Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 Juli 2010

Puisi-Puisi Mustofa W. Hasyim dan LUBIS GRAFURA

JawaPost, Minggu, 09 Mei 2010

BERSAMA OMBAK

Bersama

ombak

gairah,

cakrawala

buih,

menghisap bayangan

Nyanyian

menempuh mata angin

2001

---

MENGAJAK CAHAYA


Mengajak cahaya

mendaki

rambut

mengibarkan kenangan

2001

---

POHON YANG TERLUKA

pohon yang terluka

hawa menerbangkan kata

ada masa silam

terserak di jalanan

jiwa-jiwa termangu

menunggu lagu asing

menyergap rindu

menyergap pilu

Wonosobo, 2005

---

AKU RINDU SENTUHAN TANGANMU


aku rindu sentuhan tanganmu di dahi

menghalau galau zaman

pada hari ini

alangkah sulitnya berkata

dan bertanya

yang tersisa hanya malam datang

dan datang lagi

keheningan menggenangi

ruang tempat kita bertatapan

butir-butir tasbih

pedih, mengemasi waktu

2005

---

GUBENG KERTAJAYA

Ada malam abadi

mencari sunyi

Wajah mirip kata

tak mampu dijadikan nada

Cukup sebuah lagu

memperluka waktu

Hutang cinta

tak terbayar oleh usia

2010

*) Mustofa W. Hasyim, penyair Kotagede, Jogjakarta

---

LUBIS GRAFURA:


Perumpamaan Hasut


Pecahkan cermin. Rangkai kembali.

Tataplah wajahmu.

Nglegok, 2010

---

Inisial A.

Kalau saja pertapaanku ini,

melebihi batas usiaku

barangkali nanti kan kutitipkan jasad

agar aku leluasa menemui: mu!

Nglegok, 2010

---

Sendiri

Kadang kita butuh waktu:

bermeditasi, mencari persejatian diri

mencari jalan kembali

namun, tanpamu di sini

hidup seolah memilih berhenti

Nglegok, 2010

---

Sajak Kematian


Menanti dirimu

seolah menanti fajar yang menggulung sinar

Hanya saja,

fajar datang sesuai waktunya

Sementara dirimu,

kedatangannya tak tertandai waktu

Penataran, 2010

---

Dalam Sujud


yang berperang tanpa pedang

yang musuhnya arupa mamang

Penataran, 2010

---

*) Lubis Grafura, penyair yang juga guru di SMKN 1 Nglegok. Buku antologi puisinya, Ponari For President (2009) dan Kenyataan dan Kemayaan (Fordisastra, (2009), serta antologi cerpen Ketawang Puspawarna (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman