Sastra Lampung Post

Sabtu, 17 Oktober 2009

M. Raudah Jambak

Lampungpost,Minggu, 18 Oktober 2009

SENI BUDAYA


Syuhada yang Berkendara Gempa

Hari ini dan kemarin adalah hari esok

jalan kita menuju pintupintu surga

masuklah segera

gempa adalah sampan sajadahmu

yang paling gempita para syuhada

naiklah segera

maka, pada hari ini aku hanya bisa menabur

doadoa pada nisanmu yang entah tertanam

di bumi yang mana

Tujuh Koma Enam

Tujuh koma enam dinding itupun luluh lantak

selantak dadaku yang perih, seperih jeritan anak-anak

di bangsi

takpun bisa kuehentikan debar dadaku ini

meski sekejap gelap mata yang merembeskan

butiran kecemasan

kepadamu aku katakan, akan kubangun dinding baru

di dadamu dari padat batu yang masih tersimpan

di bara dadaku

maka, terimalah

Dari Sebuah Wasiat Singkat

Aku kehilangan kata-kata ketika kau wasiatkan

berjuta kata yang tak sempat kusimpan

yang kau kirimkan dari sebuah pesan

pilu hatiku menyimpan lemari kata-katamu

yang terbenam batu-batu sepenuh gunung debu

memadat, memekat

dan dari sebuah wasiat singkat yang kau amanatkan

akan kukirimkan tanda beribu bunga doa

di atas sajadah pada makammu yang tak bertanda

Kepada Para Pengusung Doa

Tahlilku tahlil sederhana mengiringi doadoa

yang menebar memenuhi semesta raya

mengetuk dadadada berlumur duka

tahmidku tahmid sederhana membunga doadoa

pada sekujur tubuh yang pasrah tak berdaya

dalam banjir air mata

tasbihku tasbih sederhana mengusung doadoa

yang tak pernah berhenti mengharap

demi sampai kepada bingkai cerita

Bayi Kardus

Takkan kulepaskan kehangatan semacam ini

sebab, waktuku memang untuk untuk itu

berpeluk pada kenistaan dan keniscayaan

tak usah kalian menjaring air mataku

dan menampungnya dalam kolam

kepura-puraan

tak kurasakan kepedihan apalagi duka

sebab, aku hanya hampa dari kedukaan

yang tercipta dan diciptakan secepat

peluru dari sudut mata kalian yang hina

dibungkus yang menahun setua

kepengecutan

medan, 2009

M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman