Sastra Lampung Post

Sabtu, 10 April 2010

SAJAK-SAJAK Pay Jarot Sujarwo

Lampungpost,Minggu, 11 April 2010

SENI BUDAYA


SAJAK-SAJAK Pay Jarot Sujarwo

Biar Rindu ini tak Terasa Pilu
: Y. Wibowo

kawan, kemarin aku membaca sajak (atau celoteh?) yang kau tulis

sungguh, aku rindu.

bukan pada tayangan televisi yang kau tonton,

tapi pada sejarahmu

yang menorehkan emas di atas permadani

di mana mereka pesta dan menari-nari*

tiba-tiba saja sejarah itu, sejarah yang kau torehkan itu

menyayat kembali angka kalender renta di masa-masa silam

aku merasa ditikam, begitu tajam, oleh kenangan yang riuh akan dendam
: beratus kepal tangan meninju udara, yel-yel,

julur asap rokok di ruang rapat dengan latar bendera merah,

juga anggur yang sama-sama kita tenggak

saat malam tengah berkemas

lalu kawan, kueja satu-satu diksi

yang kau hidangkan di koran-koran minggu

sebab di sana ada sejarahmu.

ya, sejarahmu kawan. yang kau tulis sebagai

erangan panjang memilukan.*

sungguh, aku rindu.

jika nanti kau kembali menonton kotak elektronik beracun itu

tuliskan lagi sajak (atau celoteh?) mu.

biar rindu ini tak terasa pilu

Sofia, maret 2010

* dari sajak (atau celoteh?) yang ditulis Y. Wibowo: Menyaksikan Sidang Paripurna Hak Angket Pansus Century, DPR RI

Di Depan Ketedral Alexander Nevski

kutemukan gemuruh pada ringkih pilarmu

oleh berjuta kilatan blitz dan narasi pada brosur-brosur perjalanan

sementara emas yang bersarang di kubah-kubahmu

masih saja menceritakan sunyi yang sama

sunyi yang tenggelam pada angka-angka almanak yang kian renta

sunyi yang menggedor-gedor pintu museum-museum purba

sunyi yang luka sebab sejarah gagal bercerita

kutemukan sajak di celah suara gentamu

merayap di sekeping kartu pos yang terbang

ke seluruh dunia

adakah kau merasa rindu?

Sofia, Maret 2010

Seorang Perempuan yang Mengubur Cerita tentang Perang

"kita tidak lahir dari buku-buku sejarah dan cerita para guru di sekolah"

katamu sambil melipat kembali arah-arah yang tidur di dalam peta.

sepasang mata cokelatmu masih saja tegar menancap

pada reranting kering penghujung musim dingin.

lalu pelan kau berbisik. entah kepadaku. entah kepada angin.

katamu: masih ingatkah kau akan perebutan konstantinopel

yang sekarang menjadi instanbul?

di sekolah-sekolah turki, mereka akan bilang itu adalah

penaklukan gemilang kekaisaran muslim.

dan di waktu yang sama, orang-orang balkan akan bilang itu adalah

peristiwa jatuhnya kota besar kristen secara tragis.

lalu kita, sampai hari ini masih saja saling berkelahi

matahari di kota sofia masih saja samar sebab salju di puncak vitosha

masih saja perkasa. lalu arah-arah yang tidur dalam peta

kau robek dan telantarkan begitu saja di tong sampah.

"kita hanya perlu melangkah, saat kota ini semakin tua, saat angka-angka kalender

semakin ringkih untuk menceritakan peristiwa kepada bayi-bayi kita”

aku merasakan marah mengalir di darahmu. seperti terwarisi darah

para pejuang thrakian*).

dari banya bashi**), sayup-sayup kudengar suara adzan

"pergilah bersembahyang, dan jangan kau tanyakan lagi cerita tentang perang."

aku tersentak. kehilangan diksi yang sudah sampai di ujung kerongkongan.

Sofia, 30 Maret 2010

*) Thrakian: Suku pertama yang mendiami tanah Bulgaria semenjak puluran ribu tahun Sebelum Masehi, sampai akhirnya Kalah oleh pasukan Roma (Alexander Agung) di abad ke-1 Mahesi

**) Banya Bashi: Nama masjid yang terletak di Kota Sofia, Bulgaria. Yang didirikan saat Ottoman Empire (Turki) menguasai negara ini, dan merupakan satu-satunya masjid di Sofia yang masih berfungsi

Tentang Alamay--yang Tidak Perlu itu

kugenggam tanganmu saat kau meracaukan alamat.

hendak kemana? melawat makam-makam para pejuang thrakian,

atau mengeja isyarat bertuah gypsy di pintu depan rumah?

semenjak tak ada lagi rahasia waktu kau tenggak bir dari gelasku,

tak henti-hentinya kau meracaukan alamat

"alamat tak perlu

tak ada jalan pulang

bakar saja peta

pintu rumah tak lagi terbuka

bulan pecah di laut hitam

tak perlu alamat"

kekasih, aku tak mengerti tapi aku tak risau.

bukankah sudah kita sempurnakan jejak

pada dinding-dinding purba monument kuda,

gereja, patung stalin, reruntuhan kerajaan roma,

juga pada setumpuk jaket musim dingin yang tak terpakai

sebab rumput hijau telah merayapi taman kota

dan kita, akan terus berjalan kemana saja

tak hanya sampai ujung sofia, tapi juga di bibir-bibir senja

yang betah berlama-lama menunggu jelaga

kekasih, buat apa aku risau meski aku tak mengerti

tapi kau terus meracau

membikin alamat benar-benar menjadi sesuatu yang tak perlu

Sofia, Maret 2010

Sabtu Sore 3 Tahun Lalu

aku kembali melihat sore sendirian. tidak bersamamu. tidak seperti

sabtu sore tiga tahun lalu. aku kembali membiarkan angin membelai pepori dan tidak menularkannya digerai rambutmu. barangkali, kenangan ini

memang sudah tidak layak diceritakan ulang. tapi kepada siapa kemudian kita akan mengakrabi rindu, ketika waktu tak lagi mencatat kisah-kisah biru.

cuma beku. seperti bebatu. seperti keras hati di puncak pilu.

dik, di tempat ini aku ingin tidak selalu berharap kau bisa kembali.

seperti sabtu tiga tahun lalu. tempat kita berjanji bertemu dan dengan tidak rela melihat jingga berubah pekat. "sudah magrib, mari kita pulang." ajakmu. aku kerap menggeleng, demi lebih lama membelai gerai rambutmu. "tapi sebentar lagi malam minggu, saatnya kau bertemu pacarmu dan aku bertemu pacarku. kita sambung sabtu sore minggu depan." lirihmu beranjak bersama senja yang benar-benar sudah tidak ada.

aku kembali melihat sore sendirian. tidak bersamamu. tidak seperti sabtu 3 tahun lalu. ya, aku sendirian. membaca lekat-lekat rerangkai huruf di selembar kertas undangan. ada namamu.

Pontianak, 2008

---

Pay Jarot Sujarwo, lahir di Pontianak, 5 Juli 1981. Alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta. Tulisannya tersebar di berbagai media. Tahun 2005 kembali ke Pontianak, mendirikan Penerbit Pijar Publishing, dan menerbitkan beberapa buku. Sementara ini berdomisili di Sofia, Bulgaria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!


17 Juni 2010


Laman