Sastra Lampung Post

Sabtu, 19 Juni 2010

Puisi A Muttaqin

Penangkapan

Di ranting garing, gelap merambat bagai sayap codot Mendekap buah. Buah-buah membuka mata. Segerumbul Anggur terpekur dari tidur. Segantang kunang terlepas, bagai Bulir emas. Seekor jengkrik mengiris sepi. Sepi merenggang, Dan apel-apel pun berlubang. Daun delima berbisik pada Angin. Angin memainkan lagu lembutnya. Tomat, pepaya, Dan pisang yang mulai matang jadi tak tenang. Sebutir apel Mengintip bulan, betapa merah dan menggoda ia--o, sisa Sorga yang tetap terjaga. Sebiji bintang yang bergelantung Tegang di sana, lalu lepas ke bawah. Sementara, Aku yang Menyaksikan itu semua, berdoa, seperti berharap Keberuntungan menetas dari seberkas senja.

2009

Panduan

Dengan kesabaran, kita putar kaki pelan-pelan. Dua kaki Berkitaran, seperti laku matahari dan bulan. Kita bersepeda, Mengikuti rima jalan. Biar jalan bergeronjal dan berbenjol, Tak apa. Mari kayuh dengan tabah. Dengan kekhusukan yang Nyata. Tak boleh curang kaki sebelah. Karena akan melukai Kaki sebelahnya. Juga mengingkari kaki kita semua. Tak Perlu tergesa. Karena akan berat sendiri. Jadi dibutuhkan kaki Yang kompak, seperti pribahasa tentang ringan dan berat. Sabar adalah kunci. Nikmati saja pemandangan sekitar: buah-Buah mangga yang sedang bertapa, kebun kelapa yang Menanti air sorga, atau sedap kamboja yang setiap malam Sampai ke ranjang kita. Kayuh terus. Dan santai saja. Itu jurus Membunuh bosan. Juga demi perut yang gampang gendut. Tak perlu gupuh ke jalan pulang. Semua jalan adalah pilihan. Tugas kita hanyalah jangan sampai sepeda tabrakan.

2010

Perlawanan

Kupakai jaket panjang, bertabur kunang-kunang. Kupadu Kaos kutang bergambar codot terbang. Celanaku cingkrang Bermotif ganja jarang. Kukalungkan ranting mawar di leherku Jenjang. Kulubangi hidung dan bibir, agar umang-umang Sesekali bisa mampir. Kutampung tawon dan laron yang tak Punya pohon, di dadaku yang monoton. Kupasang walang Garing dan kepinding di dua kuping. Darah meninggi. Hati Dan paru mekar. Dan nafas pun terdengar kembar, seperti Babi lapar yang diseret sepanjang pasar.

2009

Pelepasan

Datang ya angin. Leburkan segala ingin. Datang ya bulan. Balur sekujurku dengan kelembutan. Datang ya matahari. Ajari aku memberi dan membagi. Datang ya air. Mahirkan Aku mengalir dan mendesir. Datang ya kembang. Ajak Kumbang. Kupu juga. Juga ulat dan telurnya. Biar pada Mekar kekuncup habbah. Datang ya buah. Bawa bijimu. Biar Tumbuh di perutku. Hingga tak sendiri daun hatiku. Datang Ya burung. Tetaskan jantung. Setelah itu kita terbang. Tinggalkan usus yang tak kunjung lurus. Menyusul sepasang Mata yang telah jadi kupu kurus. Menyusul telinga yang Menjelma lelawa halus. Menyusul nafasku ungu ke daur Debu. Menempel di pucuk-pucuk wuku, di pohon-pohon Waktu.

2009
A Muttaqin lahir di Gresik, tinggal Surabaya.

Cerpen Cicilia ODAY

Solilokui Bunga Kemboja

Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:56 WIB


Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna gincu wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.

Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.

Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi.

Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku. Sempat kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda kodrat itu, sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu dengan panggilan ibu.

Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati ataupun benda hidup.

Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati bernama mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak menuju suatu tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya.

Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa tubuhnya memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan mengulangi kebiasaan yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola kegiatannya meskipun sebatas teras dan garasi itu saja.

Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia dirinya. Tak jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka. Percakapan yang diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan sebelum mencapai ruang tamu.

Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan lelaki itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil yang selalu ia tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari bercakap ditemani penganan dan secangkir teh.

”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata perempuan yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh ceking berjalan melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya.

”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya.

”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau dia benar-benar menatap kita.”

"Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.”



Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata para wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan teman-temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa kecewa yang hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa pernah sempatkan melirikku barang sekejap.

Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang kucintai. Atas kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak peduli berapa kali dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan memberiku pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya tetap tak bisa membantu. Aku telah kehilangan minat terhadap kehidupan.

Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut diriku yang tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras rumahnya turut merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama dukaku belum teratasi. Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya menatap iba kepada kami.



Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras menuju garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya sambil bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya. Tetapi kepada seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya disebabkan oleh sikap murung ibunya.

Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa dirinya tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris seluruh Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa, kelopak-kelopak bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk.

Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk menyerah dari hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya hiburan di masa menjelang pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si lelaki lebih menyayangi sang ibu daripada benda mati yang ia mandikan setiap pagi, walaupun tampak ia lebih besar menaruh perhatian padanya. Tetapi ia tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai diriku dan bunga-bunga Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri.



Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun menyaput sekujur kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil pagi. Tetapi pagi itu aku merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku bahkan mekar lebih lebar daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan pintu depan di ujung teras itu dibuka untuk pertama kali.

Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah yang selalu membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram tanaman di tangannya, dengan bekal semangat berniat memberi kami makan. Minggu-minggu terakhir betapa pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi kujamin pagi ini keputusanku menjadi mekar kembali dapat mengembalikan semangat yang sempat redup wanita bergincu itu.

Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi yang tampak olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang membalut tubuhnya nyaris sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai. Aku terus mengawasi wajah tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar keras, sehingga menyebabkan kelopak-kelopakku bergoyang.

Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik menuju pintu, berlari sepanjang ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu muncul lagi bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu melebar sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak kami secara bergantian.



”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu berkata. Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu. Keterkejutan di wajahnya berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan. Pelan bahunya lantas bergetar sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu mendekap tubuh ibunya, merapatkan kepala pada bidang dadanya.

”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu.

”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih yakin dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua kali lipat kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya membawa berlipat-lipat kebahagiaan bagi diriku.



Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai genta dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia dapat bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita bergincu yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya.

Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu. Mulailah pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak biasa.



Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku berdebar keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka, menyusul dirinya berjalan keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka pintu di samping jok penumpang. Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal mayang, berdiri di sampingnya.

Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan melintasi teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka berhenti. Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas tangan lelaki yang menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas.



”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus angin menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku melayang jatuh, disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung lengan tempat pangkal daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang apa pun tak dapat menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang, aku ragu bahwa anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di antara si lelaki dan perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali takdirku sendiri karena tercipta hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja.



Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu tetap terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki itu terangkat menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama ia menyentuhku, ia membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat aku tertancap seorang diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja. Hidupku berakhir di ujung jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah direkah senyuman membawaku kepada perempuan berambut panjang ikal mayang yang tengah cemas menantinya di tengah teras.

Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku dapat menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap diriku di ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut wajah perempuan yang balas tersenyum.



Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di antara helai-helai rambutnya.

”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya.

Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya. Dari sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung detik-detik kematianku.



”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang kucintai sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Seandainya aku tercipta sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar lebih banyak tentang cinta daripada yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga Kemboja.

Januari, 2010

Cerpen Clara Ng

Risalah Lidah


IA menemukan kota kecil di dalam mulutnya. Sebulan lalu, waktu Ibu selesai mengepang rambutnya panjang di kiri dan kanan, Asna mendengar suara tangisan bayi. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya--betapa anehnya ungkapan itu, tapi rasanya benar. Setelah kebingungan beberapa saat, akhirnya Asna membuka mulut di depan cermin, memandang kegelapan di tenggorokannya sambil menunggu kesunyian lewat. Telah hilang semenit, suara tangis itu terdengar lagi.

Cepat-cepat Asna menjulurkan lidah. Pancaran matanya berkilat tak percaya ketika memandangi lidahnya. Ada sesuatu di sana. Air mukanya yang tadi merona merah jambu langsung luntur menjadi pias. Apa yang terjadi? Ia sedang berdiri di depan cermin sambil memandangi lidahnya yang padat dengan jalan raya, rumah, gedung, dan pagar. Ada kota mungil tumbuh di atas lidahnya.

Asna terguncang hebat, mundur selangkah. Lidahnya masuk kembali ke dalam mulut dengan kilat seakan tertelan. Seluruh pori-pori kulitnya gemetar. Apa itu tadi? Sebuah kota? Atau apa? Gadis delapan tahun itu tak bisa memikirkan apa yang barusan melintas di depan matanya. Otaknya membeku. Dengan gamang, ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah cermin. Jam berdetik, tak bisa mengukur ketegangan yang ia rasakan.

Sekarang Asna baru tahu, ternyata lidah punya kejutan berbuncah. Pelan-pelan ia membuka mulut lagi, menjulurkan lidah sejauh-jauhnya. Sungguh, ia tidak salah lihat. Menakjubkan. Terpukaulah ia. Lihat, ada peradaban di lidahnya! Ada anak-anak kecil bersepeda di taman ditemani ibu-ibu muda mendorong kereta bayi. Pohon-pohon hijau melambai indah, berderet-deret di sepanjang jalan. Mobil-mobil berlalu lalang dengan santai, tidak ada kesibukan yang dikejar-kejar. Ada gedung-gedung jangkung seperti gedung-gedung di New York. Ada hotel-hotel mungil dengan jendela berbingkai seperti di Paris. Air mancur di kolam-kolam bening seperti di Madinah. Asna takjub tak alang kepalang. Ia seperti menemukan pintu ajaib menuju negeri dongeng.

Ini hal baru. Tentu saja Asna akrab dengan lidahnya, sama seperti manusia-manusia normal yang akrab dengan anggota tubuhnya yang lain. Ia tidak terlalu sering memperhatikan apa yang terjadi dengan lidahnya, tapi ia tahu lidahnya selalu ada di sana untuknya. Lidah selalu melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik, Asna tidak perlu protes dengan lidah. Hanya sekali-kali ketika sariawan menyerang, Asna membenci masa-masa itu, tapi tidak pernah membenci lidah.

Penemuan kota lidah berusaha Asna ceritakan pada ibu, tapi ibu tidak mau mendengar. Katanya Asna mengada-ada. Ia ceritakan pada ayah, tapi ayah hanya tertawa lalu sibuk menekuni ponselnya. Ia mau ceritakan pada guru mengaji, tapi kayaknya percuma karena bisa-bisa ia dipukul pakai penggaris. Akhirnya Asna tidak mau bercerita pada siapa-siapa.

KOTA itu terus tumbuh dan Asna menjadi saksi pertumbuhan kota itu. Bayi yang dilihatnya kemarin merangkak, esoknya sudah belajar jalan. Anak yang bermain bola ternyata minggu depannya sudah merokok. Lelaki berkumis yang rajin mengajar di sekolah ternyata dua minggu kemudian meninggal dunia. Waktu berdetik lebih cepat di sana.

Asna betah kembali ke lidahnya. Bagai magnet, ia tak bisa mengelak dari rasa ketertarikan pada kota damai yang pelan-pelan berubah menjadi bising. Hiruk-pikuknya menjadi tanda-tanda tragedi yang mengerikan. Mobil-mobil di jalan raya sering mengeluh dan melenguh keras. Anjing menggonggong mengancam, bercampur baur dengan bunyi-bunyi ganjil lainnya. Para penghuni kota berusaha menjinakkan teror yang tumbuh semakin besar.

Suatu hari, di tengah malam Asna terbangun oleh pekik kemarahan yang menggema di kepalanya. Ia turun dari ranjang dan berjinjit di depan cermin. Di sana tampak lampu-lampu jalan yang meredup, menjadi saksi keributan manusia yang terusir dari pinggir jalanan dan kolong jembatan. Wajah-wajah bengis dan paras-paras putus asa saling memandang satu sama Mereka dorong-mendorong dan caci-mencaci. Tangisan anak-anak dan jeritan kutukan sahut menyahut. Adegan demi adegan terus beralih, tiba-tiba terdengar suara tembakan. DOR!

Asna terpaku kaget, lidahnya nyaris tertelan. Cepat ia berbalik, terbirit-birit menuju kamar ibu. Ia menyusup di tengah-tengah orangtuanya, tak bisa lelap tidur sepanjang malam. Matanya berkaca-kaca. Ia mengompol pada dini hari.

Esoknya ibu marah sekali pada Asna. "Bagaimana mungkin anak kelas tiga SD masih kencing di kasur?" bentak ibu murka. Asna membela diri, ia tidak sadar kemarin malam. Ibu tidak menyimak perkataannya. Ibu terus membentak-bentak Asna, merepet-repet sambil mengganti seprai. Mbak Iyo sudah seminggu pulang kampung dan belum balik. Sepertinya Mbak Iyo mencuri kesabaran Ibu dan membawanya ke kampung untuk dibagi-bagikan kepada ibu muda di sana. Sungguh beruntung ibu-ibu muda di kampung Mbak Iyo.

Asna kagum dengan tsunami kata-kata ibu. Ia ingin tahu bagaimana seorang perempuan bisa berbicara secepat itu? Asna mendelik memperhatikan lidah ibu, seperti apa lidahnya. Lidahnya datar. Ya, ya, seperti apa kota yang tumbuh di lidah datar itu? Asna meminta ibu menjulurkan lidah. Oh, mengamuklah ibu! Ia tambah marah, mengira anak perempuannya menyepelekannya habis-habisan. Marahnya sambung menyambung, bergantian; seperti naga ia menyembur-nyemburkan api. Namun bukan ibu namanya kalau ia tidak mahapengampun. Setelah marah-marah tak berkesudahan, marah ibu disudahi juga. Ia menjulurkan lidah buat Asna.

Ada yang salah. Ternyata tidak ada kota apa-apa di lidah ibu. Asna malah terpaku memandang gurun pasir. Gurun pasir berwarna kuning keemasan tercadar oleh debu. Kaktus-kaktus berdiri kaku dalam keheningan, masing-masing sendirian dalam hamburan angin yang mengaum keras. Cahaya hanya redup di sana, kalah oleh kematiannya. Tidak ada keriangan, semuanya beku dan panas seperti api kebencian. Ibu bertanya apa Asna puas? Asna terlalu kaget untuk menjawab apa-apa. Ibu menarik lidahnya lagi, menelan gurun pasir ke dalam mulutnya.

Sejak hari itu, Asna mulai senang membujuk orang-orang untuk menunjukkan lidahnya. Asna menemukan permainan baru, menyadari bahwa lidah-lidah yang dimiliki manusia tidak ada yang sama. Ayahnya memiliki pasar yang teramat besar tumbuh di atas lidahnya. Di sana ada pedagang-pedagang yang suka saling tipu-menipu satu sama lain. Jalan-jalan besar lebar yang penuh dengan teriakan penjual merayu kebohongan. Keramaian tak tertanggungkan di bawah terpal-terpal yang gagah melindungi meja kayu dan daging ayam, kambing dari sengatan panas. Kekotoran dan kesemrawutan yang membusuk.

Lidah pamannya lebih lucu lagi. Tidak ada kota atau pasar atau gurun pasir di sana. Yang ada hanya lapangan luas dengan satu monumen agung di tengahnya. Setiap hari lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mengangkat spanduk dan kepalan tangan. Mereka berprotes dan berdemonstrasi, berpekik tentang demokrasi, revolusi, kekuasaan, kemerdekaan, kejayaan, kemenangan. Berulang-ulang kata yang sama dipanggil, pagi siang sore malam; tidak ada hal yang baru lagi. Manusia-manusi adalah poros alam semesta di dalam lidah paman, bukan yang lain.

Siapa yang percaya pada apa yang dilihat Asna? Mereka ikut-ikutan melihat di cermin, tapi yang ada di mata mereka hanya lidah biasa berwarna merah dengan bintil-bintil kecil seperti jerawat. Tidak kelihatan apa-apa. Lagian siapa yang mau memercayai anak kecil? Yang tidak tampak tapi dikatakan tampak bukan cerita istimewa yang layak didengarkan. Asna dituduh memiliki daya khayal dan tingkat lelucon yang terlalu kekanak-kanakan.

Tidak ada lagi yang mau percaya pada perkataan Asna, sebab itu Asna bosan memberitahu. Ia memutuskan hanya mengamati lidahnya saja, menonton dalam kegairahan yang tak berjumlah ketika kota di lidahnya tumbuh semakin serampangan.

ASNA tumbuh semakin besar, demikian juga dengan kota di lidahnya. Waktu ia berumur sepuluh tahun, kota itu semakin sesak. Jalan layang bertumpuk-tumpuk, sampah berkembang biak, mal-mal dengan etalase yang genit membakar setiap inci kota. Deru angin menggulung-gulung, menebarkan kengerian dan kebekuan di sepanjang trotoar. Waktu ia berumur lima belas, pohon-pohon gundul di sepanjang taman-taman. Penjara penuh dengan orang yang saling membunuh, tapi lama-lama satu per satu orang mati karena terbunuh. Gedung bioskop kosong melompong. Sepanjang gang, kekejaman meluap dari gorong-gorong tempat tikus-tikus raksasa hidup.

Sejak remaja, Asna tidak lagi meminta orang menunjukkan lidahnya pada Asna. Ia mual melihat lidah-lidah di dunia. Bertahun-tahun Asna mencari lidah yang menumbuhkan taman Firdaus di atasnya, tapi ia tidak pernah menemukan. Ia melihat ratusan kota pengap, gurun pasir mengerikan, ladang ilalang yang kesepian, berhektar-hektar payau, kebun yang hangus, sampai kubangan tinja. Ia tidak sanggup melihat lagi.

Dalam kesendiriannya, Asna menonton kehancuran kota lidahnya yang merayap dengan cepat pada usia tujuh belas tahun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolongnya, seakan-akan kotanya memiliki takdirnya sendiri. Mustahil menyelamatkan, bahkan ia sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kotanya mati setahun setelahnya. Tembok cat mengelupas, menelanjangi dinding-dinding yang runtuh perlahan-lahan. Jendela kosong memandangi gema. Pintu retak-retak, membisu sepanjang malam. Pabrik berhenti menggerutu dengan asapnya. Tidak ada manusia yang hidup di kota itu lagi.

Hati Asna hampa melihat kota lidahnya lenyap. Ia ingat bayi-bayi lucu yang tumbuh besar, bekerja, lalu mati. Ia juga ingat rumah-rumah kecil yang berkembang menjadi semakin tinggi dan luas, dengan keluarga-keluarga yang membengkak. Ia ingat bunga-bunga yang mengembang bersama embun. Tapi kenangan adalah seperti kertas yang tersiram air, melumatkan kata-kata yang tertera di atasnya, dan lama-lama menghancurkan kertas itu sendiri. Di usia dua puluh tahun, Asna lupa akan lidahnya. Boro-boro ingat kota, ia bahkan tidak ingat memiliki lidah. Berbaring dengan ringan setiap malam tanpa terganggu suara-suara berisik yang dulu berasal dari lidahnya.

Suatu hari keponakannya yang mungil memasuki kamar Asna, menatap tantenya dengan pancaran mata misterius, pekat oleh kabut rahasia. Asna bangun dari ranjang, menyambut Ratri. Biasanya keponakannya pasti hendak mengajaknya bermain atau mengobrol tentang pelajaran menggambar. Tapi kali ini Ratri tidak mengajaknya bermain, ia malah meminta Asna membuka mulut dan menjulurkan lidah. Masih tersenyum Asna mengangguk, mengabulkan permintaan Ratri. Ia menjulurkan lidahnya.

Ratri bilang lidah Asna menakjubkan. Ada kuburan besar di dalamnya. Ada deretan nisan putih pualam yang seakan-akan mengeja sendiri kata-kata yang tertulis di sana. Daun-daun merontokkan dirinya di atas pekuburan, meliuk-liuk dan berbisik-bisik menjadi gerimis. Semuanya mendesing seperti peluru dalam kesunyian.

Asna memandang Ratri dengan tatapan heran. "Kuburan di lidah?" tanyanya.

Ratri bilang, "Coba lihat di cermin, Tante."

Asna pergi ke cermin dan menjulurkan lidahnya sekali lagi.

"Sayang, tidak ada kuburan di sini."

Keponakannya tetap ngotot.

"Tapi Tante tidak melihat apa-apa."

Ratri memberikan tatap kecewa kepada Asna. Asna balas memandang Ratri dengan senyum lebar. Ratri melengos. Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa lagi, mungkin menyerah meyakinkan Asna atau tidak punya ketekunan memberitahu. Ia melompat-lompat keluar seperti kelinci, terus berjalan menuju ke kebun belakang.

Sekeluarnya Ratri dari kamar, Asna berbaring di ranjang dengan senyum yang masih dikulum. Anak-anak, pikirnya sambil mendengus, tidak pernah berbicara benar. Mereka selalu berkhayal yang aneh-aneh. Mereka... ah. Mendadak sesuatu menyisiri pikirannya, ada yang berdenting di sana. Asna mengingat kupu-kupu, mengingat rumah, mengingat kota, mengingat lidah, sepertinya terjadi beberapa dekade lalu. Terasa samar-samar, tapi ada. Seberapa kuatnya ia berusaha mengingat, Asna tidak pernah bisa kembali ke jejak masa lalu.

Asna segera melupakan perkataan Ratri tentang kuburan, dan juga tentang imaji hujan daun di musim gugur. Sudah terlalu siang, ia tidak mau berpikir terlalu berat. Ia hanya ingin menikmati tidur yang tak terganggu sampai matahari turun. Hari ini adalah hari cutinya, enaknya dinikmati di rumah seharian. Biarkan saja atasan dan rekan kerjanya menjadi besi karatan, tenggelam di lautan hiruk pikuk kesibukan kantor. Asna mematikan Blackberry-nya. Matanya terpejam pelan-pelan, kegelapan menghunuskan pedangnya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa Ratri dari arah kebun dan teriakan pembantu bersahutan di antaranya. Asna tertidur, lidahnya berdecak-decak dalam mimpi.
Clara Ng tinggal di Jakarta. Telah menerbitkan 11 novel, antara lain Jampi-jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2009); dan sebuah kumpulan cerita pendek, Malaikat Jatuh dan Cerita-Cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008).
kampung dalam akuarium

Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:59 WIB

Zelfeni Wimra

ke pemancingan mana lagi kautumpahkan rindu

melumutkan kecemasan pada lendir umpan

dan mata kail yang lapar

agar ikan-ikan mau kaubujuk bercerai dengan lubuk

dan pulang ke kampung penggorengan

pelengkap hidangan di meja makan



kau tahu, sejauh-jauh pergi menyisir bibir sungai,

hanya untuk mencari air keruh,

ikan-ikan pilihan tak akan memakan umpan dalam kejernihan

kau tinggalkan hulu yang hening-bening

muasal segala arus terus menghanyutkan

anak-anak pantau dengan sejarah hambar

entah arah mana akan dituju

sebut saja, kampung berair jernih berikan jinak;

berair keruh berikan liar;

berair tawar berikan banyak

alamat kepulangan yang pahit



aku beritahu, andaikata usahamu sia-sia, pulanglah.

aku dan ikan-ikan yang kauburu

setelah penggusuran itu

kini tinggal di kampung baru

mendekam di kamar air empat persegi

pada sebuah ruang tamu tidak berhulu-bermuara

hanya gelembung-gelembung dihembus tenaga listrik

juga kincir-kincir plastik

batu-batu buatan dan lukisan karang di balik kaca

terasa seperti menyelam-melintas di antara

tanjung dan teluk kampung pesisir yang tenang

meski tidak ada kapal-kapal berbenah

bagi pelayaran para pelaut

apalagi jejaring pukat ikan karang



bertandanglah, oi pemancing

bukankah sungai-sungai yang menghilir

dari hunjaman kaki-kaki hujan

sudah tidak mampu menafsirkan kehendak air matamu

dan kerinduan tidak selamanya mesti dipuaskan

dengan tancapan mata kail di rahang ikan yang rakus



aku bayangkan kau datang

sebelum insangku sempurna jadi karang

menyematkan mata kail

di setiap saku baju para tamu

2010

Zelfeni Wimra



pada sebatang tubuh yang tidak lagi muda

ia kini berkurung, menujum bunga, meninggam buah

mengurut cemburu ke sekeliling

ke batang lain, beragam buah bergelantungan



riwayat bunga putik dan burung

burung yang gemar mematuki madu di benang sari

telah lama berlalu

bunga putik berubah bentuknya

dari kelopak yang merekah

kini meranum sebagai buah yang sempurna

meski sebagian bergelimpangan

menghitam, tak mampu mengubah diri

dulu kelopak yang gemilang

kini lendir sekarat, meradang di pangkal batang.



seseorang, belakangan sering datang, duduk mengenang

menimbang setiap cabang:



”ini kebun sungguh rindang

tangan siapa yang dingin dan suka menanam batang-batang;

tubuh-tubuh indah dan riang? buahnya, aduhai, rindu yang matang.”



”mereka menanam tubuh mereka sendiri,” ingin ia jawab begitu

tapi undur ketika melepas pandang ke sekujur batang yang berliang:

dari bengkalai badan yang sunsang

entah apa kelak akan dipetik orang?



ia idamkam sebatang lain dalam waktu yang baru

tumbuh memayungi pagar halaman,

pintu kamar seorang pencinta

telah lama menanti kepulangan kekasihnya

membawa jinjingan, buah tangan perantauan



tapi apa yang meletup

berdentang tak henti di balik kedua buah dadanya

telah kekal sebagai cikal bunyi

seperti tonjolan talempong yang dipukul tak beraturan

mengundang orang berdendang tari selendang



sebelum sampai ke gendongan, merasakan geliat

dan rengek, juga jemari kecil yang lunak

buah hati tak lebih dari dongengan para nabi dalam kitab suci



melewati pagi dengan segelas pergunjingan

mengaduk buah bibir dengan buah pikiran

meski pada akhirnya jadi buah angan saja



seorang yang belakangan sering datang memegang cabang

sementara tubuhnya terus meliuk ditunda angin

musim yang tentu akan selalu berganti



2010

Gunawan Maryanto





Wong lanang lara atine --------------------------



Seorang lelaki yang sakit hati

Melaku ning tengahing wengi



-------------------Berjalan di tengah malam buta

Gerimis lan melu nangisi ------------------------ Gerimis pun ikut menangisinya

Uripe wis kerasa mati

-----------------------------Hidupnya terasa sudah mati



Dewi Kirana, 30 tahun, menyapa penggemarnya yang berkerumun. Sebuah kebetulan, mendadak hujan turun. Seperti menegaskan bahwa lagu itu nyata hadir malam itu. Para lelaki yang merasa terwakili menggoyangkan dadanya. Ada juga yang mengeras di dada saya. The queen of Pantura datang pada mereka malam ini bersama the best of music yang paling eksis Puspa Kirana. Bagai Dewi Padi yang dirindukan para petani–mereka yang datang dari abad lima belas. Keributan sempat terjadi di pinggir panggung antar-remaja tanggung. Tapi hiburan terus berlangsung.



Empat anak Sang Dewi duduk di belakang panggung berjajar seperti pagar ayu, menyaksikan ibunya bertarung. Entah berapa lama lagi ia sanggup bertahan. Mau tak mau perahu yang mereka tumpangi malam itu akan tenggelam. Beberapa musim panen lagi mungkin. Akan segera tiba perahu yang lain dengan dewi yang lain–yang lebih muda yang lebih menggoda.



Jerite sajeroning ati





--------------------------------Ia menjerit dalam hati

Banyumata bli bisa mili

---------------------------Airmata tak bisa keluar lagi

Larane disimpen neng dada -------------------- Sakitnya disimpan di dada

Ngakoni sabar lan nerima -------------------- -

Mengakuinya dan sabar menerima



Tak ada kabar gembira sebenarnya. Tapi mereka melagukannya dengan gembira. Hasilnya adalah kesedihan yang asing– entah punya siapa. Yang jelas bukan milik mereka malam itu. Sang Dewi terus bergoyang. Tato di punggungnya berkilat oleh cahaya bulan. Pemuda di samping saya memanjat ketinggian. Ia melemparkan uang ribuan dan menjerit kesenangan. Seandainya ia jatuh, ia jatuh dalam kemenangan.

Jogja, 2010



Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi sebagai penulis dan sutradara. Buku kumpulan puisinya adalah Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008).

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto, Minangkabau, 26 Oktober 1979. Sutradara Teater Cabang dan penggiat Komunitas Daun serta Magistra Indonesia, Padang.

Sudarmoko: Kritik Sastra, Kritikus Sastra, dan Latar Belakangnya

Kompas, Minggu, 20 Juni 2010 | 03:57 WIB

Kajian akademik terhadap karya sastra Indonesia dimulai sejak mulai dibukanya lembaga pendidikan seperti fakultas Sastra di UI berupa sekolah tinggi sastra dan budaya sejak tahun 1929, atau UGM dengan fakultas sastra, pedagogik, dan filsafatnya tahun 1950. Kita pun baru mengenal kritikus sastra seperti Teeuw, Jassin, Umar Junus, dan beberapa nama lain kurang dari 50 tahun ini. Lalu, bagaimana kehidupan kritik dan kajian sastra sebelumnya? Dan apa pentingnya membicarakan dan mengotak-ngotakkan kritikus dan apresiator sastra Indonesia?

Banyak media massa yang terbit pada masa penjajahan Belanda yang memuat berbagai apresiasi, analisis, komentar, resensi, dan bahkan polemik berkaitan dengan karya sastra yang diterbitkan. Kebanyakan kritik itu ditulis oleh para wartawan, penulis, dan masyarakat pembaca. Ambil contoh polemik terhadap karya sastra yang diterbitkan di sekitar Sumatera Barat dan Sumatera Utara pada akhir 1930-an. Banyak tulisan di surat kabar dan majalah yang membahas tentang keberadaan karya-karya itu. Terakhir kemudian diadakan konferensi roman di Medan pada akhir 1939.

Majalah-majalah dan surat kabar sudah memberikan ruang yang cukup luas untuk apresiasi dan polemik ini. Majalah Pujangga Baru dapat dijadikan contoh berlangsungnya perdebatan kritik seni dan budaya, termasuk di dalamnya sastra. Sutan Takdir Alisjahbana dapat dijadikan salah satu sosok yang ikut membangun wacana dalam bidang ini, selain nama-nama seperti Gayus Siagian dan Hamka.

Tentu saja, pengetahuan sastra dan kajian sastra para kritikus itu dilandasi pada pengetahuan, pengalaman, dan rasa yang ada pada mereka. Sebagian mungkin mendapatkan pengetahuan dari buku-buku, referensi agama, surat kabar, atau sumber lain. Yang pasti, belum ada sekolah atau universitas khusus yang mempelajari dan mengajarkan kajian sastra. Meski kajian kritik sastra di luar negeri sudah berlangsung beberapa dekade sebelumnya, tapi secara akademis belum terbentuk di Indonesia tersebab beberapa alasan akademik dan nonakademik.

Berlangsungnya kritik sastra Indonesia modern ini juga sebenarnya didukung dan berpusat pada keberadaan universitas yang membuka jurusan sastra dan ilmu budaya. Dengan landasan teoretis dan format berpikir yang terstruktur secara akademik, kajian kritik sastra dapat bertahan dari waktu ke waktu. Namun demikian, apresiasi para pengkaji sastra yang berasal dari luar wilayah akademik sastra turut memberikan sumbangan yang tidak kecil.

Media menjadi salah satu instrumen dalam membangun kajian sastra. Untuk kasus di Indonesia, surat kabar menjadi fondasinya. Banyak apresiasi dan kritik sastra berlangsung di surat kabar. Tidak sedikit yang memiliki pandangan tajam, kebaruan dalam melakukan kritik, dan juga ide-ide segar dalam perbincangan sastra. Tema-tema khusus dan menarik diolah menjadi esai yang sederhana dalam hal panjang tulisannya. Namun demikian, dari hal-hal yang terbatas kedalaman dan keluasan ruang itu, kajian dan apresiasi sastra Indonesia menjadi terjaga ritme dan perjalanannya.

Hal berbeda terjadi dalam majalah atau jurnal khusus sastra. Dengan tingkat akses yang terbatas, seleksi dan editing yang juga masih terbatas, oplah yang sedikit, menjadikan majalah dan jurnal khusus sastra belum sepopuler surat kabar. Tampaknya motivasi dalam publikasi ini juga berbeda, tersangkut masalah finansial dan juga motif publikasi, baik bagi pengelola media maupun penulisnya.

Masih berkaitan dengan media, tulisan-tulisan atau artikel yang membahas sastra Indonesia modern yang ditulis oleh para peneliti luar negeri dan dipublikasikan di berbagai jurnal internasional masih terus berlangsung. Beberapa jurnal di Inggris, Belanda, Perancis, Amerika, Malaysia, Singapura, dan Australia masih memuat kajian-kajian terhadap sastra Indonesia. Wacana yang berlangsung di berbagai jurnal internasional itu mungkin belum dijadikan referensi dan pendukung bagi wacana yang berlangsung di dalam negeri. Beberapa jurnal dan artikel itu bisa diunduh dengan bebas jika para pengkaji sastra ingin mendapatkannya.

Dalam praktiknya, perbedaan antara akademis dan nonakademis dalam pengkajian dan penelitian kritik sastra kita tak ada bedanya, atau dapat dikatakan kecil. Seperti disinggung oleh Damhuri Muhammad dalam kuliah publiknya di Yogyakarta pada Maret lalu, bertajuk ”Akademisi Sastra vs Esais Sastra Mencari Kutu dalam Seteru”. Bahkan, berbagai hasil apresiasi dan kajian sastra yang dilakukan oleh kalangan nonakademisi sastra telah memberikan pemahaman dan sudut pandang yang penting dalam kajian sastra secara keseluruhan.



Surat kabar dalam rubrik seni dan budaya juga diisi oleh berbagai kalangan. Memang tidak berbanding dengan isi jurnal yang didominasi oleh kalangan dari perguruan tinggi. Namun, untuk majalah dan berkala yang diterbitkan di luar lingkungan akademik, tetap menunjukkan kontribusi yang berimbang. Hal ini tidak terlepas dari ranah dan lingkup serta tujuan penerbitannya.

Tampaknya, sastra menjadi medan terbuka yang menarik banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Hampir semua orang membaca karya sastra, baik dalam bentuk buku maupun yang terbit di surat kabar dan berbagai media lain. Semua orang berhak dan terbukti terlibat dalam proses produksi dan reproduksi sastra. Banyak komunitas sastra muncul. Pembaca baru dan lama saling merangsek masuk. Apresiasi pun hendaknya merangkum sifat keterbukaan ini.

Bila kemudian institusi akademis sastra dijadikan satu bagian penting dalam kajian dan kehidupan sastra, itu karena mereka hidup dan bekerja dalam sebuah lingkungan yang sebenarnya kemudian harus bertanggung jawab untuk menjaga kelangsungan dunia sastra lewat pengajaran, kajian, dan penelitiannya yang terwujud dalam berbagai tulisan. Bila tidak terjadi, tentu saja kalangan yang lain, yang tidak berlatar belakang akademi sastra dipersilakan untuk menutupinya. Seakan-akan ini menjadi medan perebutan makna, yang ternyata tidak ada otoritas mutlak di dalamnya.

Kita juga melihat, banyak redaktur sastra, sebagai bagian yang juga penting, yang tidak berlatar akademi sastra. Demikian juga dengan para penulis karya sastra. Lalu, kenapa harus ditunggu para akademis sastra untuk bangun dan sadar akan peran dan tanggung jawabnya? Ah, ternyata mereka, termasuk saya, belum betul-betul sadar dengan tugasnya.

Sudarmoko Dosen Sastra Indonesia FSUA, Padang, Dosen Tamu Jurusan Melayu-Indonesia HUFS, Yongin, Korea

Puisi Oky Sanjaya

Konsisten


kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.

tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.

tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan.

selintas memang, kau melihatku agak marah,

rumah yang telah lama kita bangun,

hancur; atau terlanjur digusur.

“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.

tapi cinta kita lengkap.


seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur

tidak berkata-kata; atau menanyakan

silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah

yang turun-temurun terkubur bersama,

seseorang yang mungkin kamu; tetangga.


kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,

yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu

resiko salah berhitung.

-----

Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Sedang belajar di Jurusan PMIPA Fisika Universitas Lampung. Bergiat di Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).

Refleksi DJADJAT SUDRADJAT

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 20 Juni 2010

Sembunyi


INI bulan Juni. Bulan yang belakangan sering saya ingat karena penyair Sapardi Djoko Damono “memaknainya” dengan sangat istimewa. Dalam Hujan Bulan Juni , sajak tiga bait ini kerap menggoda saya tentang sesuatu yang sangat biasa menjadi sangat penting, tentang hujan bulan Juni: tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan Juni/dirahasiakan rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu.

Itu bait pertamanya yang kerap “mengajak” kita untuk kembali “manyapanya”. Juga bait kedua yang kian menguatkan tentang nikmat membaca kata-kata, tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu.

Seluruh bait Hujan Bulan Juni kerap membuat saya terpana. Terpana tentang personifikasinya yang tak biasa, tentang hujan bulan Juni. Bulan yang menurut Sapardi amat “tabah”, “bijak”, dan “arif”. Simak bait terakhirnya, tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu. Begitu arifnya hujan bulan Juni, hingga sesuatu yang tak terucapkan pun dibiarkan diserap pohon bunga itu.

Saya menikmati sajak itu justru ketika banyak hal dalam realitas sosial-politik kita tak memberinya rasa percaya. Sajak Sapardi, bisa saja mengandung ironi seperti tafsir Bakdi Soemanto. Bahwa bulan Juni, katanya, yang kemarau itu, justru “dimaknai” hujan oleh Sapardi. Dalam realitas geografi kita (Indonesia) bukankah hujan memang masih turun di bulan Juni (bahkan kadang lebat dan menjadi bencana?)

Ini bulan Juni. Saya tak tergoda untuk memanjang-manjang kata bicara segi-segi ekstrinsik sajak indah itu. Saya tak peduli bulan Juni kemarau atau tidak. Saya tak peduli teks sajak tiga bait itu realitas yang dialami oleh sang penyairnya atau imajinasi belaka. Seni punya hukumnya sendiri dan masyarakat punya ruang amat terbuka untuk menafsirkannya.

Sebab itu, bagi saya, begitu teks sastra dibaca dan memberi rasa nikmat--juga mungkin membetot rasa “kegelisah”–dan terterima dengan tangan terbuka oleh pembacanya, ia tak perlu penjelasan apa pun. Menjadi benar pendapat bahwa seni yang bernilai memang sering tak memerlukan penjelasan apa pun. Ia akan berbicara sendiri kepada publiknya.

Juga sajak Hujan Bulan Juni. Rasa nikmat dan gelisah itulah yang kerap membetot saya untuk selalu ”menyapa” sajak ini. Terlebih lagi di bulan Juni ini, ada semacam “ritual khusus” dengannya. Ia menjadi semacam tempat untuk saya “bersembunyi” menghadapi realitas Indonesia yang didera aneka persoalan tanpa jalan keluar. Hujan Bulan Juni bagi saya sering menjadi tempat katarsis. Seperti para dalang yang mengalami pencerahan kembali setelah membawakan serial cerita Perang Baratayudha tujuh malam tanpa henti?

***

INI bulan Juni. Bulan yang memunculkan rupa-rupa persoalan yang tak terselesaikan. Ada “gentong babi” yang mendapat reaksi keras publik, tapi agaknya, akan menjadi kesepakatan Senayan. Juga pembiaran tentang masyarakat yang kian mudah melakukan destruksi di hampir seluruh negeri ; tentang video porno yang jadi pembicaraan dunia; tentang infrastruktur yang kian hancur; tentang Indonesia yang kian tak tentu arah jalannya; tentang politik yang kian tak menarik.

Banyak nama yang dulu berada di garda depan reformasi kini jadi frustasi. Benarkah reformasi telah dirampok oleh para politisi? Benarkan Indonesia sebuah konstruksi yang retak? Sebuah negeri dengan fondasi yang rapuh dan para pengelola negara yang tak peduli negeri ini mau tegak atau sebaliknya.

Hujan Bulan Juni adalah sebuah contoh tentang hal biasa menjadi penting. Ini karena Sapardi--juga umumnya seniman--punya kekuatan yang disebut kepekaan menangkap objek. Memang menjadi ironi jika disandingkan dengan laku para politisi. Mereka membuat hal penting jadi biasa, bahkan jadi main-main karena hilangnya kepekaan dan gagalnya memaknai realitas sosial yang berdenyut. Saya tak hendak menjadikan seniman jadi model bagi para politisi, tetapi dalam soal komitmen akan profesi dan kepekaan, politisi kita sungguh harus belajar.

Adakah saya beruntung bisa “bersembunyi” di balik sebuah teks sajak dengan 55 kata di tengah pengapnya udara politik kita? Sebuah sajak yang tak sampai menempati seperempat halaman buku saku. Tapi, ia jadi lebar untuk berlindung. Ia pasti rapuh jika air dijadikan musuhnya dan api dijadikan lawannya. Kata-kata jadi kuat ketika ia punya daya gugah dan punya kesamaan “kimiawi” dengan publiknya.

Ini bulan Juni. Bulan yang masih muram di negeri sendiri, tapi terhibur karena tanah Afrika menyuguhkan sepak bola dunia. Inilah bulan yang membuat lebih dari separuh manusia Indonesia ikhlas memelototi layar kaca, menikmati aksi mengolah “si Jabulani”. Tetapi, dalam kenikmatan itu, saya kerap jadi masygul karena kita hanya riuh dan gempita sebagai penonton. Penonton belaka, Bung! Berpuluh-puluh tahun. Mungkin juga beratus tahun.

Sebab itu, izinkan saya kembali pada sajak Hujan Bulan Juni untuk “bersembunyi”. Maaf…!

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman