Sastra Lampung Post

Minggu, 29 November 2009

Sajak Heru Joni Putra

KATAK DI ATAS TEMPURUNG


Katak itu kubiarkan di atas tempurung, mungkin

ada yang ingin didengarnya, tak hanya tentang cuaca,

juga tentang pepatah yang telah lama menyebut dirinya.

Katak itu kubiarkan di atas tempurung, mungkin

ingin dilihatnya hujan telah reda sehingga ia tak perlu lagi

berteduh dalam tempurung: di dalam pepatah tua itu.

2009

UDANG DI DEPAN BATU

Entah batu apa yang disembunyikan udang

di balik tubuhnya. Aku kira batu yang biasa

diperbincangkan orang, batu yang cuma ada dalam laut:

pepatah yang sempit ini. Tapi kalau cuma batu biasa, tak

mungkin udang itu mau berlama-lama di depan batu itu.

Aku kira pasti ada sesuatu dengan batu itu. Mungkin itu

cuma batu prasangka yang tersusun seperti batu biasa.

2009

ADA GARAM ADA SEMUT

Di mana ada gula di situ ada semut, begitu katamu.

Dan kausebut habis manis sepah dibuang.

Gula telah habis, sayang, dan semut dibuang--

ke laut: pepatah yang sempit ini.

2009

DURI DALAM DAGING

untuk gus tf

Kutanam biji dalam dagingku berharap tumbuh jadi nadi,

biar bisa bunuh diri berkali-kali. Tapi biji malah sembunyi:

seperti kata dalam puisi. Serumpun akar dalam diriku

menjalar-jalar, mencari duri dalam daging:

biji yang ingin tumbuh meruncing.

2009

SAJAK TERJEMAHAN

Di hutan-hutan aku belajar bahasa pohon. Kuhafal setiap kosakata

dan pengucapannya: aku tiru suara pohon tumbang, bunyi akar

menembus tanah dan sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan.

Aku buat sebuah puisi dengan bahasa pohon dan tentu, kubaca

dengan logat pepohonan. Tapi, sungguh, tak mampu aku terjemahkan

kata tumbuh ke bahasa mereka.

2009

Heru Joni Putra lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Belajar di Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas, Padang.

Esai Saut Situmorang*

Lampungpost, Minggu, 29 November 2009
APRESIASI
Sastra Kampus, Sastra 'Underground'


DALAM perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil, dan sastra wangi.

Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun "pengamat sastra" tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai "sastra kampus" dalam esei saya ini.

Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku "leksikon/pintar" tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius memublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair "Angkatan 66" berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963)--yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)--di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980-an.

Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah "mahasiswa" telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan "sastra eksil" misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai "sastra eksil" Indonesia itu.

Sebuah buku bunga rampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak lima belas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, ketua dewan redaksi buku, sebagai "sastra eksil Indonesia". Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai "sastra eksil" sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya.

Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan "sastra eksil Indonesia" itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham, misalnya, belum apa-apa sudah menulis bahwa, "Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia.

Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri." Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu "sastra eksil Indonesia" bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang dewan redaksinya sebut sebagai "sastra eksil Indonesia" itu! "Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah," demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikit pun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.

Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan dewan redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai "sastra eksil Indonesia" itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair "sastra eksil Indonesia" tanpa penjelasan apa pun. Kalau definisi istilah "sastra eksil", misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai "eksil" itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekadar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hubungan antara status sebagai "mahasiswa" dan sebagai "sastrawan" yang menjadi ciri-khas para penulis "sastra kampus" sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai "mahasiswa" perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh "mahasiswa" apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis "mahasiswa-sastrawan" memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan?

Bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?

Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para "penulis Sumatera" yang kebanyakan berasal dari Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli, misalnya, menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut.

Novel Atheis Achdiat K. Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-a-vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.

Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.

Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung antitradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk Soneta dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai Free Verse dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan Balada yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris, di mana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, di samping bentuk orasi politik yang diberinya nama Pamflet Penyair.

Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti Meninggalkan laut yang tenang dari S. Takdir Alisjahbana, Aku ini Binatang Jalang Chairil, Si Anak Hilang Sitor Situmorang, sampai Abad yang berlari dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para "sastrawan kampus" yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rezim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?

Kalau "mahasiswa-sastrawan" seperti S. Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para "mahasiswa-sastrawan" kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau "mahasiswa-sastrawan" kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?

Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya "sastra(wan) kampus" agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya "sastra(wan) kampus" diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai "sastra underground" alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.

Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Yogyakarta

Cerpen Ugoran Prasad

Cerpen
Hantu Nancy

Kompas, Minggu, 29 November 2009 | 04:03 WIB


Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat.

”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”

Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.

”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.

Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.

Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.

”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.

Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.

”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”

Membalik badan, Senin bertanya kenapa.

”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”

Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa sampai tersedak.

Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot.

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.

Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.

Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.

Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan mati melotot melihat ngeri.

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.

Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan.

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.

Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di belakangnya.

Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.

Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup bau rambut terbakar.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman