Minggu, 8 Februari 2009
SENI BUDAYA
Kau Merasakan dengan Radio yang Dendam
kau merasakan hal yang sama
seperti radio yang tak bersuara
terdengar gemerisik dan mengusik
hujan rintik mencekik
kau merasakan hal yang sama
sejak dongeng itu kau matikan di radio
dan lagu selalu sendu bersama mimpi buruk
tentang kenangan yang bertekuk dan takluk
seperti radio dengan nyeri di dada
lalu menyelam luka
dan gemerisik di gelombang yang lampau
kau merasakan hal yang sama
sejak kenangan mengudara
di sepanjang ingatan tentang kepulangan yang tertunda
tak ada tempat di ruangan ini
rumah-rumah penuh sesak
dan sisa sarapan yang masih berserakan
senyum dan tangis itu masih padamu
dan menyelinap ke dalam lampu-lampu
kau merasakan hal yang sama
sejak radio itu tak berguna
seperti kenangan yang menghapus ingatan
lampu menelan malam
perbincangan tentang kegelisahan semakin padam
dan di lemari tak ada apapun
lalu kuhujam lalu kutikam
seperti radio yang tak ada
seperti juga ingatanmu yang pulang
kau merasakan hal yang sama
sementara tangisan tak kunjung reda
Memendam Jeritan
ketika listrik mati
kau aku saling membuka tubuh
tv seperti museum saat itu
hening dan menangis sendiri
suara jam bangkit dari masa lalu
yang terkubur dan tidur
aku memagut lutut
seperti mengecup kopi
yang rapi sedari taplak
kata-kata
ada sepenggal prosa yang lenyap
dari lorong-lorong kota
dan teriakan kehilangan
tak ada berita tentang tubuhmu
hingga lelap ke dalam
prasasti yang memendam pesan
lalu kau aku menyimpan candu
yang ragu untuk dilagu
sunyi di tepian koran
berpendaran
sebelum mengenal pagi, aku listrik mati
datang dari sungai yang nyeri
ah sungai, aku seperti uap yang pengap
dari perutnya mendekap dan terperangkap
aku belum terbiasa mengupas tubuhmu
tertera awan yang ribut dan kisut
lalu gugusan kata meronta
dari bunga-bunga yang sasar di pusar
kau retak dibakar seumpama tembikar
bergetar sepanjang kelakar
pada tubuhnya yang sekering hening
Suara Tikam
masih berbayang
saat suara tikam memanjang
aku seperti menelusuri sepi diri
dengan deraan kenang di badan
lengguh hujan di jembatan layang
menyusun keping ingatan yang terbang
aku masih menyimpan keramaian
dan tetumbuhan kedai
sedang dari bibirmu
yang sama pada kecupan paling nyeri
menetes tangis
ucapan tentang kota
ringan berhembus
menembus jauh dan riuh
gedung di tubuhku sedang merancang
sendiri
membangun sepi yang lain
terdiri dari kata yang terkelupas
di tembok yang tak ramai
pertunjukan yang paling sesak
dan mengubur mimpi
seperti tikaman yang lain
yang muncul dari muasal
suara
Ilusi Menetes
dari gelisahnya yang padam
melinting ingatan yang bunting
pada buncahan karang di toko sebrang
aku sedang menyeleksi kenangan
disimpan dalam lipatan duka
kugarap dengan perih yang luap
dari lukanya yang panjang
sodetan ilusi mengerang
pada teriakan
--teriakan dengan mata pejam
merendam terpendam
kisah yang terbenam--
masih rendam nafasku dihujam
dari serpihannya
------------
Wahyu Heriyadi, lahir di Ciamis tahun 1983. Lulusan Universitas Lampung. Maret-Mei 2008 mendapatkan beasiswa untuk mengikuti Bengkel Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Puisi-puisinya termuat di berbagai media dan antologi bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar