Sastra Lampung Post

Sabtu, 09 Januari 2010

SAJAK-SAJAK: Febrie Hastiyanto

Minggu, 10 Januari 2010
SENI BUDAYA
SAJAK-SAJAK: Febrie Hastiyanto

Jalan Galih 216


Pada cinta sepanjang 800 meter aku dilahirkan. Bersama tetangga kiri kanan kami yang bersahaja: guru sekolah dasar, petani kebun lada, pedagang buku gambar di pasar kalangan, cengkau hasil bumi, agen SDSB, penjual gorengan dan hansip yang bertugas setiap 17 agustusan dan pemilu.

Petang menjelang, speaker TOA bersahut-sahutan. Dari Masjid Padang, Langgar Jawa, Masjid Ogan, dan Masjid Jami Semendo. Bersarung dan berpeci kami berlarian melintasi magrib mengejar masbuk. Seusainya, antre mengaji di Masjid Ogan: ba sin mati bawah bis, mim alif lam lam tajwid ha mati di atas lah, bismillah. Atau mengeja di Langgar Jawa: alif fatah a, alif kasroh i, alif domah u, a-i-u. Masjid kami berbeda, namun tak seujung kuku pun kami bersengketa.

Aku mengeram dalam kehangatan. Pada lampu neon yang berpendar. Dan siaran TVRI dari televisi hitam putih 14 inci. Malam mulai mengembun. Tak khawatir, karena kami telah memakai sweter. Di tikar yang digelar, kehangatan itu meluber.

Rumah kami berimpitan, tak ada yang memiliki halaman. Kami selalu berbagi, karena aroma tak dapat sembunyi. Ikan asin, sambal teri, atau sayur lodeh lihai memprovokasi.

Pagi hari adalah firdaus. Dalam irigasi Saluran Induk Bendungan Banjit yang berwarna cokelat semur jengkol. Melambai-lambaikan segala salto dan koprol dari jembatan bambu yang melitangi derasnya. Bergegas karena tak lama lagi ibuk, mak, mbok, dan umak kami pastilah menjerit bersahutan di pengkolan: lekaslah pulang, bujang. Pukul 06.30, terlambat sekolah engkau nanti.

Kami punya lapangan. Oleh pemerintah kecamatan diberi nama besar: Lapangan Sriwijaya. Tempat Musabaqoh Tilawatil Quran digelar. Juga pasar malam. Layar tancap. Konsep musik dangdut. Atau permainan bola sepak setiap sore. Bagi kami rumputnya yang tinggi adalah kenikmatan bermain perang-perangan. Dan layangan. Hingga paretan .

Tidak, aku tidak sedang bernostalgia dan mengutuk laju zaman. Cinta sepanjang 800 meter itu kini dengan sadar mengubah dirinya menjadi deretan rumah toko. Irigasi itu mendangkal oleh lumpur, beling dan rupa-rupa sampah. Aku katakan kepadamu sekali lagi, aku tak menyesal. 800 meter cinta itu bukan milikku, melainkan kepunyaan mimpi.

14 Agustus 2009

Mimpi Way Kanan

Kota ini nyempil di utara Lampung. Jalan lintas Sumatera adalah nadinya. Wangi bunga lada adalah napasnya. Baradatu. Banjit. Kasui. Blambangan Umpu. Bahuga. Bersahaja menjaga aliran Way Umpu yang menyodet tanahnya.

Bersahaja dapat engkau tukar menjadi kemiskinan. Dapat engkau artikan persahabatan. Tak salah bila engkau menganggap itu sebagai ditinggalkan. Kota ini menghias wajahnya dengan stasiun tua. Terminal bayangan. Pasar-pasar kalangan. Gedung bioskop yang kini disulap menjadi bank. Dan tanah lapang yang rencananya akan di bangun Pasar Sentral. Dan tanah kosong yang suatu saat nanti akan dibangun terminal. Kami telah terbiasa hidup menghindari kemegahan.

Di kota ini kehidupan adalah nyata. Agar dapat makan siang kami harus mendulang pasir di sungainya. Menderes karet yang wangi baunya. Menjadi ojek mempertaruhkan pendapatan di setiap pengkolan. Juga menjadi buruh di pabrik kayu lapis. Atau ngoret di kebun kopi yang berbuah satu tahun sekali.

Kami tak haus hiburan. Meskipun tak pernah dibangun taman kota. Stadion. Gelanggang Remaja. Atau sekadar traffic light. Kami terbiasa menghibur diri pada suara jangkerik saat matahari tinggi. Dari kebun itu. Di belakang rumah saja.

Kami selalu bergantung padamu: Kotabumi. Bandarjaya. Baturaja. Bandar Lampung. Tempat kemeriahan itu ditebar. Tak apa. Kami berbahagia hidup dalam sayup-sayup kesunyian.

Tengah Agustus 2009

Sate Tek Yu

Aku selalu tak dapat menahan rindu. Pada sepiring satai padang hangat. Dua tusuk bersiram saus kuning-kecoklatan. Tanda cinta seharga Rp300. Kepada kami yang mengular petang itu di beranda.

Kami belum mengenal kwetiau, batagor, martabak telor atau chicken steak. Hanya pada semangkuk miso Lek Sukir, seporsi bakso Lek Antoro, dan semangkuk Mi Ayam Lek Lan kami menanti cemas. Berebut suapan dengan adik, dan tatapan ibu yang mendelik. Bertahun-tahun tak kami kenal diversifikasi jajanan seperti hari ini engkau merengek pada segelas soda susu dan burger berselip daun selada dan daging panggang.

Tek Yu mengomel karena kami tak tertib. Bagaimana kami harus tertib bila pukul 19.30 nanti satai habis? Sebentar lagi azan maghrib dan kami harus mengaji. Pada sepiring satai padang hangatlah kami menutup hari ini.

Sore itu aku bergegas mandi. Takut tak mendapat tempat antre. Beranda itu lebih rapi kini. Kuah satai meruap dari dandang di atas bara. Seorang bujang tanggung sigap meracik lontong. Sepiring satai padang hadir bergegas. Tek Yu telah lama pensiun berniaga. Kota kami kini tak lagi memiliki tanda.

31 Desember 2009

Febrie Hastiyanto, lahir di Way Kanan, 2 Maret 1984. Puisinya yang pertama kali dipublikasikan, Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapannya menjadi finalis Lomba Cipta Puisi-Prosaik Krakatau Award 2009. Menulis di berbagai media.

3 komentar:

  1. bung oky, akhirnya bisa bertemu di dunia maya. terima kasih untuk apresiasinya. diantara artikel, cerpen atau novel, menulis puisi bagi saya adalah 'mimpi buruk'. saya perlu banyak belajar menulis sajak dari bung oky nih.

    untuk mengawalinya, bagaimana komentar bung terhadap puisi-puisi ini?

    salam blogger,
    masmpep.wordpress.com

    BalasHapus
  2. aktivis blogspot juga ya...
    congratulation...

    BalasHapus
  3. Mampep: Kebenaran "puisi" bergantung dari niatnya. Kalau diniatkan puisi, sebagai pembaca, aku membaca puisi-puisi di atas sebagai puisi.

    Lilis Sulistiawati: Tentu

    BalasHapus

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman