Koran Kompas, Minggu, 6 September 2009 | 02:55 WIB
Puisi-puisi tanpa Judul
1.
Di antara lembar-lembar buku itu ia temukan kerangka daun yang sudah putih,
kelopak-kelopak bunga – kering dan rapuh, dan kupu-kupu mati yang segera jadi abu
bila disentuh. Di lembar-lembar berikut terselip jalan-jalan di kota berkanal yang
airnya hijau, kamar-kamar hotel murah setua debu, dan bau mawar liar di jendela.
Sesekali terdengar kepak sayap dari merpati yang berebut jagung di piazza kota dan
dingin musim gugur yang tak pernah menyakitkan. Di lembar lain terjepit tawa yang
seringan bulu dari anak-anak yang berlari menerbangkan layang-layang. Derum mobil
tak tersimpan di situ. Juga hujan yang membikin tanah jadi becek dan udara berjamur.
Di antara lembar-lembar buku itu hanya ada memori yang membasahi mata.
Dan di halaman terakhir: perempuan itu.
2.
Bolehkah kusimpan pecahan cermin ini?
: Untuk apa?
Untuk mengingatkanku pada satu saat di sebuah kampung
yang jalannya berbatu-batu dan batunya berbau kopi.
Untuk membawaku kembali pada sudut kecil tempat sepotong bagel dihidangkan
dengan segelas anggur yang asamnya tak lekas hilang.
Untuk membuka pintu ke satu stasiun di mana kau tinggalkan karcis
lusuh terserak di antara langkah orang-orang yang bergegas.
Lebih sederhana lagi –
untuk memanggilmu kembali.
: Aku?
Kamu.
Di cermin yang hanya sepotong ini
aku hanya bisa melihat
: Mataku.
3.
Ruang menyusut, meninggalkan kamu di dalam, dan aku di luar. Matahari redup. Tapi
angin bernapas begitu keras, menerbangkan daun-daun ke laut dan menarik-narik
anak-anak rambutku. Ke mana? Tanyamu. Aku telanjur terbang, sebelum sempat
menjawab dan mengikat rambut.
Mungkin di satu hari baik nanti, kau akan temukan aku tersangkut di cecabang
kamboja yang dulu kau tanam di sisa petak depan rumahmu yang tak pernah jadi.
4.
Mimpi pergi, ketika asap bakaran sampah mendesak masuk ke kamar lewat kisi-kisi
kayu yang rapat namun ompong di sana-sini. Besok, tak akan ada lagi kerat roti yang
kau olesi mentega asin di piring. Kakimu tak lagi bisa mengusik debu di depan pintu
yang biasanya terbuka pada ketok ketiga. Tak bakal kulihat kepul kopi susu
menyaputi sebelah susumu yang separuh terbuka.
Sungguh, aku tak kehilangan apa-apa.
5.
Kemarin kamu bilang: Jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati. Tapi mungkinkah
pernah kamu serukan kalimat yang sama pada perdu di samping rumah, kolam hijau
pekat yang dasarnya tak pernah kita lihat, kumpulan ketilang, juga pagi yang malas?
Mereka berbisik sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar