Koaran Kompas, Minggu, 26 Juli 2009 | 04:20 WIB
sejumlah perkutut buat bapak 2
gedong minep
suaramu membenamkan matahari
mencipta sore yang sebentar
dan sederhana
di mana seluruh pintu dan jendela
pelan-pelan menutup dirinya
berjaga dari bala yang mungkin ada
bukankah pergantian selalu rawan
dan menggetarkan
seperti suaramu
yang selalu berdiam dalam ambang
widanasreku
suaramu berlapis-lapis
membuatku terus berjaga
mengupas suaramu
mencari yang sejati
mungkin tak ada
tapi seperti ada
selalu seperti ada
nggendala sabda
suaramu keras memikat seluruh sahabat
mengumpulkannya seperti mengumpulkan
tulang berserakan—balung pisah
menyusunnya menjadi sebuah rumah
tempat berlindung anak-anak
yang kehilangan masa kecilnya
widah sana gasta gasti
suaramu panjang seperti jalan
yang kutempuh untuk menemuinya
bersusun halus dan lembut
seperti kenyataan dan impian
rejeki atau mati menanti di tiap kelokan
menyaru pohon, macan, atau perempuan
suaramu hanya jalan berlapis-lapis
yang tak akan pernah habis
jalan. bukan tujuan
gedong menga
suaramu menggambar jendela di dadaku
lalu seseorang akan datang membukanya
—kau tahu siapa dia
mengucapkan selamat pagi
selamat memburu rejeki hari ini
banyak atau sedikit tak mengapa
pulanglah
banyak atau sedikit
hanya cara kita menghitungnya
durga ngelik
suaramu datang siang-malam
bertengkar dengan anak-istriku
tentang siapa yang benar-benar
menjadi anak dan istriku
kau yang seribu tahun
telah kehilangan suamimu di suatu sore
dalam persetubuhan yang gagal di atas sapi
pergilah, jangan ganggu rejekiku
kutut lurah
kau memilih tinggal di hutan
tak pernah turun ke tanah
menyentuh kenyataan, menyentuhku
hidupmu disusun perkutut lain
yang datang menyodorkan menu makanan
nama-nama hari dan sejumlah fiksi
kematianmu telah lama direncanakan
pada musim-musim kemarau
di mana delog dan penyereg
dengan tubuh berlumur getah pohon bendo
menunggumu, menurunkanmu dari puncak
dan membuatmu terbangun dari mimpi
sihwanteyan
suaramu memikat kesepianku
entah siapa yang menempatkanmu
di ranting sebuah pohon
membisikkan namaku di telingamu
melumuri bibirmu
dengan getah pohon nangka
entah siapa sembunyi di balik punggungmu
merancang kematianku dengan dingin
menabur biji-biji maut di sekitar tubuhmu
mengharapkan aku jatuh cinta dan lupa
kau yamadipati, sihwanteyan
yang hidup dengan kematian
tanggapan
suaramu keras menghantam telinga
menggetarkan gendangnya
menyampaikan kabar baik dari utara
kabar dari rumah
yang selalu kutunggu
sebenci apa pun aku dengan ayah
sebenci apa pun aku dengan ibu
menunggunya
seperti dulu menunggu mereka
menjemputku dari taman kanak-kanak
gedong bantala
kau suka sekali berada di tanah
membangun sarang di sana
mengubur kedua sayapmu
dan melupakan langit
yang terlalu banyak berjanji
lalu kau membakar satu persatu tahimu
seperti membakar masa lalu
sebuah masa di ranting-ranting pohon
dan kausucikan rambutmu,
kauobati luka lamamu dengan abunya
semoga segalanya baik-baik saja
—katamu kepada langit terakhir kali
sendang ngembeng
pada dadamu yang lebar
kutorehkan 2 garis di tengah
satu garis adalah diriku
satunya lagi adalah dirimu
berdampingan seperti sungai kembar
tak pernah benar-benar ketemu
hanya suatu kali berpapasan
bersilangan, potong-memotong
dan meninggalkan delta-delta
di mana anak turun kita
tumbuh dan beranak pinak
jogjakarta, 2009
sejumlah sajak perihal anak
uger-uger lawang
sepasang anak lanang
adalah sepasang daun pintu
buat rumah kita
menggaris di mana luar di mana dalam
di mana aku, di mana kamu,
di mana mereka
menjaga dari Jugilawarawar
yang akan mencuri
rahasia perkawinan kita
kembang sepasang
sepasang anak perempuan
adalah sepasang kembang
yang kausembunyikan di belakang rumah
agar kala yang datang setiap sore
lewat jalan kecil di sebelah barat rumahmu
tak melihat mereka dan jatuh cinta
sepasang kembang yang kausiram saban sore
sambil menanti suamimu pulang
dengan saku kanan penuh daun gundha semanggi
dan beberapa ekor ikan krowokan di saku kiri
gedhana-gedhini
kami dua bersaudara
aku perempuan sedang kakakku laki-laki
sepanjang waktu kami berseteru
dengan waktu
hingga uban terus tumbuh di kepalaku
sepanjang pelarian
sepanjang lobang bambu
—yang terus-menerus menyelamatkan kami
hingga waktu sesekali terjebak di kebun labu
mengurai sepasang kaki
yang terjerat tanaman rambat
aku mencintai kakakku
sebagaimana ia mencintaiku
sepanjang pelarian ini
kami tak henti saling memberi
mengisi rumah kami masing-masing
gedhini-gedhana
kami dua bersaudara
aku perempuan sedang adikku laki-laki
sebagai kakak, aku wajib melindungi
maka kusembunyikan ia
di balik dandang nasi
ketika kala mengejar hendak menangkapnya
kupasang batu pipisan di depan pintu
supaya waktu tersandung jatuh
dan tak bisa bangun lagi
tapi waktu selalu hadir di antara kami
membuat kami tak bisa bertukar tempat
dan kelak jika ia menikah lebih dulu
ia harus membeli waktu itu
dengan harga yang pantas
kembar
tak ada yang bisa membedakan kami
istri kami sekalipun
aku nakula dia sadewa
aku sadewa dia nakula
kami adalah satu yang menjadi dua
aku bisa masuk ke dalam mimpinya
juga sebaliknya, ia
aku bisa berdiam dalam kesedihannya
juga sebaliknya, ia
hingga kini kami tetap tak tahu
siapa sesungguhnya
yang diikat dan disiksa di pohon randu
siapa yang menyembuhkan durga
dari kutuknya
siapa yang menyembuhkan tambapetra
dari kegelapannya
hingga kami menikah
dengan ni soka dan ni padapa
tapi kami tak pernah berseteru
siapa yang lahir lebih dulu
dhampit
kami titisan batara aswin
tapi beda kelamin
aku cowok saudaraku cewek
aku cewek saudaraku cowok
tapi kami kembar
meski tak mirip sepasang kembang
atau sepasang daun pintu gerbang
tapi aku tetap madewa dia masno
demikianlah kami membangun jalan
seperti sungai yang bercabang
dengan cerita dan kelokan sendiri-sendiri
jogjakarta, 2009
Gunawan Maryanto bergiat di Teater Garasi sebagai penulis dan sutradara. Buku kumpulan puisinya adalah Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar