Sastra Lampung Post

Sabtu, 19 Juni 2010

Refleksi DJADJAT SUDRADJAT

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 20 Juni 2010

Sembunyi


INI bulan Juni. Bulan yang belakangan sering saya ingat karena penyair Sapardi Djoko Damono “memaknainya” dengan sangat istimewa. Dalam Hujan Bulan Juni , sajak tiga bait ini kerap menggoda saya tentang sesuatu yang sangat biasa menjadi sangat penting, tentang hujan bulan Juni: tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan Juni/dirahasiakan rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu.

Itu bait pertamanya yang kerap “mengajak” kita untuk kembali “manyapanya”. Juga bait kedua yang kian menguatkan tentang nikmat membaca kata-kata, tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu.

Seluruh bait Hujan Bulan Juni kerap membuat saya terpana. Terpana tentang personifikasinya yang tak biasa, tentang hujan bulan Juni. Bulan yang menurut Sapardi amat “tabah”, “bijak”, dan “arif”. Simak bait terakhirnya, tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu. Begitu arifnya hujan bulan Juni, hingga sesuatu yang tak terucapkan pun dibiarkan diserap pohon bunga itu.

Saya menikmati sajak itu justru ketika banyak hal dalam realitas sosial-politik kita tak memberinya rasa percaya. Sajak Sapardi, bisa saja mengandung ironi seperti tafsir Bakdi Soemanto. Bahwa bulan Juni, katanya, yang kemarau itu, justru “dimaknai” hujan oleh Sapardi. Dalam realitas geografi kita (Indonesia) bukankah hujan memang masih turun di bulan Juni (bahkan kadang lebat dan menjadi bencana?)

Ini bulan Juni. Saya tak tergoda untuk memanjang-manjang kata bicara segi-segi ekstrinsik sajak indah itu. Saya tak peduli bulan Juni kemarau atau tidak. Saya tak peduli teks sajak tiga bait itu realitas yang dialami oleh sang penyairnya atau imajinasi belaka. Seni punya hukumnya sendiri dan masyarakat punya ruang amat terbuka untuk menafsirkannya.

Sebab itu, bagi saya, begitu teks sastra dibaca dan memberi rasa nikmat--juga mungkin membetot rasa “kegelisah”–dan terterima dengan tangan terbuka oleh pembacanya, ia tak perlu penjelasan apa pun. Menjadi benar pendapat bahwa seni yang bernilai memang sering tak memerlukan penjelasan apa pun. Ia akan berbicara sendiri kepada publiknya.

Juga sajak Hujan Bulan Juni. Rasa nikmat dan gelisah itulah yang kerap membetot saya untuk selalu ”menyapa” sajak ini. Terlebih lagi di bulan Juni ini, ada semacam “ritual khusus” dengannya. Ia menjadi semacam tempat untuk saya “bersembunyi” menghadapi realitas Indonesia yang didera aneka persoalan tanpa jalan keluar. Hujan Bulan Juni bagi saya sering menjadi tempat katarsis. Seperti para dalang yang mengalami pencerahan kembali setelah membawakan serial cerita Perang Baratayudha tujuh malam tanpa henti?

***

INI bulan Juni. Bulan yang memunculkan rupa-rupa persoalan yang tak terselesaikan. Ada “gentong babi” yang mendapat reaksi keras publik, tapi agaknya, akan menjadi kesepakatan Senayan. Juga pembiaran tentang masyarakat yang kian mudah melakukan destruksi di hampir seluruh negeri ; tentang video porno yang jadi pembicaraan dunia; tentang infrastruktur yang kian hancur; tentang Indonesia yang kian tak tentu arah jalannya; tentang politik yang kian tak menarik.

Banyak nama yang dulu berada di garda depan reformasi kini jadi frustasi. Benarkah reformasi telah dirampok oleh para politisi? Benarkan Indonesia sebuah konstruksi yang retak? Sebuah negeri dengan fondasi yang rapuh dan para pengelola negara yang tak peduli negeri ini mau tegak atau sebaliknya.

Hujan Bulan Juni adalah sebuah contoh tentang hal biasa menjadi penting. Ini karena Sapardi--juga umumnya seniman--punya kekuatan yang disebut kepekaan menangkap objek. Memang menjadi ironi jika disandingkan dengan laku para politisi. Mereka membuat hal penting jadi biasa, bahkan jadi main-main karena hilangnya kepekaan dan gagalnya memaknai realitas sosial yang berdenyut. Saya tak hendak menjadikan seniman jadi model bagi para politisi, tetapi dalam soal komitmen akan profesi dan kepekaan, politisi kita sungguh harus belajar.

Adakah saya beruntung bisa “bersembunyi” di balik sebuah teks sajak dengan 55 kata di tengah pengapnya udara politik kita? Sebuah sajak yang tak sampai menempati seperempat halaman buku saku. Tapi, ia jadi lebar untuk berlindung. Ia pasti rapuh jika air dijadikan musuhnya dan api dijadikan lawannya. Kata-kata jadi kuat ketika ia punya daya gugah dan punya kesamaan “kimiawi” dengan publiknya.

Ini bulan Juni. Bulan yang masih muram di negeri sendiri, tapi terhibur karena tanah Afrika menyuguhkan sepak bola dunia. Inilah bulan yang membuat lebih dari separuh manusia Indonesia ikhlas memelototi layar kaca, menikmati aksi mengolah “si Jabulani”. Tetapi, dalam kenikmatan itu, saya kerap jadi masygul karena kita hanya riuh dan gempita sebagai penonton. Penonton belaka, Bung! Berpuluh-puluh tahun. Mungkin juga beratus tahun.

Sebab itu, izinkan saya kembali pada sajak Hujan Bulan Juni untuk “bersembunyi”. Maaf…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman