Sastra Lampung Post

Sabtu, 20 Maret 2010

Setelah Keruntuhan Candi Kata

Setelah Keruntuhan Candi Kata
korantempo,21 Maret 2010
Zen Hae

DUNIA puisi Indonesia modern adalah dunia yang hancur-lebur. Lebih dari 60 tahun silam Chairil Anwar sudah menyatakan itu dalam sajak-sajaknya. Kehancuran dunia dan upaya aku untuk terus bertahan bukan hanya menjadi tema yang bersembunyi di balik struktur sintaksis puisi, tetapi muncul lewat frasa-frasa yang tegas sekaligus kikuk, padat-gerumpung, dengan bentukan kata yang bergerak antara kelisanan yang telah berurat-akar dan keberaksaraan yang terus memperkukuh diri. Chairil mengalami modernitas sebagai yang pedih dan mematikan tapi juga menyala-nyala, memberi daya hidup hingga seribu tahun lagi.

Sindu Putra adalah salah satu penyair Indonesia mutakhir yang memperpanjang gema kehancuran dunia itu. Dalam naungan gema itu, segalanya bisa tidak memberi harapan sama sekali, termasuk puisi itu sendiri. Baginya, puisi adalah “candi kata”--“Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata Chairil. Sebuah tempat semadi yang semula dipercaya bisa menyelamatkan penyair, tapi kemudian terus-menerus kehilangan aura mistiknya dan kelak hancur.

Tentu saja candi kata bukanlah temuan yang khas Sindu. Lebih dari delapan abad silam, menurut P.J. Zoetmoelder, para penyair Jawa Kuno (sang kawi) menegaskan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan dewa sekaligus wadah tempat ia bersemayam. Dalam “yoga literer” itu, sang penyair berharap keindahan syair-syairnya mampu memikat sang dewa supaya turun dan berdiam di dalam candi kata sebelum akhirnya ia mencapai kemanunggalan dengan dewa pilihannya itu. Pengantar kakawin Bhomantaka menyebut, “Semoga candinya kini didirikan di dalam kata-kata syair ini, sehingga merupakan suatu tempat kediaman yang pantas bagi dewa asmara yang menampakkan diri.”

Sindu dan para pendahulunya menempatkan candi kata sebagai sebentuk metafora. Bedanya, Sindu mengupayakan tipografi puisi yang lebih asosiatif. Di mana pun dalam puisi Dongeng Anjing Api (Arti Foundation, Juli 2008), pemenang Khatulistiwa Literary Award 2009, kita akan menemukan bangun puisi yang menyaran kepada wujud separuh candi, yang jika dicerminkan akan menjelma sosok candi utuh. Penyair memadukan sedemikian rupa larik-larik panjang dan pendek, di samping menjarangkan secara ekstrem spasi antarkata, sehingga menyerupai lubang-lubang pada dinding candi.

Lubang-lubang itu seakan-akan mau menegaskan bahwa sebuah tempat semadi tidak terputus sepenuhnya dengan dunia ramai, semacam ventilasi yang mengalirkan udara dan cahaya matahari. Tapi mereka bisa juga muncul akibat copotnya sejumlah besar batu penyusun candi tersebut. Karena itu, unsur-unsur di dalamnya bukan lagi “puing-puing yang saling merekatkan diri,” sebagaimana dinyatakan Nirwan Dewanto dalam pengantar Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, tetapi yang bersiap menyongsong kehancuran. Sebuah nujuman sang penyair menyebut pada akhirnya “candi kata itu pun runtuh.” Lantas, “puisi terakhir yang aku tulis di tubuhku, punah” (puisi “Akhir dari Puisi”).

Puisi sebagai candi telah runtuh, selaku rajah pun sirna. Maka tampillah zaman tanpa puisi. Zaman tanpa keindahan. Ketika manusia, dengan “tangan meleleh”, “tanpa aksara”, “kehilangan warna dan rambut merah”, terpenjara di dalam “rumah kaca”. Sedang di luarnya hanyalah dunia yang penuh luka dan kematian. Tapi dua makhluk yang melambangkan kebebasan dan keindahan penyair dan puisinya masih mencoba bertahan hidup: “kupu-kupu mendaur ulang sayapnya / di sela waktu yang tersobek / burung-burung mengeramkan paruhnya hingga tanpa abu”. Dalam hantaman samsara ini yang bisa dilakukan aku kemudian adalah semadi untuk menemukan kembali kaitan dirinya dengan alam ilahiah. Maka, di bait akhir puisi itu Sindu menulis:

Tubuhku inilah tanah sebuah hutan terbuka

ke mana pohon merapuh, burung dan kupu-kupu dituakan”

aku ciumkan tanah, menghormati padi

menghormati segala yang ditanam dengan siraman air mata

tubuhku pun payau, merindukan bakau

puisi, berakhir juga ke tubuhku

Tamatnya puisi adalah tema penting, jika bukan terpenting, dalam Dongeng Anjing Api. Puisi lainnya, “Dalam Tubuh Artupudnis”, menyatakan sirnanya puisi berlangsung di dalam keseluruhan tubuh “artupudnis” (anagram dari Sindu Putra). Bedanya, sirnanya puisi di sini tidak didahului oleh bencana. Bukan manusia, melainkan tuhan (dengan “t”) yang mendapati fakta itu. Apakah itu berarti penyair artupudnis sudah mati, sehingga puisi di tubuhnya lenyap begitu ajalnya tiba? Sehingga yang hadir di hadapan tuhan adalah bukan lagi penyair, tetapi “mantan penyair”?

Teka-teki ini bisa dipecahkan dengan menelusuri berubahnya proyeksi ujaran puisi. Jika pada dua bait pertama “aku lirik tersembunyi” menempatkan artupudnis sebagai alter ego dalam posisi orang ketiga yang tampaknya sudah mati, baik harfiah maupun metaforis. Di bait-bait berikutnya aku menempatkan alter ego-nya itu dalam posisi orang kedua dan disebutnya “kau”: “Kau masuk ke dalam mimpi mereka”.

Lantas siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memburu terang yang lain setelah kematian penyair. Yang berpesta di bawah patung pahlawan di tengah keramaian kota. Sebuah pesta yang karena permainan oksimoron dan pengulangan subjek menjadi tak bermakna dan mengasingkan: “mereka berpesta cahaya lampu yang gelap / mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna”. Kau kemudian bukan hanya hadir dalam mimpi tapi dalam kehidupan nyata, seperti Yesus yang menampakkan diri di depan muridnya, yang membuat mereka “melolong / memandangimu yang tegak di antara mereka / bagai patung pahlawan, bagai patung garam”.

Kini yang terasing bukan hanya mereka, tetapi juga kau yang tidak bisa memahami perilaku mereka, karena “mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenal / yang belum dicipta para mantan penyair”. Tapi di mata tuhan, semua ini keheningan belaka; sebuah kondisi yang mendorongnya menunjukkan kuasa, “dan keheningan ini tuhan / mewarnai juga mimpi mereka”. Sebuah keheningan mahapanjang yang menandai tamatnya puisi: “dalam tubuh artupudnis / tuhan tak lagi menemui puisi / sepanjang sejuta tahun keheningan ini”.

Jika tamatnya puisi membuat penyair tidak lagi punya peran dominan, kematian penyair berlangsung bersamaan dengan kelahiran puisi. Ia adalah pemakzulan terhadap hasrat yang mendewa-dewakan penyair sebagai oknum yang lebih penting daripada puisi itu sendiri, setelah sebelumnya otoritas kepenyairan itu disangsikan. Dalam puisi “Penyair dalam Diriku” sang penyair dinyatakan “mati” dan puisi menjadi “epitaf nisan, tempat namaku / dilupakan, nama penyairku”. Sementara puisi “Batuan” merumuskan pemakzulan itu dengan pembalikan logika Cartesian: “karena aku menulis puisi / maka aku tak ada”.

Penyair tidak sepenuhnya sirna, sebenarnya. Ia mengepompong. Momen yang dalam puisi lainnya dimanfaatkan untuk “memahami gurat bunga” (puisi “Hutan Bakau”). Lanjutan puisi “Batuan” menegaskan bahwa sebagai patung indigo si penyair akan menjadi penjaga rumah kupu-kupu:

...

dan nun di batu-batu Batuan

sebuah rumah kupu-kupu berdiri

setipis bayangan,

dikelilingi pohon-pohon yang dikerdilkan

yang bersikeras memanjang

berbunga dalam redup, lebih rendah dari perdu

sarang serangga malam, dengan sengat beracun

dengan mata awan yang tumbuh

rumah kupu-kupu itu kini,

milikmu. tinggi.

sementara dengan sayap-sayap berlumpur

aku berkepompong dari luarnya

Kutipan ini menonjolkan setidaknya dua hal. Pertama, surutnya dominasi aku lirik atas ujaran puisi. Di sini ia semata-mata narator dan bukan tokoh utama. Ia dikendalikan, bukan mengendalikan. Ia hanya kepompong, belum lagi kupu-kupu. Yang dominan di sini adalah suasana liris alam yang bergerak sedemikian rupa; yang tak terjangkau lagi oleh kekuasaan aku. Kosongnya peran aku lirik, dalam contohnya yang terbaik, bisa kita temukan dalam sejumlah “puisi suasana” Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Kedua, pemalihan. Kepompong adalah fase yang menghubungkan “aku-yang-sudah” (manusia-ulat) dengan “aku-yang-akan” (manusia-kupu-kupu). Dengan kata lain, “aku” akan mengalami pemalihan (metamorfosis). Bukan lagi manusia, tetapi segala yang bukan-manusia: hewan dan tumbuhan. Bukan hanya kupu-kupu, tapi juga burung, ulat, serangga, ikan, kodok hijau, batang pisang, dan seterusnya. Dalam Hinduisme, konsep yang berkerabat dengan fenomena ini adalah reinkarnasi. Yakni, seperti kata Robert Zaehner, “Kondisi di mana jiwa individu dilahirkan kembali merupakan akibat perbuatan-perbuatan buruk atau baik yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.”

Bagaimana hubungan pemalihan ini dengan dengan reinkarnasi dalam Hinduisme, bisa menjadi telaah tersendiri. Yang bisa dicatat, pada Sindu pemalihan lebih menyerupai sebentuk adaptasi dalam hidup yang dirundung kehancuran, dengan imbuhan surealisme di sana-sini, daripada “hukuman” bagi jiwa yang buta terhadap jalan iman dan kitab Veda. Di awal puisi “Tentang Sebatang Pohon”, misalnya, aku lirik yang memasuki hutan kota dan menggenggam pohon tiba-tiba menjelma jadi sebatang pohon, yang di lidahnya mekar sekuntum anggrek hitam. Tapi itu belum cukup. Di akhir, ia benar-benar menjadi sekuntum bunga, setelah tergoda oleh permainan elipsis: “aku merasa (jadi) sebidang kupu-kupu”:

...

aku berulang-ulang mengeja membungkuk searah matahari

merebahkan tubuh mengikuti sumbu bumi

aku merasa sebidang kupu-kupu di antara warna-warna membakar

seseorang memintaku memasuki kepompong waktu

aku jadi setangkai kembang manikung yang tertanam dalam api

Apakah sebatang pohon yang menjadi setangkai bunga sama dengan Gregor Samsa yang menjadi seekor serangga raksasa atau ulat yang menjadi kupu-kupu? Pemalihan ini baru tampak masuk akal jika permainan elipsis itu ditafsir begini: “aku merasa (kehadiran) sebidang kupu-kupu”. Kelak kupu-kupu yang berkomplot dengan api itulah yang mengisap saripati kembang manikung. Lantas ia akan layu, mati, hangus. Bukan hanya oleh kupu-kupu, tapi juga oleh api. Inilah fenomena yang diharapkan bisa sejajar dengan kematian penyair dan keruntuhan candi kata: wujud-wujud mutakhir dunia yang hancur-lebur itu.

Zen Hae telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007). Tulisan di atas adalah bagian pertama. Yang kedua akan termuat minggu depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman