Sastra Lampung Post

Sabtu, 26 Juni 2010

Sajak Rio Fitra SY

Koran Tempo, 27 Juni 2010

HAL-HAL YANG AKAN IA YAKINKAN

tak ada badan, jelmaan yang merubuhkan tulang, di

sebuah lubang, sewaktu ia tak peduli dengan pulang. tak

ada rumah, dinding yang dibatasi perpisahan, saat dua lambai

lemah mengukuhkan ingatan. tak ada kenangan, di bantal

air mata yang menyembunyikan pertengkaran, ketika kalimatnya

memimpikan getar. tak ada kebisuan yang menggerakkan

isyarat, di sentuhan tuhan, sewaktu tahun-tahun saling jauh-

berjauhan. tak ada ruang, tak ada waktu yang mengambang,

di sisa angkasa, saat cahaya meluncur ke dalam umur. tak

ada masa meski ia telah tua, di antara banyak angka,

ketika ia menghitung jumlah badannya

Padang, 2010

RAHANG

hanya kunyah

dan kenyang mencoba

menarikmu dari kejang.

luar dan dalam pedas

melepas decas. sedangkan

decak nikmatku seperti kawat

yang lamat-lamat melumat

karat. sebatang terkerat

sebilah lagi jadi sekarat. tapi

aku bersikeras menahan serat

cicipan yang disisipkan ke

lubang gigitan. serat yang berkilau

barangkali. hanya kunyah,

setiap hari yang payah,

setiap pagi yang renyah,

berupaya menerkammu dari

perburuan. sehingga aku

takut mengejarmu sampai

ke sarang. hanya kunyah

yang tak hentinya bertanya

perihal suapan: suapan

puasa. hanya kunyah

yang kau percaya karena

aku puas menganga

untuk dagingmu

yang merah

Padang, 2010

RUMAH-RUMAH WAKTU

lampu merah

mungkin makin tinggi kaki ini setelah kautebas.

simpang jalan melintas-lintas. di sana, para pekerja

terlambat lewat ketika melompat dari jam pintas. adakah

dari mereka yang menjinjing sekantong penat dari

swalayan terdekat?

perhatikan. mata tanda tampak seredup kabut. aku

berhenti untukmu: tak mengerjapkan isyarat yang sekerat.

aku hanya sebatang kata yang ditanam di jalanmu untuk

mengeja, saat lidah menjulurkan pergi. entah menuju

simpang pemberhentian yang mana lagi

halte

kau dan aku selalu menjadi orang baru atau orang asing

yang bangkit dari usia masa yang lain. kau keluarkan bayang-

bayang matahari: condong ke kiri. bayang itu mampu juga

menghitamkan tubuhku

kau hendak menumpang, wahai penampung kepulangan?

sudahlah, aku tak mau mengenalmu dengan keteduhan sebab

seorang asing hanya menunggu hujan meredakanmu dari deru

bus kota yang tersesat

bus kota

baik-baik engkau naik. bila kaudaki berkali-kali, tertinggal

endap malam penuh dendam bergidik, dalam lelap

sopir terakhir

Padang, 2010

Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Giat di Komunitas Ruangsempit dan Teater Noktah di Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman