Sastra Lampung Post

Minggu, 18 April 2010

Sajak Hanna Fransisca

koran tempo, minggu, 18 April 2010
BULU KAKI MATA SIPIT
Hanna Fransisca

"Perempuan tanpa bulu,
membawa derita yang tak bisa diburu!"

Mari kuajak kau meneguk racun dengan secangkir kopi pahit,
dan kuceritakan padamu tentang bulu kaki
yang membikin lelakimu mati. Di langit-langit ruang lapang
bunyi gemerincing uang, dan waktu serentak menjadi angka.
Atas impian menjadi kaya, kaupuja Dewa yang kadang iseng tapi kalian harus percaya:
para lelaki itu tiba-tiba menjadi beriman, menjadi yakin pada
kepastian tuah yang dimiliki kaki perempuan. Bulu-bulu dipuja
di depan Dewa mereka. Ular dan serigala dalam diri kau mengamuk
di malam pertama, menghitung kelamin perempuan menjadi angka,
menjadi impian belantara dari jalan kaki hingga menuju kepala.
Amboi, kauhirup tuak dan menari-nari, lalu kau menyesali sabda Dewa
jika perempuanmu polos dan putus asa. Kausesali ibu yang melahirkan perempuanmu,
kaucaci leluhur yang menjadikan kau pengantin mati hingga pagi hari,
"Ada apa dengan Tuhanmu? Adakah Tuhanmu tak sanggup
menumbuhkan sebiji bulu?"

Mari kuajak kau melihat pengantinmu yang berlari di pagi hari,
"Adalah layak bagi kau, jika pengantinmu
menjual diri di jalan raya."

Jakarta, 2009

KEPADA KERBAU

Pada keluargamu, pada ladang, pada mimpi sebuah negeri

Burung-burung selalu berpindah saat berganti musim. Katak
berganti rumah untuk waspada dengan cuaca. Tapi
kerbau bisa datang begitu saja tanpa alasan hujan
atau kemarau.

Di pintu rumah peladang ia datang. Dituntun lelaki dari pasar,
dan wajah istri anak-beranak yang menyongsong suami dengan berseri, "Ai,
akhirnya kita miliki juga. Alangkah gagah, tak rugi hilang sepetak sawah.
Maka di sini engkau akan tinggal, sayang. Menjadi keluarga
seadanya."
Sejak itu, setiap pagi adalah riwayat
yang terus berganti.

Bulan April mimpi menguning padi di ladang terang.
Jejak riwayat kegagahannya tak habis-habis dibilang: "Kita beruntung, sayang,
lantaran engkau tanah lumpur bakal jadi gembur."
Maka langit dan rumah dipenuhi ungkapan rindu.
"Anak-anak akan tumbuh, seiring tumbuhnya ladang. Anak sulung,
tahun depan dipinang orang."

Bulan September menderas hujan teruslah berderai.
Jejak riwayat keringat dimulai, membajak tanah harapan,
menabur biji-bijian.
Maka tak henti-henti sanjung dan puji, "Engkau nadi yang merestui hati
kami. Jejak kakimu menggali-gali, pupuk perutmu berkilo tahi,
menumbuhkan biji bersama matahari. Sabarlah sayang, terus bekerja
sambil bernyanyi. Bergerak dan bernyanyilah bersama kami."
Maka jejak tanah berpagar tak lagi menuai sendu yang samar.

Sepetak tanah selalu tumbuh dengan cinta yang sederhana. Bersama
hidangan rumput hari-hari, yang dipangkas seperti kasih tangan ibu,
bersama petang yang selalu benderang di tanah lapang,
bersama rendam segar air lubuk dan usap sentuhan
jemari ayah.

Ia telah resmi
menjadi keluarga.
Tapi tahun ini badai datang melanda tomat.
Padahal ia mulai belajar menulis, "Aku mencintai
rumah ini." Badai tomat membuat ikan di dapur menjadi tiada.
Semalam ayah bicara cabai, lalu jagung pengganti beras. "Cabai tak
ada harga. Apa kita biarkan membusuk di kebun seperti tomat yang
kita rawat sepenuh hati?" Ai, malam bicara badai, duka di wajah ke tepi-tepi.
Pagi memanggul sepikul gabah, diubahnya jagung menjadi mendung.
"Kita lelang berpikul gabah, tapi sekarung beras tak sanggup beli. Sungguh
mulai celaka ini negeri!"

Anak gadis ranum tiba dipinang umur. Kering di bulan Juni, ibu menangis tepi
jendela. Tak patut memandang ladang, ia bergegas pergi ke kandang. "Aduhai
engkau yang kusayang. Lihat mataku, adakah engkau mengerti?" Rumput
mulai kering, bahkan air irigasi pun kini harus beli. Anak gadis nyaris dipinang,
apakah nasib yang lebih buruk dari seorang petani?

"Di pejagalan kudengar orang memilih kulit yang tebal: sebagai kerupuk
atau dijemur menjadi beduk. Orang kaya di kota amatlah bangga, memajang
ukiran tanduk dari kerbau-kerbau perkasa. Bagaimanakah rupa dan lezat rasa,
daging muda yang dibalut tulang perkasa?" Sayang, lihatlah mataku sayang, adakah engkau mengerti?

Ia tidak melihat mata ibu menjadi kejam. Ia tak kuasa,
memandang wajah ayah yang berlinangan. Ia hanya mendengar suara derum
mesin truk di depan rumah, di tempat ia telah menulis, "Aku bahagia
menemu surga di tengah keluarga."

Ayah yang lelah, membisikan kata sayang begitu pasrah, lalu menggiringnya
untuk pergi
menjadi tiada.

Jakarta, Februari 2010

Hanna Fransisca lahir pada 1979 di Singkawang, Kalimantan Barat. Kini tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman