Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB
Balada Siapa Saja
IA bernafas dengan harmonika, gamang membayangkan
syair, sajak penyair terakhir, tentang maut & lahir.
Ini seperti balada tentang siapa saja, seperti
petualang menemukan peta pantai hilang, lalu ia
berikrar akan jadi tua, meninggal nama, di sana.
Sebuah lagu akan rampung dihirup-hembuskan, ia
mengecupi harmonika seperti bibir kekasihnya.
Selalu itu membuatnya lebih dalam mematakan pejam.
Ini seperti balada tentang siapa saja, dan itu
berarti yang paling mungkin (dan paling mustahil)
ia akan bernyanyi tak henti tentang Cinta & Sunyi.
Cinta sebab ia telah pernah berani memimpikan mimpi.
Sunyi karena ia tahu akan kembali menjadi sendiri.
Keduanya melahirkan lagu nafasnya pada harmonika,
pada kecup dalam dan lama di lapar bibir kekasihnya.
Gerbera
“ADA akar rahasiaku, menyerap butir cahaya,”
katamu, dan aku percaya. “Engkau tak sabar
memekarkan terangnya, kan?” Aku juga seperti
akar itu, merahasiakan saja segala pertanyaanku.
“ADA telinga rahasiaku, yang menyimak semua tanya
yang kau sembunyikan itu,” katamu, dan aku percaya.
Kubayangkan akulah yang menyusun petal-petalmu,
mengatur sepal-sepalmu, “Seperti menata nyala
lampu di ruang tidur,” kataku. Dan diam-diam
kusisipkan sesuatu di antara yang benderang itu.
“Aku tahu,” katamu, “...yang kau rahasiakan itu!”
Chrysanthemum
ENGKAU warna, menunggu dijemput cahaya
Dan aku tangkai belaka, yang setia menjaga
dengan tubuh luka, aku kenang asal akar kita,
dia yang tak ada di antara: vas, senja, dan
beranda, penanam yang tak kita kenal siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar