Sastra Lampung Post

Sabtu, 18 Desember 2010

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 19 Desember 2010

Tajuk tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis.

PANDANGAN yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.

Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.

Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.

Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.

Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.

Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.

Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.

Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.

Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).

Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.

Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.

Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.

Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).

Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).

Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.

Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.

Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan

Puisi Agit Yogi Subandi


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 19 Desember 2010

Berjalan

seperti dugaanmu, aku telah menempuh jalan ini: berjalan dalam bimbang dan tetap sadar di dalam malam, meski akhirnya, kita memahami bahwa kata "sampai" akan tersuruk pula ke dalam makna yang selama ini acap kita cari-cari. seperti katamu dulu, jalanan ini memang begitu kedap. tak terhitung teriakan yang lesap ke dinding dan beton-beton di pinggir jalan, bahkan lorong-lorong, yang seharusnya memiliki gema di kala malam, telah mengecoh logika bahwa gema itu kosong. teriaklah sekuatmu, tak ada yang mendengar, karena setiap orang telah disibukkan dengan teriakan masing-masing. orang-orang hanya dapat melihat rautmu yang mengerut dan memancar. tak ada yang perduli, tak kan ada.

seperti katamu pula, menuju sebuah tempat yang dicita-citakan dengan menempuh jalan ini, kita jadi mengerti siapa yang pulang dan yang pergi dan siapa yang tak memiliki tempat kembali dan tempat untuk pergi. kini aku bersaksi, tentang jutaan debar di jalan ini yang hilang begitu saja, ada resah yang tak sempat sampai kepada gelisah, ada gelisah yang tak sempat termaktub ke dalam kisah. dan seperti katamu pula, bahwa di jalan ini, banyak orang menghiba pada sesuatu yang tak terduga. dan aku selalu mengingat kata-katamu, “berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”

(Tanjungkarang, 2009)

-------

Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Dibesarkan di Lampung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman