Sastra Lampung Post

Sabtu, 20 Maret 2010

SAJAK-SAJAK: M. Aan Mansyur

Lampost, Minggu, 21 Maret 2010
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK: M. Aan Mansyur

Masalah Masa Lalu: Catatan dari Masa Depan Ayahku
: kepada Safinah, ibuku

lantai tidur kedinginan. kau lihat itu dari mata

seekor burung yang termenung di ranting

yang tangannya memegang terali jendela

maka kau hamparkan selimutmu ke tubuh

lantai. kau tidak ingin burung itu murung

dan mati. kau merindukan sayapnya

masih mengepak-ngepak besok pagi

sementara tubuhmu yang telanjang

telentang di ranjang yang menyudut

di kamar sangat berwarna abu-abu itu

kau percaya dari dalam mimpi akan ada

tangan menjulurkan doa sehangat pelukan

tanganku?

bagian lain dari tubuhmu hanya menumpang

di senyummu. senyum itulah yang menampung

hidup. seluruh angin yang melintas menghirup

nyawa mereka dari situ. begitu pula setiap harap

yang nyaris putus milik pejalan kaki yang melihat

kau duduk menghadap jendela

lihatlah, anak panahku yang menancap di dadamu

kecewa. ia cuma mengotori dirinya dengan darah,

padahal ia menghendaki kejernihan airmata.

dan tangga-tangga yang mendaki tubuhmu

telah menjatuhkan setiap kaki yang membawa

pemburu. siapa sesungguhnya yang kau tunggu?

aku sudah mati berkali-kali namun senyummu

selalu bisa membongkar petiku—meskipun

aku telah menguncinya dari dalam

di samping jendela kau duduk membiarkan

kepalamu mengepul-ngepulkan asap dari dapur

di dadamu yang selalu sibuk memasak rahasia

sore itu langit baik-baik saja.

ada banyak layang-layang yang sedang

bermain di udara. satu layang-layang

menjulurkan ekornya meminta gunting

kau malu-malu dan malah mengelus-elusnya

seolah itu rambut dan kau jatuh cinta

kepada pemiliknya

sejumlah batu di atas meja, teman-temanmu,

yang kau ajak bercakap sejak pagi terharu

tapi mereka merasa bersalah tak tahu menangis

apakah kau tak pernah mengajari mereka?

kau selalu terbuka seperti stasiun.

di tubuhmu tumbuh semua jenis pelukan:

selamat jalan atau selamat datang

sebab aku meninggalkan diriku

sebanyak aku mengunjunginya

kau selalu robek seperti sehelai karcis

demi mengantar aku pergi ke mana pun

kemudian kembali sekali lagi

dan kemudian tidak lagi

angin yang datang dari jauh itu membawa sehelai

saputangan lusuh: helai angan yang pernah kau lepaskan

mencari masa lalu yang dulu mencuri hidupmu

saputangan itu dipenuhi kupu-kupu dan ajal

mengerubungi sayap-sayap mereka yang rapuh

kupu-kupu itu menjatuhkan telur-telur bening

ke perawan payudaramu, sepasang bukit

mata air sungai susu surga

ini terakhir kali, katamu, kau tabahkan tubuhmu

menjadi kepompong. setelahnya kau ingin mati

kupu-kupu baru akan kau biarkan terbang

sejauh-jauhnya dan angin tak akan mampu

menemui dan mengembalikan mereka lagi

ke bunga-bunga yang tumbuh di makammu

apa yang paling menyentuh

yang mampu dimimpikan kepalamu?

"kepalaku memiliki ribuan mata lampu

jalan yang sudah berkali-kali mati tapi

tak seorangpun tega mengubur mereka."

aku tahu. cahaya yang aku lihat bangun

saban petang itu adalah hantu-hantu,

memata-matai tungkai tiap pejalan

yang melintasi sepi mereka sendiri.

hantu-hantu itu kau kendalikan

untuk menyeret jalanku kembali

ke sisa usiamu yang menunggu

mata pisau atau tali mencintai lehermu. semua

yang mampu melukai jatuh cinta pada lehermu.

aku juga. tapi putih lehermu tak pernah pucat.

cinta tidak akan bisa membuatnya patah

kau percaya: cinta adalah mata air air mata.

tapi aku tak pernah melihat ada yang jatuh

dari matamu kecuali cahaya. sementara

di sini alangkah sakit aku menyakitimu

di dalam mimpi segelap apapun di sana

selalu ada sebatang pulpen yang mampu

mencatat setiap nama atau kehidupan

bahkan kehidupan yang sudah mati

tetapi di dalam mimpimu tinta pulpen itu

hanya jatuh cinta kepada satu nama,

nama yang melukaimu: aku

akan kau apakan catatan-catatan

dengan huruf selalu dalam urutan

yang sama? bagiku itu hanya bebiji obat

yang tak akan habis dan rutin harus ditelan

sementara aku tak akan sembuh, aku sudah

terkubur di masa depan dengan rasa sakit

menahun setelah menyakitimu berkali-kali

bertahan sendiri bertahun-tahun di masa lalu

telah mengubahmu menjadi seorang peramal

"pada akhirnya burung-burung akan memilih

disangkarkan daripada dilepaskan ke udara.

dari beranda, di kepala atau di manapun kau

gantungkan, kicaunya akan memintal benang

yang bening untuk menambal luka di dada."

"pada akhirnya setelah hamil berbulan-bulan

telur hanya akan melahirkan mesin-mesin

berkarat yang akan tumbuh jadi anak-anak

yang tak tahu apa-apa kecuali menyakiti."

tetapi jari-jarimu hanya mampu menjangkau

jarak yang tak seberapa—tidak akan sampai

ke masa depan yang menyimpan aku

10

ada tiga sangkar yang selama ini kau rawat

seperti anak-anak yang menamaimu ibu

satu sangkar berisi sebatang pohon mandul

(padahal kau merindukan buah yang mampu

mengembalikanmu ke surga) dan burung-burung

yang sering menatapmu di rantingnya sekarang

senang hidup di dalam bingkai kaca di dinding

sangkar kedua berisi segumpal awan yang tidak

pernah menangis, yang melarikan diri dari langit.

dia tidak suka berada di ketinggian sejak kau

selalu menunggu ada sesuatu yang jatuh

sementara sangkar lainnya, tubuhmu,

berisi aku dan perihal lain yang tak bertemu

secelah jendela untuk kembali ke masa lalu

11

kau semakin tua, kau semakin tua

namun masa lalu di kepalamu semakin muda

umpama remaja baru terluka oleh cinta pertama

masa lalu tidak membutuhkan vitamin

untuk sehat dan kosmetik untuk cantik

aku tahu untuk itulah kau membangun kincir

di kepalamu untuk menghalau masa depan

yang akan datang menghancurkannya

antara masa lalu yang kau pelihara

dan masa depan yang menyesatkan aku

ada seutas tali yang tak bisa dilalui apapun

setiap kabar atau rindu yang meniti di situ

akan jatuh dan tak sampai—tetapi mengapa

kau tak juga mengguntingnya?

12

kau sudah meluruhkan seluruh pakaian

berwarna putih pengantin yang kau kenakan

di masa lalu. sepasang bibirmu hari ini hitam

sewarna kain yang menutup mata dan tubuhmu

kau ragu menopang dadamu yang berat

seolah ada benda-benda yang akan jatuh

dari situ tetapi kau ingin menyentuhnya

sekali lagi sebelum pecah membentur lantai

tak ada, tak ada yang bergetar sama sekali.

bayanganmu melekat di dinding seperti lukisan.

angin telah berada di luar jendela sejak pagi.

tempat tidur, meja dan kursi, sangkar-sangkar

dan mahkotamu yang membentuk rupa-rupa

mimpi sudah rela menjadi penghuni museum.

tapi kau hendak ke mana dengan mata

tertutup sesungguhnya?

--------------

M. Aan Mansyur, lahir di Bone, 14 Januari 1982. Sehari-hari bekerja sebagai pustakawan di Kafe Baca Biblioholic di Makassar. Kumpulan puisinya Hujan Rintih-Rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah(2008), dan Cinta yang Marah (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman