Sastra Lampung Post

Sabtu, 07 Februari 2009

Sajak Wahyu Heriyadi

Minggu, 8 Februari 2009

SENI BUDAYA

Kau Merasakan dengan Radio yang Dendam


kau merasakan hal yang sama

seperti radio yang tak bersuara

terdengar gemerisik dan mengusik

hujan rintik mencekik

kau merasakan hal yang sama

sejak dongeng itu kau matikan di radio

dan lagu selalu sendu bersama mimpi buruk

tentang kenangan yang bertekuk dan takluk

seperti radio dengan nyeri di dada

lalu menyelam luka

dan gemerisik di gelombang yang lampau

kau merasakan hal yang sama

sejak kenangan mengudara

di sepanjang ingatan tentang kepulangan yang tertunda

tak ada tempat di ruangan ini

rumah-rumah penuh sesak

dan sisa sarapan yang masih berserakan

senyum dan tangis itu masih padamu

dan menyelinap ke dalam lampu-lampu

kau merasakan hal yang sama

sejak radio itu tak berguna

seperti kenangan yang menghapus ingatan

lampu menelan malam

perbincangan tentang kegelisahan semakin padam

dan di lemari tak ada apapun

lalu kuhujam lalu kutikam

seperti radio yang tak ada

seperti juga ingatanmu yang pulang

kau merasakan hal yang sama

sementara tangisan tak kunjung reda

Memendam Jeritan

ketika listrik mati

kau aku saling membuka tubuh

tv seperti museum saat itu

hening dan menangis sendiri

suara jam bangkit dari masa lalu

yang terkubur dan tidur

aku memagut lutut

seperti mengecup kopi

yang rapi sedari taplak

kata-kata

ada sepenggal prosa yang lenyap

dari lorong-lorong kota

dan teriakan kehilangan

tak ada berita tentang tubuhmu

hingga lelap ke dalam

prasasti yang memendam pesan

lalu kau aku menyimpan candu

yang ragu untuk dilagu

sunyi di tepian koran

berpendaran

sebelum mengenal pagi, aku listrik mati

datang dari sungai yang nyeri

ah sungai, aku seperti uap yang pengap

dari perutnya mendekap dan terperangkap

aku belum terbiasa mengupas tubuhmu

tertera awan yang ribut dan kisut

lalu gugusan kata meronta

dari bunga-bunga yang sasar di pusar

kau retak dibakar seumpama tembikar

bergetar sepanjang kelakar

pada tubuhnya yang sekering hening

Suara Tikam

masih berbayang

saat suara tikam memanjang

aku seperti menelusuri sepi diri

dengan deraan kenang di badan

lengguh hujan di jembatan layang

menyusun keping ingatan yang terbang

aku masih menyimpan keramaian

dan tetumbuhan kedai

sedang dari bibirmu

yang sama pada kecupan paling nyeri

menetes tangis

ucapan tentang kota

ringan berhembus

menembus jauh dan riuh

gedung di tubuhku sedang merancang

sendiri

membangun sepi yang lain

terdiri dari kata yang terkelupas

di tembok yang tak ramai

pertunjukan yang paling sesak

dan mengubur mimpi

seperti tikaman yang lain

yang muncul dari muasal

suara

Ilusi Menetes

dari gelisahnya yang padam

melinting ingatan yang bunting

pada buncahan karang di toko sebrang

aku sedang menyeleksi kenangan

disimpan dalam lipatan duka

kugarap dengan perih yang luap

dari lukanya yang panjang

sodetan ilusi mengerang

pada teriakan

--teriakan dengan mata pejam

merendam terpendam

kisah yang terbenam--

masih rendam nafasku dihujam

dari serpihannya

------------

Wahyu Heriyadi, lahir di Ciamis tahun 1983. Lulusan Universitas Lampung. Maret-Mei 2008 mendapatkan beasiswa untuk mengikuti Bengkel Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Puisi-puisinya termuat di berbagai media dan antologi bersama.

Sajak Ari Pahala Hutabarat

Minggu, 8 Februari 2009

SENI BUDAYA


teluh

siapa yang tahu usia detak jam usia alir sungai usia gerimis

ambai usia hambar percintaan siapa yang tahu

mungkin kau tahu kenapa terjerat kepada hasrat terpilin akar

tersipu lezat terpukau kepada sesuatu yang disebut kedalaman

siapa yang tahu usia lama keluh usia kering luka usia sisa

dusta usia kelam cuaca siapa yang tahu

karena kau tipu aku dalam wangi tanpa rupa dalam lengang

tanpa damba dalam hening tanpa doa dalam alpa tanpa nama

siapa yang tahu kapan kan sampai detak degup debur

debar karena deru usia tak tertebak usai

mungkin kau tahu karena tak henti kau mengaku ibu kau

mengaku madu saat kau menyelinap di khusuk subuh

siapa yang tahu jika subuh itu kau akan mengetuk pintuku

mengetuk kepala dan jantungku mengetuk lamun kutukku

karena kau datang tiba-tiba membelit tiba-tiba meresap

tiba-tiba menjerat merayuku untuk karam dalam pesona

siapa yang tahu jika kau kan meminta memaksa

dan bertanya berapa sudah usia darah

yang bertahun sembunyi di tubuhku dan di subuh ini akan kau

serut dan kau kembalikan ke Bapak waktu

siapa yang tahu umur waktu--karena sebelum sempat

mengetuk pintuku kau telah kutebas dan kulempar ke laut jauh

yang aku tahu kau begitu nyata di dagingku

mendekam, menggengam teluh

1/4/08

mata
: sidi 

di bening bayang mata bayiku

kulihat wajah

seperti subuh

yang malu-malu

menghapus lukanya sendiri

dengan pagi

di bening bayang mata bayiku

kulihat wajah

seperti senja

yang ragu-ragu

menoreh lukanya sendiri

dengan malam

di bening bayang mata bayiku

kulihat kusam bayang mataku

mencari-cari bayang mataMu

di bening bayang mata bayiku

kulihat sangsi bayang mataku

menatap tajam ke kelam mataMu

bayangMukah

yang terbayang olehku

di bening mata bayiku?

2008

sepupu


kunjungi aku sekali waktu. kita sudah lama kenal.

telah banyak kau potret pantai dan muslihat yang dibuat

raksasa untuk menjebak musafir agar terdampar. sekarang

adalah saat yang tepat kau menjengukku.

jangan lupa bawa oleh-oleh. sekadar durian juga boleh.

dua-tiga tangkai hujan, keringat jakarta yang mempesona,

atau tanah keramat dari ujung sibolga

menginaplah di rumahku sekali waktu. agar kau kenal; betapa

ibu—alamat tetap yang dititip tuhan ke dalam tubuh

telah amat rindu padamu

bau subuh yang menempel di kerumun bambu

ziarahi muaraku . aku menunggu. bawalah lampu,

dan foto copy silsilah yang telah kau bingkai,

serta perkenalkan calon istrimu.

"dia wartawan—ingin meliput berapa jumlah kampung

di lampung yang terbakar. Sekalian—ia ingin memotret gajah."

katamu

"pacarmu cantik. harum hadramaut. matanya sekhusuk subuh"

"tapi maaf, kami tak bisa bermalam di rumah. banyak kepinding

katanya."

tak apa. kau sudah datang, bagiku adalah berkah.

betapa tak sia-sia darah menjadi muasal muara

muara yang kini mongering dan renta seperti rumah

rumah bagi nubuat yang pecah

kunjungi aku sekali waktu. biar sampai hilir sungaimu

ke hulu jantungku

2008

Kebun

lugu. kau mencari akar buahmu. kau mencari hulu sungaimu

kau mencari jantung patungmu. kau mencari lubuk lautmu. lugu

mengapa pula kau duga rumah akar rumah hulu rumah jantung

rumah lubuk akan mengantar kau ke dalam kamarku

mengapa pula kau sasar setiap batas seperti pantai seperti muara

seperti senja seperti tua hanya untuk sampai padaku. lucu

pernah kau idam buah tapi kau lupa betapa akar mengasuh batang

betapa batang mengasuh dahan betapa dahan mengasuh ranting,

daun, dan bebungaan. seperti pernah kau selam lubuk tapi kau lupa

betapa buih betapa ombak cumalah bayang dari yang diam di kedalaman

seperti pernah kau rindu jantung tapi melulu lidah melulu mata

kau manjakan. hingga kerap putus darimu akar-muasal,

--di mana kau tumbuh, menyeruak, menghiba ketinggian.

menyelamlah. tak apa jika kau diam. pecahkan jam.

di ramah tanahtak butuh kau alamat.

nama-mendadak luka.

2008

------------

Ari Pahala Hutabarat, berkhidmat di Komunitas Berkat Yakin, Lampung, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Heru J.P.

Koran Tempo

8 Februari 2009

SARAPAN

Begitulah aku sarapan. Menerima masakan 
dari pedalaman cintamu. Kuhembuskan decas 
dalam pedasnya. Kau tak tahu 
sampai kapan akan kukenyangkan puisi-puisiku 

Mungkin sampai kumuntahkan sendatan 
bahasa yang belum terucap lancar kepadamu 

2008 

PUISI UNTUK KEKASIH 

Boleh kausebut bukan puisi 
sebab kata-katanya tak berjanji 
menyepakati kalimat yang dicari 

Boleh kausebut bukan puisi 
sebab kata-katanya belum kaumiliki 
Tapi dalam diriku ada yang menanti 
dirimu menjadi kalimat-kalimat sendiri 

2008 

TERBANGUN TENGAH MALAM SETELAH BERMIMPI MENJADI KEDUA MATAMU 

Apa yang paling dalam di bumi ini, katamu. Sungguh aku tak tahu. Bagiku sejauh apa mata memandang itulah yang paling dalam dan barangkali itu pula yang paling dangkal. Adakah yang lebih dalam dari jurang, katamu. Sungguh bukan begitu. Bumi ini begitu dalam, takkan pernah kaulihat dasarnya. Mataku atau matamu hanya sanggup melihat sebatas jurang. Jauh setelah jurang entah apa namanya, entah dengan apa melihatnya, entah dengan apa ke sana: aku teringat air terjun yang hendak membawa jurang ke dasar bumi dan mereka tak kunjung kembali, meski entah berapa sungai mencoba mengikuti. 

2008 

KEPOMPONG 

Maukah kau membentangkan hamparan di tubuhku? 
Hamparan yang melantaikan badanku. Aku ingin 
melepas selaput di kulit diriku. 

Selaput apa yang kaubentangkan di tubuhku? 
Tampak seperti keriput; bagai kepompong 
membalut kusut. 

Kepompong yang entah kapan berhenti merajut tubuhku. 

2007 

Heru J.P. lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh. Ia belajar dan tinggal di kota kelahirannya.

Sajak-sajak A Muttaqin

Koran Kompas

Minggu, 8 Februari 2009 | 00:50 WIB 


Mengayak Dedak

Telah kujaga rindumu, supaya kau tetap tampak baka, tampak bahagia. Musim telah berubah. Bunga berganti buah, dan aku tak ingin kau jadi sampah, seperti daun yang terayun untuk kemudian terjun, melambai lembut ke ubun.

Mari sebentar tertegun. Biarlah pohon sukun ini menjadi saksi, bahwa matahari tak akan mengembalikan tai jadi nasi.

Maka, tak guna lagi kau bersembunyi. Keluarlah dari gerumbul mahoni, dan lihatlah

betapa sayap ini telah jadi rerumbai.

Kita sama tahu,

padi dan duli telah pergi. Juga sang Sri yang suka mengirim benih mimpi setengah tahun sekali.

Semalam aku terbangun. Seperti ada yang mengucap salam dalam tidurku. Suaranya mirip suaramu: sang geluduk yang sering menyeruduk tidurku. Tapi bukan. Ternyata, sepi telah pandai menirukanmu.

Atau, kau memang telah bersekutu dengan sepi, sebagaimana kata-kata ini, yang tak juga menemu beras putihmu walau separuh lidah-lalangku telah jadi debu. Sebagaimana pasangan kekunang itu, yang tak mungkin kembali bersarang di kedua kubu mataku.

(2008)

 

Timbangan Tumbang

Aku mengenalmu sebagai hujan. Di kedalaman tidurku, lentik jemarimu menjelma pelangi,

melambai, rinai, seperti kerlip mata kekasih. Menjelma telaga, ketika

dahagaku tak terkira.

Menjelma serumpun embun, jika sang surya merucut dari ubun. Menjelma daun?

Tidak.

Kurasa, akan enggan hujan menjelma daun, walau butiran hujan menyimpan bibit lumut nan tambun.

Daun sering iri pada sungai, pada pelangi, pun pada bayangannya sendiri.

Sedang hujan adalah rindu murni: oh, lebih murni dari kuncup mimpi, lebih damai

timbang jamur pagi, tempat duli-duli terbagi. Juga lebih lerai daripada airmataku ini,

sebab ia penawar gemuruh seluas laut, menghitam, membubung,

dalam selubung yang lalu kausebut mendung, di mana tenung-tenung terpalung.

(2008)

 

Kilas Keladi

Bisa jadi

cintakulah yang tak kau mengerti

keningmu bening

terlalu bening

hingga tak kuasa aku melihatmu

kemuning oleh seranai serbuk matahari:

serbuk yang mengaduk umbiku

dari dasar mimpi

sampai

di suatu pagi tinggi

kugelindingkan kau

dari pipiku hening

seperti airmata sang dewa

atau

malah mungkin airmataku sendiri

yang menitis dari sumsum Sepi.

(2008)

 

Rima Rumi

Sehelai mukena terkulai di lembar sepi, seperti hati yang sedih dan memutih.

Hanya senoktah darah nan mawar dan segar tergelar

Hanya seekor kelelawar yang hinggap dengan sayup sayap terbakar, seperti terbakarnya tangan dan kaki penari perawan, yang membuncah

di subuh buta,

di sekuntum purnama yang mulai ditinggal bubar kunang-kunang sorga.

(2008)

 

Siput Terlembut

Berjalan dengan pelan dan basah, aku mengerti indungnya cinta. Biarkan aku merambat, menghapus sisa jejak sang pongah dengan getah purba atau mengalun ringan bersama irama bunga-bunga. Aku tak mau seperti kuda,

apalagi meniru burung onta

yang bermimpi tentang terbang, sambil menyembunyikan kepala. Aku hanya berusaha sesabar kura-kura. Menunggu basah turun ke tanah, sembari menemani biji-biji yang lelah, tak berdaya.

(2008)

 

Keroncong Polong

Alangkah indah menjadi buta. Di mata dalamku

hanya gemerisik bunga-bunga. Dan tak perlu

aku meniru lelaku kupu untuk sampai padamu.

Sejak dulu aku hanya ulat beku. Sejak dulu.

Semenjak langit belum biru dan tuhan memulai

segala dengan batu. Lalu, rumpun rumput batu

tumbuh di antara bunga batu. Dan kau mulai

memanggilku buah batu: buah yang tumbuh

searah mimpi dan kukumu. Begitu sederhana.

Juga tak menggugah. Hingga kau lupa, mungkin

tak sampai kira, bahwa setiap malam aku

tengadah, merapal doa. Lalu, lewat pohon yang

sederhana, aku merambat ke langit coklat tua,

mencuri satu biji yang berdegup hijau, seperti

kembaran yang selalu dipanggili jantungmu.

Namun, pas selepas itu, bunga-bunga di langit

menangis. Hingga langit yang semula coklat tua

pelan-perlahan jadi bening. Ranting, cacing, dan

segala kesuburan yang terbaring di atas sana

pun malap menatapku. Begitulah. Dan begitu

saja mereka lalu kontan menipahku. Konon,

bersamanya jatuh juga pasangan pengantin baru.

Dan aku pun terkutuk, membeku, bersama

tumbuh dan sepentil hijau yang telah kucuri itu.

(2008)

 

A Muttaqin lahir 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Anggota Komunitas Rabo Sore, Surabaya.

Sajak-sajak A Muttaqin

Koran Kompas

Minggu, 8 Februari 2009 | 00:50 WIB 


Mengayak Dedak

Telah kujaga rindumu, supaya kau tetap tampak baka, tampak bahagia. Musim telah berubah. Bunga berganti buah, dan aku tak ingin kau jadi sampah, seperti daun yang terayun untuk kemudian terjun, melambai lembut ke ubun.

Mari sebentar tertegun. Biarlah pohon sukun ini menjadi saksi, bahwa matahari tak akan mengembalikan tai jadi nasi.

Maka, tak guna lagi kau bersembunyi. Keluarlah dari gerumbul mahoni, dan lihatlah

betapa sayap ini telah jadi rerumbai.

Kita sama tahu,

padi dan duli telah pergi. Juga sang Sri yang suka mengirim benih mimpi setengah tahun sekali.

Semalam aku terbangun. Seperti ada yang mengucap salam dalam tidurku. Suaranya mirip suaramu: sang geluduk yang sering menyeruduk tidurku. Tapi bukan. Ternyata, sepi telah pandai menirukanmu.

Atau, kau memang telah bersekutu dengan sepi, sebagaimana kata-kata ini, yang tak juga menemu beras putihmu walau separuh lidah-lalangku telah jadi debu. Sebagaimana pasangan kekunang itu, yang tak mungkin kembali bersarang di kedua kubu mataku.

(2008)

 

Timbangan Tumbang

Aku mengenalmu sebagai hujan. Di kedalaman tidurku, lentik jemarimu menjelma pelangi,

melambai, rinai, seperti kerlip mata kekasih. Menjelma telaga, ketika

dahagaku tak terkira.

Menjelma serumpun embun, jika sang surya merucut dari ubun. Menjelma daun?

Tidak.

Kurasa, akan enggan hujan menjelma daun, walau butiran hujan menyimpan bibit lumut nan tambun.

Daun sering iri pada sungai, pada pelangi, pun pada bayangannya sendiri.

Sedang hujan adalah rindu murni: oh, lebih murni dari kuncup mimpi, lebih damai

timbang jamur pagi, tempat duli-duli terbagi. Juga lebih lerai daripada airmataku ini,

sebab ia penawar gemuruh seluas laut, menghitam, membubung,

dalam selubung yang lalu kausebut mendung, di mana tenung-tenung terpalung.

(2008)

 

Kilas Keladi

Bisa jadi

cintakulah yang tak kau mengerti

keningmu bening

terlalu bening

hingga tak kuasa aku melihatmu

kemuning oleh seranai serbuk matahari:

serbuk yang mengaduk umbiku

dari dasar mimpi

sampai

di suatu pagi tinggi

kugelindingkan kau

dari pipiku hening

seperti airmata sang dewa

atau

malah mungkin airmataku sendiri

yang menitis dari sumsum Sepi.

(2008)

 

Rima Rumi

Sehelai mukena terkulai di lembar sepi, seperti hati yang sedih dan memutih.

Hanya senoktah darah nan mawar dan segar tergelar

Hanya seekor kelelawar yang hinggap dengan sayup sayap terbakar, seperti terbakarnya tangan dan kaki penari perawan, yang membuncah

di subuh buta,

di sekuntum purnama yang mulai ditinggal bubar kunang-kunang sorga.

(2008)

 

Siput Terlembut

Berjalan dengan pelan dan basah, aku mengerti indungnya cinta. Biarkan aku merambat, menghapus sisa jejak sang pongah dengan getah purba atau mengalun ringan bersama irama bunga-bunga. Aku tak mau seperti kuda,

apalagi meniru burung onta

yang bermimpi tentang terbang, sambil menyembunyikan kepala. Aku hanya berusaha sesabar kura-kura. Menunggu basah turun ke tanah, sembari menemani biji-biji yang lelah, tak berdaya.

(2008)

 

Keroncong Polong

Alangkah indah menjadi buta. Di mata dalamku

hanya gemerisik bunga-bunga. Dan tak perlu

aku meniru lelaku kupu untuk sampai padamu.

Sejak dulu aku hanya ulat beku. Sejak dulu.

Semenjak langit belum biru dan tuhan memulai

segala dengan batu. Lalu, rumpun rumput batu

tumbuh di antara bunga batu. Dan kau mulai

memanggilku buah batu: buah yang tumbuh

searah mimpi dan kukumu. Begitu sederhana.

Juga tak menggugah. Hingga kau lupa, mungkin

tak sampai kira, bahwa setiap malam aku

tengadah, merapal doa. Lalu, lewat pohon yang

sederhana, aku merambat ke langit coklat tua,

mencuri satu biji yang berdegup hijau, seperti

kembaran yang selalu dipanggili jantungmu.

Namun, pas selepas itu, bunga-bunga di langit

menangis. Hingga langit yang semula coklat tua

pelan-perlahan jadi bening. Ranting, cacing, dan

segala kesuburan yang terbaring di atas sana

pun malap menatapku. Begitulah. Dan begitu

saja mereka lalu kontan menipahku. Konon,

bersamanya jatuh juga pasangan pengantin baru.

Dan aku pun terkutuk, membeku, bersama

tumbuh dan sepentil hijau yang telah kucuri itu.

(2008)

 

A Muttaqin lahir 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Anggota Komunitas Rabo Sore, Surabaya.

Kamis, 05 Februari 2009

Cerpen Budi P. Hatees

Minggu, 4 Januari 2009

SENI BUDAYA

Kleptomania

AKU mendapatinya telah tergelatak tak bernyawa. Tubuhnya penuh luka yang mengeluarkan darah. Aku tertuduk di sampingnya. Tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak tahu. Ah, sejak awal aku sudah membayangkan semua yang kini menimpanya akan menimpanya pada suatu saat. Dan aku tak berharap hal itu terjadi, maka aku usahakan agar ia berubah. Tapi. Ia tidak pernah berubah. Semakin hari, penyakitnya semakin parah.

***

IA tertunduk serupa takluk. Menyesalkah ia kali ini? Tidak. Ia tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Aku tahu persis. Seringkali ia seperti itu, apalagi kalau kejahatannya ketahuan. Orang seperti dirinya mudah betul mengakui kesalahan, menangis sebagai wujud penyesalan. Tetapi cuma di bibir. Dalam hatinya, ia pasti menertawakan betapa tololnya aku, sehingga bisa dipecundanginya berkali-kali.

Sebab itulah, ini kali aku tidak akan iba lagi padanya. "Aku tak bisa memaafkan perbuatanmu kali ini." Amarahku kupelihara. Dagunya semakin jatuh. "Kau harus menerima hukumanmu..."

Setelah mengatakan itu, mendadak aku bingung. Tak terpikir olehku hukuman seperti apa yang harus aku berikan. Apakah aku menghukumnya dengan tidak memenuhi semua keinginannya? Apakah aku menghukumnya dengan menolak memberikan apa yang dimintanya? Apa hal itu akan membuatnya jera dan tidak mengulangi kejahatannya lagi? Ahk...Aku tidak tahu. Aku malah berpkir tidak akan ada hukuman yang dapat membuatnya berubah. Semua jenis hukuman tidak akan berpengaruh apa pun.

Ia sangat bebal. Kejahatannya pun sudah keterlaluan. Setiap hari ia melakukannya, setiap hari pula aku mesti mengeluarkan uang untuk menganti rugi perbuatannya. Aku melakukan sambil menahan rasa malu dari gunjingan tetangga. Aku menjadi tidak punya muka, tidak berarti mengangkat kepala ketika bertatapan dengan orang. Karena semua mata mencibirku, mengejekku, dan... akh.

Apakah aku harus membawanya ke kantor polisi dan menyerahkan kepada petugas agar mereka yang memberinya pelajaran. Tapi, petugas-petugas itu akan menyakitinya. Itu sangat tak baik baginya. Lagi pula, bukankah akan terkesan keterlaluan. Apa kata orang nantinya? Aku, abangnya--satu-satunya saudara kandungnya--menyerahkan adik sendiri kepada polisi. Pasti akulah yang disalahkan: tidak bisa membimbing adik; tidak bisa. Ah! Orang-orang pasti menilaiku tak cakap sebagai abang. Orang-orang tahu ia seorang pencuri, tetapi orang-orang pasti tidak bisa menerima kalau ia kuserahkan kepada polisi.

Aku meliriknya. Ia masih menunduk. Semakin lama, semakin memelas wajahnya. Semakin aku tak tahan melihatnya. Semakin iba pula aku padanya. Tapi ia sudah keterlaluan. Aku pelihara terus amarahku. Sudah terlalu sering ia mencuri, dan setiap kali ulahnya ketahuan, ia akan mengaku bersalah. Biasanya aku memaafkannya. Tapi, lama-kelamaan sikap memaafkan itu justru membuatnya bertambah keterlaluan. Ia merasa aku sangat membelanya. Ia merasa sangat diperhatikan. Semua itu membuatnya besar kepala, sehingga tetap melakukan hal-hal yang tidak aku sukai.

Kali ini tidak ada maaf lagi. Kalau tidak aku hukum, ia akan semakin keterlaluan. Aku tak boleh lemah. Aku harus bisa bersikap keras. Apalagi, ah, masih terasa pedas di kupingku makian-makian Amani Borkat beberapa jam lalu, sebelum meninggalkan halaman rumah.

"Kau urus adikmu itu. Kalau tak bisa, biar aku yang urus. Tapi jangan salahkan kalau caraku mengurusnya akan mencengangkanmu."

***

IA, adikku, memang lahir bersama dengan ketidaksempurnaannya. Bukan pada kelengkapan fisik, tetapi pada kelengkapan mental. Sejak awal aku sudah tahu, tetapi kubiarkan saja. Aku kira kebiasaannya mengambil barang-barang orang hanya kenalakan biasa pada anak kecil. Kenalakan yang dapat berubah dengan segera jika ia sudah beranjak besar. Aku berpikir kelakuannya itu karena salahku; tak bisa membelikan barang-barang seperti yang dicurinya. Sebab itu, aku tak memarahinya. Karena itu, setiap kali ia membawa barang-barang baru ke dalam rumah, aku tanyakan dari mana ia memperolehnya.

"Aku pinjam," katanya.

Tapi, belum kering bibirnya yang mengatakan "aku pinjam", seseorang berteriak dari halaman rumah. "Hei pencuri, kembalikan barang aku."

Dugaanku ternyata keliru. Aku tak bisa mengawasinya setiap hari. Waktuku banyak habis di luar rumah, bekerja sebagai penjaga toko kelontong milik Koh Han. Setiap aku pergi, ia sendirian di rumah. Cuma kami penghuni rumah. Inilah salah satu sebab sehingga aku mudah sekali merasa iba kepadanya. Akulah satu-satunya kerabatnya. Aku menjadi ayah sekaligus ibu baginya. Akulah tempat ia merengek, bergantung, dan...

Ibu meninggal setelah melahirkannya. Kejadian itu kait-berkait dengan peristiwa sepekan sebelumnya. Ayah ditemukan mati di pasar, ditabrak sebuah truk dalam perjalanan menuju rumah dengan sepeda dayungnya yang membawa beberapa barang untuk dijual di warung kami. Kematian ayah yang begitu mendadak membuat ibu sangat terpukul. Ia begitu sedih sehingga mengabaikan kandungannya, di mana adikku saat itu sudah sembilan bulan, tinggal menunggu hari kelahiran. Ibu sering kupergoki sedang melamun. Rupanya, pada malam hari sebelum ayah meninggal, mereka bertengkar sangat hebat. Aku tidak tahu pertengkaran mereka, karena masih bekerja di pasar sebagai penjaga toko kelontong Koh Han. Mungkin pertengkaran itu sangat memengaruhi ayah sehingga ia melamun sewaktu menggoes sepedanya dan tidak menyadari ia telah berada di tengah-tengah jalan.

Tapi ibu menutup-nutupi kesedihannya. Ia pendam sendiri dan hal itu membuat mentalnya jadi lemah. Ketika ibu merasakan kandungannya akan lahir, pada saat itu pula ia diserang rasa sakit yang hebat pada dadanya. Malam hari ketika itu, untungnya aku baru saja pulang bekerja. Aku dengar rintih ibu, segera kubawa ia ke rumah sakit. Tapi…. Dokter di rumah sakit mengatakan ibu sudah meninggal sebelum anak dalam kandungannya lahir. Karena itu, dokter memeutuskan akan mengoperasi untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya. Itulah adikku, ia seorang kleptomania.

Sering aku pikir, ada kaitan antara kejadian yang dialami ibu saat mengandung dengan kebiasaan buruk yang diderita adikku. Tapi pikiran itu segera aku bantah. Kalau pun benar demikian, aku tidak perlu terlalu memikirkannya. Yang terpenting bagimana mengupayakan agar kebiasaan buruk adikku bisa sembuh.

Aku benar-benar bingung menghadapinya. Setiap hari, ada saja orang yang datang ke rumah meminta agar adikku mengembalikan barang mereka yang dicurinya. Masih untung mereka meminta dikembalikan. Ada juga yang minta ganti rugi dengan harga dua kali lipat. Bisa saja aku menolak memenuhi keinginan mereka, tetapi aku telanjur merasa malu kepada semua tetangga. Mungkin karena aku telanjur merasa malu, mungkin karena aku tidak ingin persoalan itu berlarut-larut, adikku merasa aku selalu membelanya. Barangkali ia berpikir, aku akan selalu membayar ganti rugi dari setiap benda milik orang yang dicurinya. Bukankah setelah ganti rugi itu tidak ada persoalan lagi. Ya, sampai ia mencuri lagi, lagi, dan lagi...

Ia mencuri barang-barang orang lain dan tidak merasa telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Mencuri baginya sama seperti tindakan lain seperti mengangkat air dari sumur ke dalam rumah, atau membersihkan piring sisa makan kami. Ketika aku memarahinya, ia diam saja. Ketika aku ingatkan kalau kelakuannya itu salah, terutama karena ia akan merugikan orang lain, ia tetap diam. Ketika aku diam, ia kembali mencuri.

Bukan tak ada usahaku untuk menyembuhkannya. Aku ajak ia berobat ke mana-mana. Mula-mula aku ajak ke dokter umum, tetapi dokter menyarankan agar aku membawanya konsultasi ke psikiater. Karena psikiater hanya ada di kota dan jarak ke sana sangat jauh, aku tidak membawanya ke psikiater mana pun. Akhirnya aku membawanya ke dukun. Oleh dukun ia diberi minum berbagai jenis obat, tetapi hal itu tidak membawa perubahan. Aku tidak puas dengan hanya satu dukun kemudian pergi ke dukun lain di kampung lain. Ada banyak dukun yang aku datangi, hasilnya tetap nihil. Ia bukannya sembuh, malah semakin menjadi-jadi.

Awalnya ia suka mengambil barang-barang kecil, belakangan ia mulai gemar mengumpulkan barang-barang besar. Tiba-tiba saja sebuah televisi sudah ada di rumah, pada saat lain sebuah radio muncul di atas meja. Terakhir, sebuah sepeda gunung sudah ada di belakang rumah. Itulah sepeda milik anak Amani Borkat. Bagiku ini keterlaluan, dan aku memarahinya habis-habisan begitu Amani Borkat pergi membawa sepeda gunung itu kembali.

Ia masih tertunduk. Aku masih bingung soal hukuman yang harus aku berikan. Segala jenis hukuman sudah aku berikan. Tinggal satu hal, menyerahkannya kepada polisi. Tapi, bukankah hal itu akan membuat kondisinya semakin parah? Bukankah ia akan merasa bahwa aku telah melakukan kejahatan terhadapnya? Bukankah ia akan membenciku karena pilihan hukuman itu? Bukankah...

Sesunguhnya aku sangat yakin kalau ia bisa sembuh. Tapi, soal kesembuhan itu sangat tergantung kepada dirinya. Ia harus bisa melawan semua keinginan untuk mencuri itu, begitu keinginan itu muncul. Ia harus keras terhadap dirinya sendiri. Cuma, ia tampaknya tidak mau keras terhadap diri sendiri. Ia tidak mau menekan keinginan mencuri itu agar tidak menguasai kesadarannya. Aku melihat ia malah sangat menyukainya. Ia biarkan keinginan mencuri itu menguasainya dan memerintahnya. Itulah yang sering aku sesalkan. "Kau harus melawan keinginan itu. Kau tidak boleh menurutinya," kataku.

Ia mengangguk. Aku berharap ia mau menuruti apa yang kukatakan. Tapi, hal itu pun tidak banyak berarti. Ia tetap saja mencuri. Setiap kali melakukannya, setiap kali membawa pulang suatu barang ke dalam rumah, ia terlihat sangat berbahagia. Kulit wajahnya selalu memerah dan tatapan matanya berbinar-binar.

***

"ADIKMU," teriak seorang tetanggaku ketika mendatangiku ke toko kelontongan Koh Han. "Mereka mereka mengeroyoknya."

Aku berlari menghampiri orang itu. Orang itu memberitahu kalau warga menangkap basahadikku sedang mencuri di rumah Toke Husin. Aku segera berlari ke arah yang disebutkan orang itu. Aku tak sadar dengan apa yang aku lakukan. Dan benar, segalanya sudah terlambat. Adikku terkapas di pinggir jalan, dikerubuki orang. Ketika aku datang, mereka menyingkir.

Semua orang memandangku ketika aku gendong mayatnya meninggalkan kerumunan. Aku tahu tidak seorang pun yang merasa iba, karena memang adikku sangat keterlaluan. Tapi, apakah orang sakit seperti dirinya harus mendapat perlakuan seperti ini; dibunuh dan dikeroyok beramai-ramai? Di mana letak kemanusiaan mereka? Aku hanya menangis dan menyesali kenapa hal ini harus terjadi. Kenapa pula aku tidak ada di sampingnya sehingga hal ini tidak usah terjadi. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengawasinya terus-menerus. Aku punya pekerjaan dan aku melakukanya untuk menghidupinya.

Budi P. Hatees, lahir 3 Juni 1972 di Sipirok, Sumatera Utara

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman