Sastra Lampung Post

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sajak-sajak Avianti Armand

Sajak-sajak

Kompas, Minggu, 1 November 2009 | 02:58 WIB


Pagi




1.

Pagi ini uap putih yang

mengepul dari ceret lari keluar

lewat jendela yang mengantuk

lalu hilang terseret angin;

aroma kopi bercampur hazelnut

menempel pada gorden

dan kain sofa, sarung-sarung

bantal dan linen –

Tapi aku tak mengenalmu.

Rambutmu burai menyembunyikan sisa syahwat seperti

rumput di halaman belakang menyembunyikan cokelat

tanah.

: Aku tak akan menyianginya. Aku tak tahu namamu.

Seekor belalang yang takut sembunyi menggigil

di antara bilah hijau dan bola embun.

Biru memanjang pelan-pelan di atas meja

menggeser debu dan menit.

Dalam tidurmu, kau menyebutku.

: Tapi pagi masih terlalu dingin.

2.

Tiba-tiba kamu ada;

berlari sepanjang tangga setelah puas

menghitung tahun di wajah dan rambut yang tak hitam,

menggeser puting susu berbintik dengan lidah

sebanyak detik,

dan “ooh!” dan “ahh!”

Dua cangkir kopi ini:

saksi yang lugu.

3.

Ikan-ikan itu lapar, katamu –

lalu kau jatuhkan gerimis

di sekujur kolam yang

megap-megap kehabisan udara.

Ahh!

Pagi ini, kamu mencintai aku.

Jakarta, 16 September 2009



Percakapan dengan Tuhan

Di Atas Awan




“Aku hampir tak mengenalMu, Tuhan. Tapi di lipatan

jubahMu tersembul jari-jari sekurus ranting yang tak bisa

mengibas lalat di mata. KasutMu mengepulkan debu dari

kota-kota yang tak sengaja terinjak. Jejak air juga belum

mengering di dadaMu dari ibu-ibu yang melepas anaknya

ke arah peluru.”

“Aku tahu, itu Kamu.”

“Bukan,” sangkalNya – lalu berlalu sambil menangis.

“Jangan pergi!”

Ia telanjur berbalik, lupa kalau gerumbul putih itu hanya

sekumpulan air. TubuhNya melesak – hilang jadi butir-

butir hujan.



Di Tepi Pelangi



KataNya, “Aku mencintaimu.”

Aku tak percaya – karena tak juga bisa tidur setelah lelah

menghitung domba yang tak habis-habis melompat ke

jurang.

Maka Ia membentang tangan dan tercipta pelangi yang

membutakan mataku.

Aku tak pernah tahu kalau warna bisa seperti itu.



Di Ambang Pintu



Tanpa menyentuhku Ia telah menciumku dan berbisik di

ambang pintu yang tak pernah tertutup:

“Kita belum selesai.”

Angkor, Seam Reap, 23 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman