Koran Tempo
8 Februari 2009
Begitulah aku sarapan. Menerima masakan
dari pedalaman cintamu. Kuhembuskan decas
dalam pedasnya. Kau tak tahu
sampai kapan akan kukenyangkan puisi-puisiku
Mungkin sampai kumuntahkan sendatan
bahasa yang belum terucap lancar kepadamu
2008
PUISI UNTUK KEKASIH
Boleh kausebut bukan puisi
sebab kata-katanya tak berjanji
menyepakati kalimat yang dicari
Boleh kausebut bukan puisi
sebab kata-katanya belum kaumiliki
Tapi dalam diriku ada yang menanti
dirimu menjadi kalimat-kalimat sendiri
2008
TERBANGUN TENGAH MALAM SETELAH BERMIMPI MENJADI KEDUA MATAMU
Apa yang paling dalam di bumi ini, katamu. Sungguh aku tak tahu. Bagiku sejauh apa mata memandang itulah yang paling dalam dan barangkali itu pula yang paling dangkal. Adakah yang lebih dalam dari jurang, katamu. Sungguh bukan begitu. Bumi ini begitu dalam, takkan pernah kaulihat dasarnya. Mataku atau matamu hanya sanggup melihat sebatas jurang. Jauh setelah jurang entah apa namanya, entah dengan apa melihatnya, entah dengan apa ke sana: aku teringat air terjun yang hendak membawa jurang ke dasar bumi dan mereka tak kunjung kembali, meski entah berapa sungai mencoba mengikuti.
2008
KEPOMPONG
Maukah kau membentangkan hamparan di tubuhku?
Hamparan yang melantaikan badanku. Aku ingin
melepas selaput di kulit diriku.
Selaput apa yang kaubentangkan di tubuhku?
Tampak seperti keriput; bagai kepompong
membalut kusut.
Kepompong yang entah kapan berhenti merajut tubuhku.
2007
Heru J.P. lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh. Ia belajar dan tinggal di kota kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar