Sastra Lampung Post

Sabtu, 23 Januari 2010

Jalan Sunyi Kolonialisme-Liberalisme (JJ RIZAL)

Kompas,
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:59 WIB

Keliru besar menganggap Belanda membangun negara imperialisme modern itu hanya dengan bedil dan meriam yang mengancam serta beratus ”binnenland bestuur” alias pegawai negeri kolonial yang hipokrit.

Sejumlah cendekiawan dan pranata kesarjanaan dengan sadar masuk persekongkolan menyelewengkan ilmu pengetahuan demi tegaknya kekuasaan kolonial. JS Furnivall adalah salah satunya. Menjelang Perang Dunia II, tahun 1938, terbit karyanya, Netherland India: A Study of Plural Economy. Sebuah opus magnum yang menggetarkan ihwal pentingnya keberlanjutan kolonialisme Belanda atas Indonesia bertirai asap retorika dan diagnosa tajam ihwal plural economy atau ekonomi majemuk.

Tentu saja kalau kini, selang 70 tahun lebih, karya ideologis Furnivall itu diterjemahkan, maka cara pembacaan paling memikat adalah dengan memosisikannya dalam masalah kompleks hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Menelusuri teks Furnivall sebagai sejarah gagasan dari praktik politik kolonial. Mencermati sejauh mana wacana kolonial itu hidup dalam karya-karyanya. Lantas menempatkannya dalam suatu keluasan dan kebesaran jaringan cendekiawan yang kait-mengait menunjang bangunan hegemoni kolonial agar tetap lestari, mapan, dan hidup dari kurun sejarah ke kurun sejarah lainnya.

Lupa Soekarno, lupa Hatta

Salah jika menuduh Furnivall antipati terhadap pribumi. Blakblakan dipaparkannya eksploitasi kuasa kolonial dan kaum modal yang serakah. Bahkan secara khusus diriwayatkan pertumbuhan nasionalisme dan gerakan kebangsaan Indonesia. Tapi dalam pembahasannya tidak sekalipun disebut Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka.

Jangan bilang Furnivall alpa atau khilaf. Sebab ia menulis dalam masa yang sohor disebut periode perdebatan ideologis. Bukankah saat itulah pers pribumi dan Barat digemparkan oleh pengadilan Soekarno dan pidato pembelaannya tahun 1930? Ada berlimpah catatan ihwal sikap dan sepak terjang revolusioner Soekarno. Begitu juga berita-berita Hatta dan Sjahrir dengan PNI Baru, atau kelompok kiri beserta tokoh-tokohnya, seperti Tan Malaka, Alimin, dan Muso.

Semua itu lantaran Furnivall dalam berkarya telah menjadikan dirinya mesin kolonial untuk menginformasikan, memengaruhi, dan mengelabui persepsi agar sesuai garis ”Politik Ethis Konservatif”. Ini satu saja definisinya: ”kebijakan yang diarahkan untuk meletakkan seluruh kepulauan Hindia di bawah kekuasaan Belanda dan untuk mengembangkan negeri dan bangsa di wilayah itu ke arah pemerintahan sendiri di bawah asuhan Belanda.”

Furnivall alergi kepada para nasionalis revolusioner. Simpati besarnya untuk para pribumi jinak, pribumi model Barat yang bertindak dan berpikir persis tuan-tuan putih. Adalah bodoh, menurut Furnivall, kalau pilih cara revolusioner meraih kemerdekaan. Nasionalisme, apalagi yang revolusioner, jangan dijadikan dasar negara. Baginya pilihan terbaik adalah nasionalisme statis yang tidak melihat, bahkan menolak perkembangan masyarakat dan sejarah.

Ilmu kolonial

Asal-usul nasionalisme statis Furnivall dapat dilacak ke abad ke-19, ketika pejabat-pejabat kolonial menikmati liburan panjang di Belanda untuk menulis disertasi dalam ilmu hukum, etnologi, dan bahasa. Saat itulah kepentingan administrasi kolonial merasuk dalam penelitian ilmiah. Pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19, studi bergaya kolonial itu pun kian kokoh.

Salah satu yang memukau adalah disertasi JH Boeke, Tropisch Koloniale Staathuiskunde (1910) dengan teori dualisme. Di Hindia Belanda, kata Boeke, ada ekonomi Barat, seperti ekonomi perkebunan yang kapitalistik, mengakumulasi modal dan mengeruk keuntungan. Tetapi, ada pula ekonomi pribumi, terutama ekonomi pedesaan berprinsip gotong royong.

Pada tahun 1930-an, ketika Furnivall menulis Netherland India, tesis Boeke sohor sekali. Saat itu pemerintah kolonial menjadikan tesis Boeke acuan langkah yang diambil menghadapi krisis ekonomi tahun 1929 yang menyengsarakan dan memiskinkan masyarakat. Merujuk pada Boeke, penguasa kolonial percaya masyarakat akan membagi beban sosial-ekonomi yang berat itu berdasarkan prinsip gotong royong, sama rata sama rasa.

Ide Boeke ihwal jalan keselamatan via penyatuan selamanya Hindia dan Belanda pada 1930 oleh de Kadt Angelino dibakukan dalam tiga jilid bukunya, Staatkundig Beleid en Bestuurszorg in Netherlands Indie. De Kadt Angelino mengajukan konsep rijkseenheid, penyatuan Hindia dan Belanda. Seperti de Kadt Angelino, Furnivall pun pengagum Boeke. Teori ekonomi majemuk yang dikampanyekannya jelas kloning idenya Boeke.

Dalam bab ”Ekonomi Majemuk” sebagai penutup bukunya, Furnivall bilang prinsip politik-ekonomi yang pas diterapkan pada masyarakat majemuk adalah mengintegrasikan masyarakat dan mengorganisasikan permintaan sosial yang berbeda itu dalam suatu negara tunggal.

Kalau pecah ketunggalan (Hindia dengan Belanda) terlemparlah masyarakat dan semua golongan yang majemuk itu ke dalam anarki. Lantas Furnivall menawarkan persis penawaran de Kadt Angelino. Ia menyebutnya ”solusi sistem federal Belanda”. Furnivall dan de Kadt Angelino hanyalah murid yang pandai membeo. Sebab itu, mereka segera mengorbit dalam jagat karya ilmu kolonial.

Peliharaan kekuasaan

Jangan kaget kalau Gubernur Jenderal ACD De Graeff (1926-1931) memerlukan diri menulis pengantar penuh puji untuk Furnivall dan bukunya. Bagaimana tidak? Furnivall dengan bukunya adalah bentuk dukungan sekaligus pengabsahan atas kebaikan dan perlunya keberlanjutan sistem kolonial.

Adalah benar de Graeff semula dikenal sebagai gubernur jenderal yang berusaha memahami aspirasi kaum pergerakan Indonesia. Tetapi tak selang lama, de Graeff segera menjadi potret dari rentetan kekuasaan gubernur jenderal konservatif, pengecam keras pergerakan nasional dan pendukung gerakan nasionalisme statis yang percaya bahwa hanya kekacauan saja adanya jika Hindia lepas dari Belanda.

Bukan di masa de Graeff saja terasa kuat ikatan batin Furnivall dengan ideologi kolonial dan kampanyenya ihwal pentingnya keberlanjutan sistem kolonial serta alerginya terhadap gerakan nasionalis. Semua itu masih dan lebih tergambar lagi dalam bukunya, Colonial Policy and Practice yang terbit pada 1947.

Dekolonisasi yang terjadi di hampir seluruh dunia pasca-Perang Dunia II tidak meruntuhkan kepercayaan Furnivall akan kebaikan sistem kolonial. Ia tetap saja bilang nasionalisme bakal menjadi kekuatan kreatif bagi tanah jajahan yang merdeka asalkan sedia menerima kembali penjajahnya untuk memberikan “latihan dan persiapan”. Secara sinis Furnivall mengumpamakan negara jajahan yang baru merdeka sebagai narapidana yang baru bebas dan perlu asuhan-perawatan.

Akhirnya, sebagai buku induk ilmu kolonial karya Furnivall bukan tak berguna. Marilah membacanya dengan mencontoh cara Soekarno dalam Indonesia Menggugat membaca dan memakai karya para mahaguru ilmu kolonial. Mencomot data dan analisisnya seraya mengingatkan betapa: ”kolonialisme-imperialisme tidaklah mati… tetapi dipakai mengekalkan apa yang sudah dicapai dengan melalui jalan-jalan yang lebih sunyi, stillere wegen”.

JJ RIZAL Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu, Jakarta

Tentang Tak Ada (Avianti Armand)

koran tempo,
MENUNGGU

Tak ada yang berubah di kafe ini. Gebyok kayu yang jadi aling-aling, tetap berada di situ. Seperti cadar pengantin yang malu-malu, lubang-lubang ukirannya mengijinkan mata mencuri intip ke ruang di baliknya. Cahaya merembes lewat celah di antara genteng tanah liat, menggambar lingkaran-lingkaran acak di lantai terakota. Angin mengisik. Bau debu mengambang samar di udara, bercampur dupa yang sengaja dibakar untuk menyamarkannya. Tak ada musik. Hanya lonceng angin yang sekali-sekali mendenting.

Aku duduk di sudut. Hanya ada satu tamu lain, seorang perempuan yang duduk di meja dekat gentong besar. Di atas gentong itu tergantung sebuah potret hitam putih wanita berkebaya, dengan dua tangan rapi di pangkuan. Aneh. Keduanya punya ekspresi yang serupa. Gelisah, seperti orang yang kebelet pipis. Perempuan dalam foto, mungkin tak ingin difoto dan berharap sesi pemotretan cepat selesai. Perempuan di dekat gentong, mungkin tak ingin berada di sini, tapi aku tak bisa menebak apa yang dia harapkan. Perempuan dalam foto, dibekukan oleh waktu, cuma bisa diam. Perempuan dekat gentong, dari tadi tidak bisa diam. Dia seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali mengubah letak pantatnya. Berulang kali memeriksa jam tangannya. Dan telepon genggamnya yang tak juga berbunyi. Apakah dia menunggu seseorang, seperti aku? Seorang kekasih yang sudah lama tak jumpa?

"Aku terus memikirkanmu semalaman," desahnya di telepon.

Aku memikirkanmu penuh dari detik ke detik. Kamu bahkan mengisi digit-digit terkecil pergeseran waktuku. Kamu menghuniku penuh-penuh hingga tak ada lagi ruang untukku dalam diriku. Aneh bukan?

"Aku ingin menciummu," lalu terdengar suara kecupan lembut.

Aku terus mencium bayanganmu. Saat mataku terpejam, terbuka, terpejam lagi. Aku mencium tiap jengkal darimu lekat-lekat.

"Pakai baju apa hari ini? Aku ingin membayangkanmu."

Hari ini aku berdandan untuknya. Jadi, hari ini, dia harus datang. Dia bilang, hari ini dia pasti datang. Tapi dia selalu bilang begitu. Juga pada entah berapa kali kencan yang dia batalkan. Selalu pada saat-saat terakhir. Selalu pada saat kangenku sudah berubah jadi perih yang menusuk ulu hati. Alasannya itu-itu juga: istrinya. Istrinya selalu curiga dan menyelidik. Jadi, dia harus sangat berhati-hati.

Padahal aku cuma ingin berjumpa. Hanya untuk sekedar bercerita. Betapa banyak yang ingin kuceritakan padanya. Lewat telepon tentu tidak cukup, karena aku ingin menatap wajahnya. Menatap matanya. Menikmati tawanya yang memancing tawa. Mencium baunya yang selalu wangi tembakau. Jika mungkin, mencium bibirnya yang selalu manis. Itu bisa kita lakukan nanti, sambil sembunyi-sembunyi di lorong ke kamar mandi. Membayangkan itu semua, membuatku bahagia. Tapi dia harus datang dulu. Tak boleh tidak.

Tiba-tiba pintu masuk terbuka. Aku langsung menoleh. Hatiku seketika melonjak, berdebur binal tak terkendali dalam rongga dada yang sempit, menahan harap. Lewat ekor mataku, kulihat kepala perempuan itu juga terangkat. Wajahnya cemas. Duduknya makin tak jelas, seperti hendak melompat. Kini seseorang telah datang. Entah untuk siapa. Tapi Aling-aling itu menunda kemunculannya, membuat waktu seperti jam karet dengan elastisitas tinggi. Napasku tertahan. Lalu, seperti dalam gerakan slow motion, dia muncul.

Matanya menangkapku. Tapi dengan segera berpaling ke arah perempuan di dekat gentong. Wajahnya tiba-tiba pucat seperti mayat. Sepersekian detik sebelum aku bangun dan memanggil namanya, bibirnya mengucap, "Ma?" Lalu dia berjalan, bukan ke arahku, tapi mendekati perempuan tadi, tanpa sekalipun menoleh padaku. Perempuan itu berdiri. Aku membeku. Cuma mataku yang sanggup bergerak mengikuti apa yang terjadi.

Mereka berpelukan kaku, saling mencium pipi dengan sopan, lalu duduk berhadapan. Susah payah ia memaksakan sebuah senyum. "Kok Mama bisa ada di sini?" Suaranya gemetar. "Iseng. Cuma mau makan siang habis belanja. Sudah lama, kan, aku tidak kemari. Dan, surprise, kamu juga ke sini. " Perempuan itu menjawab dengan suara yang terlalu cerah. Ia kelihatan tenang sekarang. Bahkan--mungkin ini cuma perasaanku saja--menang. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Tubuhnya tegang, tapi lambat laun ia mulai mencair. Setelah beberapa basa-basi, ia bisa menyandar dengan sedikit rileks. Beberapa kali matanya mengirim permintaan maaf yang samar. Meski begitu, beberapa kali juga tangannya mengusap punggung telapak perempuan itu. Sesudahnya, aku tak lagi bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan wajah serius. Sesudahnya, aku cuma sanggup mengonggok di sudut.

Sepuluh menit. Setengah jam. Satu setengah jam. Pukul 14.07. Arlojiku menjelaskan, sudah sekitar dua jam aku di sini. Ada dua belas orang lain sekarang yang makan dan minum dengan senang. Aku cuma sanggup menghabiskan gelas demi gelas kopi pahit. Pasir telah tuntas turun mengendap di rongga dada. Aku merasa berat. Tapi aku punya pilihan.

Di atas gentong, perempuan dalam foto telanjur dibekukan oleh waktu. Ia terpaksa menunggu. Selamanya.

JARAK

Ingatan adalah jarak yang memisahkan detik ini dengan cintanya. Tapi juga satu-satunya yang menghubungkan. Selain itu, dia tak punya apa-apa lagi. Terakhir kali mereka bertemu, perempuan itu memintanya melupakannya. Ia mengatakannya dengan ringan, "Lupakan saja kalau kita pernah bertemu." Seolah-olah menyuruhnya melupakan koran hari ini yang tertinggal di kamar mandi. Lalu ia berlalu.

Perempuan itu memang tak pernah datang lagi. Tak pernah menelpon atau mengiriminya email lagi. Tapi punggungnya adalah hal pertama yang dilihatnya begitu dia membuka mata. Juga belakang kepalanya yang mungil. Dan kakinya yang melangkah menjauh. Seolah-olah peristiwa pergi itu baru saja terjadi. Dekat sekali. Berulang kali.

Dia jadi sering bertanya-tanya. Berapa jauh dari sini ke sepotong blueberry cheesecake yang malam itu mereka habiskan berdua? Berapa kilometer yang harus ditempuh untuk mengulang hujan yang membuat mereka hangat selain basah? Berapa kelokan sebelum dia mencapai pematang yang satu siang jelatangnya melukai betis perempuan itu?

"Berapakah jarak dari sini ke waktu itu?" Ia melontarkan pertanyaan itu pada siapa saja. Tapi tak ada yang tahu jawabnya. Atau mungkin mereka tahu, hanya tak ada yang berani pergi. "Perjalanan itu, teman," kata seseorang akhirnya, "akan memakan waktu satu hati saja."

Dia memejamkan mata. Menghitung dalam kepala dengan rumus yang hanya dia yang tahu. Kalau mungkin, dia sangat ingin menempuhnya.

PERGI

Bulan ketiga di musim penghujan. Catatan di kalender menunjukkan ia telah pergi terlalu lama. Tanggal-tanggal yang bersilang merah. Sebenarnya, tanpa itu pun telingaku telah tahu. Beberapa kali belakangan ini aku mulai sering mendengar bunyi kunci pintu depan diputar. Selalu selepas tengah malam. Tapi tak ada yang datang. Bahkan tak ada pintu yang membuka. Cuma malam yang lewat seperti biasa. Senyap.

Sebentar lagi tahun ini akan habis. Kalender yang merekam jejaknya terpaksa harus kuganti dengan yang baru. Mungkin kain sofa yang telah lusuh itu juga. Dan kap lampu berenda yang membungkuk di meja sudut. Barang itu terlalu out of date untuk gaya interior minimalis yang sedang jadi tren. Kursi rotan tua yang telah lepas ikatannya itu tampaknya juga mesti kurelakan. Sepertinya memang banyak yang harus kulepas. Cermin kuningan di dinding. Karpet Persia palsu buatan Cina. Menagerie gelas warisan ibu. Tapi, rasanya, tidak bingkai-bingkai di atas piano. Foto-foto lama. Dia dan aku. Tanpa bisa kubendung, arus sungai menggeret masa lalu ke depan pintu.

Selalu dia dan aku. Aku dan dia. Ada saja orang yang bisa dimintai tolong untuk memotret dia dan aku. Aku dan dia. Berciuman. Berpelukan. Berpegangan tangan. Tertawa. Nyengir kuda. Melotot kaget. Juga cemberut monyong di depan bioskop. Aku ingat, waktu itu dia marah karena aku terlambat membeli tiket nonton film--lupa judulnya--di malam Minggu. Acara nonton diganti dengan saling diam di teras rumah. Bukan, bukan saling. Dia diam, sementara aku terus berusaha memecah bisunya yang sekeras batu. Sampai akhirnya aku menyerah dan pergi karena lelah. Malam itu aku terpaksa tidur di hotel murah. Ah, dia memang sering marah karena hal-hal sepele.

Seperti ketika aku salah membelikan soto untuknya. "Kudus! Bukan Lamongan!" Aku, yang sulit mengingat nama-nama tempat, cuma bisa berdalih lemah, "Sama-sama di Jawa, kan?" Dia makin marah. "Yang satu di Jawa Tengah, yang lain di Jawa Timur!" amuknya. "Lagian sotonya juga beda, tauk!" Lalu ia membanting pintu kamar, tak jadi makan malam, dan tak keluar lagi sampai keesokan hari. Soto dan aku sama-sama tak laku. Tapi kali itu aku tak tidur di hotel murah. Cuma di sofa ruang duduk berselimutkan handuk.

Masih banyak malam-malam lain yang kuhabiskan dengan sofa dan handuk. Selalu dengan alasan-alasan yang sederhana: aku telat menjemputnya di kantor, aku alpa mengambil laundry, salah meletakkan remote tivi, salah memencet nomer telepon, terlalu banyak menaburkan lada hitam di atas steak-nya, terlalu geli tertawa, atau terlalu keras menyanyi di kamar mandi. Ia seperti punya seribu dua alasan untuk marah. Aku tak punya satu pun. Terlalu cinta? Ia akan dengan segera bilang, "Gombal!"

Tapi, di hari ia pergi, ia tak marah. Juga tak mengatakan sepatah kata pun. Ia cuma membawa segalanya dan meninggalkan dencing kunci pintu depan yang saling beradu di atas meja. Di hari ia pergi, aku tak menangis. Tak bisa. Mungkin karena sesungguhnya, tanpa pernah mau kuakui, aku tahu ia telah lama pergi.

PULANG

Bulan tidak perak. Kali ini warnanya kuning gelap, sedikit pudar dengan bopeng kehitaman yang menjadikannya kurang cantik. Tapi lingkarnya sempurna dan besar. Ia seolah datar, tersangkut begitu saja seperti layangan putus di tepi siluet bukit--setunjukan jauhnya--di sana.

Ke sana kamu akan pergi? Kamu mengangkat bahu sekali. Tak tahu. Tak pasti. Yang pasti hanyalah: kamu ingin pergi. Bukan karena tak mencintaiku lagi, tapi karena cintaku membebanimu. Begitu berat, hingga kamu tak bisa bergerak. Penuh, seperti orang kekenyangan. Satu-satunya cara yang bisa kamu pikirkan adalah berhenti mengkonsumsi cintaku. Satu-satunya cara yang kamu tahu adalah: pergi.

Aku menatap matamu. Sesuatu yang tajam pasti telah menusuk ulu hatiku, membuatnya ngilu bukan main, membuat mataku seketika berair. Mungkin karena aku tak bisa berhenti. Seperti mata air, aku akan luap jika tak mengalir. Tapi memintamu tinggal juga tak mungkin--aku terlalu mencintaimu--meski tetap tak mengerti mengapa hal itu bisa jadi beban. Dan kamu telah bicara jujur.

Maka, bisikku: pergilah. Kamu terkejut. Mungkin menyangka aku akan menahanmu. Bibirmu sedikit bergetar. Susah payah kamu menahannya. "Sungguh?" Kamu masih tak percaya. Aku mengangguk. "Kenapa?" Berdirimu tiba-tiba limbung. Kamu berpindah dari satu kaki ke kaki lain. Niatmu yang semula bulat, kini seperti limau terpotong yang disangkutkan ke bibir gelas es tehmu--menggantung tak jelas. Hampir lepas.

Kebebasan ini seketika menjadi menakutkan. Hidupmu tiba-tiba akan jadi balon udara tanpa kantong pasir dan jangkar. Hidupku tiba-tiba akan jadi balon kempes, tanpa udara yang bisa melambungkannya. Tapi aku tak penting. Kamulah yang penting dalam hidupku. Aku diam. Kamu diam. Aku tahu, kamu ingin pergi. Maka aku mengangguk lagi. Meski tak begitu mantap.

Karena, jawabku, jika kamu tak pergi, bagaimana kamu akan tahu jalan pulang?

RUMAH

Ia suka cara perempuan itu mengusap pipinya. Lembut, dengan ujung telunjuk yang menyusuri kerut wajah. Hatinya selalu berdebar lugu setiap kali perempuan itu menggenggam tangannya. Kuat-kuat, seakan takut lepas. Ia juga gemas dengan cemberutnya. Bibir perempuan itu akan meruncing, sedikit lebih maju dari hidungnya. Biasanya karena cemburu yang tak pernah lama pada pacar-pacar lama. Tapi ia paling tak tahan jika perempuan itu menatap ke dalam matanya. Ia akan terpana seperti kena sihir dari bibir yang tanpa suara mengucap, I love you. Hanya matanya yang akan sanggup bereaksi wajar--basah dan tumpah. Selebihnya sunyi. Tak seperti sekarang, saat ia sendiri.

Jam sepuluh malam. Dari ruang sebelah terdengar suara televisi. Desperate House Wives. Entah musim yang ke berapa. Istrinya tak pernah melewatkannya walau sudah dua kali tayang. Di dapur, pembantu-pembantu mengobrol pelan tanpa sanggup menyembunyikan logat kental mereka yang, entah kenapa, selalu membuatnya kesal. Di jalan, mobil-mobil yang bersliweran terdengar seperti nyamuk dengan loudspeaker. Ia tak tahu di mana kedua anaknya berada. Mungkin asyik di kamar masing-masing dengan teman-teman maya. Mungkin saja di tempat-tempat dugem dengan teman-teman yang nyata. Semakin lama, mereka semakin asing. Semakin lama, ia semakin tak peduli.

Ia lelah. Di usianya yang sekarang, ia sungguh ingin pulang. Tapi rumahnya bukan di sini, melainkan di sebuah kamar dengan pintu geser besar dari kayu yang hanya terbuka jika perempuan itu datang. Entah kapan lagi.

KOSONG

Lagi-lagi langkah kakinya di koridor yang kosong. Dua ketuk di tiap langkah--tumitnya selalu mendarat lebih dulu--enam perdelapan dengan tempo sedang. Aku hapal sekali. Sekarang jam enam. Dia cuma ke bawah untuk mengambil koran pagi, lalu kembali. Setelah itu, K kekasihku, akan membuat kopi. Baunya akan menyebar ke mana-mana, termasuk kamarku. Meski tak pernah sarapan, dengan baik hati, dia selalu menawarkan untuk memanggangkan roti atau membuatkan scrambled egg untukku. Roti panggang dan scrambled egg paling enak sedunia. K selalu tertawa kalau aku bilang begitu. Tawa paling merdu sedunia.

Tapi itu belum seberapa dibanding jika dia menembang, nyanyian yang telah kukenal sedari dulu. Simbah kerap mendendangkannya sambil menidurkanku di amben bambu bawah pohon. Tentang tanah hijau dan angin yang mengalir. Tentang anak gembala dan sebatang belimbing. Baju sobek yang butuh ditambal dan satu sore yang tak begitu jelas. Yang kutahu cuma satu kata: rembulan. Mungkin ada bulan di padang yang membuat anak-anak bersorak--hiyo!

Simbah bilang, lagu itu diciptakan oleh Kanjeng Sunan - entah yang mana. Simbah percaya, ada ajaran agama tersembunyi dalam larik-lariknya. K cuma tertawa. Katanya, lagu itu sekedar kekaguman Sang Sunan pada keajaiban yang sederhana. Simbah selalu membuatku tertidur. K, sebaliknya, menggelar dunia gaib dalam lagu untuk kujelajahi. Aku selalu nglangut, seketika hanyut.

Dia akan memasang rembulan di langit-langit sebelum memulai segalanya. Sebelum aku telentang di bawahnya. Sebelum dia membuka baju dan melipatnya satu-satu, lalu berbaring di sebelahku. Aku akan memeluknya dengan lembut. K akan mengelus kepalaku lalu menembangkan lagu itu. Mataku akan tertutup tapi tak tidur.

lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
tak ijo royo royo
tak sengguh panganten anyar
cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
sun suraka surak hiyo

Aku adalah padang yang semi. Dia berubah angin yang mengaliriku. Aku menjelma pohon yang licin. Dia anak gembala yang gigih memanjatku. Belimbingku akan penuh berair. Dia akan melahapnya dengan rakus. Dan kita jadi sama-sama koyak seperti baju itu. Sesudahnya aku dan dia akan saling basuh hingga bersih, sebelum dia menanggalkan rembulan itu dari langit-langit kamar, dan meninggalkanku penuh terjaga karena kekaguman sederhana yang tak habis-habis. Akan dia.

Lagi-lagi ketukan di pintu itu. Tiga kali dengan jeda seperempat detik di antaranya. Aku hapal sekali. Setelah dua tahun berbagi apartemen yang sama, tak ada yang tak kutahu tentang dia. Begitu kubuka, akan kutemukan wajah yang manis dan rambut awut-awutan, dengan mata sebening merjan dan senyum selebar wajan. "Sarapan?" ajaknya selalu. Aku akan membuntut di belakangnya seperti anjing yang setia--ke pantry kecil di sebelah ruang makan. Lalu pagi akan mulai dengan kopi, telur atau roti, dan cerita-ceritanya yang tak pernah basi.

Aku menunggu lagi. Tapi ketukan itu tak kembali. Tak ada juga suara langkah kaki di koridor yang kosong. Sesuatu yang padat tiba-tiba mengganjal di kerongkongan. Mataku mulai lembab. Di luar, salju turun pelan-pelan, membuat yang berwarna menjadi pucat. Yang pernah putih pun diputihkan lagi--jalan, atap-atap mobil, pohon-pohon dengan ranting yang kurus telanjang. Juga kanal lebar yang biasanya memantulkan langit. Tiba-tiba tembang itu terasa jauh. Sejauh padang hijau dan anak-anak gembala yang memanjat belimbing. Negeri itu telah lenyap sejak dia melangkah pergi dan menutup pintu di belakangnya.

Aku ingat pagi itu. Satu hari yang putih seperti ini. Satu hari setelah apa yang harus dilakukannya di sini selesai. K harus pulang. Aku bertanya, "Maukah kamu tinggal?" Dia cuma diam. "Maukah kamu memilih aku?" Dia cuma menangis.

Akhirnya dia berdiri di pintu dan pergi tanpa berkata apa-apa. Tapi K menyanyikan tembang itu sekali lagi supaya gemanya tinggal di tembok, di kasur, di sofa tua, dan terutama, di langit-langit. Dia pikir begitu. Sedetik setelah dia pergi, langit-langit itu kosong. Dia lupa memasang rembulan. Aku berdiri di pintu yang sama dan cuma bisa melihat: dia pernah di sini.

25 Desember 2009
Avianti Armand bekerja sebagai arsitek di Jakarta. Kumpulan cerita pendeknya, Negeri Para Peri (Andramatin Publication, 2009).

Samuel Beckett (Laksmi Notokusumo)

Kompas, Minggu, 24 Januari 2010 | 02:53 WIB


Tidak banyak yang tahu ketika gerakan sastra modern meredup di Eropa (1930-1940), adalah Samuel Beckett yang berhasil menghidupkan kembali dari kelumpuhan dan menjadi inovatornya (1950). Ia sering disebut sebagai tonggak untuk lompatan menuju apa yang disebut gerakan postmodern dalam sastra dan teater.

Melalui karya-karyanya yang mengesankan, ia terus menulis sampai beberapa bulan menjelang kematiannya. Dan menghasilkan fragmen Stirring Still diterbitkan di London dan New York (1988). Dari 83 tahun masa hidupnya, 60 tahun lebih Samuel Beckett memberikan pengabdiannya dalam bidang susastra. Ia hasilkan puluhan karangan dalam bahasa Inggris dan Perancis diawali esai, kritik puisi, prosa fiksi, beberapa naskah drama panjang dan puluhan drama pendek untuk teater, radio, televisi, dan sebuah film.

Di Indonesia nama dan karya Beckett memang masih terasa asing. Ia dikenal melalui Waiting for Godot yang pernah dipentaskan dan disutradarai WS Rendra (1969) lalu Didi Petet Mime (1989). Sedangkan End Game dipentaskan beberapa tahun lalu oleh Teater Garasi. Dalam memperingati seratus tahun usianya (2006), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menampilkan empat karya pendeknya, yakni Act Without Words I (Laksmi), Come and Go (AG Dipayana), Embers (Yosep Ginting), dan monolog Krapp’s Last Tape (Putu Wijaya). Lalu pada tahun 2008, Teater SAC dari Yogya mementaskan Catastrophe. Pada tahun 2009, Sketsa for the Theatre (I) (Bambang Ismantoro). t.

Belasan tahun

Samuel Beckett harus menunggu belasan tahun sebelum beberapa karyanya yang bernilai itu dikenal melalui pertunjukan yang lalu diterbitkan, untuk kemudian diakui di beberapa negara Eropa, Amerika, dan Jepang. Setelah selesai kuliah di Trinity College, University of Dublin dengan spesialisasi bahasa Perancis dan Italia modern, ia sempat mengajar di almamaternya.

Semasa hidupnya Beckett mendapat beberapa penghargaan: medali emas untuk ujian akhir sastra Perancis dan Italia (1927), gelar doktor untuk tulisan sastra dari almamaternya (1959), dan tahun 1969 meraih Nobel untuk karya Waiting For Godot.

Samuel Beckett memang pantas disebut salah satu sastrawan besar dunia karena kontribusinya yang fundamental dan orisinal. Pada awalnya, beberapa naskah drama komedinya berdurasi panjang sekitar empat jam (Waiting For Godot dan End Game). Pada dasarnya ia mengembangkan dan memodifikasi sumber-sumber dari panggung dengan memperluas cakrawala seni dari masa ratusan tahun yang bertema kepahlawanan dengan kejantanan dan keindahan fisik, menjadi ekspresi keprihatinan dan kegelisahan manusia di zamannya.

Tema karyanya, yang mengetengahkan absurditas yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, merupakan kombinasi dari nilai-nilai tragedi dan komedi, tanpa kepahlawanan, penuh pesimisme, tetapi tidak berakhir dengan kematian. Ketika mengeksplorasi peran dan karakter protagonis maupun antagonis, keterpurukan atau kekejaman dalam tataran psikologis, Beckett mampu mengolah tragedi dan komedi menjadi tragi-komedi. Ia tidak hanya menggunakan bahasa sastra yang puitis, tetapi meramunya dengan bahasa sehari-hari, kadang banal dengan lelucon sarkastik.

Meski hemat kata-kata dan sangat efektif dalam penggunaannya, tapi untuk mempertegas penyampaian makna dan mempertegas keadaan psikologis peran yang ada dalam ceritanya, ia sering melakukan pengulangan kalimat dan gerak laku pemainnya. Dalam beberapa karyanya, alur cerita kadang terputus-putus dan memuat lompatan-lompatan pikiran, yang sangat remeh-temeh yang tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Misalnya dalam karya Krapp disebut-sebut tentang kegemarannya akan seks, pertemuannya dengan anjing, kesukaannya makan pisang, atau keindahan mata seseorang yang diungkap sepotong-sepotong.

Hal-hal inilah yang sering membuat pembacanya tidak langsung mengerti karena orang terbiasa membaca karangan yang bertutur runut, liris, tidak ada muatan lompatan pikiran manusia. Padahal justru di sinilah perbedaan dan kelebihannya dari pengarang lain. Beckett mengembalikan manusia pada sifat-sifatnya yang mendasar. Urusan remeh-temeh, tiba-tiba bisa berbalik membeberkan hakikat hidup. Dengan perenungan-perenungannya seakan tak ada kemajuan, tetapi sesungguhnya menggetarkan dan secara perlahan berkembang terus dalam usahanya menembus misterinya. Pada dasarnya Beckett sangat piawai meramu lakon-lakonnya yang erat dengan kehidupan nyata dan pribadi, menjadi milik umum dan universal.

Menyadari adanya keberadaan media elektronik dan film yang pasti memengaruhi kehidupan sosial masyarakatnya pada waktu itu, ia selanjutnya hanya membuat naskah-naskah drama komedi pendek satu babak yang belum pernah dilakukan pengarang sebelumnya. Karya-karya itu Rough For The Theatre, Cascando, Come And Go, Not I, Rockaby, Nacht und Treume, Happy Day, A Play, dan lainnya lagi.

Naskah teater

Sebagai naskah teater, berbeda dengan karangan klasik, karya tulisnya sangat rinci dan lengkap. Ia ingin mengatakan, keberhasilan panggung teater bukan hanya ditentukan oleh cerita dan kejagoan sang aktor berolah vokal, tapi seluruh elemen yang ada di dalamnya. Bagaimana aktor melakukan peran yang diberikan untuknya di atas panggung, bukan hanya meliputi anggota tubuh seperti kepala, tangan, dan kaki sang aktor, tapi mata, telinga, hidung, mulut, dan bahkan jari-jari tangan atau kaki ikut ambil bagian.

Itu sebabnya, naskah teaternya yang pendek-pendek ini di kemudian hari dinilai sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan vokal dan akting para aktor. Selain itu, ia juga menuliskan kostum, rias wajah, rambut, hingga sound, musik, penataan dan pencahayaan panggung, serta perlengkapan lain dengan jelas. Satu dengan yang lain berkait dan ketika dipentaskan menjadi satu kesatuan utuh. Karena gerak laku setiap perannya detail dan rinci, kebanyakan karyanya dimainkan di ruangan kecil maksimum berkapasitas 300 penonton.

Sastra dan teater modern memang memiliki kecenderungan dan mengembangkan ”estetika sunyi”. Tapi tidak pernah sebelumnya, penggalan-penggalannya memiliki kesunyian tanpa artikulasi, bahkan ada tendensi nonverbal yang berkembang begitu luas. Memang hal ini sudah ada sejak drama dari periode sebelumnya yang memperlihatkan adegan pemainnya menjadi diam, terkejut, heran atau takut; tapi momen-momen tersebut dalam konteks adegan hanya teatrikal; mereka tidak menyajikan komentar atasnya. Sementara kecenderungan pengadeganan penuh kesunyian, yang juga ada pada karya Strinberg, misalnya, pada Beckett tidak hanya ingin meneguhkan dramatik adegan, tapi juga menyajikan sebuah refleksi atasnya dan sangat eksplisit.

Dalam penyutradaraan, Samuel Beckett menjadi sutradara tidak seketika. Diawali dengan rasa tidak puas menyaksikan latihan-latihan persiapan pertunjukan naskahnya yang disutradarai orang lain, secara perlahan dan diam-diam ia selalu datang melihat dan berusaha memberikan penjelasan kepada pemain bagaimana seharusnya.

Sampai setahun menjelang kematiannya, setiap kali menyutradarai naskahnya sendiri, ia tak pernah membuka halaman teks, sebab tidak hanya paham dan hafal di luar kepala, ia sudah memiliki ritme yang ada di dalamnya. Baginya, ritme lebih berharga dari ekspresi yang notabene sangat ia perhatikan. Secara tersendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan lakon dan pelakunya sudah ia pelajari dan catat sebelumnya.

Seperti dalam hidupnya, musik juga mengambil peran penting dalam karyanya. Ia berkata, ”Kita tidak memainkan musik secara psikologis atau nyata, tapi kita mengerjakan dan melakukannya dengan terminologi yang ada dalam musik.” Ia menggunakannya untuk mengolah dialog, gerak dan laku pemain, bagaimana tempo, dinamika dan sebagainya.

Seperti kita ketahui, Beckett sangat teliti dan rinci dalam menuliskan setiap naskah dramanya. Segala sesuatu direncanakan dengan matang. Ia bukan tipe sutradara dari sekolah improvisasi, yang mencipta langsung secara spontan pada waktu latihan di studio. Meskipun demikian, sebagai sutradara ia selalu memperlakukan karyanya seperti karya orang lain, tidak segan mengubah, menambah, atau mengurangi yang ia anggap kurang tepat atau tidak sesuai lagi.

Laksmi Notokusumo Penari dan Pemain Teater

Perspektif Gembira Sastra Lampung (Hardi Hamzah)

Lampungpost, Minggu, 24 Januari 2010

APRESIASI


Spektrum menggagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun, dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah.

Setelah gebrakan spektakuler buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi (BE Press, 2007), yang merambah ke tingkat nasional, akhir tahun lalu kita diperkenalkan dengan dua karya sastra yang cukup menggelitik.

Dua karya berupa kumpulan puisi berjudul Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya dan kumpulan cerpen bertitel Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami--keduanya kebetulan juga diterbitkan BE Press, Bandar Lampung, --sungguh memberi pilar penalaran tersendiri bagi khasanah kebudayaan Lampung.

Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya ini, dibuka dengan prawayang Mulang Goh. Mulang Goh merefleksikan nuansa kepasrahan, tapi menjelmakan ketidakputusasaan, dus kegembiraan akan suatu kenangan.

Detail puisi dalam karya Oky, kiranya memang menghentak semangat baru melalui jebakan kata dan seribu nuansa, misalnya saja, puisi yang berjudul Kituk. Sebagai orang Lampung kita tentu mengernyitkan dahi dengan judul tidak senonoh itu.

Tetapi, kituk ternyata menyelimuti kita untuk memahami bersebadan dengan alam dan romantisme, ini dapat kita baca pada halaman 5. Sederet kelana dan romantisme dikembangkan dan diaktualisasikan lewat napas-napas menggugah. Ini dapat kita rasakan dalam Bulan Nyusut (hlm. 8).

Di keheningan Bulan Nyusut, kita diajak berlari dan menggebrak nuansa baru dari sebuah karya, penulis lalu mengingat kumpulan sajak sepatu tua karya Rendra yang menyentak dan menggugah hati dalam kebeningan bahasa. Gugahan itu kemudian diintrodusir pula oleh penulisnya dalam puisi Tentang Bebai Melok Jukuk (hlm. 14).

Gugusan baru memang selalu dibuka di dalam atmosfer antara puisi dan prosa, ini setidaknya bila kita ambil serapan lain dari karyanya yang berjudul Tentang Lambung di Lamban Lamban Langgar (hlm.16),

Hasok (hlm. 23), Lapah Duma (hlm. 31), Sajak Jamma Kalah (hlm. 43). Sementara itu, puisi Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (hlm. 18), kita tidak begitu mendapatkan gereget, kecuali hanya paparan, meski terbilang naratif di siklus perpuisian.

Banyaknya puisi yang dimunculkan dalam buku ini, tentu saja menghantar kita untuk mencari idiom dan variabel tersendiri agar dapat memantapkan jiwa sebagai kegembiraan membaca puisi. Aneka ragam bahasan yang tidak membosankan, justru kekuatan tersendiri dalam buku ini, setidaknya bila kita memahaminya dari kelangkaan puisi berbahasa Lampung, kekuatan yang diversifikatif membulatkan pikiran kita untuk lebih jauh merayap dan tertatih tenggelam dalam penghayatan.

Mengapa harus tenggelam, karena ada karya yang serpihan katanya melantunkan kosa kata menggoda, seperti Cirik (hlm. 24), Hanipi Nganik Bulan (hlm. 26), Ulay (hal.39), Ngukui (hlm. 52), Fermentasi Tapai Kikim (hlm. 61), dan Introspeksi (hlm. 3). Dari judul-judul ini, terasa tranformasi penjajagan terhadap keberanian mengulas kata ditawarkan sedemikian baik, sehingga, terlalu arogankah bila saya membandingkan dengan karya Linus Duryadi Ag., Hujan Gerimis Bulan Desember atau karya-karya Hamsad Rangkuti, Sampah Bulan Desember, atau seperti Obsesi Perempuan Berkumis karya Budi Darma (Jurnal Prosa Ketiga).

Singkat kalimat, dengan 74 puisinya Oky Sanjaya, bukan sekadar menggugah pecinta sastra dan budaya Lampung, lebih dari itu, Oky telah merangsang kita dalam merenung, dan rangsangan itu disetop pada kosa kata yang dalam. Dan seperti ada kesengajaan, bahwa rangsangan kosa kata Oky tidak sampai membuat kita orgasme, ini tentu menggoda kita agar berahi sastra kita tidak terlalu diumbar.

Dalam buku berikutnya, penulis dan intelektual Lampung Asarpin Aslami mengajak kita untuk membaca kumpulan cerpen melalui kaca mata biru. Kumpulan cerpen yang bertitel Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong, melampirkan kesukaan atau kesenangan kita untuk mengenang negeri negeri yang jauh, sehingga seakan akumulasi dari cerita memberikan penggalan-penggalan khayali antara ada dan tiada.

Dia menjadi ada, apabila rasa yang menggugah rasa kita kawinkan dengan satu kesatuan utuh dari mosaik yang dipaparkan Asarpin. Ini dapat kita rasakan bila kita membaca Hiwang (hlm. 29). Meski semangat ada itu bisa saja tergelicir bila kita komparasikan dengan Gunung Putri (hlm. 44), atau Teluk Semaka (hal 15). Kendati Siahan (hal.70) memberi makna tersendiri agar kita tidak sembrono dalam membangun diskursus baru bagi suatu cerita pendek.

Diskursus itulah yang merajut seluruh cerita dalam buku ini sehingga lebih bermakna, dan mengingatkan kita pada karya besar yang sangat berhati-hati semacam Collective Vision karya Gorge Luis Burges, dan memaknainya lewat komparasi dari Cerpen Pilihan Kompas Jejak Tanah, Perilaku Ganda Remy Silado, dan Ader Ader dalam Perjalanan, Kumpulan Cerpen Timur Tengah.

Menguak lebih jauh karya Asarpin, terkadang membawa stagnasi dari dinamika persuasif suatu karya. Artinya, pertimbangan Asarpin tidak hanya bersinggungan dengan tunggal nada bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Lampung), tapi ia justru mendorong dan menikam-nikam kerohanian kita untuk pandai-pandai menikmati sastera daerah. Ini terlihat dalam Warahan Semakung Pedom (93), Badok (hal.37), Lintah Ganding (hlm. 98) dan Metudau (hlm. 116).

Spektrum mengagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah, bahwa penggiat sastra daerah telah mencoba menjadi janin baru setelah embrionya berada dalam rahim Mak Dawah, Mak Dibingi. Dalam konteks inilah, tentu kita berharap embrio dan janin, kelak mampu melahirkan bayi sehat bagi perspektif perkembangan kebudayaan Lampung, khususnya di bidang kesusasteraan. Insya Allah.

Hardi Hamzah, Peneliti INCCIS dan Staf Akhli MAHAR Foundation

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman