Sastra Lampung Post

Sabtu, 06 Maret 2010

# Hasan Aspahani

SEPERTI, UNTUK, KARENA

Seperti riang daun mempertemukan hara
yang diserap akar itu dan cahaya yang
dikirim matahari nun jauh di sana.

Seperti tulus tanah menerima guguran
daun-daun tanpa mengusut mana yang dulu
berasal darinya mana yang dari langit sana.

*

Untuk parah luka yang tekun mencari tubuh
Dia tulis larik yang menyembunyikan aduh.

Untuk deras darah yang cermat melacak letak luka
Dia tulis larik yang melirihkan rintih.

*

Karena matahari yang santun ikhlas melupakan cahaya
Aku menghendakimu tanpa bertanya sefana apa hidup kita

Karena bumi yang sederhana sabar memberi dan menerima
Aku menginginkanmu tanpa bertanya semustahil apa cinta kita

PELAKON KEHABISAN PERAN


Panggung ini: dunia sandiwara

Aku: pelakon kehabisan peran
Berpura-pura menjadi penonton

Kau: penonton enggan pulang,
menari pada ulur serangkai rantai
berpegang pada cahaya telanjang

*

Panggung ini: punggung bimbang

Sepi: bertepuk di bangku kosong
Langit-langit membikin semacam hujan
menaburkan warna rawan, kelam kalam

Remang: ragu mengatur bayang-bayang

*

Panggung ini: bangku tak panjang,
bimbang, ikut menahan hati gemetar

Seperti dalam makam, liang longgar,
tapi aku tak bisa beranjak keluar.

Ada yang berziarah menaburkan mawar:
harum itu, satu-satunya kabar.

PENYEMBAH MALAM

Ia meliuk agar malam tak jadi malam
ia rayu senja agar menangkap matahari,
lalu menyekap di lanskap, kemurungan
yang nyaris lengkap: kepingan awan,
langit yang ragu pada warna, camar
yang rabun, dan membisu dari pekikan.

Ia sudah sangat malam. Ia telah lama
jadi penyembah malam. Ia berambut
malam. Ia bergaun malam. Ia bersepatu
malam. Ia memasang lampu di tubuhnya
yang malam. Ia sudah terlalu malam.
Ia letih, ia ingin tak lagi ada malam menginap
di matanya yang ingin sekali memejam.

"Engkaukah yang datang menjemputku
di balon udara itu?" ia bertanya, dan
mengacungkan cahaya, seperti mercu
menyuar pelayar yang ragu pada tuju.
Hasan Aspahani bermukim di Batam, Kepulauan Riau. Buku puisinya adalah Orgasmaya (2007) dan Telimpuh (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman