Sastra Lampung Post

Sabtu, 26 Juni 2010

Puisi Inggit Putria Marga

Tiga Sajak Berawal dari Burung

Kompas, Minggu, 27 Juni 2010 | 04:21 WIB



Ketika Matahari Mati

: ahmad mudzil



gelombang burung terbang

warna-warni layang-layang



udara bau cendana

ribuan lilin menyala

pantulan bayang-bayang seroja



genderang dibunyikan

sitar disuarakan



para pelayan menari

ratusan lembu berjalan tenang

dikendarai ratusan bidadari



menyambut kau lahir

mengantar matahari berakhir



malam tak lagi gelap

karena matamu rumah bagi cahaya untuk menetap



di langit, indah bulan tersingkir

sebab senyummu mantra ampuh para penyihir



syair yang lahir dari tangan penyair

yang luka dan cinta dalam dan pada kehidupan



maka tertawa dan menangislah





menari dan terjatuhlah



ketika kau tertawa dan menangis

para bidadari penunggang lembu

akan menabuh genderang



ribuan pelayan akan memainkan sitar

lalu tawa dan tangismu jadi kidung



bergema, memantul ke gunung-gunung

meresapi samadi pendeta-pendeta agung



saat kau menari dan terjatuh

gelombang burung terbang

akan mengangkatmu



jadikan kau satu di antara

ribuan warna-warni layang-layang



tenang melayang lalu kembali jatuh



rebah di tanah

terkubur bagai sejarah



bagai udara bau cendana yang cepat hampa

nyala lilin yang pantulkan bayang-bayang seroja

lalu padam, segera atau seketika.







umpama burung pengepak sayap

ia berkidung setiap hinggap



di rumput-rumput lembab

rumah-rumah tak beratap

mulut-mulut gagap

pikiran-pikiran gelap



bulu-bulu merak

melingkari kepalanya



kekuatan dan keanggunan

menyatu dalam ia



sepasang mutiara

tergantung di telinganya



kedalaman dan misteri samudra

mewujud sebagai hatinya



cahaya purnama adalah tangannya

kelopak-kelopak padma adalah jemarinya



yang menggenggam suling

lalu ia tiup sambil menunggang sapi





















ke semua ruas semesta ia berkeliling

membuat segala yang keruh jadi bening













yang bising jadi hening













yang berpusing jadi bergeming



dilebur diri sejati

yang kerap terasing



pecah berkeping

di antara debu-debu musim kering



jika ia pijakkan kaki di rawa

mekarlah kuncup-kuncup seroja



bila tangan ia kibaskan ke udara

puluhan kupu-kupu bertukar warna



di cantiknya yang baka

gadis-gadis cemburu dan menangis



di wibawanya yang tak fana

para lelaki sujud dan terpana



kepadanya, hanya untuk ia



ribuan mantra dirapalkan

ribuan kidung dinyanyikan



agar sampai akhir usia semesta

suara sulingnya tetap bergema



menjadi denyut nadi

setiap makhluk pendengarnya



dari lembar-lembar buku tua

kubaca kisah tentang ia









: sang peniup suling







penghening segala yang bising



di kelopak-kelopak lotus

di udara pagi

di bentuk awan-awan yang tak pasti

di arus sungai yang tak mampu berhenti



ia kucari









sampai ketika aku berkaca

di jernih telaga:



bayang-bayang awan ungu

berpendaran di belakang bayang-bayang wajah:



kepalanya dilingkari bulu-bulu merak

sepasang telinganya digantungi



mutiara























taburan burung gereja

awan-awan nila

angin menggoyang tumbuhan liar

di dinding bangunan tua sebuah kota



sejauh apa pun ia pergi

sedalam apa pun ia sembunyi

ke panorama itu selalu ia kembali



pernah, ia pergi mencari panorama lain:



kapal berlayar lalu karam lebur di karang hitam

tari ribuan rumput yang ia cabut

saat bibirnya tak menemu tempat berpagut

barisan semut yang di tubuhnya kerap menyelimut



tapi, ia pengecut yang selalu mencari alasan untuk takut



pada karam yang kalut

pada maut yang pasti memagut

pada tali karma yang makin kusut



lalu, ia kembali pergi

mencipta panorama sendiri:



ia ciptakan sesuatu yang ia sebut puisi

membacakannya di depan tubuh-tubuh tak berpenghuni

berharap mereka percaya:

ia mampu merayakan luka di kelahiran yang entah keberapa.



di perut bumi,

ia bangun ruang terdalam untuk sembunyi

ia ingin dekat dengan ibu bumi dan merasa suci

terlepas dari lilitan temali karma yang menghantui



ribuan topeng bergantian digunakan

ribuan kata bersusulan diucapkan

ribuan hari habis untuk berlari

ribuan kelahiran hanya menggiringnya kembali



ke panorama yang ia lihat pertama kali:



taburan burung gereja

awan-awan nila

angin menggoyang tumbuhan liar

di dinding bangunan tua sebuah kota



kepada mereka, ia tanyakan:



apa arti pergi dan kembali, bagiku

jika setiap kepergianku adalah

awal kepulangan padamu?



tetapi, adakah kepulangan, bagiku

jika di tiap panorama yang terlihat dalam kepergianku

yang tampak hanya dirimu?



engkau, tanah kelahiran

yang membuatku dihantui kematian



dirimu, tanah kematian

yang tak pernah menolakku

untuk kembali dilahirkan



ia lepaskan lapis-lapis topeng di wajahnya

diam, membakar segala jenis puisi dan kata



pelan-pelan ia memburung

hilang tampak di antara awan-awan nila

melayang bersama angin

menggoyang tumbuhan liar



di dinding bangunan tua

sebuah kota.



2010

Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman