Sastra Lampung Post

Sabtu, 16 Januari 2010

Agit Yogi Subandi

korantempo, minggu, 17 Januari 2010
POHON-POHON TUMBANG DAN BURUNG-BURUNG MALAM

malam, sebatang pohon tumbang di kaki bukit
bulan bersinar separuh.
sarang-sarang burung di dahan pohon itu jatuh dan terhimpit
telur-telur menggelinding dan pecah, burung-burung ricuh.

lalu mereka berterbangan dan membawa apa saja yang tersisa
yang tak dapat terbang, mungkin telah mati.
mereka terbang menyusuri malam, mencari pohon rindang
tapi mengapa tak pula dijumpai.

"mataku memang tak secerlang burung hantu,
tapi serabun-rabun mataku, rindang pepohonan aku tahu"
dan matahari seperti kalsedoni India
yang ditembusi cahaya.

pohon-pohon seperti jenazah;
melintang di tanah-tanah yang lembab.
"haruskah kita meletakkan sarang pada dahan
yang kelak membusuk ini?"

cahaya matahari jatuh di bulu-bulu mereka,
dan mereka bukan satu-dua, tapi seribu.
terang adalah saatnya berburu
gelap adalah saat mencari rumah.

entah berapa matahari telah lesap ke balik bukit,
tapi mereka tetap menyusuri gelap tanpa merasa sakit
tersibak angin, disusupi embun, suara yang meredam
hingga mereka perlahan-lahan menjadi si burung-burung malam.
(Tanjungkarang, Desember 2009)

Agit Yogi Subandi lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin di Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman