Sastra Lampung Post

Sabtu, 08 Mei 2010

Avianti Armand





















Puisi

kompas, Minggu, 9 Mei 2010 | 04:37 WIB

Avianti Armand

9000 Km

Suara pintu terbuka. Seorang perempuan.

Di sini sebuah jeruk terbelah dua –

separuh untuknya, separuh untukku.

Lalu seorang lelaki berkata,

“Aku telah menempuh 9000 km untuk

memberikan ini padamu.”

Jeruk itu menengadah, seolah lupa.

Perempuan itu mengelupas jarak dan

membuangnya ke lantai. Di lantai,

merah jadi latar dan sepasang sepatu.

“Apakah dia baik-baik saja?” Tak ada jawab.

Tanganku meraih ruang di sela paha.

Tangannya menggenggam jeri

yang segera meleleh.

Selalu ada satu titik di awal.

Sebelum sela pada senar cello dan

nafas tergesek. Satu satu.

Sebelum potongan adegan terakhir –

kaki-kaki yang berselingkuh dan bibir

yang bertumpang tindih.

Sebelum 9000 km.

Di lantai itu butiran jeruk menggelinding

ke bawah kursi.

Aku sekali lagi tertunduk.



Avianti Armand

Satu Matahari


Di batas itu, aku memilih menjadi buta.

Kenapa? Tanyamu.

Setahun yang lalu aku telah melihat sesuatu

yang tak seharusnya kulihat.

Mereka bilang: matahari.

Mataku menangkap: dia.

Tubuhku seketika mengerang oleh cahaya yang terlalu terang. Dan terlalu gelap.

Lalu dia bergantian mendenyutkan ingin yang akut – seperti desah dalam lipatan daging.

Terang – gelap – terang – gelap.

Cadar ini terlalu tipis untuk menyembunyikan rasa.

Apa yang kau lihat di jalan itu?

Genangan air yang jadi hijau?

Merah, kataku. Hujan merah.

Di balik garis-garis basah, dia indah

dan selamanya berpendar.

Di sini, gambar-gambar memudar.

Setelah itu, mereka mencoba menghilangkan cahaya dari ingatanku.

Tapi aku masih bisa merasakan panasnya.

Kata mereka, cuma ada satu matahari.

Kataku, itu milikku.

Dan aku tak mau berbagi.

Di batas itu, aku memilih menjadi buta.

Kenapa? Tanyamu.

Entahlah. Mungkin cinta memang begitu



Avianti Armand

Menit


Di kotak telepon, cahaya membiru seperti memar. Di dering ketiga, kita sama-sama tahu –

huruf-huruf setebal kitab itu tak akan bersahabat. Cuma nama-nama yang tak kita kenal.

Dan siklus yang tak putus dari perpisahan,

hujan, musim panas dan insomnia.

Suatu hari seseorang menunjuk arloji di tangannya dan berkata, ia akan mengingatku di menit itu selamanya. Sejak itu, selalu ada yang membersihkan jam di ujung lorong agar tak jadi abu.

Enam belas april. Jam tiga siang tahun lalu. Ingatkah kamu?

Tidak. Tapi menjelang malam,

akan ada jalan yang basah

dan trem yang membelah.

Aku telah membeli tiket untuk menjemput

menit yang mati yang terselip di obituari

surat kabar hari ini.

Kamu memang tak akan datang.

Siluetmu saja yang kerap berhenti

di depan titik hilang.

Dan tepat di atas besi penutup jalan,

perpisahan terjadi lagi, hujan jatuh,

dan musim panas tertinggal.

Sesudahnya, kamu tahu, kita takkan sanggup mengingat apa-apa.

Seperti apa matahari tenggelam hari itu?

04.12 – 17 Januari 2010

“9000 Km” terinspirasi film pendek Wong Kar-Wai I Travelled 9000 Km To Give You This.

“Satu Matahari” terinspirasi film pendek Wong Kar-Wai There’s Only One Sun.

“Menit” terinspirasi film Wong Kar-Wai Days Of Being Wild.



Indrian Koto

Kopi Panas dari Bekas Planet Terbakar


aku melihat planet-planet sedang diciptakan

dari gelembung air matang untuk seduhan kopiku.

sepanjang dua puluh empat jam aku bolak-balik

ke dapur yang kurasa seperti toko yang bangkrut.

aku melihat cakrawala membentang dalam periuk.

api menciptakan sabda lewat asap kompor.

aku merasa seperti sebuah keberangkatan yang jauh.

pergi yang tak pernah pulang. pergi sebagai orang terusir

ketika semua genap diciptakan. dinding dapur menggelupas

seperti toko yang habis dijarah.

penghuninya bertahan hidup dengan menjelma hantu.

di tanganku, gelas kopi menjadi gelombang sunyi.

sebuah kota tenggelam di dalamnya. aku merasa

kesedihan mencuat dari adonan gula

bagai kuburan tua yang sebentar lagi akan dibongkar.

aku menciptakan kopi

dari bekas planet yang tak jadi.

kompor terus membakar penciptaan demi penciptaan.

2010



Indrian Koto

Menjelang Ajal


mereka urung menekan pelatuk dan membiarkannya melenggang

menuju malam yang tak pernah tidur di jalan-jalan keramaian

pecah setelah lama ia tidak melihat bentuk trotoar deretan toko

serta kerumunan para gadis ia ingin berjalan terus melewati

tembok penuh coretan poster iklan di tiang listrik lampu jalan

yang tak menyala tikus berlarian dari satu selokan ke selokan

lain tak akan ada yang menyapanya tak akan ada yang

mengenalnya dunia telah lama menguburnya koran dan televisi

mengabaikan dirinya setelah mengambil untung atas

kejahatannya lalu membunuhnya diam-diam diganti dengan lebih

sadis lebih hangat lebih ngeri sekaligus menakjubkan ia

terabaikan di sel sempit bertahun-tahun membayangkan masa

lalu dan menghidupkan semua kenangan di kepalanya menghibur

maut yang tak kunjung mengetuk

tapi malam ini ia bisa mencium rumput bau malam yang

membuatnya akan terus mengenang sebelum ia berhadapan

dengan maut yang menunggu dan ditunggu ia membayangkan

mereka urung menekan pelatuk dan membiarkannya melenggang

menuju malam yang tak pernah tidur

2010



Avianti Armand tinggal di Jakarta. Ia kerap menulis catatan perjalanan dan ulasan arsitektur. Bukunya adalah kumpulan prosa lirik Negeri Para Peri (2009).

Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini aktif di Rumah Poetika dan Rumahlebah Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman