Sastra Lampung Post

Sabtu, 17 Oktober 2009

Iyut Fitra

Sajak Sajak

Kompas,Minggu, 18 Oktober 2009 | 03:02 WIB

Istri Penyair



setiap pagi ia seduhkan hangat sebagai kopi dan matahari. di bawah jendela kembang-

kembang ditanam mulai daun. dan ketika ia ceritakan retak mimpi semalam, penyair

hanya menyapa dengan selembar sajak tua; mengalirlah sebatas impian, meski yang

kita rindu adalah ruang kelengkapan



di meja makan siang beringsut perlahan. panas di ubun tegak tali. lelah yang terasa

ranggas dan gerah yang kekeringan. ia siapkan sebuah perjamuan juga sedikit nyanyian

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai tunas. terasa wangi mulai ada

tapi penyair hanya berkata; apa pun kenyataan, bertahanlah pada satu keabadian



malam menjadi ujung. selimut dingin terjela di ranjang. ia kisahkan bagaimana rama mencuri sesuatu dari sinta. kemudian ia buka kain pintu sebelum hasrat jadi beku

di bawah jendela kembang-kembang ditanam mulai putik. kumbang dan rerama ada di antaranya. penyair hanya gumam saja; kita kan ada sepanjang pandang terlihat sua



sebelum jatuh larut. ia rasa waktu akan beranjak lamban

“aku tertimbun kata-kata…”



Payakumbuh 2009

Kekasih


seperti kelelawar patah sayap. paruh dan cakar digantung bulan. kemudian kau datang

membawa sarang. berumahlah di tebing ini. di hatiku gerimis dan hujan bersusulan

gulung halimun. langit jadi seputih kapas. tidakkah kaurindu musim bersebadan segera datang? dan begitu saja aku telah memujamu. duhai!



bagai anak kijang berkaki pincang. sepi tersemai di tengah padang. lalu kaugamit

angin ragu arah. singgahlah di rindang ini. kemarau di luar akan panjang. limbubu

berkesiur datang membakar pohon-pohon. hanya lumut lembah di setiap jalan. kau akan

tersesat sebelum hari jatuh petang. dalam gamang, tiba-tiba, aku mencintaimu. o!



semisal rerama dan bebunga. duri-duri merindu darah. setelahnya kaubuka diri untuk

ngilu. hinggaplah di ranting ini. cuaca di tubuhmu rapuh. bunga-bunga kuncup juga

bunga-bunga kembang meliuk meminta warnamu. kau akan kehilangan cinta di setiap

senja. begitulah aku serahkan birahi ke hasratmu. wahai!



semisal aku dan engkau. dua petualang dan juga mungkin dua jurang. kita bertemu

ketika waktu lelah dalam jumlah. malam digelapkan kunang-kunang riang. gigil jua

yang bersandar. kauceritakan tentang sepasang kekasih kesepian di ujung renung

dan tanganku kaugenggam. demikianlah, aku pun berkasih kepadamu. duh!



Payakumbuh 2009


Pergi



kita hanya gerombolan burung-burung gundah, katamu seraya berkemas. kaubawa

segala yang pernah kauberi. di hatiku kemarau tiba-tiba. sebab hujan bermusim

kita tampung kautuang ke dalam malam. bila di selenting ranting pernah bersama

adalah canggah-canggah terasa sepi, dan kau pun berjalan. aku tak bertanya ke mana

tujuan. juga tak berkata tentang luka ditinggalkan



kurasa kini ada palung yang kosong. ada lorong-lorong kosong. bila saja masih aku

bernyanyi dendang lengang, adalah pucuk kehilangan tiada lerai. gerombol burung-

burung bercinta. berpasang kicau-kicau lampau. aku hanya sekejap-kejap singgah

saat tua daun-daun ruruh. aku akan berangkat mencari musim, seolah terngiang

juga kata-katamu sebelum aku dilipat waktu



kini kau telah pergi. tersebab itukah aku menanti?



Payakumbuh 2009


Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kumpulan puisinya yang sudah terbit adalah Musim Retak (2006) dan Dongeng-dongeng Tua (2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman