Sastra Lampung Post

Minggu, 02 Mei 2010

Penyair sebagai Sang Hermes Iswadi Pratama

Lampungpost, Minggu, 2 Mei 2010

APRESIASI

Penyair sebagai Sang Hermes Iswadi Pratama

MEMASUKI tahun 2010, penyair asal Lampung, Inggit Putria Marga, menerbitkan antologi puisi bertajuk Penyeret Babi.

Sajak-sajak dalam antologi ini dikelompokkan dalam dua bagian: Pertama, Mantra Petani (30 sajak), dan bagian kedua Pemuja Api (40 sajak). Pembagian ini saya kira lebih berdasarkan bentuk sajak daripada tematik atau periodisasi. Bagian pertama terdiri atas sajak-sajak yang relatif pendek dan bagian kedua lebih banyak menghimpun sajak dengan jejak prosa (ceritera) yang sangat kuat.

Kumpulan sajak Penyeret Babi dibuka dengan sajak Langit Begitu Sendiri: ada embun sisa hujan/di ranting patah// di daun yang basah/ada embun//sisa hujan.

"Si aku" yang biasanya sangat dominan dalam sajak-sajak liris Indonesia yang sering berwajah sendu, telah ditransfigurasi sedemikian rupa oleh Inggit sehingga dengan sajak-sajak yang mengisyaratkan laku 'meditatif' ini--penyair seolah adalah dia yang dikaruniai kemampuan untuk menangkap pesan dari ambang alam nyata--yakni kemampuan berupa kemahir-bahasaan dan kewaskitaan mengurai hikmah dan menangkap isyarat yang datang dari wilayah suprapersonal. Meskipun di sana-sini tendensi seperti ini bisa juga kita rasakan sebagai akibat dari pergaulan referensial Inggit dengan berbagai literature Zen-Budhisme, Tao, litarutur sastra mandarin-klasik, tasawuf, dan lain-lain.

Ada semacam "kesemestaan diam" atau khamusy atau laku Wu Wei dalam sajak-sajak di atas yang dibangun dari imaji, bunyi, juga sunyi. Sesuatu yang galib muncul dalam sajak tradisional Jepang, Haiku atau sajak-sajak China klasik (mandarin) seperti yang ditulis Ch'ang Ch'un: buih-buih datang silih berganti/sungai tetap mengalir/tak terganggu.

Puisi--dengan demikian--menjadi tempat konfrontasi antara kata yang terbatas dan makna yang tak terbatas.

Pada sajak-sajak pendeknya yang terangkum dalam Penyeret Babi, Inggit seperti mengajak kita menemukan sebuah dunia dan kesemestaan, dalam sebutir embun, debu, awan, bintang, segelas teh, debur laut, sehelai daun, sayap burung, batu di dasar kolam, harum dupa, kuil, purnama, tanah, mantra...

Kedekatan kepada alam, sekaligus merepresentasikan bagaimana dalam menulis sajak-sajaknya, penyair seperti menghadap-hadapkan diri pada kekuatan "Supra-Human". Pada sesuatu yang niscaya, mutlak, abadi, serentak, dan tak terbantah.

Kuil di Tengah Kota

Dengan kata dan frase yang ringkas, jernih, bunyi-bunyi yang lirih, Inggit meredam semua keriuhan, gejolak, karut-marut, ingar-bingar, segala yang liar dan binal, yang hendak berontak dan meronta, ke dalam diam. Sajak-sajak itu, kadang seperti mengajak kita untuk memeriksa dan merasakan sesuatu yang mengelupas, terlepas, tercerai, sobek dari apa yang rigid, banal, dan final. Justru karena itu kita jadi tersentak dan terguncang bukan dengan sebuah ledakan, melainkan bisikan, sentuhan pada bahu yang perlahan. sekelompok perempuan/memilih selendang/sesosok anak/menunjuk bintang//sebaris bintang menghilang/sehelai selendang/melayang (Sajak Hujan di Pasar Malam).

Rasa kehilangan, kebersendiran kembali membantun pada sajak Melihat Awan di Jalan: taburan burung gereja/di bawah/awan kota//lingkaran semesta//yang berlarian, menenggelamkan jalan/yang berjalan, lebur di pelarian/di padam lampu/memenuhi tujuan mata sepatu//namun, tak berlaku/bagi yang menunggu//pergi dankembali/hanya sebagian komposisi//juga burung,/yang terbang dan mati//di kota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman