Minggu, 8 Februari 2009
SENI BUDAYA
teluh
siapa yang tahu usia detak jam usia alir sungai usia gerimis
ambai usia hambar percintaan siapa yang tahu
mungkin kau tahu kenapa terjerat kepada hasrat terpilin akar
tersipu lezat terpukau kepada sesuatu yang disebut kedalaman
siapa yang tahu usia lama keluh usia kering luka usia sisa
dusta usia kelam cuaca siapa yang tahu
karena kau tipu aku dalam wangi tanpa rupa dalam lengang
tanpa damba dalam hening tanpa doa dalam alpa tanpa nama
siapa yang tahu kapan kan sampai detak degup debur
debar karena deru usia tak tertebak usai
mungkin kau tahu karena tak henti kau mengaku ibu kau
mengaku madu saat kau menyelinap di khusuk subuh
siapa yang tahu jika subuh itu kau akan mengetuk pintuku
mengetuk kepala dan jantungku mengetuk lamun kutukku
karena kau datang tiba-tiba membelit tiba-tiba meresap
tiba-tiba menjerat merayuku untuk karam dalam pesona
siapa yang tahu jika kau kan meminta memaksa
dan bertanya berapa sudah usia darah
yang bertahun sembunyi di tubuhku dan di subuh ini akan kau
serut dan kau kembalikan ke Bapak waktu
siapa yang tahu umur waktu--karena sebelum sempat
mengetuk pintuku kau telah kutebas dan kulempar ke laut jauh
yang aku tahu kau begitu nyata di dagingku
mendekam, menggengam teluh
1/4/08
mata
: sidi
di bening bayang mata bayiku
kulihat wajah
seperti subuh
yang malu-malu
menghapus lukanya sendiri
dengan pagi
di bening bayang mata bayiku
kulihat wajah
seperti senja
yang ragu-ragu
menoreh lukanya sendiri
dengan malam
di bening bayang mata bayiku
kulihat kusam bayang mataku
mencari-cari bayang mataMu
di bening bayang mata bayiku
kulihat sangsi bayang mataku
menatap tajam ke kelam mataMu
bayangMukah
yang terbayang olehku
di bening mata bayiku?
2008
sepupu
kunjungi aku sekali waktu. kita sudah lama kenal.
telah banyak kau potret pantai dan muslihat yang dibuat
raksasa untuk menjebak musafir agar terdampar. sekarang
adalah saat yang tepat kau menjengukku.
jangan lupa bawa oleh-oleh. sekadar durian juga boleh.
dua-tiga tangkai hujan, keringat jakarta yang mempesona,
atau tanah keramat dari ujung sibolga
menginaplah di rumahku sekali waktu. agar kau kenal; betapa
ibu—alamat tetap yang dititip tuhan ke dalam tubuh
telah amat rindu padamu
bau subuh yang menempel di kerumun bambu
ziarahi muaraku . aku menunggu. bawalah lampu,
dan foto copy silsilah yang telah kau bingkai,
serta perkenalkan calon istrimu.
"dia wartawan—ingin meliput berapa jumlah kampung
di lampung yang terbakar. Sekalian—ia ingin memotret gajah."
katamu
"pacarmu cantik. harum hadramaut. matanya sekhusuk subuh"
"tapi maaf, kami tak bisa bermalam di rumah. banyak kepinding
katanya."
tak apa. kau sudah datang, bagiku adalah berkah.
betapa tak sia-sia darah menjadi muasal muara
muara yang kini mongering dan renta seperti rumah
rumah bagi nubuat yang pecah
kunjungi aku sekali waktu. biar sampai hilir sungaimu
ke hulu jantungku
2008
Kebun
lugu. kau mencari akar buahmu. kau mencari hulu sungaimu
kau mencari jantung patungmu. kau mencari lubuk lautmu. lugu
mengapa pula kau duga rumah akar rumah hulu rumah jantung
rumah lubuk akan mengantar kau ke dalam kamarku
mengapa pula kau sasar setiap batas seperti pantai seperti muara
seperti senja seperti tua hanya untuk sampai padaku. lucu
pernah kau idam buah tapi kau lupa betapa akar mengasuh batang
betapa batang mengasuh dahan betapa dahan mengasuh ranting,
daun, dan bebungaan. seperti pernah kau selam lubuk tapi kau lupa
betapa buih betapa ombak cumalah bayang dari yang diam di kedalaman
seperti pernah kau rindu jantung tapi melulu lidah melulu mata
kau manjakan. hingga kerap putus darimu akar-muasal,
--di mana kau tumbuh, menyeruak, menghiba ketinggian.
menyelamlah. tak apa jika kau diam. pecahkan jam.
di ramah tanahtak butuh kau alamat.
nama-mendadak luka.
2008
------------
Ari Pahala Hutabarat, berkhidmat di Komunitas Berkat Yakin, Lampung, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar