Sastra Lampung Post

Sabtu, 17 Oktober 2009

Acep Zamzam Noor

Sajak Sajak

Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB


Seperti Sebuah Gurau



Seperti sebuah gurau, kau pernah berjanji akan menyayangiku

Dengan sungguh-sungguh. Lalu aku teringat kampung yang jauh

Bukit-bukit gersang di pesisir selatan, lereng-lereng tanpa pepohonan

Serta tenda-tenda pengungsian. Seperti sebuah gurau, kau selalu

Bercerita tentang teman-temanmu yang hilang, tentang becak-becak

Yang ditenggelamkan, juga tentang perubahan yang tak kunjung datang

Kadang kau berang karena melihat masih banyak rumah peribadatan

Yang dibakar, masih banyak fatwa yang dipaksakan, masih banyak

Pembalakan liar, masih banyak aparat yang kurang ajar, sedang teror

Masih terus dimainkan. Kau berang karena keadaan ternyata sama saja

Hukum belum juga ditegakkan, pendidikan semakin mirip perusahaan

Berbeda keyakinan selalu dijadikan masalah besar, sementara korupsi

Dimaklumi sebagai kegiatan sehari-hari. Kadang kau tertawa kecil

Sambil menyelipkan kata-kata cinta, mengulang-ulang ungkapan rindu

Yang tak pernah berubah sejak dulu. Tapi entah kenapa aku sering ragu

Menanyakan di mana tempat tinggalmu, berapa anakmu dan bagaimana

Kesehatanmu? Nampaknya kau pun tak mau tahu apakah orang sepertiku

Masih suka turun ke jalan raya, masih rajin memprotes para penguasa

Atau malah sibuk jatuh cinta? Diam-diam aku berjanji akan mengingat

Semua ucapanmu yang lucu-lucu. Sebagai gurau yang indah


Maut Terus Mengikutiku


buat Sinta Ridwan



Ketika turun dari kereta api, maut seperti mengikutiku

Dari belakang. Ketika memasuki hotel dan memesan kamar

Maut terus saja mengikutiku. Ketika sempoyongan di ruang karaoke

Dan muntah-muntah di halaman kafe, maut terus saja menyertaiku

Ketika meninggalkan Jakarta dan memasuki hutan-hutan di Sumatera

Maut tidak pernah ketinggalan menguntitku. Ketika terbang ke Sulawesi

Berlayar ke Kalimantan dan menyusuri sungai-sungainya yang lebar

Maut menjadi bayang-bayang di sekelilingku. Ketika tenggelam

Diterjang gelombang pasang, mautlah yang mengangkat tubuhku

Ke tepian. Ketika angin puting beliung menyapu kampung-kampung

Maut begitu setia menemani ke manapun aku mengungsi

Ketika gempa dahsyat menggoyang Jawa, maut dengan sigap

Menggamit tanganku. Jika maut terus mengikutiku, terus menguntitku

Lalu siapakah yang sebenarnya kutuju? Aku harus segera berbalik

Dan mengikuti ke manapun maut pergi. Aku harus segera memburu

Ke manapun maut akan berlalu



Kepada Seorang Penyanyi Dangdut



Di tengah melambungnya harga-harga

Suaramu semakin merdu saja



Di tengah membengkaknya hutang negara

Wajahmu semakin cantik saja



Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama

Tubuhmu semakin sintal saja



Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana

Goyanganmu semakin heboh saja



Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya

Kehadiranmu semakin berarti saja



Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa

Hargamu semakin melambung saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman