Koran Tempo, 27 Juni 2010
HAL-HAL YANG AKAN IA YAKINKAN
tak ada badan, jelmaan yang merubuhkan tulang, di
sebuah lubang, sewaktu ia tak peduli dengan pulang. tak
ada rumah, dinding yang dibatasi perpisahan, saat dua lambai
lemah mengukuhkan ingatan. tak ada kenangan, di bantal
air mata yang menyembunyikan pertengkaran, ketika kalimatnya
memimpikan getar. tak ada kebisuan yang menggerakkan
isyarat, di sentuhan tuhan, sewaktu tahun-tahun saling jauh-
berjauhan. tak ada ruang, tak ada waktu yang mengambang,
di sisa angkasa, saat cahaya meluncur ke dalam umur. tak
ada masa meski ia telah tua, di antara banyak angka,
ketika ia menghitung jumlah badannya
Padang, 2010
RAHANG
hanya kunyah
dan kenyang mencoba
menarikmu dari kejang.
luar dan dalam pedas
melepas decas. sedangkan
decak nikmatku seperti kawat
yang lamat-lamat melumat
karat. sebatang terkerat
sebilah lagi jadi sekarat. tapi
aku bersikeras menahan serat
cicipan yang disisipkan ke
lubang gigitan. serat yang berkilau
barangkali. hanya kunyah,
setiap hari yang payah,
setiap pagi yang renyah,
berupaya menerkammu dari
perburuan. sehingga aku
takut mengejarmu sampai
ke sarang. hanya kunyah
yang tak hentinya bertanya
perihal suapan: suapan
puasa. hanya kunyah
yang kau percaya karena
aku puas menganga
untuk dagingmu
yang merah
Padang, 2010
RUMAH-RUMAH WAKTU
lampu merah
mungkin makin tinggi kaki ini setelah kautebas.
simpang jalan melintas-lintas. di sana, para pekerja
terlambat lewat ketika melompat dari jam pintas. adakah
dari mereka yang menjinjing sekantong penat dari
swalayan terdekat?
perhatikan. mata tanda tampak seredup kabut. aku
berhenti untukmu: tak mengerjapkan isyarat yang sekerat.
aku hanya sebatang kata yang ditanam di jalanmu untuk
mengeja, saat lidah menjulurkan pergi. entah menuju
simpang pemberhentian yang mana lagi
halte
kau dan aku selalu menjadi orang baru atau orang asing
yang bangkit dari usia masa yang lain. kau keluarkan bayang-
bayang matahari: condong ke kiri. bayang itu mampu juga
menghitamkan tubuhku
kau hendak menumpang, wahai penampung kepulangan?
sudahlah, aku tak mau mengenalmu dengan keteduhan sebab
seorang asing hanya menunggu hujan meredakanmu dari deru
bus kota yang tersesat
bus kota
baik-baik engkau naik. bila kaudaki berkali-kali, tertinggal
endap malam penuh dendam bergidik, dalam lelap
sopir terakhir
Padang, 2010
Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Giat di Komunitas Ruangsempit dan Teater Noktah di Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar