Sastra Lampung Post

Sabtu, 31 Oktober 2009

F Aziz Manna

Sajak-sajak

Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB


Jendela Rumah



rumah kami kecil, rumah kami sederhana seperti sebuah jendela, kami bisa melihat dunia luar tapi dunia tak bisa melihat seluruh ruangan rumah kami, orang-orang hanya memandang anak gadis kami yang menyisir rambutnya panjang sedang dalam kamarnya penuh batu dan pisau, kami bisa mendengar suara riuh sedang suara kami hanya menggema sendiri, inilah rumah sederhana kami, rumah yang selalu dipandang kecil seperti sebuah jendela



Porong, Bulan Suci



/1/

dan kelopak itu retak, angin membuatnya terombang-ambing dan tak seorang pun hirau, kumbang terbang hinggap di kelopak retak itu dan tak seorang pun mau tahu

/2/

lengan kami mengepak, wajah kami tengadah, tubuh kami berputar, kami menari seperti darwis tapi tak ada yang menggubris

/3/

kami lupa kapan terakhir kali tertawa sebab yang ada hanya ratap dan duka, ingatan kami dipenuhi buih pilu, biduk harapan meluncur dalam laut lumpur penuh batu, kisah kami dijalari semak perdu

/4/

kami adalah genggaman yang menanti genggaman lain untuk disebut gagang, kami adalah tangan yang menanti tangan lain untuk disebut pegangan, kami tergantung pada kami yang lain untuk disebut seseorang

/5/

kami terlepas dari pokok dahan naungan, kami terjatuh di pinggir jalanan, tersungkur di celah paving trotoar: dari tanah kembali ke tanah, dari tanah jiwa kami kembali berkecambah

/6/

pintu menujumu dijaga ketat hantu-hantu dan sihir melenyapkan lubang kunci, tangan kami memegang pisau dan pikiran kami penuh mesiu, kami hanyutkan diri dalam peperangan namun yang kami temukan hanya kekalahan, hanya dunia yang tak lagi nyaman

/7/

dan kelopak itu retak, angin membuatnya terombang-ambing dan tak seorang pun hirau, kumbang terbang hinggap di kelopak retak itu dan tak seorang pun mau tahu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman