Sastra Lampung Post

Sabtu, 17 Oktober 2009

Esha Tegar Putra

Korantempo, Minggu, 18 Oktober 2009

SAJAK YANG BERMULA DARI SEPANTUN-SEPANTUN KECIL


sepantun gelapung hanyut

kalau disebut sepantun gelapung, maka hanyut akan teringat batangnya disebut-sebut, buahnya dibiar tiada tujuan

sepantun talang basah

diketuk juga itu talang, di dalamnya miang gatal bersarang di dalamnya bulat air diumpamakan di dalamnya basah tak dapat dikemanakan dan dari kulit luar itu talang bakal dibilah dengan parang

sepantun kopi pahit

kau dengarlah suara-suara yang berbunyi malam maka akan kau pantunkan kopi pahit rasa di lidah hendak dibuang, tapi candu di badan mengharuskan untuk menelan

sepantun benang basah

seringkali benang basah diberi maksud yang salah tak baik dipintal, tak baik diregang, tak baik ditarik ditegakkan

tak ada salah jika dikeringkan, didiang di bumbungan dapur atau diurai dari satu tangkai pohon ke tangkai lain agar gerak angin memberinya maksud lain jadilah benang berguna penyambung kain buruk

sepantun orang buta

jika berlari hendak disuruh, berjalan pun aku dipapah kusebut ini agar kau mematah agak seranting kayu biar aku belajar menyusun langkah

2009

JURU MASAK KAMPUNG

: damhuri

sesekali kau harus pandai menggunakan asam sebagai garam juga empedu sebagai tebu

di bunyi tingkahan sendok gulai dan kuali kau bakal menemu hal yang serupa itu

kau tak paham bagaimana dirinya mengurung mendung agar tak menurunkan hujan (dengan segenggam garam dan percikan buah asam ia lemparkan ke bara dalam tungku sambil merapal entah kalimat apa)

kau juga bakal tak paham bagaimana ia mengendapkan sari tebu ke dalam serat empedu sebab ia lihai meracik bumbu ia tahu di gelegak mana santan menggumpal ia hafal di wangi manakah lada, pala, garda munggu (di mana segala bumbu saling berpadu)

agar suatu kali kau maknai ia sebagai si tua, juru masak kampung yang selalu berkopiah berkain sarung lihai bersiul dan bersenandung pandai mengobat hati yang murung Gunuangpangilun, 2009 Esha Tegar Putra belajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Kumpulan puisinya Pinangan Orang Ladang (FramePublishing, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman