ganas?”

Tak kulihat wajahku di antara harum bangkai berselimut daun talas

4

“Atas restu Betara Yama

belajarlah memahami makna sunyi

di surga, ya Kunjarakarna.”

Tak ada sunyi

di sini

ya, Wairocana

Tak ada suwung

Tak ada gunung

“Tidakkah kaulihat si kaya Purnawijaya disiksa?”

Tidak kulihat siapa pun dihajar gada

“Kalau begitu matamu lamur

kalau begitu matamu buta.”

Aku hanya menatap seorang penderma

disiksa di dalam tempayan berisi darah mendidih

menjerit-jerit sepanjang masa

“Itulah Purnawijaya. Tidakkah kaulihat wajahmu

dan wajahnya serupa?”

Tak kulihat apa pun yang serupa

aku melihat teratai permata

berenang-renang di telaga jelita

5

“Apakah kau merasa bahagia?”

Aku merasa tinggal di sebuah gua penuh ular berbisa

“Apakah kau merasa tersiksa?”

Aku merasa tidur di taman bunga penuh rama-rama

“Kalau begitu kau belum merasakan surga

kalau begitu kau belum mencicipi anggur nirwana.”

6

Seperti apakah nirwana?

“Seperti Kunjarakarna yang tak pernah kehilangan Betara Yama.”

Seperti apakah surga?

“Seperti Amba yang tak pernah kehilangan Bisma.”

Seperti api penuh cahaya?

“Seperti langit penuh bianglala.”

7

Jika aku penuh cahaya

surgakah aku?

“Karena kau telah tinggal di surga

engkau adalah surga bagimu.”

8

Maka dengan restumu, ya Wairocana

izinkan aku kembali

ke wujud raksasaku

“Engkau telah di surga keabadian, Anakku

kau tak bisa kembali ke dunia remukmu.”

Tidak, Wairocana

aku tak ingin tinggal

di surgamu

Aku hanya ingin memahami sonya suwungmu

aku hanya ingin kembali

ke dunia remukku

2009

Triyanto Triwikromo, selain menggubah puisi, banyak menulis cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan mengajar penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang. Kumpulan kisah lirisnya, Pertempuran Rahasia, akan segera terbit.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman