Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 Juli 2010

Sajak Iyut Fitra

Koran Tempo, 11 Juli 2010

DARI BEBERAPA BAGIAN


1. datang malam
di luar musik jazz mulai dimainkan. gerombolan lagu lama
atau mungkin seorang kulit hitam menjeritkan birahi malam
di teras, seekor capung terluka baling-baling kipas angin
sedemikian panjangkah waktu atau justru sangat singkat
malam mulai merambat. mulai lesat

2. larut malam
jangan kauduga itu suara ketitiran atau pipit sawah. hanya hempas
ombak yang ramah. dari waktu ke waktu kita senantiasa mengulang
kata pergi dan pulang. kini kau terhampar di ranjang
mimpi apa yang kau inginkan?

jangan kausebut ini sepi atau segerombolan laron yang tercampak
di trotoar. barangkali detak nadimu sendiri yang bergetar
seolah bunyi sitar. menggiring galau pada ujung yang kauusung
: kau menaiki kereta yang nyinyir

3. telah pagi
bunyi yang satu ini seperti uir-uir. (kuingat kampung halaman
tatkala melintasi tebing menuju sawah. sebatang pimping melukai jari
tanganku). ah, barangkali serupa dendang yang dilantunkan gadis kecil
di anak tangga. kampuang den jauah di mato...
lalu matahari yang menyapamu. adakah kaupahami makna rantau
bagi lelaki

4. terik siang
bayang-bayang tak mau tinggal
benarkah itu kesetiaan yang berceceran sepanjang jalan. atau...

5. menjelang dan sesudah senja
kaulihat awan berkemas. setelah upacara dengan matahari ia tinggalkan
waktu tergolek pasrah. alangkah banyak mimpi berkunjung
ke dalam hidup. tapi kita tak bisa meraih semuanya. sungguh tak bisa!
"lalu begitu setiakah kita dengan luka? begitu tak berdayakah kita
digiring bayang-bayang ke tempat-tempat semu semata?" teriakmu
sebelum orang-orang mulai menutup jendela dan pintu

senja lepas sudah. aku tak melihatmu lagi di antara pasir, capung-capung
dan debur laut. hanya sedikit pesan yang kau tinggalkan di sebuah
surat kabar sore: waktu tak selalu ada sebagai hitungan

2010

DAN KITA BERTEMU DI BALE TIMBANG

serupa gadis belia. harum putik padi, dan dada yang tumbuh
17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam. 17 tahun almanak tersimpan
sampai resan. dan kita bertemu di bale timbang
di malam tepi kota yang hampir kita lupa aromanya. kau ditemani seorang perempuan jepang dan pelukis burung hantu. aku masih dengan baju lusuh yang kemarin
"durian yang kita tanam sudah berbuah, tidakkah kaucemburu pada waktu?"
kau kembangkan lagi jalan-jalan. debu kota serta polusi yang berubah jadi pelangi

kemudian kita bercerita tentang pohon-pohon
sepetak tanah yang akan kautetesi susu. "aku ingin jadi ibu, meski cinta
adalah kata yang selalu terlambat!" katamu seolah mengukur-ukur sesal
(di matamu--dan itu jelas tak bisa kausimpan--ada gelegak amarah ingin
berloncatan). seekor kunang-kunang rebah di samping meja
perempuan jepang dan pelukis burung hantu memesan jus jambu
"mereka datang hanya untuk menyuburkan benci di tubuhku!"

17 tahun jarak diperam dalam hujan atau asin garam
17 tahun almanak tersimpan sampai resan
dan kita bertemu di bale timbang
bercerita tentang pohon-pohon

Denpasar, Mei 2010
Iyut Fitra lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatra Barat. Kumpulan puisinya adalah Musim Retak (Horison, 2006) dan Dongeng-dongeng Tua (Akar Indonesia, 2009). Giat di komunitas seni INTRO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman