Sastra Lampung Post

Sabtu, 21 Februari 2009

Rama Dira J

Kucing Kiyoko 

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:28 WIB 


Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan oleh kemunculan seekor kucing belang tiga di depan pintu flatku. Mulanya, ia mengeong-ngeong keras sambil mencakar-cakar pintu hingga membuatku berhenti menggosok gigi demi memastikan apakah benar seekor kucing berada di depan pintu itu.

Kulihat, kucing itu kuyu. Sekujur badannya basah, pasti terkena hujan. Di luar memang sedang hujan. Beberapa hari ini, Kyoto tak henti-henti diguyur tumpahan air langit yang begitu derasnya.

Meski sesungguhnya tak menyukai kucing, aku tidak tega membiarkannya kedinginan di luar. Lagi pula, dia sepertinya memang memohon pertolongan seseorang untuk melepaskannya dari jerat dingin udara Kyoto saat ini. Aku langsung menggendongnya ke dalam. Sebelum menutup pintu, barulah aku tahu kalau kucing itu terluka setelah tanganku basah oleh nanah yang berbau busuk, mengalir dari sebuah nganga luka yang dalam, pada pinggang sebelah kirinya. Sepertinya itu luka akibat tusukan benda tajam.

Aku bergegas memakai jas hujan, meninggalkan kucing itu sebentar demi mendapatkan obat yang pantas untuk luka yang mengerikan itu dari apotek seberang jalan. Nguyen, mahasiswa farmasi asal Vietnam yang nyambi bekerja di apotek tersebut menyarankan aku untuk mengoleskan salep chloramphenicol pada luka si kucing. Aku bergegas membayar, lantas menuju ke minimarket, sekitar lima puluh meter dari apotek. Di sana aku mendapatkan sekaleng susu cair dan Whiskas rasa tuna kemasan 500 gram. Setelah memastikan tidak ada yang terlewatkan, aku kembali berjuang menembus badai hujan demi mencapai flatku.

Kucing yang menyedihkan itu masih tergolek lemah di atas sofa, dalam balutan handuk yang kuberikan sebelum meninggalkannya tadi. Ia agak terkejut mendengar pintu yang kututup agak keras. Segera kuambil kapas dari kamar dan kubawa pula baskom berisi air hangat dari dapur.

Setelah menuntaskan ritual pengobatan pada kucing itu, aku langsung menyuguhkan padanya semangkuk Whiskas dan semangkuk susu. Ia langsung melahap habis semuanya. Selesai itu, ia langsung tertidur pulas dalam kelelahan. Kuperhatikan benar- benar, sepertinya kucing ini bukanlah kucing liar. Bulu-bulunya terawat. Badannya juga montok. Ah, biarlah dia di sini dulu sampai sembuh. Kalau misalnya dalam beberapa hari ini tidak ada yang mencarinya, akan kuantarkan ke rumah hewan saja.

Kucing itu menempati kardus mi instan yang sudah kuatur sedemikian rupa untuk memberinya rasa nyaman dan kehangatan yang layak, agar ia bisa tenang beristirahat dengan harapan berdampak baik pada penyembuhan lukanya.

Hari ini Minggu, aku bebas dari kuliah dan pekerjaan. Aku menuju ke depan TV, memutar sepiring DVD yang sudah kusewa dari rental di dekat restoran tempatku bekerja. The Catcher in the Rye judul film itu. Aku menontonnya dalam perhatian yang mendalam. Sejalan dengan mengalirnya kisah dalam film itu, aku mulai menyadari kenyataan bahwa terkadang, banyak hal kecil yang muncul di hadapan kita pada suatu waktu menjadi pemantik ingatan kita akan kenangan yang terjadi pada masa lalu. Film itu membawaku pada kenangan ketika aku terpaksa berhenti kuliah karena orangtua tidak bisa membiayai. Keadaan itu kemudian memacuku untuk merantau jauh, bekerja sambil menuntut ilmu di Jepang dengan menumpang sebuah kapal barang dari Surabaya. Sampai di Jepang, aku mencoba bertahan hidup dengan bekerja berpindah-pindah di restoran-restoran kecil, sampai kemudian aku menjadi salah satu juru masak yang bisa diandalkan di sebuah restoran besar berkat ilmu masak yang kudapatkan dari restoran-restoran kecil tadi. Dari pendapatanku sebagai juru masak di restoran besar itu, aku bisa membiayai kuliah.

Kini, aku bisa hidup mandiri dan tiap bulan juga rutin mengirimkan uang ke orangtua di kampung. Hari-hariku kulalui dengan berkutat dalam bumbu masak di sebuah restoran gabungan masakan Jepang dan Eropa, yang terletak di sekitar Imadegawacho selain juga bergelut dengan materi kuliah di Universitas Kyoto dalam bidang kelistrikan. Di sini, aku benar-benar menikmati pengaruh kerja keras, fokus dalam keseriusan yang tidak akan kudapatkan di negeriku sendiri.

The Catcher in the Rye usai, kenanganku pada masa lalu usai. Aku beranjak mematikan TV menuju ke meja makan, menyantap dua hamaagu dan teh hijau panas yang masih mengepul asapnya. Sehabis itu, aku pun terjatuh dalam tidur yang panjang di atas sofa. Sementara, hujan di luar tak juga reda, seolah akan turun selamanya.

Sebenarnya sudah lama aku tertarik pada gadis yang tinggal di flat seberang jalan itu. Namun, aku tidak bisa menemukan cara untuk bertemu dan berkenalan dengannya. Namun tak kusangka, si kucing belang tiga—yang sudah menjadi bagian dari flatku selama tiga minggu—berjasa mempertemukanku dengan gadis itu pada akhirnya. Kuketahui kemudian namanya sebagai Kiyoko, pemilik si kucing belang tiga.

Kiyoko datang pada suatu malam, menanyakan padaku apakah ada seekor kucing belang tiga gemuk yang nyasar masuk ke dalam flatku. Ketika kuperlihatkan kucing itu, tanpa ragu lagi dialah memang yang selama dua minggu ini dicari Kiyoko.

”Ada luka di tubuhnya waktu pertama kali terdampar di sini. Tapi sudah sembuh sekarang....”

”Wah, kasihan sekali... Takeshi....”

”Takeshi?”

”Ya, kuberi dia nama Takeshi.”

Dia kemudian bercerita bahwa di lingkungan sekitar situ memang ada gerombolan anak sekolah menengah yang suka menyiksa binatang. Ia berkeyakinan luka itu disebabkan oleh mereka. Di hari Takeshi terluka memang dia sedang tidak berada di flatnya, dia sedang pergi ke Nagoya.

Setelah mengobrol sebentar, dia berpamitan dan menawarkan aku untuk berkunjung ke flatnya, sekadar minum teh cha (teh hijau) berdua sebagai ungkapan rasa terima kasihnya karena telah menyelamatkan Takeshi. Aku langsung membayangkan: minum cha waktu hujan sambil nonton Serendipity atau Before Sunset, mengapa menolak?

Esok malamnya aku berkunjung. Ia memperlakukan aku dengan baik. Meski tak ada hujan dan tak sempat menonton film bersama, ia menyuguhkan teh hangat dalam sambutan serta percakapan yang juga hangat. Aku juga senang melihat Takeshi yang sudah sembuh lukanya dan yang paling penting, ia sudah berada kembali di rumahnya. Namun, satu hal yang membuatku heran, Takeshi tidak dibiarkan bebas. Ia terkurung dalam sebuah sangkar.

”Mengapa Takeshi di dalam sana?”

”Oh, ya, aku lupa tidak mengeluarkannya dari dalam situ. Tadi aku keluar sebentar, aku tidak bisa membawanya. Makanya kemudian kukurung saja dalam sangkar. Jika kubiarkan bebas sendirian, ia bisa keluar dari sela langit-langit. Aku takut ia menjadi bulan-bulanan anak-anak nakal itu lagi.” Ia kemudian menghampiri Takeshi dan membuka tutup sangkarnya. Takeshi langsung menghambur dalam pelukanku. Sepertinya dia ketakutan, setelah terkurung dalam sangkar itu.

Aku berusaha menenangkan Takeshi sambil membelai-belai tengkuknya. Agak lama Takeshi dalam gendonganku bahkan sampai ia tertidur pulas. Kuserahkan Takeshi pada Kiyoko dan Kiyoko membawanya ke kotak tidurnya.

Kiyoko bukanlah gadis cantik jelita yang sama sekali berbeda dengan perempuan Jepang yang biasa kulihat. Tampilan fisiknya biasa saja sebenarnya. Yang membuatnya kemudian berbeda adalah dia cerdas, penyayang binatang, dan memiliki perhatian mendalam pada seni tradisional, khususnya yang berhubungan dengan alat musik petik Jepang, shamisen, dan ia pun sangat mahir memainkan alat musik itu. Bukanlah suatu yang aneh kemudian mengetahui fakta bahwa dia ternyata adalah seorang dosen muda yang mengajar seni musik tradisional di Fakultas Seni dan Musik, Universitas Aichi Perfectural di Nagoya.

Setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit Kyoto-Nagoya atau sebaliknya dengan menggunakan kereta api supercepat, JR Shinkansen. Begitulah kemudian, di setiap hari minggu ketika dia libur mengajar dan aku libur kuliah dan bekerja, kami sering menghabiskan waktu berdua, bisa di flatku, bisa juga di flatnya dengan tiga aktivitas yang sama-sama kami sukai, yaitu memasak, menonton film, dan bermain samishen. Tanpa kecuali, Takeshi yang semakin menyukaiku, ikut meramaikan pertemuan kami.

Petang ini, dari jendela kaca flatku, di bawah sana kulihat Kiyoko sudah tiba dari minimarket membawa bahan-bahan untuk masakannya nanti. Hari ini gilirannya yang memasak dan menjamuku. Aku jadi gelisah menunggu telepon darinya. Dia memang telah mengatakan bahwa jika masakannya sudah selesai, barulah ia meneleponku.

Sebenarnya, dari tadi aku sudah bergegas mandi dan berpakaian rapi, mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam rencana untuk mengungkapkan keinginan jujurku akan hubungan kami. Tentu, aku mengharapkan dia mau menerimaku sebagai kekasihnya. Bagaimanapun, dari caranya memperlakukanku selama tiga bulan ini aku merasa yakin, ia juga menyukaiku. Acap kali ia jujur dan terbuka menyatakan ketertarikannya padaku sebagai lelaki perantau yang mandiri, disiplin dalam upaya menyelesaikan studi dan bekerja sendiri untuk hidup dan untuk biaya studi itu. Ia juga suka dengan keterampilanku dan takjub dengan rahasia bumbu masak yang membuat lidahnya tak berhenti ingin menyantap semua masakan yang kusajikan meski sebenarnya perutnya sudah kekenyangan.

Acap kali dalam pertemuan kami, memang dia selalu membantuku memasak, tapi sesungguhnya masakan-masakan yang disajikan di meja semata-mata lahir dari tanganku. Kali ini kutantang dia untuk memasak dalam janji pertemuan di flatnya.

Dua jam kemudian, telepon genggamku berdering. Dari seberang ia mengatakan bahwa masakan sudah siap dan aku sudah boleh bertandang. Sesampaiku di sana, ia langsung mempersilakan aku untuk menikmati masakan yang sudah tersaji di meja. Sebagai juru masak profesional, apa yang ditampilkannya di atas meja, kunilai lumayan menyelerakan. Aku langsung menikmati hidangan sukiyaki. Kenyataannya, sukiyaki bukanlah jenis masakan yang asing bagiku. Namun, sukiyaki ini terasa lebih nikmat dibanding sukiyaki buatanku. Ketika kutanyakan apa rahasia bumbu masakan itu dan bagaimana caranya ia bisa membuat sayuran dan daging dalam sukiyaki itu lebih menyegarkan, ia tak mau mengaku. Menurutnya itu adalah sesuatu yang harus dia rahasiakan. ”Jika kuberi tahu, nanti masakanku tidak akan menjadi spesial lagi.”

Sehabis menikmati sajian makan, kami duduk di sofa mendengarkan CD dari album terbaru milik Jason Mraz. Ketika Jason Mraz tengah melantunkan Lucky bersama Colbie Caillat, aku mulai mengutarakan bahwa aku menyukai Kiyoko dan berharap ia mau menjalin hubungan yang serius denganku. Sebagaimana yang kukira sebelumnya, tanpa penolakan, ia menerimaku sebagai kekasihnya sedetik setelah pernyataan keseriusanku.

Aku bahagia, begitu juga dia. Lantunan Lucky selesai dan sekonyong aku teringat pada Takeshi. Aku merasa berutang budi padanya sebab dialah yang telah berjasa besar mempertemukan aku dengan Kiyoko. Dialah si kucing belang tiga yang telah menghadirkan keberuntungan di hadapanku.

”Mana Takeshi?”

Kiyoko tidak menjawab langsung, ia justru beranjak menuju ke dalam kamar tidurnya dan membawa keluar sebuah shamisen baru.

”Ini...” katanya.

”Maksudmu?”

”Ini Takeshi!”

”Itu shamisen!”

”Ya... shamisen yang terbuat dari Takeshi.”

”Maksudmu?”

”Kulit di bagian kepala shamisen ini adalah kulit Takeshi.”

”???”

Kuperhatikan, memang kulit di bagian kepala shamisen itu berwarna belang tiga seperti milik Takeshi. Aku kemudian membayangkan apa yang sudah kami makan dalam sukiyaki tadi. Jangan-jangan itu daging Takeshi. Aku kemudian menebak dan tanpa perasaan bersalah dia mengakui memang itu daging Takeshi dan ia jujur berkata sudah terbiasa menyantap daging kucing yang kulitnya digunakan untuk membuat shamisen. Sebelum mengambil kulit mereka sebagai bahan pembuatan shamisen baru, Kiyoko pasti memeliharanya terlebih dahulu sebab kulit kucing yang sehatlah yang bisa membantu menghasilkan denting shamisen yang cantik. Dia juga jujur mengatakan bahwa luka pada Takeshi ketika kutemukan dulu adalah bekas tusukannya dalam upaya untuk membunuh kucing itu. Usaha itu gagal karena Takeshi berhasil lepas dan terdampar di tempatku. Ia merasa tidak enak mengajukan pengakuan itu di awal pertemuan. Tapi setelah kami sedekat ini, menurutnya tidak ada lagi masalah baginya untuk menuturkan semua pengakuan itu.

”Apalah arti seekor kucing...,” ungkapnya enteng.

Kuabaikan dia, langsung bergegas ke kamar mandi dan muntah di sana. Aku berpamitan tanpa memperhatikan reaksinya. Setibaku di flat, aku tidak bisa melakukan hal lain kecuali memikirkan untuk membatalkan hubungan kami karena bagaimanapun, Takeshi adalah bagian terbesar dari dirinya yang kucintai. Tanpa kusadari, kedua mataku basah membayangkan nasib Takeshi.

Tarakan, 24-25 Januari 2009

Merampok Holt, Mencederai Lekra

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:27 WIB 

WAHYUDIN

Pada September 2008, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menerbitkan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 setebal 584 halaman dengan sampul putih bergambar palu-arit.

Siapa yang tak akan terpikat dengan kata-kata Adrian Vickers ini:

”Ini adalah terbitan yang punya makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambaran yang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia” (hal 2; kursif dari saya).

Adrian Vickers adalah guru besar kajian bahasa dan budaya Asia Tenggara. Ini artinya, ia bukanlah orang sembarangan yang mau sembrono menilai sebuah riset atau buku sejarah—kecuali ia memang ingin memalukan diri sendiri.

Mungkin itu sebabnya, Muhidin dan Rhoma menjadi begitu percaya diri—dan membuka buku ini dengan pengantar, antara lain, seperti ini:

”Peran buku ini adalah membangunkan kembali panggung buat Lekra ’sepersis’ mungkin pada periode-periode yang bergemuruh itu…. Suara-suara persemayaman Lekra yang sejatinya hiruk-pikuk itu kami biarkan mengaok-ngaok dominan seperti apa adanya” (hal 6; kursif dari saya).

Sungguh besar kehendak mereka, bukan saja untuk mendudukkan buku ini dengan terhormat di ranah intelektual, melainkan juga untuk memuliakan Lekra di panggung sejarah Indonesia—dan ini tak main-main.

Betapa tidak, selama 1,5 tahun mereka bergelut dengan sekitar 15.000 artikel kebudayaan Harian Rakjat yang ”telah tersangkar selama 30-an tahun” sebagai ”bacaan terlarang” di sebuah perpustakaan di Yogyakarta. Dari sini, sejak April hingga pertengahan Agustus 2008, mereka merekonstruksi artikel dan guntingan berita itu menjadi buku yang dilewarkan Penerbit Merakesumba, Yogyakarta, ini.

Sungguh itu merupakan laku intelektual yang benar-benar heroik. Wajarlah jika mereka menjadi begitu bersimpati—kalau bukan berpihak—kepada Lekra. Tapi justru di sinilah letak perkara buku ini. Simpati yang begitu kuat membikin mereka lalai bersikap analitis.

Maka izinkan saya ”membersihkan” kelalaian tersebut, terutama yang berserakan di halaman 283-333 pada ”Bagian Lima: Seni Rupa” buku ini, sedangkan perkara ”membersihkan” halaman-halaman lainnya biarlah menjadi urusan peneliti surat kabar, sastra, film, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan perbukuan.

Pada ”Bagian Lima: Seni Rupa” ini, mereka tak benar-benar mempersilakan ”suara-suara persemayaman Lekra mengaok-ngaok dominan seperti apa adanya”, tapi mengintervensinya dengan merampok secara brutal perkataan dan pikiran Claire Holt dalam edisi bahasa Indonesia Art in Indonesia: Continuities and Change (1967)—yang kini telah menjadi klasik.

Karena itu, saya curiga besar mereka sebenarnya tak memiliki pengetahuan yang memadai tentang wacana dan sejarah seni rupa Indonesia. Perhatikan kutipan perkataan Muhidin dan Rhoma di bawah ini:

”Di tahun 1939, Sudjojono dengan teknik baru menghasilkan lukisan terbaiknya ’Di depan kelambu terbuka’. Lukisan yang lain yang dihasilkan dalam tema dan gaya yang sama adalah ’Cap Go Me’” (hal 289).

Saya sempat terkesima: bagaimana mereka tahu lukisan ”Di Depan Kelambu Terbuka” merupakan karya terbaik Sudjojono yang dikerjakan dengan menggunakan teknik baru—teknik macam apa? Ternyata, pencerapan tersebut merupakan ikhtisar dari pencerapan Claire Holt atas kedua lukisan Sudjojono tersebut. Berikut ini pencerapan Claire Holt yang sesungguhnya:

”Pada tahun 1939 Sudjojono menghasilkan apa yang mungkin merupakan lukisannya yang terbaik selama ini, yaitu ’Di depan kelambu terbuka’. Dalam tema dan ekspresi lukisan ini benar-benar tak ada yang mendahului dalam kancah seni Indonesia” (Claire Holt, hal 283).

Saya yakin anda bakal terkejut sangat setelah menyimak kata-kata Claire Holt ini:

”Pada tahun berikutnya Sudjojono menghasilkan lukisan yang lain yang baru dalam tema dan gaya. Dengan disebut ’Cap Go Me’, lukisan ini menggambarkan kegembiraan yang tidak keruan dari sekerumunan orang pada perayaan Tahun Baru Cina” (Claire Holt, hal 284).

Sungguh saya tak bisa menalar kelancungan yang serampangan itu—dan yang membikin saya semakin gregetan adalah tatkala mengetahui bahwa mereka melakukan perbuatan yang sama dongoknya kepada Basuki Resobowo. Simak baik-baik uraian mereka di bawah ini:

”Basuki Resobowo memandang Affandi yang hidup pada masa Orde Baru dengan cara yang berbeda. Affandi menurutnya adalah sosok yang memiliki mutu seni paling unggul di Indonesia, tetapi Affandi tanpa dimengerti dan disadari telah menjadikan salah satu faktor penghambat lahirnya manusia baru Indonesia, manusia konyol dan dekaden” (hal 330; huruf miring dari saya).

Mereka menginstruksikan pembaca buku ini untuk membaca pernyataan tersebut selengkapnya dalam buku Basuki Resobowo, Bercermin di Muka Kaca (Yogyakarta: Ombak, 2005: 30). Saya patuhi perintah itu—dan inilah, antara lain, kata-kata asli Basuki Resobowo yang saya temukan di halaman itu:

”Baiklah ini soal dia, karena di sini letak kepuasan hidupnya sebagai manusia. Yang jadi prihatin saya ialah bahwa Affandi tanpa dimengertinya dan disadari telah menjadikan dirinya sebagai faktor penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia, manusia yang tidak konyol dan tidak dekaden” (kursif dari saya).

Kita lihat, betapa mereka telah bertindak tak semenggah terhadap Basuki Resobowo—sosok yang mereka tahbiskan sebagai ”juru bicara seni rupa Lekra” (hal 296)—dengan menyelewengkan kata-katanya dalam paramasastra lancut yang menyesatkan pemahaman pembaca atas kemasygulan Basuki Resobowo terhadap sosok Affandi pada masa rezim Soeharto.

Para pembaca yang peka sangat mungkin menyaksikan aksi-aksi perampokan semacam itu—juga anakronisme menjengkelkan (hal 288 dan 312; hal 289 dan 312)—merajalela dalam ”Bagian Lima: Seni Rupa” buku ini.

Maka, saya terpaksa bereaksi keras: dengan segala kegegabahan mereka dalam merampok data sejarah milik penulis lainnya dan menggelapkannya dalam interpretasi sesat dan kesimpulan-kesimpulan beracun, mereka justru jauh dari ”sangat hati-hati”—bahkan cenderung melecehkan ”kebenaran ilmiah” untuk tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, dan bebas dari kepentingan nonilmiah.

Dengan demikian, mereka sesungguhnya berlaku tidak adil—bukan hanya kepada pembaca buku ini, melainkan juga kepada Lekra. Alih-alih memuliakan Lekra, mereka mencederainya dengan sejumlah mistifikasi sehingga Lekra tampak konyol dalam buku ini.

Sampai pada titik ini, saya kira, mereka telah mengabaikan wejangan anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Pramoedya Ananta Toer: ”Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta

Bangsa Maya Kuno

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:48 WIB 

Kalender suci bangsa Maya atau Tzolkin adalah pintu memasuki pemikiran suatu peradaban sangat maju di dunia Barat sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Para ahli meyakini, astronomi Maya Kuno adalah pencapaian intelektual yang menakjubkan, setara dengan geometri Mesir Kuno dan filosofi Yunani.

Banyak orang percaya, kalender berusia 2.000 tahun itu lebih akurat dibandingkan kalender Gregorian yang digunakan sejak tahun 1582.

Bangsa Maya Kuno hidup pada awal milenium pertama sesudah Masehi di wilayah Mesoamerika, yang membentang dari Meksiko Utara ke Honduras, di Utara Semenanjung Yucatan. Penduduknya antara 5 juta sampai 14 juta orang, bermukim di kota-kota yang kini dikenal sebagai Meksiko Selatan, Guatemala dan Belize.

Dalam The Mayan Calendar and the Transformation of Consciousness (2004), Carl Johan Calleman, PhD menulis, selain kebudayaan yang tinggi di bidang seni dan arsitektur yang ditemukan di kawasan-kawasan piramida, seperti Palenque, Tikal, Copán, dan Chitchén Itzá, bangsa Maya Kuno sangat dikenal kemampuannya dalam ilmu astronomi dan matematika. Bangsa inilah yang pertama menggunakan angka nol (0).

Bangsa Maya Kuno terobsesi pada waktu. Menurut Lawrence E Joseph dalam Apocalypse 2012 (2007), mereka menciptakan sedikitnya 20 kalender, disesuaikan dengan berbagai siklus, mulai dari kehamilan hingga panen, bulan hingga Venus. Penghitungan orbitnya sangat akurat dengan selisih hanya satu hari setiap 1.000 tahun.

Reruntuhan kota-kota mereka, menurut Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005), baru ditemukan tahun 1839 oleh ahli hukum dari Amerika Serikat, John Stephens, bersama juru gambar asal Inggris, Frederick Catherwood. Eksplorasi itu menemukan 44 kota dan tempat.

Terobsesi siklus

Yang terpenting bagi masyarakat Maya Kuno adalah etos kosmis. Kedamaian berarti sikap harmoni dengan gerakan abadi alam semesta. Akibat terpaku pada siklus, mereka tidak menyadari perubahan di sekitar mereka.

Hal ini mungkin menjelaskan keambrukan bangsa itu. Meski ada yang meyakini, mereka moksa, Jared Diamond secara metodologis menjelaskan, penyebabnya adalah hancurnya daya dukung lingkungan karena bertani dan membabat hutan secara berlebihan, serta pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.

Pandangan itu dikonfirmasi penelitian Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), yang menemukan serbuk sari terperangkap dalam sedimen berusia 1.200 tahun—menjelang keruntuhan peradaban Maya—di sekitar wilayah Tikal. Itu pertanda deforestasi masif; pepohonan lenyap, tinggal rumput.

Penyebab lain adalah perang terus-menerus memperebutkan kekuasaan dan sumber daya alam. Kurang dari satu abad, jumlah penduduk berkurang 80-90 persen. Menurut Diamond, perhatian para pemimpin saat itu tampaknya berpusat pada masalah jangka pendek. Mereka serakah, gila kuasa, dan menindas.

Namun, keruntuhan dramatis itu tidak menihilkan kearifan bangsa Maya Kuno, khususnya tentang ramalan bencana yang belum tertandingi. Penyerbuan Spanyol atas perintah Roma tahun 1519 sudah diramalkan dengan bantuan bintang-bintang di angkasa.

Ramalan itu menyelamatkan teks-teks kuno—yang masih disimpan para tetua di pedalaman—di antara ribuan teks yang dibakar penjajah dan empat buku tentang Kalender Maya yang kemudian ditemukan di Eropa.

Sekarang Kalender Maya meramalkan kejadian di dunia pada 21/12/2012! (MH)

Sajak-sajak Nirwan Dewanto

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:24 WIB 

Roti

—untuk Gregorius Sidharta Soegijo

Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia ibarat dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.

Ia memandang ke segala penjuru, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di bawah sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Jadilah aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.

Kudengar ia berkata di puncak lapar kami, (semoga aku tak keliru menirukannya), ”Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh tergesa-gesa piring dan cawan dengan tangan yang tetap saja mengandung tilas darah dan nanah dan getah, noda yang telah mengerak hingga ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.

Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia menggambarkan dirinya sebagai pendosa belaka. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan larut dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian—lelubang tusukan di kedua telapak tangan dan lambung kanannya). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa bersemayam di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), ”Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”

Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara ke dunia sana, mencari bebisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mengindahkan pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit beburung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu berkelindan dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti tampuk daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan menghadiahkan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami semua seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), ”Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”

Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal- kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya jingga-kencana fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.

Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, dan kurasa kami pernah bertarung di tepi selengkung sungai atau di bawah sepucuk tiang kayu palang—berseru, ”Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”

(2008)

Penunggang Kuda Hitam

—untuk Ugo Untoro

Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.

Gurunya, yang biasa mengajari ia menggubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, ”Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri,

di mana ia disudutkan oleh—entahlah, ia sungguh ragu siapa— bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, ”Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang telanjur punah itu. Agar kami mampu memercayaimu.”

Maka di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Raleigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur Mutiara, sapu ijuk Yu Sri—

sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, ”Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”

Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi, ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya ke arah matahari terbenam. Segera ia mendengar reringkik teramat akrab mendekat ke arahnya.

Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, terganas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda kepang, kuda dremolen, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda Larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, ”Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini.”

Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal itu.

(2008)

Pejalan Tidur Bulan Ramadhan


—untuk Reza Abedini

Tabah ia mencelupkan bola matanya ke dalam merah malam—

Terhalang sebatang sungai, ia melihat arus darahnya sendiri.

Kian ringan langkahnya ketika lumut menjalari tungkainya—

Dengan sabit bulan ia memburu ranjangnya ke seberang sana.

(2008)

Nirwan Dewanto adalah penyair dan pengesai. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu (2008). Ia kini membagi waktunya antara Jakarta dan Wisconsin, Amerika Serikat.

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman